• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian genotipe dan fenotipe ayam hutan merah (Gallus gallus gallus)

dan ayam kampung (Gallus gallus domesticus) di Watutela dan Ngatabaru Sulawesi Tengah telah dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Tengah yaitu di lokasi Watutela dan Ngatabaru selama empat bulan mulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2006.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian. Watutela

Materi dan Alat Penelitian Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah ayam hutan merah dan ayam kampung berasal dari lokasi Watutela dan Ngatabaru Sulawesi Tengah. Ayam hutan merah berjumlah 54 ekor, diperoleh dari Watutela 28 ekor (15 ekor jantan dan 13 ekor betina) dan di Ngatabaru 24 ekor (13 ekor jantan dan 11 ekor betina). Ayam lokal berjumlah 119 ekor, diperoleh dari Watutela 60 ekor (30 ekor jantan dan 30 ekor betina) dan Ngatabaru 59 ekor (29 ekor jantan dan 30 ekor betina). Peralatan

Peralatan yang digunakan: timbangan duduk dengan kapasitas 2 kg, pita ukur, jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm, handycam, dan foto kamera,

global position sistem (GPS), kompas, alat ukur (pita ukur), binoculer, kantung plastik, tenda dan peta lokasi serta alat tulis menulis.

Metode Penelitian Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi dilakukan secara purposive sampling, yaitu dengan memilih dua lokasi yaitu Watutela dan Ngatabaru sebagai lokasi sampel dari 5 lokasi yang ada disekitar Taman Hutan Raya (TAHURA) Palu.

Orientasi Lapangan (survei awal)

Orientasi lapangan ini dilakukan di dua lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran awal kondisi habitat dan mengenal kondisi lapangan. Setelah itu dilakukan pengamatan langsung dilapangan berdasarkan informasi masyarakat setempat tentang keberadaan ayam hutan merah di lokasi penelitian untuk pengambilan data selanjutnya.

Habitat. Pada pengamatan ini peneliti mengamati tempat-tempat yang sering ditemui ada ayam hutan merah, baik melalui informasi masyarakat maupun hasil survei dilapangan, kemudian mencatat kondisi habitat dan aktivitas masyarakat di sekitar tempat tersebut.

19 Survei Masyarakat. Untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam

pemanfaatan hutan dan sikap terhadap keberadaan ayam hutan, maka

dilakukan survei dengan metode wawancara semi terstruktur. Wawancara ini dirancang dalam bentuk borang untuk mendapatkan jawaban secara terbuka. Penentuan responden tidak dilakukan secara acak, tetapi dengan melakukan pemilihan atas responden berdasarkan pendidikan, pekerjaan, umur dan yang terutama mempunyai akses terhadap hutan. Survei masyarakat ini akan ditambah dari data sekunder yang berasal dari kepala desa, dan survei pasar yang akan dilakukan pada beberapa desa di sekitar lokasi penelitian. Hasil wawancara semi terstruktur dianalisis secara deskriptif.

Cara Pengumpulan Data

Pengamatan fenotipe ayam hutan dan ayam kampung. Data kuantitatif yang diamati meliputi pengukuran tubuh yang terdiri atas bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang cakar (tarsometatarsus), lingkar cakar, panjang sayap, panjang jari ketiga, panjang bulu ekor, panjang tubuh total, tinggi jengger, panjang paruh atas dan panjang paruh bawah, pengukuran dilakukan pada tubuh bagian sebelah kanan.

Sifat Kuantitatif yang diamati :

1) bobot badan, diukur dengan menggunakan timbangan (satuan gram),

2) panjang paha, merupakan panjang tulang femur yaitu dari persendian tulang pangkal paha sampai dengan persendian pangkal atas tulang tibai, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm),

3) panjang betis, merupakan panjang tulang tibia yaitu dari persendian pangkal tulang atas tulang tibia sampai dengan persendian bawah tulang tibia, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm),

4) panjang cakar, merupakan panjang tulang metatarsus yaitu dari persendian bagian bawah tulang tibia sampai dengan persendian awal jari tengah, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm),

