• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor

Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus, yaitu rusa timor (Cervus timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) dan satu dari genus Axis, yaitu rusa bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik (asli) dan rusa totol (Axis axis) sebagai jenis eksotik yang didatangkan dari Srilangka dan India (Sudirman 1986). Selain itu ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae (Drajat 1994).

Ciri-ciri rusa timor adalah kulit berwarna coklat kemerah-merahan, rusa jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Pada umumnya rusa betina berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan rusa jantan dewasa antara 60 kg dan 100 kg, panjang badan berkisar 1,95–2,10 m, tinggi badan 1,00–1,10 m dan tinggi tumit 0,29–0,35 m. Panjang tengkorak jantan 0,320–0,350 m dan betina 0,290–0,320 m. Panjang ranggah jantan dapat mencapai 0,87 m dan ranggah bercabang sesuai dengan pertambahan umur. Drew et al. (1982) melaporkan ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dengan ukuran kaki lebih kecil, sedangkan Syarif (1974) menyatakan rusa timor betina mempunyai ciri berbadan ramping dengan warna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap, dengan bobot badan rata-rata 45-60 kg.

Rusa secara umum tergolong hewan poliestrus bermusim, yaitu dalam satu musim kawin dapat menunjukkan beberapa kali gejala estrus. Hanya dalam musim kawin, rusa betina bersedia untuk kawin. Pola kawin bermusim ini terutama dikenal pada rusa-rusa yang hidup pada lingkungan temperat atau sub tropis, karena aktivitas reproduksinya berkaitan erat dengan fotoperioditas. Untuk rusa-rusa asal daerah tropis, hasil penelitian awal menunjukkan aktivitas reproduksinya cenderung tidak berhubungan dengan keadaan fotoperioditas (Semiadi 1993; Wilson 1984), sehingga dapat dinyatakan tidak bermusim. Meskipun demikian, beberapa peneliti melaporkan rusa sebagai hewan yang mempunyai musim kawin. Untuk rusa timor di habitat alaminya di Indonesia gejala estrusnya terlihat antara bulan Juli sampai September. Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di

hutan-hutan yang lebat dan termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari. Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompok- kelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya. Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup sampai ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (der Zon 1979). Sebagai hewan herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan; buah-buahan, singkong, kulit pisang, jagung dan berbagai jenis rumput.

Keunggulan hewan rusa sebagai satwa liar lebih mudah diternakkan dibandingkan dengan satwa liar lainnya. Menurut Badarina (1995), selain dapat diternakkan dalam kelompoknya, rusa dapat juga dipelihara bersama ternak kambing. Teknik beternak kambing ataupun domba, dapat juga digunakan untuk pemeliharaan ternak rusa. Rusa mudah beradaptasi, menyukai rumput dan hampir semua jenis daun-daunan. Dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya, rusa lebih tahan terhadap kekurangan air dan daya tahan rusa terhadap penyakit sangat tinggi sehingga tingkat kematian sangat rendah.

Rusa sebagai ternak yang diharapkan mampu memproduksi daging dinilai dari perbandingan berat karkas dan berat hidup. Karkas pada rusa lebih tinggi yaitu sekitar 56–62 % dibanding dengan karkas sapi, yaitu sekitar 51–55 % dan domba sekitar 44–50 % (Anderson 1984; Haigh dan Hudson 1993 dalam Subekti 1995; Semiadi 1998b; Drew 1985; Sarwiyono 2000; dalam Nalley 2006). Selanjutnya dikatakan Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa dari segi kandungan gizi, daging rusa timor tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi, ayam dan itik (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Kolesterol (mg/kg) Kalori/ 100 g Rusa timor Sapi Ayam Itik 24,5 18,3 18 18,3 0,33 18,9 9 19 0,2 0,9 1,1 1,3 74 95 90 70 545 217 129 -

