• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian... 31 Materi Penelitian... 31 Hewan Percobaan... 31 Alat dan Bahan ... 32 Pakan Rusa Percobaan... 33 Metode Penelitian... 33 Adaptasi Rusa Calon Percobaan ... 35 Perlakuan Sinkronisasi ... 35 Pelaksanaan Inseminasi Buatan... 36 Diagnosa Kebuntingan... 38

Peubah yang Diamati ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN... 40 SIMPULAN DAN SARAN ... 53

Simpulan ... 53 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54 LAMPIRAN ... 61

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya ... 6 2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa

rusa tropis dan temperat ... 14 3 Lama kebuntingan dan calving interval pada rusa tropis dan

temperat ... 22 4 Gejala-gejala estrus sebagai parameter pada rusa betina ... 35 5 Parameter gejala estrus pada rusa betina, dibagi ke dalam tiga

kriteria intensitas (rendah, sedang dan tinggi) ... 36 6 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan

PMSG terhadap onset estrus ... 42 7 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan

PMSG terhadap lama estrus ... 43 8 Lama dan intensitas estrus setelah perlakuan ... 44

9 Inseminasi berdasarkan waktu IB dan kriteria intensitas estrus ... 44

10 Hasil pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya setelah IB... 46

11 Deteksi estrus dan gambaran hasil USG pada rusa 60 hari setelah IB ... 47

12 Hasil analisa metabolit hormon progesteron pada rusa percobaan

tidak estrus dan rusa betina estrus ... 49

13 Satu ekor bunting hasil pemeriksaan dengan USG, didukung dengan

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Organ reproduksi rusa timor jantan ... 8 2 Organ kelamin betina utuh ... 10 3 Model sistem refleksi pulsa (probe) ... 24 4 Kandang kelompok percobaan untuk perlakuan proses adaptasi, sinkronisasi dan pelaksanaan IB... 31

5 Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang

kelompok... 32

6 Alat inseminasi yang digunakan dalam pelaksanaan IB rusa

Percobaan... 33 7 Alur kegiatan pelaksanaan IB rusa timor ... 34 8 Jadwal kegiatan pelaksanaan IB 24 jam (n=3) dan 30 jam (n=3)

hasil sinkronisasi berdasarkan onset estrus dan diagnosa kebuntingan dengan teknik USG dan analisa metabolit hormon progesteron... 37

9 (A) Probe yang digunakan diagnosa kebuntingan dengan cara

trans abdominal dan (B) alat USG (Aloka SSB 500)... 38

10 Memasang CIDR-G pada rusa perlakuan menggunakan aplikator

dalam kandang jepit... 41

11 Hasil pemeriksaan dengan USG umur kebuntingan 60 hari terdeteksi adanya cairan amnion dalam uterus... 47

LAMPIRAN

Halaman

1 Jadwal kegiatan pelaksanaan IB di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selama 12 bulan dari Desember 2005 sampai dengan

Desember 2006... 61

2 Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang

Kelompok... 62

3 Pengamatan gejala estrus dari mulai CIDR-G dicabut sampai awal muncul estrus (onset) dan lama berlangsung gejala estrus

sampai gejala estrus tidak tampak lagi (hilang) pada rusa timor

hasil sinkronisasi... 63 4 Inventarisasi gejala estrus yang ditampakkan oleh enam ekor

rusa betina perlakuan selama tiga hari berturut - turut dari jam

06.00 - 18.00 wib... 64 5 Prosedur pelaksanaan IB, waktu 24 jam dan 30 jam setelah

onset estrus ... 67 6 Hasil pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan USG... 68 7 Hasil uji iP4 pada rusa percobaan tidak estrus dan rusa betina estrus

sebagai pembanding level progesteron ……….. 71

8 Hasil perhitungan konsentrasi hormon progesteron feses kering dalam satuan ng/ml dikonversikan menjadi µg/g pada rusa tidak

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberadaan dan populasi rusa pada berbagai tempat di Indonesia sangat bervariasi. Dari beberapa laporan menyatakan bahwa populasi rusa dari waktu ke waktu terus menunjukkan tren menurun. Hal ini disebabkan karena masih banyak dijumpai masyarakat melakukan perburuan untuk memanfaatkan dagingnya. Disamping itu, disebabkan oleh kerusakan hutan yang mempersempit habitat utama rusa.

