Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai September 2011 sampai dengan Februari 2012.
Materi Sampel
Sampel darah sapi lokal Indonesia yang digunakan sebanyak 282 sampel terdiri atas sampel sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi Pesisir, dan sapi Katingan. Jumlah sampel dari masing-masing sapi lokal Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Sampel Ternak Sapi Indonesia
Ternak Sapi N Tahun Koleksi Asal
Sapi Pesisir 49 2006 Kab. Pesisir Selatan
Sapi Aceh 13 2010 Kab. Aceh Besar
Sapi Bali 102
2010 Balai Pembibitan
Ternak Unggul Sapi Bali
Sapi Katingan 50 2010 Daerah Aliran Sungai
Katingan
Sapi Madura 68 2011 Pulau Kangean
Total 282
Keterangan: N = jumlah individu Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW, NaCl, Proteinase- K, 1x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat), CIAA (klorofom iso amil alkohol), fenol, etanol absolut, etanol 70% dan buffer TE 80% (tris EDTA). Bahan yang digunakan dalam PCR-RFLP adalah air bebas ion
9 steril, sampel DNA, buffer, MgCl2, pasangan primer, enzim taq dan dNTP, enzim retriksi AluI dan buffer AluI. Bahan yang digunakan dalam elektroforesis adalah air destilasi, agarose, 0,5x TBE, EtBr, loading dye (0,01% Xylene cyanol, 0,01% Bromtimolblue, 50% gliserol), dan marker 100 bp. Bahan yang digunakan dalam
genotyping yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose 1% adalah sebagai berikut: agarose 0,3 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 μl EtBr.
Alat yang digunakan antara lain autoclave, satu set pipet mikro dan tipnya,
vortexmixer, alat sentrifugasi, refrigerator, dan freezer, tabung PCR, mesin PCR, satu set alat pencetak gel, power supply 100 volt, microwave, stearer, magnet stearer, gelas ukur, dan tabung erlenmeyer.
Prosedur Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada lima bangsa sapi berbeda, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan. Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vacutainer tabung vacum yang ditambahakan alkohol 70%. Sampel disimpan dalam termos es atau lemari es sampai akan digunakan lebih lanjut.
Ekstraksi DNA
Ektraksi DNA yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode Sambrook
et al. (1989). Sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70% diambil sebanyak 200 µl, kemudian ditambahkan 1000 μl DW. Sampel divortex lalu didiamkan selama 5 menit. Setelah itu disentrifuse pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit, lalu supernatan dibuang, dan diulangi seperti proses sebelumnya, kemudian ditambahkan 10 µl proteinase-K yang berfungsi untuk menghancurkan protein, 350 µl 1xSTE (sodium tris-EDTA) dan 40 µl 10% SDS (sodium dodesil sulfat) yang berfungsi untuk melisiskan membran sel. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 550C selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan alat pemutar (tilting).
Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu dengan menambahkan 40 µ l 5M NaCl, 400 µ l larutan fenol dan CIAA (chloroform iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama 1 jam. Molekul
10 DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase fenol dengan alat sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk fase DNA, diambil sebanyak 40 µl pada fase DNA untuk dipindahkan ke tabung baru 1,5 ml. Kemudian ditambahkan 5M NaCl sebanyak 40 µl dan etanol absolut sebanyak 800 µl. Molekul DNA kemudian dimalamkan (over night) pada suhu -200C.
Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang diperoleh dibuang. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci dengan menambahkan 70% etanol sebanyak 800 µl dan disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga didapatkan endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu endapan DNA disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Sekuen primer yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan Palmer et al. (1998), yaitu primer forward(AF146) 5’ TGGGGCCCAATGACGCCATCGATG 3’
yang terletak di ekson 1C dan primer reverse (AF147) 5’ GGTGGAGCAGCAC TTCTGATCACC 3’ yang terletak di ekson 1D (Gambar 3), dengan panjang produk PCR 624 pb.