Sumber: Anonimous 2002 dalam Semiadi dan Nugraha 2004.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut di atas, kelebihan yang tidak dimiliki pada ternak lain adalah kemampuan rusa menghasilkan ranggah velvet

(kulit halus pembungkus ranggah) pada awal pertumbuhannya. Ranggah velvet adalah ranggah muda yang masih diselimuti oleh kulit halus berbulu dan vaskuler yang fase pertumbuhannya belum memasuki fase klasifikasi (penulangan). Velvet ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena kegunaannya dalam bidang pengobatan tradisional. Fase ranggah velvet merupakan setengah dari fase pertumbuhan ranggah sebelum menjadi keras. Di Cina, velvet telah dimanfaatkan lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk pengobatan. Satu batang (stick) velvet mempunyai fungsi yang berbeda antar bagiannya. Bagian atas velvet berguna untuk bahan pemacu pertumbuhan (promote growth), bagian tengah digunakan untuk pengobatan arthritis dan osteonyelitis, sedangkan bagian paling bawah digunakan untuk pengobatan defisiensi kalsium terutama pada orang dewasa (Anonimous 2001 dalam Nalley 2006).

Anatomi Organ Reproduksi Organ Reproduksi Rusa Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Steward (1983); Pramono (1988) dalam Nalley (2006) memberikan gambaran tentang anatomi rusa jantan, khususnya pada rusa merah. Anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.

Hasil penelitian Nalley (2006) memperlihatkan, bahwa ukuran organ reproduksi rusa timor jantan relatif hampir sama dengan ukuran organ reproduksi ternak domestik lainnya seperti domba dan kambing (Gambar 1). Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testesnya, biasanya berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi

spermatozoa lebih tinggi. Kemiripan ukuran kelenjar kelamin pelengkap pada domba dan rusa timor juga berhubungan erat dengan volume semen yang dihasilkan pada umumnya sangat sedikit, karena fungsi dari kelenjar pelengkap adalah menghasilkan plasma semen (Toelihere 1985) dalam Nalley (2006). Perbedaan anatomis juga terlihat jelas pada organ reproduksi rusa jantan dengan tidak terdapatnya lengkungan huruf S (flexura sigmoidea) pada bagian corpus penis yang merupakan ciri khas ternak ruminansia pada umumnya. Haigh dan Hudson (1993) dalam Nalley (2006) juga melaporkan tidak ditemukannya lengkungan huruf S pada saluran reproduksi jantan khas dengan adanya siklus ranggah dan musim kawin.

Sumber: Nalley 2006.

Gambar 1 Organ reproduksi rusa timor jantan

Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis fibroelastis (Hafez 1993). Pada rusa meskipun termasuk ruminansia, laporan yang ada menyimpulkan hal yang berbeda. Haigh (1993) melaporkan corpus penis rusa wapiti tidak memiliki flexura sigmoidea, sementara Geisert (2005) menyatakan pada rusa merah ditemukan adanya lengkungan huruf S tersebut.

Organ Reproduksi Rusa Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi rusa betina mempunyai ukuran yang hampir sama dengan domba dan kambing, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, serviks, vagina dan vulva (Gambar 2A). Panjang total organ reproduksi rusa timor mulai dari tuba fallopii sampai vulva antara 427,0 mm sampai 459,7 mm.

Dari hasil penelitian Nalley (2006), diperoleh berat rata-rata ovarium kanan 0,68±0,24 g, sedangkan ovarium bagian kiri mempunyai ukuran yang lebih berat yaitu 0,94±0,34 g. Data ini menunjukkan bahwa ovarium bagian kiri lebih aktif dibandingkan ovarium bagian kanan. Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), serviks (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).

Tuba fallopii bagian kiri lebih panjang dibandingkan tuba fallopii bagian kanan. Panjang tuba fallopii rusa timor bagian kanan adalah 15,57±1,00 cm, sedangkan bagian kiri mempunyai panjang 16,67±2,48 cm. Saluran ini mempunyai peranan penting dalam reproduksi, yaitu sebagai tempat terjadinya kapasitasi spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Gambar 2A).