Pengembangbiakan rusa di luar habitatnya yang dilakukan melalui teknologi reproduksi disamping sebagai salah satu upaya untuk konservasi mencegah kepunahan juga untuk meningkatkan pemanfaatan rusa sebagai ternak harapan sumber protein hewani. Teknologi reproduksi yang praktis dan paling populer diterapkan pada beberapa komoditas hewan domestik adalah inseminasi buatan (IB). Penelitian mengenai penerapan teknologi reproduksi, khususnya IB rusa di Indonesia masih dilakukan. Pada skala terbatas di Kalimantan Timur telah diuji coba penerapannya sebagai proyek percontohan peternakan rusa (Semiadi 2002). Demikian juga penelitian mengenai prosesing semen untuk ketersediaan semen beku guna kepentingan IB pada rusa belum banyak dilakukan.

Di Indonesia standar keberhasilan IB pada spesies rusa (cervidae) belum ada, karena selain rusa merupakan komoditas ternak baru, juga masih sedikitnya informasi tentang sifat fisiologis dan pola reproduksinya. Keberhasilan IB pada spesies kelompok cervidae masih rendah karena informasi mengenai siklus reproduksi, waktu ovulasi dan manipulasi estrus pada rusa betina belum memadai. Selain itu belum diperoleh metode yang aman untuk koleksi semen, metode penyimpanan semen, deposisi semen dan ketepatan waktu inseminasi pada saluran organ reproduksi betina masih dikembangkan.

Dalam pelaksanaan IB diperlukan waktu optimum kawin yang dapat ditentukan dari gejala estrus dan perkiraan waktu ovulasi. Untuk memperkirakan waktu ovulasi pada rusa dilakukan dengan mengadopsi waktu ovulasi pada domba (Plotka 1980), yaitu 14 jam setelah puncak luteinizing hormone (LH). Sementara puncak LH terjadi bersamaan dengan terjadinya puncak estrogen, sehingga

pelaksanaan waktu IB pada rusa dapat dilakukan 48 jam setelah pencabutan implan CIDR-G (Controlled Internal Drug Release Goat).

Hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi IB pada rusa betina adalah proses sinkronisasi estrus dengan menggunakan CIDR-G dan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Penggunaan CIDR-G dimaksudkan untuk sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan menghambat pengeluaran LH dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif. Keserentakkan estrus dapat dicapai dengan memasukkan CIDR-G ke dalam vagina selama 14 hari. Dua hari sebelum pencabutan CIDR-G, dilakukan penyuntikkan intramuskuler dengan PMSG untuk menstimulir terjadinya folikulogenesis dan pematangan folikel. PMSG memiliki aktivitas biologis menyerupai FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH, namun lebih dominan peranan FSH-nya. Pemberian PMSG dimaksudkan untuk memperjelas pengaruh FSH dan LH endogen dalam penyerentakan estrus apabila diberikan sebelum CIDR-G dicabut.

Penerapan teknologi IB pada rusa telah banyak dilaporkan dengan berbagai metode, yaitu metode intravaginal, intraservikal dan intrauterin. Inseminasi intraservikal dilakukan dengan menggunakan bantuan alat spekulum untuk memudahkan melihat dan mengarahkan gun IB ke arah cervix. IB secara intraservikal atau intrauterin menggunakan semen cair atau semen beku diperoleh angka konsepsi kurang dari 30 % (Drajat 1997).

