• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.1 Media Massa, Interpretasi dan Konstruksi Realitas

Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001 : 113), sehingga realitas yang terjadi tidaklah digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk.penggambaran yang buruk, cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu.

Hal ini terkait dengan visi, misi, serta ideology yang dipakai oleh masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siap (jika yang diberitakan adalah seseorang atau kelompok tertentu). Keberpihakan pemberitaan media terhadap salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung pada etika, moral, dan nilai-nilai tertentu, tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian dari integral dan tidak terspisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideology antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Media dalam memaknai realitas melakukan dua proses. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asmsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak melihat tanpa perspektif.

Kedua, bagaimana suatu fakta tersebut disajikan kepada khalayak. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media. (Eriyanto, 2001 : 116)

Pendapat Sobur dalam bukunya “Analisis Teks Media”, bahwa hakekatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas (Sobur, 2002 : 88). Isi media merupakan hasil para pekerja media dalam mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebuah berita, diantaranya realitas politik dan human interest. Disebabkan sifatnya dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (construct reality). Pembuatan berita di media dasarnya tidak lebih dari penyusunan realitas-realias, sehingga membentuk sebuah “cerita”. Berita adalah realitas yang dikonstruksikan. (Tuchman dalam Sobur, 2002 : 88)

Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap objek social. Informasi yag salah dari media massa, akan memunculkan sikap yang salah juga terhadap objek social itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi ini yang merupakan tuntutan etnis dan moral penyajian isi media. Menurut istilah Peter Berger, isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayak. Sehingga apa yang ada di media massa, akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi social. (Jurnal ISKI, 2001 : 11)

Media massa memiliki peranan sebagai agen sosialisasi pesan tentang norma dan nilai. Surat kabar merupakan salah satu bentuk media massa yang memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat umum. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliput. (Eriyanto, 2002 : 31)

Media cetak merupakan salah satu arena social, tempat berbagai kelompok social -masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri berusaha menampilkan definisi situasi atau realitas berdasarkan versi mereka yang dianggap sahih. (Hidayat dalam Siahaan, 2001 : 88). Berita untuk media massa cetak surat kabar, harus berfungsi mengarahkan, menumbuhkan atau membangkitkan semangat dan memberikan penerangan. Artinya, berita yang kita buat harus mampu mengarahkan perhatian pembaca, sehingga mengikuti alur pemikiran yang tertulis dalam berita tersebut. (Djutoro, 2002 : 49)

Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.

Menurut Berger dan Luckman, realitas social adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana politik sebagai hasil dari konstruksi social. (Bungin, 2001 : 13)

2.1.2 Berita sebagai Hasil Konstruksi realitas Sosial

Berita merupakan nyawa dari media massa. Keberadaan media massa, baik pada awal kelahirannya, masa perkembangannya, maupun sampai di era kejayaanya sekarang ini sehingga memasuki era informasi, bukan saja penting tetapi juga sangat menentukan arah peradaban umat manusia. Dengan demikian, berita yang memberi hidup media massa. Karena tanpa berita, media massa tidak akan bermakna apapun.

Definisi berita menurut William S. Maulsby yang menyatakan bahwa : “Berita bisa didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti yang penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca berita di surat kabar tersebut”. Dan menurut Ric C. hepwood yang memberikan batasan : “Berita adalah laporan pertama dari kajian yang penting sehingga dapat menarik perhatian umum”. (Pareno, 2005 : 6)

Dalam memaknai realitas, media melakukan dua proses besar. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin terlibat tanpa perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2003 : 116). Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media.

Berita – yang merupakan substansi jurnalisme – adalah rekonstruksi fakta social yang diceritakan sebagai wacana fakta media. Perspektif rekonstruksionis melihat realitas tak terbuka diteliti secara langsung, tetapi lebih merupakan cerminan suatu kenyataan yang hanya dapat dikonstruksi suatu pikiran. Konstruksi ini berisi suatu kesapakatan pemahaman, komunikasi intersubjektif, andil semua pihak, serta

pengalaman dan interpretasi bersama terhadap makna, norma, peran dan aturan. Karena konstruksi fakta bersifat simbolik, maka bentuknya lebih diskursif, yakni dinyatakan, dilakukan, dikonfirmasi melalui teks atau wacana.

Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa yang pada hakikatnya merupakan makna keberadaan masyarakat dan hal-hal yang harus diraih. Alasannya, media adalah instrument pendidik masyarakat, sehingga media harus “memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat”. (Rivers, Peterson dan Wensen, 2004 : 109)

2.2 Ideologi Institusi Media

Media massa tidak hidup dalam situasi yang vakum. Struktur dan penampilan media ditentukan oleh banyak factor baik internal maupun eksternal. System politik merupakan factor eksternal yang sangat berpengaruh terahadap struktur dan kemasan media tersebut. Sedangkan factor internalnya adalah kebijakan redaksi, yaitu sruktural dalam mengkonstruksi sebuah realita. Sebuah media yang lebih ideologis pada umumnya muncul sebagai konstruksi realita yang bersifat pembelaan terhadap kelompok yang sealiran dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda haluan. (Hamad, 2004 : 36)

Media disini dipandang sebagai instrument ideology melalui satu kelompok yang menyebarkan pengaruh dan dominasinya terhadap kelompok lain. Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama

dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran sendiri untuk disebarkan pada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Maka kelompok dan ideology dominanlah yang biasanya berperan dalam hal ini. (Sudibyo, 2001 :55)

Fungsi pertama dalam ideology adalah media sebagai mekanisme integrasi social. Media berfungsi untuk menjaga nilai-nilai kelompok itu. Dan media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai dengan kelompok yang dipandang dapat menyimpang. Perubahan sikap atau nilai-nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah yang terjadi dengan sendirinya, tetapi media tersebut mengkonstruksikan menjadi sebuah perstiwa. (Eriyanto, 2001 : 122)

Menurut Matthew Kieran dalam Eriyanto (2001 : 130), berita tidaklah dibentuk dari ruang hampa, berita diproduksi dari ideology yang dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Pada titik inilah pendekatan konstruktisionisme memperkenalkan konsep ideology. Konsep ini membantu menjelaskan bagaimana wartawan bisa membuat liputan berita yang memihak pada suatu pandangan atau kelompok. Praktik-praktik itu mencerminkan ideology dari wartawan atau media tepat ia bekerja.

Teori mengenal ideology sebuah media pada dasarnya termasuk ke dalam teori kritik Marxist dan aliran Frankfrut. Dalam teori ini edia dilihat sebagai alat konstruksi budaya dan menempatkan perhatian lebih banyak pada ide daripada benda-benda yang bersifat material. Melalui cara berpikir demikian, media menunjuk pada dominasi ideology para elit yang diraih dengan memanipulasi citra dan symbol yang

pada dasarnya menguntungkan kepentingan kelas dominan tersebut. (Ibid, 1991 : 131)

Dilain pihak, Moss mengartikan bahwa ideology sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalisasi alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. (Briyanto, 2005 : x). Sedangkan Shoemoker dan Resse mengatakan bahwa objektifitas lebih merupakan ideology bagi jurnalis dibandingkan seperangkat aturan atau praktik yang disediakan oleh jurnalis. Ideology ini adalah konstruksi untuk memberi kesadaran kepada khalayak bahwa pekerjaan jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Objektifitas juga memberikan legitimasi kepada media untuk disebarkan kepada khalayak bahwa apa yang disampaikan adalah kebenaran. (Eriyanto, 2001 : 112-113)

Pada proses produksi sebuah berita, sebuah media selalu melibatkan pandangan dan ideology wartawan, juga kepentingan media itu sendiri. Ideology ini menentukan aspek fakta yang dipilih dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya jika seorang wartawan menulis berita dari salah satu sisi, menampilkan sumber dari satu pihak, dan memasukkan opininya dalam suatu berita. Semua itu dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Sehingga dapat dikatakan media bukan sarana yang netral dalam menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya.