5) lingkar cakar, merupakan keliling dari cakar yang diukur pada pertengahan tulang metatarsus dengan menggunakan pita ukur (satuan mm),

6) panjang sayap, merupakan jarak antara pangkal tulang humerus sampai tulang

phalanges, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm),

7) panjang jari ketiga, merupakan jarak antara pangkal tarsometatarsus dengan ujung jari tengah, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm), 8) panjang bulu ekor, awal bulu ekor sampai bulu ekor terpanjang, diukur

dengan menggunakan pita ukur (satuan mm),

9) panjang tubuh total, panjang tubuh dari ujung paruh sampai ujung ekor (posisi leher lurus), diukur dengan menggunakan pita ukur (satuan mm),

10)tinggi jengger, jarak antara pangkal bawah jengger dengan pangkal atas jengger, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm),

11)paruh atas (Culmen), jarak antara pangkal maxilla sampai ujung maxilla,

diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm), dan

12) paruh bawah (Gape), jarak antara pangkal mandibula sampai ujung mandibula, diukur dengan menggunakan jangka sorong (satuan mm).

Pengukuran ukuran-ukuran tubuh ayam dilakukan berdasarkan sistem kerangka (skeletal system) menurut Jull (1951), seperti yang tertera pada Gambar 4.

21

Pengamatan genetik. Data kualitatif yang diamati meliputi warna bulu, bentuk jengger dan warna cakar.

Warna Bulu

1) individu dengan warna dasar hitam polos digolongkan pada fenotipe polos membawa gen berwarna (i) dan gen (E),

2) individu dengan bulu seperti garis-garis memanjang dipunggung digolongkan pada fenotipe warna bulu tipe liar, membawa gen pola warna bulu tipe liar (e+),

3) individu dengan bagian ujung ekor dan ujung sayap berwarna hitam digolongkan pada fenotipe warna bulu pola kolombian, membawa gen pola warna bulu kolombian (e),

4) individu dengan warna bulu hitam dengan totol-totol putih atau sebaliknya digolongkan pada fenotipe warna bulu lurik, membawa gen pola warna bulu lurik (B), dan

5) individu dengan warna kerlip bulu keperakan dan keemasan masing-masing membawa gen bulu kerlip keperakan ( S) dan keemasan (s).

Bentuk Jengger

1) individu dengan jengger ros digolongkan pada fenotipe bentuk jengger ros (R_pp),

2) individu dengan jengger kapri digolongkan pada fenotipe bentuk jengger kapri (rrP_), dan

3) individu dengan jengger tunggal digolongkan pada fenotip bentuk jengger tunggal (rrpp).

Warna Cakar (shank)

1) individu dengan cakar berwarna putih/kuning digolongkan pada fenotipe warna cakar berwarna putih/kuning (Id_), dan

2) individu dengan cakar berwarna hitam digolongkan pada fenotipe warna cakar hitam/abu-abu (idid_).

Pengumpulan Data Jenis Pakan

Untuk mengetahui jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsi ayam hutan merah dilakukan analisis krop. Tiga ekor ayam hutan merah yang baru di

23 ; ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( 2 1 2 2 2 2 1 2 − + − − + − = n n S n S n S

tangkap dari lokasi Watutela diambil temboloknya, tembolok tersebut ditimbang, setelah itu tembolok dibedah dan isi tembolok di timbang, kemudian dilakukan pencacatatan terhadap jenis-jenis bahan pakan.

Analisis Data Fenotipe Sifat Kuantitatif

Ukuran dan Bentuk Tubuh. Data sifat-sifat kuantitatif berupa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh ayam hutan merah dan ayam kampung dianalisis secara statistik. Uji t digunakan pada masing-masing populasi yang berbeda dan memiliki ragam yang tidak sama, seperti yang disarankan oleh Steel dan Torrie (1995). ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − = 2 2 2 1 2 1 2 1 n S n S ) X X ( t ;

Dengan persamaan ragam:

+ ⎟⎟ + = 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 2 1 1 n n S 1 n n S n S n S db