Pemeriksaan kebuntingan dini dapat dilakukan melalui teknik USG pada umur kebuntingan kurang lebih tiga minggu. Pemeriksaan kebuntingan dapat juga dilakukan uji hormon progesteron atau metabolitnya dalam feses, plasma darah atau urin. Dalam mendiagnosa kebuntingan teknik USG pernah dilakukan pada rusa fallow, rusa merah dan rusa totol dengan tingkat keberhasilan yang cukup baik. Untuk memperkuat diagnosa dengan USG tersebut analisa metabolit hormon progesteron (P4) dalam feses atau urin dapat dilakukan. Konsentrasi P4 kurang dari 20 ng/ml dinyatakan tidak bunting, sedangkan lebih dari 20 ng/ml menunjukkan kebuntingan (Anonimous 1996). Hamasaki et al. (2001) melaporkan bahwa pada pertengahan dan akhir periode kebuntingan pada rusa sika (Cervus nippon) dengan analisa feses steroid diperoleh konsentrasi progesteron meningkat secara signifikan pada rusa bunting dibanding rusa tidak bunting.

Kerangka Pemikiran

Suatu keberhasilan dalam pelaksanaan IB pada rusa bergantung pada intensitas estrus dan gejala estrus yang dapat dilihat dari luar. Selain itu adanya gejala diam dinaiki oleh sesama betina merupakan gejala yang dapat diandalkan untuk penentuan waktu IB. Namun demikian seringkali tidak ditemukan gejala estrus yang optimal. Pemberian CIDR-G secara intravaginal dimaksudkan untuk mensinkronisasi estrus antar betina perlakuan dan meningkatkan intensitas estrus melalui mekanisme umpan balik negatif terhadap LH dari hipofisis anterior. Pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan CIDR-G untuk memperkuat FSH dan LH endogen, sehingga pada saat dilepas akan terjadi lonjakan LH. Dengan demikian rusa-rusa betina perlakuan akan menampakkan gejaja-gejala estrus secara bersamaan beberapa hari kemudian dan diharapkan mempunyai intensitas estrus yang optimal. Disamping itu keberhasilan pelaksanaan IB, juga bergantung pada proses adaptasi rusa terhadap lingkungan pemeliharaan.

Pemeriksaan kebuntingan setelah IB dapat dilakukan dengan teknik USG, yaitu pada umur kebuntingan kurang lebih satu bulan dengan melihat keberadaan cairan amnion dan fetusnya di dalam uterus. Selain itu diagnosa kebuntingan dapat dilakukan dengan pengukuran konsentrasi metabolit hormon P4 pada umur kebuntingan 120 hari setelah IB.

Analisa metabolit hormon P4 dari contoh feses lebih dipilih karena lebih praktis dibandingkan dengan dari contoh urin. Untuk lebih pasti, maka pengambilan feses dapat dilakukan pada perkiraan umur kebuntingan 120 hari (trimester kedua) karena mudah dalam pendeteksian konsentrasi progesteron. Garrott et al. (1998) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa untuk mendapatkan hasil yang akurat dicoba membuat koleksi sampel untuk mendiagnosa kebuntingan, yaitu dengan mengumpulkan 153 feses secara acak dari kijang betina dewasa di Yellowstore National Park (Wyoming, USA) dan dari kijang tangkapan di Starkey Research Facility (La Grande, Oregon, USA). Diperoleh hasil dari penelitiannya dengan uji radio immunoassay (RIA) menunjukkan, bahwa rata-rata kurang lebih 50 progestagen (P4) meningkat secara signifikan pada kijang yang bunting (2,96±1,49 µ/g) dibandingkan dengan kijang yang tidak bunting (0,43±0,26 µ/g).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk :

1. Mendapatkan informasi bagaimana IB dilaksanakan pada rusa dengan penentuan waktu IB yang lebih tepat.

2. Mengetahui keberhasilan kebuntingan melalui gambaran USG dan analisa metabolit hormon progesteron dari feces.

Kegunaan Penelitian 1. Mendapatkan standar pelaksanaan IB pada rusa.

2. Mendapatkan gambaran besarnya konsentrasi metabolit hormon progesteron dari feses sebagai patokan hasil kebuntingan dibandingkan dengan yang bersiklus atau tidak bunting.

Hipotesis

1. Intensitas estrus yang tinggi akan menghasilkan kebuntingan lebih baik dibandingkan dengan intensitas estrus sedang.

2. Diperolehnya perbedaan persentase hasil kebuntingan oleh IB pertama berdasarkan pelayanan waktu IB 24 jam dan 30 jam setelah onset estrus.

TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor

Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus, yaitu rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) dan satu dari genus Axis, yaitu rusa bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik (asli) dan rusa totol (Axis axis) sebagai jenis eksotik yang didatangkan dari Srilangka dan India (Sudirman 1986). Selain itu ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae (Drajat 1994).

Ciri-ciri rusa timor adalah kulit berwarna coklat kemerah-merahan, rusa jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Pada umumnya rusa betina berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan rusa jantan dewasa antara 60 kg dan 100 kg, panjang badan berkisar 1,95–2,10 m, tinggi badan 1,00–1,10 m dan tinggi tumit 0,29–0,35 m. Panjang tengkorak jantan 0,320–0,350 m dan betina 0,290–0,320 m. Panjang ranggah jantan dapat mencapai 0,87 m dan ranggah bercabang sesuai dengan pertambahan umur. Drew et al. (1982) melaporkan ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dengan ukuran kaki lebih kecil, sedangkan Syarif (1974) menyatakan rusa timor betina mempunyai ciri berbadan ramping dengan warna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap, dengan bobot badan rata-rata 45-60 kg.

Rusa secara umum tergolong hewan poliestrus bermusim, yaitu dalam satu musim kawin dapat menunjukkan beberapa kali gejala estrus. Hanya dalam musim kawin, rusa betina bersedia untuk kawin. Pola kawin bermusim ini terutama dikenal pada rusa-rusa yang hidup pada lingkungan temperat atau sub tropis, karena aktivitas reproduksinya berkaitan erat dengan fotoperioditas. Untuk rusa-rusa asal daerah tropis, hasil penelitian awal menunjukkan aktivitas reproduksinya cenderung tidak berhubungan dengan keadaan fotoperioditas (Semiadi 1993; Wilson 1984), sehingga dapat dinyatakan tidak bermusim. Meskipun demikian, beberapa peneliti melaporkan rusa sebagai hewan yang mempunyai musim kawin. Untuk rusa timor di habitat alaminya di Indonesia gejala estrusnya terlihat antara bulan Juli sampai September. Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di

hutan-hutan yang lebat dan termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari. Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompok- kelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya. Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup sampai ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (der Zon 1979). Sebagai hewan herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan; buah-buahan, singkong, kulit pisang, jagung dan berbagai jenis rumput.

Keunggulan hewan rusa sebagai satwa liar lebih mudah diternakkan dibandingkan dengan satwa liar lainnya. Menurut Badarina (1995), selain dapat diternakkan dalam kelompoknya, rusa dapat juga dipelihara bersama ternak kambing. Teknik beternak kambing ataupun domba, dapat juga digunakan untuk pemeliharaan ternak rusa. Rusa mudah beradaptasi, menyukai rumput dan hampir semua jenis daun-daunan. Dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya, rusa lebih tahan terhadap kekurangan air dan daya tahan rusa terhadap penyakit sangat tinggi sehingga tingkat kematian sangat rendah.

Rusa sebagai ternak yang diharapkan mampu memproduksi daging dinilai dari perbandingan berat karkas dan berat hidup. Karkas pada rusa lebih tinggi yaitu sekitar 56–62 % dibanding dengan karkas sapi, yaitu sekitar 51–55 % dan domba sekitar 44–50 % (Anderson 1984; Haigh dan Hudson 1993 dalam Subekti 1995; Semiadi 1998b; Drew 1985; Sarwiyono 2000; dalam Nalley 2006). Selanjutnya dikatakan Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa dari segi kandungan gizi, daging rusa timor tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi, ayam dan itik (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Kolesterol (mg/kg) Kalori/ 100 g Rusa timor Sapi Ayam Itik 24,5 18,3 18 18,3 0,33 18,9 9 19 0,2 0,9 1,1 1,3 74 95 90 70 545 217 129 -

Sumber: Anonimous 2002 dalam Semiadi dan Nugraha 2004.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut di atas, kelebihan yang tidak dimiliki pada ternak lain adalah kemampuan rusa menghasilkan ranggah velvet