Forward
1 tggggcccaa tgatgccatc gatgccttgt catccgactt cacctgcagt tcccctacag
61 ctgatgcaaa gaaaactgag aaagaggtat ggtttttaat gcccttaggg aagcttgtta 121 gaaactacct cccactttaa gacaacaact tttttttaaa cttcattttt cacttcactg 181 cgtcttcatt gctgtgttcg ggctttctct agttggggca agcgaggcct gttctctatt 241 tgcaattttt aggcttctgc agggggctcc tcttgttgct gggccggggc tctaggtgca 301 caggcttcat ttgttgtggc tcgagggctc taaaccacag gctcattggt cttggcgcac 361 gggcatggtt accccaatgc atttgggatc tcccctggcc agggagcaaa cctgtttccc 421 ctgcattgca aggcggcctc ttaaccgctg gccaccaggg aagccccaaa atgccaaggc 481 tttttacttc tggttcttac cgtttggttc atatttttcc ttcatctgcc agtcaaacct 541 tcttctgtat tttattttcc agaaatctac agaagaggct ttaaaagctc agtcagctgg 601 ggtgatcaga agtgctgctc cacc
Reverse
Keterangan :
: primer forward
: primer reverse
agct : situs pemotongan enzim AluI
Gambar 3. Posisi penempelan primer pada sekuen Gen Calpastatin CAST|AluI (Gen Bank Nomor Akses AF117813).
11 Amplifikasi DNA yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode Sambrook et al. (1989). Pereaksi untuk amplifikasi gen DNA secara umum dilakukan menggunakan campuran yang terdiri dari 1 µl sampel DNA yang sudah diekstraksi, 10,85 µl DW, 0,3 µl primer, 0,05 µl taq polymerase, 1,5µl buffer, 0,3 µl dNTP dan 1,00 µl MgCl2. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan kondisi suhu denaturasi awal 950C selama 5 menit, 35 siklus (denaturasi 950C selama 30 detik, annealing 600C selama 45 detik dan elongasi 720C selama 1 menit) dan elongasi akhir 720 C selama 5 menit.
Elektroforesis
Elektroforesis yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode Sambrook
et al. (1989). Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR pada gel agarose 1% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan cara memanaskan agarose 0.3 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5xTBE 30 ml selama 5 menit dalam microwave. Kemudian ditambahkan 2,5 μl EtBr pada saat distearer sampai didapatkan larutan jernih. Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam pencetak gel serta menempatkan sisir di dekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir dicabut sehingga akan terbentuk sumur- sumur yang digunakan untuk menempatkan sebanyak 5μl produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%). Gel ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah terisi larutan buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (migrasi) ke arah positif (anode). Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu dengan menarik garis lurus antara posisi pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin diukur dengan posisi pita DNA marker, kita dapat mengestimasi ukuran sampel DNA karena ukuran DNA pengukur telah diketahui.
Genotyping
Sebannyak 5 μl produk PCR dipindahkan ke dalam tabung 0,5 ml yang ditambahkan 1 μl DW, 0,3 μl enzim restriksi Alu1 dan 0,7 μl buffer AluI. Campuran tersebut diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37°C selama 16 jam. Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dielektroforesis pada gel agarose
12 2% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan visualisasi di bawah mesin UV-Transilluminator. Pita DNA yang muncul pada tahap ini dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjang pita tersebut. Genotipe gen
calpastatin ditentukan berdasarkan panjang pita DNA yang muncul (Gambar 4). Penentuan genotipe (genotyping) mengacu pada penelitian Kubiak et al. (2004) yang menghasilkan tiga genotipe yaitu GG, GC, dan CC. Genotipe GG ditunjukkan dengan satu fragmen (pita) DNA dengan panjang 324 pb. Genotipe GC ditunjukkan dengan dua fragmen DNA yaitu 324 dan 474 pb. Genotipe CC ditunjukkan dengan satu fragmen DNA sepanjang 474 pb.
M 1 2 3 Genotipe GG GC CC
Gambar 4. Penentuan Genotipe Gen Calpastatin. M = marker; 1-13 = Pemotongan dengan enzim AluI.
Rancangan dan Analisis Data
Keragaman genotipe pada masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita yang ditemukan. Masing-masing sampel dianalisis menggunakan pendekatan nilai frekuensi alel, frekuensi genotipe, dan nilai heterozigositas.
