• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

E. Media PowerPoint

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar ... 9

1. Pengertian Belajar ... 9

2. Aktivitas Belajar ... 11

3. Hasil Belajar ... 13

B. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ... 14

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ... 14

2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ... 15

3. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ... 16

C. Model Cooperative Learning ... 16

1. Pengertian Model Pembelajaran ... 16

2. Pengertian Model Cooperative Learning... 17

D. Model Cooperative Learning Tipe Think Pair Share ... 19

1. Pengertian Model Cooperative Learning Tipe Think Pair Share 19

2. Langkah-langkah Model Cooperative Learning Tipe Think Pair Share ... 21

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Cooperative Learning Tipe Think Pair Share ... 23

E. Media PowerPoint ... 24

1. Pengertian Media ... 24

2. Pengertian Media PowerPoint ... 26

3. Langkah-langkah Penggunaan Media PowerPoint ... 28

4. Kelebihan dan Kekurangan Media PowerPoint ... 29

C. Subjek Penelitian ... 33

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

E. Alat Pengumpulan Data ... 34

F. Teknik Analisis Data... 35

G. Indikator Keberhasilan Pembelajaran ... 38

H. Prosedur Penelitian ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Sekolah... 47

B. Deskripsi Awal... 48

C. Hasil Penelitian ... 48

1. Hasil Penelitan Siklus I ... 49

a. Perencanaan (Planning) ... 49

b. Pelaksanaan (Acting) ... 49

c. Pengamatan (Observing) ... 59

1) Aktivitas Belajar Siswa... 59

2) Kinerja Guru ... 63

3) Hasil Belajar Siswa ... 69

d. Refleksi (Reflecting) ... 71

2. Hasil Penelitian Siklus II ... 74

a. Perencanaan (Planning) ... 74

b. Pelaksanaan (Acting) ... 74

c. Pengamatan (Observing) ... 83

1) Aktivitas Belajar Siswa ... 83

2) Kinerja Guru ... 86

3) Hasil Belajar Siswa ... 92

d. Refleksi (Reflecting) ... 93

3. Hasil Penelitian Siklus III ... 95

a. Perencanaan (Planning) ... 95

b. Pelaksanaan (Acting) ... 96

c. Pengamatan (Observing) ... 101

1) Aktivitas Belajar Siswa ... 102

2) Kinerja Guru ... 106

3) Hasil Belajar Siswa ... 111

d. Refleksi (Reflecting) ... 113

D. Pembahasan... 113

1. Aktivitas Belajar Siswa ... 113

2. Kinerja Guru ... 115

3. Hasil Belajar Siswa ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ayat 1 Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dikatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Secara tersirat undang-undang tersebut telah mengamanatkan para pendidik untuk melaksanakan proses pembelajaran yang memanusiakan, yakni membantu siswa mengembangkan potensinya yang beragam secara optimal. Proses pendidikan tersebut tentunya hanya dapat berjalan bukan melalui cara-cara menghapal atau “rote-learning” tetapi mengasah kemampuan berpikir yang kreatif sehingga siswa secara berangsur dapat memilih sendiri dan dapat berdiri sendiri.

Lie (2010: 23) menyatakan bahwa mengasah kemampuan berpikir yang kreatif ini, para guru cenderung lebih banyak menggunakan model pembelajaran kompetitif. Tujuan utama evaluasi dalam model pembelajaran kompetitif adalah menempatkan anak didik dalam urutan mulai dari yang paling baik sampai dengan yang paling jelek. Secara negatif, model pembelajaran kompetitif ini dapat menimbulkan rasa cemas. Bila rasa cemas ini muncul secara berlebihan, dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan akan berdampak pada aktivitas dan hasil belajar siswa.

Abraham Maslow (dalam Silberman, 2012: 29) mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan yang satu berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memilih keamanan ketimbang pertumbuhan. Kebutuhan akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa dipenuhinya kebutuhan untuk mencapai sesuatu, mengambil resiko dan mengambil hal-hal baru.