Keterangan: t = nilai t-hitung 1

X = rataan populasi pertama 2

X = rataan populasi kedua

n1 = jumlah individu pada kelompok pertama n2 = jumlah individu pada kelompok kedua S2 = varian gabungan

S12 = varian populasi pertama S22 = varian populasi kedua db = derajat bebas

Hasil Uji t diperjelas dengan Analisis Komponen Utama (AKU) untuk memberikan diskriminasi terhadap ukuran dan bentuk tubuh ayam hutan merah dan ayam kampung jantan dan betina. AKU yang digunakan pada penelitian ini menurut Gaspersz (1991) sebagai berikut:

Yj = a1jX1+ a2jX2+ a3jX3+…+ a11jX11

Keterangan:

Yj = komponen utama ke-j (j=1,2; 1=ukuran, 2=bentuk) X1,2,3,…11 = peubah ke 1,2,3,….11

a1j,2j,3j…11j = vektor eigen peubah ke-1,2,3,…11 dengan komponen utama ke-j.

Pengolahan data dibantu dengan menggunakan paket perangkat lunak statistik yaitu Minitab Release 14. Penyajian gambar juga menggunakan perangkat lunak tersebut.

Hubungan keeratan (korelasi) antara Yj (1 = ukuran, 2 = bentuk) dan Xi (1 = panjang betis, 2 = panjang paha, 3 = panjang cakar, 4 = lingkar cakar, 5 = panjang sayap, 6 = panjang jari ketiga, 7 = panjang bulu ekor, 8 = panjang tubuh total 9 = tinggi jengger, 10 = panjang paruh atas, 11 = panjang paruh bawah) dihitung dengan menggunakan rumus yang disarankan oleh Gasperz (1991) sebagai berikut: i ij ij ij ZiYj S a r r λ = = ; Keterangan:

rZiYj = koefisien korelasi peubah ke-i dan komponen utama ke-j. aij = vektor Eigen peubah ke-i dengan komponen utama ke-j. λij = nilai Eigen (akar ciri) komponen utama ke-j.

S1 = simpangan baku peubah ke-i.

Nilai Eigen (λi) merupakan jumlah kuadrat dari masing-masing korelasi antara komponen utama dan peubah (rZiYj) dapat diperoleh dari rumus

Gaspersz (1991):

λ1 = r2Z1Y1+ r2Z2Y1+ r2Z3Y1+ ….+ r2ZnY1

Everitt dan Dunn (1991) menyatakan bahwa nilai kovarian dan peubah-peubah dengan j buah komponen dapat diperoleh dengan rumus:

25 = λj aj.

Fenotipe Sifat Kualitatif

Data sifat-sifat kualitatif berupa warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger dianalisis secara deskriptif berdasarkan frekuensi fenotipenya. Frekuensi fenotipe warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger dihitung berdasarkan pada jumlah fenotipe yang muncul dibagi dengan jumlah seluruh individu ayam yang diamati dikali 100%.

Analisis genetik

1. Frekuensi gen dominan dan resesif dihitung berdasarkan rumus Nishida et al.

(1980):

q = 1 – (R/N)1/2 p = 1 – q

Keterangan:

q = frekuensi gen dominan otosomal

R = jumlah individu dengan ekspresi resesif (homozigot resesif) N = jumlah total individu yang diamati

p = frekuensi gen resesif otosomal

2. Frekuensi gen dominan terkait kelamin dihitung berdasarkan rumus Nishida

et al. (1980):

2N♂ N♀

q = q♂ + q♀ 2N♂ + N♀ 2N♂ + N♀

Keterangan:

q♂ = frekuensi gen dominan pada kelompok jantan q♀ = frekuensi gen dominan pada kelompok betina N♂ = jumlah individu jantan

N♀ = jumlah individu betina

3. Frekuensi gen alel ganda dihitung berdasarkan rumus Stanfield (1983): r = √r2

p = 1 – q – r Keterangan:

p = frekuensi gen alel I q = frekuensi gen alel II r = frekuensi gen alel III Keragaman Genetik

Pendugaan nilai keragaman genetik dihitung dengan menggunakan rumus heterozigositas (h) dan rataan heterozigositas (H) menururt Nei (1987). Frekuensi alel dihitung dengan rumus: Xi = [ Xii / ( ∑Xij ) ] x 100%

Keterangan:

Xi = frekuensi alel ke-i, Xii = jumlah alel ke-i, dan Xij = jumlah seluruh alel.