Frekuensi genotipe dan alel gen calpastatin dihitung berdasarkan rumus (Nei & Kumar, 2000) : Xi = Xii = Keterangan :
xii = frekuensi genotipe ke-ii
xi = frekuensi alel ke-i
nii = jumlah individu bergenotipe ii
13 N = jumlah individu sampel
Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He) dihitung menggunakan rumus (Weir, 1996) :
∑
∑
Keterangan :
Ho = heterozigositas pengamatan (populasi)
nij = jumlah individu heterozigot
N = jumlah individu yang diamati He = nilai heterozigositas harapan
P1i = frekuensi alel ke-I pada lokus I
n = jumlah alel pada lokus ke-I
Pengujian nilai genotipe antara hasil pengamatan dan nilai harapan dapat diukur dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (Nei dan Kumar, 2000):
∑
Keterangan:
X2 = Chi-Kuadrat O = nilai pengamatan E = nilai harapan
Σ = sigma (jumlah dari nilai-nilai)
Suatu popluasi dikatakan seimbang jika nilai X2 yang didapatkan lebih kecil daripada X2 tabel pada selang kepercayaan 5% dan derajat bebas tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|AluI)
Amplifikasi fragmen gen CAST|AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 600C selama 45 detik, dan diperoleh produk PCR dengan panjang 624 pb (Gambar 5). Sebanyak 282 sampel yang terdiri sampel sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan telah berhasil diamplifikasi dalam penelitian ini dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%.
(-)
624 pb
(+)
Keterangan : M=Marker DNA. Sumur 1-10= Produk Amplifikasi Gen CAST
Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. Suhu penempelan primer dalam penelitian ini adalah 60°C. Kondisi ini berbeda dengan suhu penempelan primer yang disarankan oleh Palmer et al. (1998) yaitu 62°C. Menurut Muladno (2002), suhu penempelan primer (annealing) berkisar antara 360C sampai dengan 720C, namun suhu yang biasa digunakan 50-600C. Suhu
annealing merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer yang digunakan pada titik pemotongan DNA selama proses amplifikasi berlangsung.
15 Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer DNA genom (gen target) dan kondisi mesin thermocycler. Selain itu, keberhasilan dalam mengamplifikasi DNA tergantung pada interaksi komponen campuran PCR (Palumbi, 1986). Menurut Al Soud dan Radstrom (2001) keberhasilan amplifikasi dipengaruhi oleh adanya hemoglobin yang dapat menghambat kerja enzim taq polymerase.
Penentuan Genotipe Gen Calpastatin
Penentuan genotipe dari gen CAST pada sapi lokal Indonesia dilakukan dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim rektriksi AluI. Enzim rektriksi AluI mengenali situs pemotongan AG|CT yang terletak di daerah intron 1 antara ekson 1C dan 1D. Pada penelitian ini menghasilkan tiga macam genotipe yaitu genotipe GG, GC, dan CC. Pada lokus CAST|AluI, ternak sapi dikatakan mempunyai genotipe GG apabila terdapat satu fragmen (pita) DNA dengan panjang 474 pb. Genotipe GC ditunjukkan dengan dua fragment DNA yaitu 474 dan 324 pb. Genotipe CC ditunjukkan dengan terdapatnya satu fragmen DNA yaitu 324 pb (Gambar 6).
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Genotipe GG GC GG GC GG GG GG GG GG GG GG GG GC GG GG (-)
(+)
Genotipe GG GC GC GG GC GG GG GG GG GG GC GG GG Keterangan : M: Marker 100 pb, 1-13: Sampel Sapi Lokal Indonesia
Gambar 6. Hasil PCR-RFLP Ruas Gen Calpastatin CAST|AluI pada Gel Agarose 2%.
16 Berdasarkan sekuen DNA ruas gen CAST yang diamplifikasi terdapat empat titik pemotongan AluI yang menghasilkan fragmen dengan panjang 61, 52, 474, 10, dan 27 pb yang dikenal dengan alel G, sedangkan alel C memiliki panjang fragmen 324 pb. Menurut Kubiak et al. (2004), keragaman gen calpastatin sapi disebabkan oleh adanya mutasi titik yang terjadi pada posisi antara basa ke-61 (SNP|AluI) ( nomor akses GenBank AF117813). Subtitusi G-C pada titik mutasi mengubah asam amino Serine menjadi asam amino Threonine (Ser-Thr). Kode AGC untuk serine (Ser) dan kode ACC threonine (Thr). Terjadinya subtitusi basa nitrogen (transversi) G – C menyebabkan munculnya situs pemotongan yang baru untuk enzim restriksi
AluI.
Mutasi yang terjadi pada fragmen gen CAST|AluI adalah mutasi subtitusi tipe transversi yaitu terjadi perubahan basa purin (guanin) menjadi basa pirimidin (sitosin). Mutasi transversi terjadi karena adanya subtitusi antara satu basa purin (adenin atau guanin) menjadi satu basa pirimidin (timin atau sitosin) ataupun sebaliknya. Menurut Palmer et al. (1998) terjadinya mutasi pada ruas gen CAST menyebabkan keragaman gen calpastatin yang mempengaruhi kualitas karkas domba, sedangkan pada sapi Angus jantan dapat mempengaruhi sifat pertumbuhannya (Chung et al., 1999).
