• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Masyarakat Pak-pak

Banyak kalangan dan ahli mengelompokkan Pak-pak sebagai bagian dari sub etnis Batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial, bahasa dan sistem kekerabatan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya, sama seperti orang Karo, Toba, Simalungun dan Mandailing, orang Pak-pak juga menganut sistem patrilineal. Dengan demikian klen (marga) diperhitungkan berdasarkan garis keturunan lak-laki. bentuk perkawinan adalah eksogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sebagai sumbang (incest) (wahyudi, dkk, 2002).

Secara geografis pun sub etnis Pak-pak berbatasan langsung dengan sub etnis Batak lainnya. Malah beberapa nama marga dari masing-masing sub etnis hampir sama sebutannya dan bahkan diakui berasal dari nenek moyang yang sama. Contohnya marga : Manik Siketang (Sihotang), Lembeng (Limbong), Solin (Selian),

Kabeaken (Habeahan) dan marga-marga lainnya. Secara teoritis kesamaan bisa terjadi karena faktor intensitas dari proses difusi, akulturasi dan asimilasi, disamping didukung oleh faktor geografi. Demikian juga dari segi komunitas, etnis-etnis tersebut hidup berdampingan di wilayah Sumatera Utara (Berutu, 1998).

Namun bila mengacu kepada ciri-ciri etnis yang dikategorikan oleh Koentjaraningrat (1990), bahwa suatu suku bangsa ditandai dengan adanya kebudayaan tersendiri, wilayah komunitas daerah asal, adanya rasa identitias bersama dan adanya bahasa, maka masing-masing sub etnis Batak tersebut dapat juga dikategorikan sebagai etnis atau suku bangsa tersendiri termasuk Pak-pak.

2.5.1 Gambaran Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pak-pak

Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pak-pak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian (Suak) besar, yakni Pak-pak Sim-sim, Pak-pak Keppas, Pak-pak pegagan, Pak-pak Boang dan Pak-pak Kelasen (Berutu, 2002), dan masing-masing daerah persebarannya adalah:

1. Pak-pak Sim-sim, yakni orang Pak-pak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Sim-sim. Misalnya marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Tinendung, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Pak-pak Bharat.

2. Pak-pak Keppas, yakni orang Pak-pak yang menetap dan berdialek Keppas. Misalnya marga Ujung, Angkat, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi, mencakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Sidikalang.

3. Pak-pak Pegagan, yakni Pak-pak yang berdialek Pegagan. Misalnya marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Dairi Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir dan Tiga Lingga.

4. Pak-pak Kelasen, yakni Pak-pak yang berdialek Kelasen. Misalnya marga Tumangger, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Tapanuli Utara Kecamatan Parlilitan dan kecamatan Pakkat, Kabupaten Tengah Kecamatan Barus.

5. Pak-pak Boang, yakni Pak-pak yang berdialek Boang. Misalnya marga Sambo, Penarik, Sasraan dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia berada pada Kabupaten Aceh Selatan, Kecamatan Simpang Kiri dan kecamatan Simpang Kanan (Berutu, 1998)

Pengakuan atas dasar identitas dan permasalahan yang nyata dihadapi, serta menyatukan langkah untuk maju kedepan merupakan salah satu masalah besar masyarakat ini. Friksi antar suak maupun antar agama pada dasarnya ada dalam masyarakat. Ditambah dengan penguasaan tanah antar marga. Maka Pak-pak dikatakan cukup sulit untuk “bersatu”. Hal ini juga dibarengi dengan gap atau kesenjangan komunikasi antar rakyat dan “penguasa” (pemerintah, orang kaya atau tokoh-tokoh masyarakat). Bahkan ketidak sepakatan antara pandangan mengenai sifat-sifat antropologis dan psikologis (perilaku) Pak-pak diantara mereka cukup tajam. Begitu pula dengan pandangan diantara mereka atas pemerintah yang selama ini telah lebih berkuasa dibanding dengan tokoh-tokoh masyarakat adat. Situasi ini