Uterus merupakan saluran reproduksi utama terbagi atas cornua, corpus dan serviks (Gambar 2A). Rataan panjang cornua bagian kanan adalah 11,10±0,53 cm, sedangkan bagian kiri 12,07±1,46 cm. Rataan panjang bagian corpus uteri pada rusa timor 1,40±0,20. Melihat gambaran dan ukuran corpus uteri dari rusa timor ini jika dibandingkan dengan ternak sapi, domba, babi dan kuda maka panjangnya mirip dengan uterus kuda dan termasuk dalam tipe uterus bipartitus (Gambar 5B). Serviks merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas beberapa cincin anuler (Gambar 2B). Serviks rusa timor mempunyai panjang 5,67±1,20 cm dengan diameter luar 1,08±0,10 cm dengan jumlah cincin anuler pada serviks terdapat 4–5 buah dan panjang vagina pada rusa timor adalah 18,2±0,85 cm (Gambar 2B).

Sumber; Nalley (2006). A B

Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang dibuka pada daerah uterus dan serviks. (B) Ovarium (a), tuba Fallopii (b), uterus (c), cincin anuler pada serviks (d) dan vagina (e) rusa timor, bar = 1cm.

Pada rusa wapiti panjang cornua uteri 5-8 cm dengan corpus uteri kurang dari 3 cm. Panjang serviks 10-15 cm dengan diameter 1,5-5 cm. Pada rusa merah panjang cornua uteri dan corpus uteri sama dengan pada rusa wapiti, tetapi serviks rusa merah lebih pendek, yaitu 5-7 cm dengan diameter yang lebih besar (2,3 cm) dan jumlah cincin serviks yang ditemukan sama pada rusa wapiti maupun rusa merah yaitu 4-6 buah (Haigh et al. 1993) dalam Nalley (2006).

Pubertas

Pubertas pada betina ditetapkan sebagai keadaan saat pertama kali menunjukkan estrus disertai ovulasi. Umur betina pubertas mempunyai variasi yang lebih luas dari pada berat badan pada saat pubertas, ini berarti bahwa berat badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas dari pada umur. Hal ini ditunjang adanya teori yang dikenal sebagai target weight theory, yaitu seekor ternak akan mencapai pubertas atau aktivitas reproduksi dapat berlangsung secara normal jika telah mencapai berat badan tertentu. Pubertas pada rusa seperti pada ruminansia lainnya, lebih berhubungan dengan berat badan dari pada umur. Sebagai contoh, rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Pada rusa betina, pubertas dicapai pada umur 1,5 tahun(Semiadi 1998b), 15 sampai 18 bulan (Takandjandji 1997) dengan masa reproduksi aktif adalah sampai 12 tahun.

Pandangan praktis, bahwa baik betina maupun jantan telah mencapai pubertas apabila ternak telah mampu melepaskan sel kelamin atau gamet dan menampakkan tingkah laku seksual secara sempurna yang berlangsung berturut- turut. Gejala-gejala ingin kawin (libido) pada rusa timor jantan adalah jika rusa jantan dewasa selalu mengeluarkan suara dalam interval waktu tertentu terutama pada waktu pagi dan sore hari sambil berendam di lumpur dan terkadang terjadi juga pada malam hari. Berjalan dengan mulut mendatar, menegakkan kepala, berdiri tegak sambil mengarahkan mulutnya ke rusa betina yang estrus, mengikuti jejak rusa betina sambil membaui bekas urin yang dikeluarkan rusa betina tersebut. Guinness et al. (1971) dalam Nelley (2006) melaporkan hasil pengamatannya terhadap lebih dari 120 kejadian selama tiga tahun pada rusa merah, menunjukkan besarnya variasi kelakuan estrus secara individual yang memungkinkan untuk menggambarkan ciri-ciri utama kelakuan estrus rusa. Dikemukakan bahwa indikasi seekor rusa betina estrus ada!ah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat keduanya beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut dengan kelakuan makin agresif dan menunjukkan makin tinggi perhatiannya terhadap betina, menggosokan gigi dan ranggahnya. Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus.

Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, pantat dan kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina tersebut. Betina estrus juga sering memperlihatkan kelakuan berdiri di belakang betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan, kadang-kadang mereka saling menaiki. Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selamakurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Seluruh kelakuan estrus itu berlangsung lebih dari 24 jam, bahkan pada kasus yang ekstrim mencapai empat hari.

Rusa timor mencapai pubertas pada umur tujuh sampai sembilan bulan dengan waktu awal bereproduksi secara optimal pada umur 16,5 bulan (17 sampai 18 bulan). Sedangkan rusa sambar mencapai umur pubertas sekitar delapan sampai sembilan bulan dan menjadi fertil pada umur 12 sampai 14 bulan. Rusa bawean mencapai pubertas pada umur 12 bulan bahkan ada yang mencapai 24 bulan. Sementara itu untuk jenis rusa luar negeri yaitu rusa merah, umur pubertas rusa jantan adalah 9 sampai 15 bulan dan menjadi fertil pada umur 16 bulan, sedangkan umur dewasa kelamin rusa betina lebih dari 16 bulan (Lincoln 1971; dalam Nalley 2006). Data umur pubertas jenis-jenis rusa di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga masih memerlukan pengamatan yang lebih intensif.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Keveme (1985) dalam Austin dan Short (1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austin dan Short 1985).

Fenomena tingkah laku (behaviour)yang muncul akibat adanya rangsangan (stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine 1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual). Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).

Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan kawin, sedangkan pada betina dikenal dengan gejala estrus baik dari perubahan alat kelamin dan tingkah laku estrus. Gejala estrus pada rusa timor betina telah diteliti oleh Nalley (2006), terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7) tidak menolak pada saat vulva dipegang.

Siklus Estrus pada Betina

Siklus estrus adalah jarak waktu yang terletak diantara dua saat estrus yang berurutan pada ternak betina. Terdapat perbedaan panjang siklus antara rusa daerah tropis dan daerah temperat, di mana pada rusa daerah tropis cenderung lebih pendek dibandingkan dengan di daerah temperat (Semiadi 1995). Sampai saat ini informasi panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di Indonesia masih terbatas, namun untuk beberapa jenis rusa di daerah remperat telah diketahui sangat bervariasi. Siklus estrus terpanjang dilaporkan pada rusa Alces alces dapat mencapai 25 sampai 30 hari (Semiadi 1995) (Tabel 2). Siklus estrus paling pendek 9 sampai 12 hari pada rusa Rein (Dott dan Utsi 1973; Pramono 1988 dalam Nalley 2006). Dari beberapa penelitian diketahui lama siklus estrus rusa merah adalah 18-19 hari (Jopson et al. 1990; dalam Nalley 2006), Dama dama 24,2±1,3 hari (Asher 1985). Ropstad et al. (1995) melaporkan rata-rata siklus estrus untuk rusa Rein semidomestik (Rangier tarandus tarandus) di Norwegia adalah 19,4 hari (13-33 hari). Rusa timor di Kaledonia Baru 68 % mempunyai panjang siklus estrus 16-18 hari dan 27 % selama 17 hari (Bianchi et al. 1994).

Dari data di bawah ini (Tabel 2), dapat dikemukakan bahwa lama siklus estrus rusa berkisar antara sembilan hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus panjang), bervariasi menurut jenis rusa, lingkungan maupun metode pengamatan yang dilakukan. Sedangkan Guiness et al. (1971) dalam Nalley (2006) mengemukakan, bahwa lama estrus rusa sering lebih dari 24 jam dan Fennesy et al. (1985) melaporkan lama estrus rusa 12 sampai 14 jam. Namun Rukman (1990) dalam pengamatan pada rusa bawean yang disuntik dengan

PGF2-alpha menunjukkan lama estrus mencapai lebih dari 24 jam. Perbedaan lama estrus antara rusa tropis dan rusa temperat cukup lebar (Semiadi 1995).