Ternak sapi dengan genotipe homozigot (GG atau CC) berarti bahwa kedua tetua masing-masing menyumbangkan gen (alel) yang sama. Sapi dengan genotipe heterozigot (GC) menunjukkan bahwa ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetuanya. Keragaman gen CAST|AluI pada sapi lokal Indonesia ditunjukkan dengan jumlah genotipe yang muncul dari masing-masing bangsa (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi Jumlah Sampel Genotipe (n)
GG GC CC Sapi Bali 102 81 13 8 Sapi Madura 68 45 19 4 Sapi Pesisir 49 30 17 2 Sapi Aceh 13 8 5 0 Sapi Katingan 50 37 11 2 Total 282 201 65 16
17 Berdasarkan hasil identifikasi genotipe gen calpastatin pada bangsa sapi lokal Indonesia, ditemukan tiga macam genotipe yaitu GG, GC, dan CC pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Katingan, sedangkan pada sapi Aceh hanya ditemukan dua macam genotipe yaitu GG dan GC. Hasil penelitian Kubiak et al.
(2004) menunjukkan bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen CAST|AluI pada sapi Limousin, sapi Simmental, sapi Polish Friesian dan sapi Polish Red menghasilkan tiga genotipe yaitu GG, GC, dan CC, sedangkan pada sapi Red Angus, sapi Charolaise dan sapi Hereford menghasilkan dua genotipe yaitu GC dan CC.
Keragaman Gen Calpastatin
Hasil analisis frekuensi genotipe (GG, GC, dan CC) dan frekuensi ale (G, C) fragmen gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi N Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel GG GC CC G C Sapi Bali 102 0,794 0,127 0,078 0,858 0,142 Sapi Madura 68 0,662 0,279 0,059 0,801 0,199 Sapi Pesisir 49 0,612 0,347 0,041 0,786 0,214 Sapi Aceh 13 0,615 0,385 0,000 0,808 0,192 Sapi Katingan 50 0,740 0,220 0,040 0,850 0,150 Total 282 0,713 0,230 0,057 0,885 0,115 Keterangan: N = jumlah individu
Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe GG tinggi pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi genotipe CC rendah bahkan tidak ditemukan pada sapi Aceh. Genotipe CC tidak ditemukan mungkin disebabkan oleh seleksi atau perkawinan yang tidak acak (Bourdon, 2000). Hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa frekuensi genotipe CC tinggi ditemukan pada Red Angus, Charolaise, Limousin, dan Polish Red, sedangkan frekuensi genotipe GC tinggi ditemukan pada Simmental dan Polish Friesian. Frekuensi genotipe GC rendah ditemukan pada Red Angus, Charolaise, dan Polish Red, sedangkan frekuensi GG rendah ditemukan pada
18 Limousin, Simmental, dan Polish Friesian. Pada populasi Hereford, frekuensi genotipe CC dan GC seimbang (Tabel 5).
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel G tinggi ditemukan pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi alel C rendah pada kelima populasi sapi tersebut sehingga cenderung tidak terdapat perbedaan terhadap frekuensi alel. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa frekuensi alel Bos taurus tertinggi yaitu alel C dan terendah alel G (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bos taurus
Ternak Sapi N
Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel GG GC CC G C Red Angus 9 - 0,111 0,889 0,07 0,93 Charolaise 12 - 0,167 0,833 0,42 0,58 Limousin 10 0,100 0,300 0,600 0,25 0,75 Simmental 9 0,111 0,556 0,333 0,39 0,61 Hereford 8 - 0,500 0,500 0,25 0,75 Polish Friesian 84 0,214 0,417 0,369 0,42 0,58 Polish Red 7 0,286 0,143 0,571 0,36 0,64 Total 138 0,159 0,362 0,479 0,31 0,69 Keterangan: N = jumlah individu
Sumber : Kubiak et al. (2004)
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi yang terkait dengan penciri sifat khusus dan menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies (Hartl dan Clark, 1997). Menurut Li dan Graur (2000), keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe diantara subpopulasi.