(kulit halus pembungkus ranggah) pada awal pertumbuhannya. Ranggah velvet adalah ranggah muda yang masih diselimuti oleh kulit halus berbulu dan vaskuler yang fase pertumbuhannya belum memasuki fase klasifikasi (penulangan). Velvet ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena kegunaannya dalam bidang pengobatan tradisional. Fase ranggah velvet merupakan setengah dari fase pertumbuhan ranggah sebelum menjadi keras. Di Cina, velvet telah dimanfaatkan lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk pengobatan. Satu batang (stick) velvet mempunyai fungsi yang berbeda antar bagiannya. Bagian atas velvet berguna untuk bahan pemacu pertumbuhan (promote growth), bagian tengah digunakan untuk pengobatan arthritis dan osteonyelitis, sedangkan bagian paling bawah digunakan untuk pengobatan defisiensi kalsium terutama pada orang dewasa (Anonimous 2001 dalam Nalley 2006).

Anatomi Organ Reproduksi Organ Reproduksi Rusa Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Steward (1983); Pramono (1988) dalam Nalley (2006) memberikan gambaran tentang anatomi rusa jantan, khususnya pada rusa merah. Anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.

Hasil penelitian Nalley (2006) memperlihatkan, bahwa ukuran organ reproduksi rusa timor jantan relatif hampir sama dengan ukuran organ reproduksi ternak domestik lainnya seperti domba dan kambing (Gambar 1). Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testesnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi

spermatozoa lebih tinggi. Kemiripan ukuran kelenjar kelamin pelengkap pada domba dan rusa timor juga berhubungan erat dengan volume semen yang dihasilkan pada umumnya sangat sedikit, karena fungsi dari kelenjar pelengkap adalah menghasilkan plasma semen (Toelihere 1985) dalam Nalley (2006). Perbedaan anatomis juga terlihat jelas pada organ reproduksi rusa jantan dengan tidak terdapatnya lengkungan huruf S (flexura sigmoidea) pada bagian corpus penis yang merupakan ciri khas ternak ruminansia pada umumnya. Haigh dan Hudson (1993) dalam Nalley (2006) juga melaporkan tidak ditemukannya lengkungan huruf S pada saluran reproduksi jantan khas dengan adanya siklus ranggah dan musim kawin.

Sumber: Nalley 2006.

Gambar 1 Organ reproduksi rusa timor jantan

Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis fibroelastis (Hafez 1993). Pada rusa meskipun termasuk ruminansia, laporan yang ada menyimpulkan hal yang berbeda. Haigh (1993) melaporkan corpus penis rusa wapiti tidak memiliki flexura sigmoidea, sementara Geisert (2005) menyatakan pada rusa merah ditemukan adanya lengkungan huruf S tersebut.

Organ Reproduksi Rusa Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi rusa betina mempunyai ukuran yang hampir sama dengan domba dan kambing, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, serviks, vagina dan vulva (Gambar 2A). Panjang total organ reproduksi rusa timor mulai dari tuba fallopii sampai vulva antara 427,0 mm sampai 459,7 mm.

Dari hasil penelitian Nalley (2006), diperoleh berat rata-rata ovarium kanan 0,68±0,24 g, sedangkan ovarium bagian kiri mempunyai ukuran yang lebih berat yaitu 0,94±0,34 g. Data ini menunjukkan bahwa ovarium bagian kiri lebih aktif dibandingkan ovarium bagian kanan. Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), serviks (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).

Tuba fallopii bagian kiri lebih panjang dibandingkan tuba fallopii bagian kanan. Panjang tuba fallopii rusa timor bagian kanan adalah 15,57±1,00 cm, sedangkan bagian kiri mempunyai panjang 16,67±2,48 cm. Saluran ini mempunyai peranan penting dalam reproduksi, yaitu sebagai tempat terjadinya kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Gambar 2A).