Silberman (2012: 30) menyatakan bahwa salah satu cara utama untuk mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok. Saat siswa belajar bersama dan tidak sendirian, siswa akan mendapatkan dukungan emosional dan intelektual.

Bangsa Indonesia yang memproklamasikan diri menjadi suatu negara yang berdaulat telah memiliki konstitusi dan bertekad untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Sistem pemerintahan maupun praktek hidup bermasyarakat yang dicita-citakan dalam konstitusi Negara RI (UUD 1945) tidak diragukan lagi memiliki semangat demokratis. Diperlukan adanya suatu upaya atau proses pendidikan demokrasi yang sungguh-sungguh (Wahab & Sapriya, 2011: 41).

Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan mata pelajaran Civic Education (PKn). Mata pelajaran ini diterapkan untuk mendidik warga negara yang demokratis. Bila civic education ini berhasil maka akan muncul citizenship educatioin, yakni sebuah masyarakat yang (1) Beradab, menghargai harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi HAM, kebebasan dan keterbukaan serta keadilan dan persamaan dan (2) bukan negara yang diatur oleh militer tetapi oleh sipil (pemerintahan sipil) (Wahab, 2011: 36).

Tujuan dari PKn itu sendiri adalah membentuk kualitas pribadi yang baik. Sebagaimana yang banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satunya oleh Mulyasa.

Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007: 26) mengemukakan tujuan pembelajaran PKn yakni, (1) untuk menjadikan siswa mampu berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya, (2) untuk menjadikan siswa mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggungjawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan, dan (3) untuk menjadikan siswa bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama bangsa lain dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, hendaknya pendidikan nilai, moral, serta norma ini dapat ditanamkan sejak dini pada siswa. Sehingga tujuan untuk membentuk warga negara yang baik akan mudah diwujudkan. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di dalam kelas sehingga materi pelajaran akan mudah tersampaikan.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 11 Desember 2012 dengan guru kelas VA SDN 1 Metro Timur, diketahui bahwa hasil belajar pada mata pelajaran PKn masih rendah dan pada proses pembelajarannya menggunakan metode pendekatan atau strategi yang digunakan dalam pembelajaran PKn yang masih menitikberatkan pada guru dalam menyampaikan materi dan pembelajaran menjadi berpusat pada guru (teacher centered). Guru kurang dapat membuat siswa untuk mudah berpikir dan memberikan pengalaman belajar. Selain itu kegiatan diskusi yang dilakukan oleh siswa tidak membuat seluruh siswa ikut aktif dalam diskusi. Hanya beberapa siswa saja yang terlihat aktif. Banyak siswa yang tidak

memperhatikan penjelasan yang disampaikan, salah satu penyebabnya adalah penyampaian materi yang kurang bervariasi. Selain itu, guru belum pernah menggunakan model cooperative learning tipe think pair share dalam pembalajaran di kelas.

Keadaan aktivitas di kelas VA yang dijabarkan di atas berpengaruh pada hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa kelas VA tergolong rendah, yakni hanya 6 siswa (21,43%) yang telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dan yang belum mencapai KKM yakni 22 siswa (78,57%) dari jumlah 28 siswa dengan rata-rata kelas yang belum memenuhi KKM yaitu 61,78 (data nilai ulangan semester tahun pelajaran 2012/2013) dari nilai KKM yang ditentukan untuk mata pelajaran PKn yaitu 68.

Hal ini mendorong peneliti untuk menggunakan model cooperative learning tipe think pair share. Dimana model cooperative learning tipe think pair share ini menitikberatkan pada kerjasama dalam kelompok berpasangan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan bekerjasama di dalam kelompok para siswa akan lebih leluasa untuk menyampaikan gagasannya ketimbang menyampaikan pendapatnya di depan kelas. Hal ini akan memberikan latihan kepada siswa yang pasif untuk lebih banyak berpendapat. Sehingga kepercayaan diri mereka akan berangsur-angsur tumbuh. Model pembelajaran dan penilaian gotong royong perlu lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan. Kegiatan ini erat hubungannya dengan demokrasi dalam PKn. Sebagaimana di negara-negara demokratis lainnya, PKn di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan warga yang demokratis yaitu warganegara

yang cerdas dan memanfaatkan kecerdasannya sebagai warga negara untuk kemajuan diri dan lingkungannya.