Suatu konsep ideologi media juga dapat membantu menjelaskan mengenai mengapa waktu memilih fakta tertentu untuk ditonjolkan, dari pada fakta yang lain, walaupun hal tersebut dapat merugikan pihak lain. Kemudian menempatkan sumber beritanya yang satu lebih menonjol daripada sumber berita yang lain ataupun secara

nyata atau tidak melakukan pemihakkan kepada pihak-pihak tertentu. Artinya, wartawan dan media yang bersangkutan erat secara strategis menghasilkan berita yang sesuai dengan karakter media tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, media merupakan inti instrument ideology yang tidak dipandang sebagai zona netral, dimana berbagai kelompok dan kepentingan dapat ditampung. Akan tetapi media lebih sebagai subjek yang mengkonstruksikan realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri untuk disebarluaskan pada khalayak. (Eriyanto, 2000 : 92). Media massa sebagai pendefinisi realitas tidak dapat dipisahkan dari keterkaitan antara bahasa yang digunakan dalam pemberitaannya. Dengan kata lain, perbincangan mengenai media selalu berkaitan dengan ideology yang membentuknya, dimana pada akhirnya ideology tersebut akan mempengaruhi bahasa (gaya, ungkapan, dan kosa kata), serta pengetahuan (kebenaran realitas) yang digunakan.

2.3 Framing dan Proses Produksi berita

Framing berhunbungan dengan proses produksi berita, yang meliputi kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa yang dibingkai dalam kerangka tertentu dan bukan bingkai yang lain, bukan hanya disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi juga rutinitas kerja dan institusi media, yang secara langsung atau tidak langsung memepangaruhi pemaknaan terhadap sesuatu peristiwa. Institusi media dapat mengontrol pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa kedalam kemasan tertentu, atau bisa juga wartawan menjadi bagian dari anggota komunitasnya. Jadi, wartwan hidup dan bekerja dalam suatu institusi yang

mempunyai pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika dan rutinits sendiri. Dimana semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi cara pandang wartawan dalam memaknai peristiwa. (Eriyanto, 2005 : 99-100)

Framing adalah bagian yang tak terpisahkan dari bagaimana awak media mengkonstruksi realitas. Framing berhubungan erat dengan proses editing (penyuntingan) yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian. Reporter dilapangan menentukan siapa yang akan diwawancarinya, serta pertanyaan apa yang akan diajukan. Redaktur yang bertugas di desk yang bersangkutan dengan maupun tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana atau redaktur umum, menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap muka – dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur – menentukan apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang akan dipilih. ( Eriyanto, 2006 ; 165)

2.4 Analisis Framing termasuk Paradigma Konstruktifis

Analisis framing termasuk pada paradigma konstruktifis. Dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan social bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Sehingga konsentrasi analisanya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna. (Eriyanto, 2002 : 37)

Konsep framing dari para konstruktisionis dalam literature sosiologi, memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individual – penstrukturan kognitif dan teori proses pengendalian informasi – dalam psikologi. Framing dalam konsep psikologi dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan. (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001 : 77)

Yang menjadi titik perhatian pada paradigma konstruktifis adalah bagaimana masing-masing pihak dalam lalu intas komunikasi, saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks social dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesan itu dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu sebagai penerima pesan. ( Eriyanto, 2002 : 40)

2.5 Teori Analisis Framing

Anlisis framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana, banyak meminjam perangkat operasional analisis wacana. Analisis framing dapat mengungkap kecenderungan perspektif jutnalis atau media saat mengkonstruksi fakta. Secara sosiologis, menurut Ervin Goffman, konsep analisis framing memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan meginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skema

interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu untuk dapat melokasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi. (Siahaan et al dalam Sobur, 2006 : 163)

Analisis framing merupakan suatu analisis yang dipakai untuk mengungkapkan bagaimana seorang wartawan dari suatu media tertentu membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas atau kasus tertentu. Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideology media saat megkontruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti, atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.

Selain itu analisis framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah bagian tertentu dari realitas yang menonjol dan lebih mudah dikenal. (Eriyanto, 2002 : 66). Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta menyediakan kategori standar untuk mengapresiasikan realita. Lalu dikembangkan lagi oleh Goffman pada tahun 1974, mengandaikan frame sebagai kepentingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. (Sobur, 2002 : 162)

Dengan kata lain framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepktif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu

dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Nugroho et al dalam Sobur, 2006 : 162). Karenanya, berita menjadi manipulative dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tidak terelakkan. (Imawan dalam Sobur, 2006 : 162)

G.J Aditjondro (Sudibyo dalam Sobur, 2006 : 165) mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.

Analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa mempunyai peranan penting yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi public (Sudibyo, 2001 : 220). Secara umum, framing dipandang sebagai proses penonjolan atau penyeleksian dari sebuah realitas yang ada pada media massa. Sehingga penonjolan aspek-aspek tersebut memudahkan pembaca untuk mengingat apa yang menjadi pokok pembahasan utama dari berita. Karena hasil penyeleksian dan penonjolan ini mendapatkan penempatan yang lebih besar dalam format fisik teks berita. Maka tidak menutup kemungkinan pembaca akan terpengaruh dan mempunyai pertimbangan untuk berpendapat.

Framing ini pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Melaui framing inilah dapat ditentukan bagaimana realitas itu harus dilihat, dianalisis dan diklarifikasikan dalam kategori tertentu. Dalam hubungannya dengan penulisan berita, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita, karena asumsi dasar dari framing adalah bahwa individu wartawan selalu menyertakan pengalaman hidup, social, dan kecenderungan psikologisnya ketika menafsirkan pesan yang datang keapadanya.

Individu tidak dibayangkan sebagai subjek pasif, sebaliknya dia aktif dan otonom. Menurut Aditjondro dalam Siahaan et al, proses framing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak. Bahkan melibatkan semua pekerja dibagian yang terkait dengan kasus tertentu, yang masing-masing pihak ingin ditonjolkan atau harus ada informasi yang tidak peru diketahui oleh umum. (Sobur, 2001 : 165)

Analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media. Selain itu, analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai realitas analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, actor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. (Eriyanto, 2002 : 3)

2.6 Perangkat Framing Robert M. Entman

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari model Robert M. Entman. Model ini berasumsi bahwa framing memberi tekanan lebih pada

bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan : membuat informasi terlihat lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa.

Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam : menempatkan suatu aspek infromasi lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang akrab di benak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide atau gagasan atau informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena penonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai mempunyai pandangan tentang apa yang ia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita tersebut dikonstruksikan dalam pikiran. (Eriyanto, 2002 : 186)

Menurut Entman dalam Siahaan (2001 : 80), framing memiliki implikasi bagi komunikasi politik. Frame menurut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Mereka bersama jurnalis membangun frame berita.

Daam konteks ini, menurut Entman, framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan

kekuasaan yang tercetak. Entman menunjukkan identitas para actor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks. Namun Entman menyayangkan banyak teks berita dalam merefleksikan permainan kekuasaan dan batas wacana atas sebuah isu, memperlihatkan homogenitas framing pada satu tingkat analisis, dan belum mempersaingkannya dengan framing lainnya.

Konsep framing dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of communication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengancara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi seperti, pidato, ucapan atau ungkapan, news report, atau novel. Framing menurut Entman secara esensial meliputi penyeleksian dan penonjolan.

Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas sebuah realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan atau merekomendasikan penanganannya. (Siahaan dalam Sobur, 2006 164-165)

Pada prosesnya, framing sangat berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi professional jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam persentasi media. Dalam hal ini, wartawan menempati posisi startegis untuk menyusun dan mengolah informasi. Dengan posisi ini wartawan mengolah dan mengemas informasi sesuai dengan ideology, kecenderungan ataupun keberpihakan politik mereka. Wartawan juga dapat

membatasi dan menafsirkan komentar-kmentar sumber berita, serta memberi porsi pemberitaan yang berbeda antara sumber berita yang satu dengan lainnya. Hal tersebut merupakan konsep framing yang dikemukakan oleh Entman, framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas (Eriyanto, 2002 : 186). Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi besar daripada isu yang lain.

Entman melihat framing dalam dua dimensi, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua factor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu, menentukan fakta yang dipilih, ditonjolkan, dan dibuang yang tentunya akan melibatkan nilai dan ideology para wartawan yang telibat dalam produksi sebuah berita.

Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Dokumen terkait