Uterus merupakan saluran reproduksi utama terbagi atas cornua, corpus dan serviks (Gambar 2A). Rataan panjang cornua bagian kanan adalah 11,10±0,53 cm, sedangkan bagian kiri 12,07±1,46 cm. Rataan panjang bagian corpus uteri pada rusa timor 1,40±0,20. Melihat gambaran dan ukuran corpus uteri dari rusa timor ini jika dibandingkan dengan ternak sapi, domba, babi dan kuda maka panjangnya mirip dengan uterus kuda dan termasuk dalam tipe uterus bipartitus (Gambar 5B). Serviks merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas beberapa cincin anuler (Gambar 2B). Serviks rusa timor mempunyai panjang 5,67±1,20 cm dengan diameter luar 1,08±0,10 cm dengan jumlah cincin anuler pada serviks terdapat 4–5 buah dan panjang vagina pada rusa timor adalah 18,2±0,85 cm (Gambar 2B).

Sumber; Nalley (2006). A B

Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang dibuka pada daerah uterus dan serviks. (B) Ovarium (a), tuba Fallopii (b), uterus (c), cincin anuler pada serviks (d) dan vagina (e) rusa timor, bar = 1cm.

Pada rusa wapiti panjang cornua uteri 5-8 cm dengan corpus uteri kurang dari 3 cm. Panjang serviks 10-15 cm dengan diameter 1,5-5 cm. Pada rusa merah panjang cornua uteri dan corpus uteri sama dengan pada rusa wapiti, tetapi serviks rusa merah lebih pendek, yaitu 5-7 cm dengan diameter yang lebih besar (2,3 cm) dan jumlah cincin serviks yang ditemukan sama pada rusa wapiti maupun rusa merah yaitu 4-6 buah (Haigh et al. 1993) dalam Nalley (2006).

Pubertas

Pubertas pada betina ditetapkan sebagai keadaan saat pertama kali menunjukkan estrus disertai ovulasi. Umur betina pubertas mempunyai variasi yang lebih luas dari pada berat badan pada saat pubertas, ini berarti bahwa berat badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas dari pada umur. Hal ini ditunjang adanya teori yang dikenal sebagai target weight theory, yaitu seekor ternak akan mencapai pubertas atau aktivitas reproduksi dapat berlangsung secara normal jika telah mencapai berat badan tertentu. Pubertas pada rusa seperti pada ruminansia lainnya, lebih berhubungan dengan berat badan dari pada umur. Sebagai contoh, rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Pada rusa betina, pubertas dicapai pada umur 1,5 tahun(Semiadi 1998b), 15 sampai 18 bulan (Takandjandji 1997) dengan masa reproduksi aktif adalah sampai 12 tahun.

Pandangan praktis, bahwa baik betina maupun jantan telah mencapai pubertas apabila ternak telah mampu melepaskan sel kelamin atau gamet dan menampakkan tingkah laku seksual secara sempurna yang berlangsung berturut- turut. Gejala-gejala ingin kawin (libido) pada rusa timor jantan adalah jika rusa jantan dewasa selalu mengeluarkan suara dalam interval waktu tertentu terutama pada waktu pagi dan sore hari sambil berendam di lumpur dan terkadang terjadi juga pada malam hari. Berjalan dengan mulut mendatar, menegakkan kepala, berdiri tegak sambil mengarahkan mulutnya ke rusa betina yang estrus, mengikuti jejak rusa betina sambil membaui bekas urin yang dikeluarkan rusa betina tersebut. Guinness et al. (1971) dalam Nelley (2006) melaporkan hasil pengamatannya terhadap lebih dari 120 kejadian selama tiga tahun pada rusa merah, menunjukkan besarnya variasi kelakuan estrus secara individual yang memungkinkan untuk menggambarkan ciri-ciri utama kelakuan estrus rusa. Dikemukakan bahwa indikasi seekor rusa betina estrus ada!ah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat keduanya beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut dengan kelakuan makin agresif dan menunjukkan makin tinggi perhatiannya terhadap betina, menggosokan gigi dan ranggahnya. Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus.

Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, pantat dan kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina tersebut. Betina estrus juga sering memperlihatkan kelakuan berdiri di belakang betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus

Dokumen terkait