Kurangnya penggunaan media pembelajaran di dalam kelas adalah salah satu penyebab sulitnya siswa dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru. Penggunaan media pembelajaran dalam penyampaian materi adalah salah satu cara dari banyak cara yang ada untuk menjadikan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Menurut Kemp dan Dayton (dalam Daryanto, 2010: 6), kontribusi media pembelajaran yakni: (1) Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar, (2) Pembelajaran dapat lebih menarik, (3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar, (4) Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek, (5) Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, (6) Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan, (7) Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat diperlukan, (8) Peran guru mengalami perubahan kearah yang positif.

Salah satu media pembelajaran yang memiliki kriteria yang baik serta mudah dalam penggunaannya adalah media pembelajaran PowerPoint. Penggunaan PowerPoint ini memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menyajikan sebuah materi presentasi, dan sudah banyak digunakan dalam dunia pendidikan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti ingin melakukan perbaikan pembelajaran melalui PTK dengan judul “Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Cooperative Learning Tipe Think Pair Share dan Media PowerPoint pada Mata Pelajaran PKn Kelas VA SDN 1 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas perlu diidentifikasi permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut :

1. Rendahnya aktivitas siswa kelas VA SDN 1 Metro Timur pada saat proses pembelajaran berlangsung.

2. Hasil belajar siswa kelas VA tergolong rendah, yakni hanya 6 siswa (21,43%) dari 28 siswa yang telah mencapai KKM yakni 68.

3. Kurangnya penggunaan media dalam penyampaian materi di kelas. 4. Pembelajaran masih menggunakan pola teacher centered.

5. Guru belum pernah menggunakan model cooperative learning tipe think pair share dalam pembelajaran di kelas.

6. Mayoritas siswa kurang ikut andil dalam diskusi kelompok dan hanya siswa-siswa tertentu yang aktif dalam diskusi kelompok.

7. Guru belum pernah menggunakan media PowerPoint dalam kegiatan pembelajaran di kelas.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan model cooperative learning tipe think pair share dan media PowerPoint pada mata pelajaran PKn sehingga dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VA SDN 1 Metro Timur tahun pelajaran 2012/2013?

2. Bagaimanakah penggunaan model cooperative learning tipe think pair share dan media PowerPoint pada mata pelajaran PKn sehingga dapat

meningkatkan hasil belajar siswa kelas VA SDN 1 Metro Timur tahun pelajaran 2012/2013?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk:

1. Meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VA SDN 1 Metro Timur dengan menggunakan model cooperative learning tipe think pair share dan media PowerPoint pada mata pelajaran PKn tahun pelajaran 2012/2013.

2. Meningkatkan hasil belajar siswa kelas VA SDN 1 Metro Timur dengan menggunakan model cooperative learning tipe think pair share dan media PowerPoint pada mata pelajaran PKn tahun pelajaran 2012/2013.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian dan tujuan penelitian yang dikemukakan di atas, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi Siswa

Dapat meningkatkan pemahaman siswa pada mata pelajaran PKn, khususnya siswa kelas VA, sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.

2. Bagi Guru

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran PKn di kelasnya, serta memperluas wawasan dan pengetahuan guru mengenai

penggunaan model cooperative learning tipe think pair share serta penggunaan media PowerPoint.

3. Bagi SDN 1 Metro Timur

Merupakan bahan masukan bagi sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di SDN 1 Metro Timur, sehingga memiliki output yang berkualitas dan kompetitif.

4. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan serta wawasan peneliti dalam menerapkan model cooperative learning tipe think pair share dan media PowerPoint pada mata pelajaran PKn, serta dapat memecahkan permasalahan yang terdapat di sekolah dasar.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Belajar

1. Pengertian Belajar

Pengertian belajar telah banyak mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengalaman para ilmuwan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofi yang dianut dan pengalaman para ilmuwan atau pakar itu sendiri dalam membelajarkan para peserta didik.