19 Keragaman gen CAST|AluI pada kelima sapi Indonesia bersifat polimorfik dengan ditemukannya frekuensi alel kurang dari 0,99. Menurut Nei (1987), suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 atau lebih dari 1% (Nei dan Kumar, 2000). Tingginya frekuensi alel G pada semua populasi sapi lokal Indonesia diduga akibat seleksi dan manajemen perkawinan yang dilakukan oleh peternak. Seleksi merupakan suatu proses yang melibatkan kekuatan- kekuatan untuk menentukan ternak mana yang boleh berkembang biak pada generasi selanjutnya (Noor, 2010). Seleksi yang dilakukan peternak yaitu mempertahankan individu-individu yang memilki alel G dibandingkan dengan individu-individu yang memiliki alel C. Menurut Noor (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi gen adalah seleksi, mutasi, pencampuran populasi, silang dalam, silang luar dan
genetic drift.
Keseimbangan Gen dalam Populasi
Hasil uji chi-square (X2), terhadap genotipe fragmen gen CAST|AluI (Lampiran 4) menunjukkan bahwa frekuensi gen dalam keadaan seimbang pada populasi sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan. Ketidakseimbangan genotipe hanya terjadi pada populasi sapi Bali yang terdapat di Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali. Keseimbangan frekuensi genotipe pada sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan menunjukkan bahwa pada populasi tersebut tidak terjadi seleksi terutama seleksi yang dilakukan terhadap gen CAST, sebaliknya ketidakseimbangan frekuensi genotipe sapi Bali di Balai Pembibitan Ternak Unggul disebabkan oleh seleksi yang secara tidak langsung berhubungan dengan gen CAST.
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Suatu populasi dinyatakan dalam keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe (p2, 2pq, dan q2) dan frekuensi alel (p dan q) konstan dari generasi ke generasi akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak. Populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift (Noor, 2008).
20
Pendugaan Nilai Heterozigositas
Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He) gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi N Heterozigositas
Ho He Bali 102 0,127 0,244 Madura 68 0,279 0,318 Pesisir 49 0,347 0,337 Aceh 13 0,385 0,311 Katingan 50 0,220 0,255
Keterangan: N = jumlah individu
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas yang paling tinggi ditemukan pada sapi Aceh (0,385), sebaliknya nilai heterozigositas terendah ditemukan pada sapi Bali (0,127). Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih memiliki keterbatasan ukuran jumlah sampel yang digunakan terutama pada populasi sapi Pesisir, sapi Madura, sapi Aceh, dan sapi Katingan yang memiliki jumlah sampel relatif sedikit.
Menurut Diyono (2009), nilai heterosigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah alel dan frekuensi alel. Heterozigositas menggambarkan adanya variasi genetik pada suatu populasi. Semakin tinggi nilai heterozigositas pada suatu populasi maka tinggi pula variasi genetik pada populasi tersebut (Ferguson, 1980). Menurut Marson et al. (2005) pendugaan nilai heterozigositas dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik pada suatu populasi. Keragaman genetik dapat diukur secara akurat dengan nilai heterosigositas (ĥ) (Nei, 1987).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Pesisir dan sapi Aceh memiliki nilai heterosigositas pengamatan (Ho) yang lebih tinggi dari nilai heterosigositas harapan (He) dengan nilai Ho masing-masing 0,347 dan 0,385. Nilai heterosigositas harapan (He) lebih tinggi dari nilai heterosigositas pengamatan (Ho) ditemukan pada sapi Bali, sapi Madura dan sapi Katingan. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam
21 (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Tambasco et al. (2003) juga menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan indikasi adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari proses seleksi yang intensif (Machado et al., 2003). Menurut Moioli et al. (2004) nilai heterozigositas harapan (He) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menunjukkan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Keragaman gen calpastatin (CAST|AluI) pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan bersifat polimorfik. Identifikasi genotipe gen
calpastatin pada bangsa sapi lokal Indonesia, ditemukan tiga macam genotipe yaitu GG, GC, dan CC pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Katingan, sedangkan pada sapi Aceh hanya ditemukan dua macam genotipe yaitu GG dan GC. Proporsi genotipe GG lebih tinggi pada semua populasi sapi Indonesia, sehingga alel G dapat dijadikan sebagai salah satu alel (penciri) spesifik pada semua bangsa sapi Indonesia.
Saran
Penelitian tahap lanjut dapat dilakukan mengenai hubungan polimorfisme gen CAST dengan kualitas karkas pada sapi lokal Indonesia.