diperburuk oleh stereotype dan prasangka suku lain, bahkan oleh orang Pak-pak sendiri. Keengganan memakai marga asli Pak-pak sangat umum terjadi, mengganti marga asli dengan marga lain seperti Karo dan Toba sering dijumpai. Marga Tumangger, Tinambunen, Anak Ampun, Maharaja, Bancin mengaku Simbolon, marga Berutu jadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga (Karo), atau Manik, mengaku manik dari Simalungun, bahkan Solin mengaku Solihin bagi yang merantau kearah Aceh. Kalau tidak mengganti marga, minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti bahasa Toba (wahyudi, dkk, 2002). Kebiasaan ini bisa saja, juga terpengaruh dengan hal-hal yang lain seperti konsep akan sehat dan sakit serta pola pencarian pengobatannya.

2.5.2 Budaya Pak-pak dalam hal Sehat Sakit

Menurut Kustander dalam Swasono (1996) menjelaskan bahwa kesehatan dan penyakit merupakan kontruksi budaya, yang berkaitan dengan pengertian normal dan abnormal menurut pandangan berbagai kategori individu dalam suatu kelompok budaya. Walaupun defenisi tentang normal dan abnormal itu mengandung aspek persamaan pada berbagai kebudayaan, misalnya mengenai batasan-batasan tentang kemampuan ”normal” dari tubuh dalam menjalankan fungsinya, namun kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda mempunyai klasifikasi dan defenisi yang berbeda pula mengenai sehat, keadaan sakit, penyakit, maupun ukuran-ukurannya. Karena itu sulit untuk memperoleh penerapan yang universal terhadap ukuran “kualitas dari skala kehidupan”.

Menurut Sudarti dalam Sarwono (1997) Umumnya masyarakat tradisional memandang sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya,

tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Baik itu karena sakit akibat penyakit yang biasa diderita masyarakat ataupun penyakit yang dianggap luar biasa dan jarang. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat. Cara pandang masyarakat tentang hal seperti ini juga masih banyak diyakini oleh masyarakat suku Pak-pak.

Untuk penyakit-penyakit yang tidak lazim misalnya penyakit yang datang tiba-tiba, atau penyakit yang muncul kebetulan setelah mengunjungi suatu tempat, maka dianggap sebagai penyakit karena gangguan makhlus halus (begu) atau karena ula-ula (sihir) yang dilakukan oleh orang lain. Atau penyakit yang lama sembuhnya, maka dianggap karena kekuatan roh. Karena kalau penyakit biasa pastilah akan cepat sembuh. Pengobatan yang dilakukan, sesuai dengan penyakit yang di derita. Ada dengan pengobatan ramuan tradisional yang disebut grama, seperti sinangger yang merupakan ramuan beras yang digongseng sampai hitam ditambah dengan jahe dan kunyit, untuk sakit kepala. Gambir yang dicampur air dan diminum untuk obat sakit perut dan lain-lain (Gajah, 1999). Selain ramuan tradisional ada juga dengan pengobatan kebatinan yang mana proses penyembuhannya dilakukan dengan doa dan mantra (tabas) yang dilakukan oleh “orang pintar” (sipande-pande). Ada juga pengobatan dari penggabungan kedua jenis tersebut, yaitu ramuan tradisional yang dibacakan mantra (tabas), misalnya Ramuan pinang dan sirih yang telah di bacakan mantra (tabas) untuk obat tetanus.

Etiologi penyakit yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib atau akibat kesalahan tidak hanya berkenaan dengan penyakit fisik melainkan juga mengenai

penyakit jiwa. Misalnya, menurut suku Pak-pak gila (gangguan kejiwaan) terjadi akibat guna-guna (i bahan kalak) yang masuk kedalam tubuh seseorang sebagai hukuman atas kesalahannya terhadap orang lain. Mirip dengan suku Jawa, penyakit semacam itu hanya bisa diobatai oleh dukun. Selain itu ada pula anggapan bahwa gila terjadi karena masuknya roh jahat (jin) kedalam tubuh seseorang, yang juga hanya bisa dikeluarkan oleh dukun (Swasono, 1996).

Dokumen terkait