Nilai heterozigositas (h) merupakan ukuran keragaman genetik pada populasi yang kawin acak. Nilai ini dihitung berdasarkan frekuensi alel di setiap lokus rumus :

h = 1 - ( ∑Xi2 ) dan H = 1 - ( ∑Xi2 ) / r Keterangan:

Xi = frekuensi alel ke-i, dan r = jumlah lokus yang diamati. Kesamaan dan Jarak Genetik

Pendugaan kesamaan genetik (I) dan jarak genetik (D) dihitung dengan menggunakan rumus Nei (1987) sebagai berikut:

I = [ ∑qij x qik / (∑ q2ij xq2ik )1/2 ] D = -Ln (I)

Keterangan:

qij = frekuensi gen pada lokus ke-i kelompok ayam ke-j, dan qik = frekuensi gen pada lokus ke-i kelompok ayam ke-k.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis

Watutela masuk dalam Wilayah Pemerintahan Kota Palu dan Ngatabaru masuk dalam Wilayah Kabupaten Donggala. Wardana (2004) menggambarkan secara geografis Watutela dan Ngatabaru terletak diantara 0o48’ – 0o59’ lintang selatan dan 119o54’ – 120o00’ bujur timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1) sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Palu Utara, 2) sebelah Barat berbatasan dengan Kota Palu,

3) sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Biromaru, dan 4) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong. Topografi

Dusun Watutela masuk dalam Wilayah Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur Kota Palu, Sedangkan Desa Ngatabaru masuk dalam Wilayah Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala. Keadaan tanah menurut bentuk permukaan tanah di Kelurahan Tondo yaitu yaitu 50% dataran, 40% perbukitan, 10% pegunungan dan ketinggian dari permukaan laut 2,5 -310,0m dari permukaan laut (dpl), sedangkan di Desa Ngatabaru yaitu 80% dataran, 15% perbukitan, 5% pegunungan dan ketinggian dari permukaan laut 200-300m dpl.(BPS,2004). Keadaan Iklim

Kawasan TAHURA memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Musim panas terjadi antara bulan April – September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober –Maret .

Suhu udara rata rata tertinggi terjadi pada bulan Maret, dan Oktober (28,1°C) dan suhu udara terendah terjadi pada bulan Pebruari (25,4°C). Kelembaban udara berkisar antara 70–82%. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Mei yang mencapai 82%, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Maret yaitu 70%.

Curah hujan tertinggi tahun 2005 terjadi pada bulan Juni 6,5 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada Februari yaitu 0,66 mm. Kecepatan angin rata-rata berkisar antara 3 – 5 knots. Tahun 2005 arah angin terbanyak datang dari arah Utara, kecuali pada bulan Juni dan Juli datang dari arah Barat Laut (BPS 2005).

Potensi Peternakan

Populasi beberapa jenis ternak di lokasi penelitian di sajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Populasi beberapa jenis ternak yang dipelihara/digembalakan di sekitar/dalam kawasan TAHURA

Jenis Ternak (Ekor)

Desa/Kelurahan

Sapi Kuda Kambing Domba Ayam kampung Ayam Ras Petelur Tondo/Watutela 425 14 875 180 1300 56500 Ngatabaru 35 - 500 128 500 - Sumber: BPS (2004).

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi ternak kuda hanya di jumpai di Kelurahan Tondo dalam jumlahnya kecil, sedangkan ternak sapi dijumpai di Tondo dan Ngatabaru dalam jumlah yang besar. Populasi ternak kambing lebih besar dibanding populasi ternak domba. Ternak ayam ras petelur hanya di jumpai di Kelurahan Tondo (Watutela) dan mempunyai populasi yang lebih besar dibanding ayam kampung.

29

Dokumen terkait