Pada rusa tropis panjang siklus estrus antara 10 hari dan 23 hari yang paling pendek pada rusa timor (10-18 hari) dan paling panjang pada rusa totol (12-23 hari) (Tabel 2) (Semiadi 1995).

Tabel 2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa rusa temperat dan tropis

Spesies Lama estrus

(jam)

Panjang siklus estrus (hari) Temperat Alces alces - 25-30 Cervus elaphus 16-24 17,5-18,3 Odocoileus hemionus - 22-29 Odocoileus virginianus 37,5-42,3 28 Rangiferus taradus 50 24 Dama dama - 24-26 Tropis

Cervus eldi thamin 12-24 19

Axis axis - 12-23

Cervus timorensis 6-25; 48 10-18; 20-22

Cervus unicolor -

17

Sumber: Semiadi (1995).

Periode Siklus Estrus

Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang berlangsug secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam dinaiki. Toelihere (1995) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel telur yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin. Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan, bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam

menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (corpus Luteum) mulai terbentuk pada saat LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis anterior meningkat dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) menurun. Apabila hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat dengan jelas, maka penolakkan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.

Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel yang matang (de Graaf). Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya dinding folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam rongga peritonial di daerah infundibulum tuba fallopii. Ovum bersama sel-sel kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan folikel. Ovulasi yang terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan, anestrus (periode tidak bersiklus), induk pasca melahirkan dan ketidakseimbangan hormonal.

Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah ovulasi. Utamanya pada periode ini pembentukan CL (corpora lutea pada ternak multiovulator) (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH (Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofisis anterior. Metestrus ditandai dengan terhentinya estrus dan rongga folikel segera berangsur mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006). Lamanya periode ini bergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior mengsekresikan LTH (Elmer et al. 1981; dalam fathan 2006).

Diestrus merupakan periode dari siklus estrus yang ditandai terbentuknya CL yang berfungsi secara penuh atau periode terakhir dari siklus estrus. CL berkembang secara sempuna dan pengaruh progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury dan Bagnara 1985; dalam Fathan 2006). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar terus meningkat. Kelenjar uterus mensekresikan cairan

yang kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang disekresikan oleh plasenta.

Periode proestrus berawal ketika terjadi regresi corpus luteum dan kadar hormon progesteron turun dan berakhir sampai muncul estrus. Hal pokok yang terjadi dalam proestrus adalah berlangsungnya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir periode ini, dapat dilihat pengaruh hormon estrogen pada sistim saluran reproduksi dan tingkah laku gejala-gejala akan terjadinya estrus.

Sinkronisasi Estrus

Tujuan sinkronisasi estrus adalah untuk mendapatkan seluruh hewan yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti, sehingga masing-masing hewan dapat diinseminasi dalam waktu yang bersamaan dan untuk menghasilkan angka kebuntingan yang lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan secara alamiah maupun dengan IB. Keserentakan estrus dan ovulasi sedikitnya akan mempertinggi kemungkinan pertemuan sel telur dan spermatozoa dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Prinsip sinkronisasi estrus secara fisiologik adalah hambatan pelepasan LH dari hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Toelihere (1985) mendefinisikan sinkronisasi estrus adalah suatu pengendalian siklus estrus yang dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari setelah perlakuan dilepas. Sedangkan Hafez (1993) menyatakan, bahwa sinkronisasi mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas corpus luteum. Dengan demikian, maka IB dapat dilakukan secara serentak.

Penelitian tentang penggunaan hormon progesteron dalam kegiatan sinkronisasi estrus telah dilakukan dan lebih diarahkan pada penentuan program

Dokumen terkait