Belajar pada hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya (Fathurrohman & Sutikno, 2010: 6). Selain itu Ally (dalam Rusman, 2011: 35) menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan belajar ditunjukkan dari perilaku yang dapat dilihat bukan dari apa yang ada dalam pikiran siswa. Pernyataan ini dilandasi dari teori behavioristik, dimana teori ini dipelopori oleh Thorndike (1913), Pavlov (1927), dan Skinner (1974) yang menyatakan bahwa belajar adalah tingkah laku yang dapat diamati yang disebabkan adanya stimulus dari luar (Rusman, dkk., 2011: 35). Lebih lanjut teori kognitif memandang bahwa, belajar adalah proses internal dan jumlah

yang dipelajari tergantung pada kapasitas proses belajar, usaha yang dilakukan selama proses belajar, kedalaman proses tersebut dan struktur pengetahuan yang dimiliki oleh siswa (Rusman, dkk., 2011: 33). Seperti yang disampaikan oleh Gagne (dalam Suprijono, 2011: 2) bahwa belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Untuk dapat mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan ini, dalam kegiatan pembelajaran guru perlu melibatkan siswa dalam kegiatan langsung serta bermakna bagi diri siswa. Hal ini sesuai dengan teori kognitif, yaitu membangun tingkah laku yang diinginkan pada siswa dengan cara mengembangkan potensi kognitif siswa melalui kegiatan yang bermakna. Sehingga akan memunculkan perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat berlangsung relatif lama.

Hanafian & Suhana (2010: 20) menyatakan bahwa belajar hakikatnya merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Menurut paradigma konstruktivistik ini, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, disimpulkan bahwa belajar adalah kegiatan yang dilakukan seseorang yang diiringi dengan perubahan tingkah laku akibat dari pengalaman bermakna yang telah dialaminya. Pengalaman ini tidak hanya berlangsung sekali namun

diharapkan berulang kali, sehingga perubahan tingkah laku yang diinginkan akan berlangsung relatif lama.

2. Aktivitas Belajar

a. Pengertian Aktivitas Belajar

Segala kegiatan yang dilakukan ketika proses pembelajaran di kelas berlangsung, hendaknya mampu membuat siswa menjadi lebih aktif. Namun pengamatan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Kegiatan pembelajaran justru menjadikan siswa lebih pasif.

Istilah aktivitas sering dikenal dalam kehidupan sehari-hari yang bermakna kegiatan, dijelaskan bahwa aktivitas mengerjakan sesuatu kegiatan dengan aktif, dimana seseorang mempergunakan waktunya semuanya selalu berhasil (Hornby, dalam http://makalahpendidikan-sudirman.blogspot.com). Sedangkan belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan yang relatif tetap dalam kecenderungan berpusat dan ia membawa hasil kenyataan yang kuat (De Cacco, dalam http://makalahpendidikan-sudirman.blogspot.com).

Hanafiah dan Suhana (2010: 24) menyatakan bahwa proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek psikofisis peserta didik, baik jasmani maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilakunya dapat terjadi secara cepat, tepat, mudah, dan benar, baik berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas maka dapat disimpulkan aktivitas belajar adalah perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang untuk merubah kepribadiannya, dengan mempergunakan kecakapan kognitif, afektif, maupun psikomotornya. Sehingga menghasilkan kecakapan baru yang berupa kecakapan sikap, kebiasaan, kepandaian dan pengertian.

b. Jenis-Jenis Aktivitas Belajar

Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran memiliki bentuk yang beranekaragam. Paul D. Dierich (dalam Hamalik, 2008: 90–91) membagi kegiatan belajar menjadi 8 kelompok, sebagai berikut:

a) Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau bermain.

b) Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.

c) Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.

d) Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket.

e) Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.

f) Kegiatan-kegiatan matrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi), menari, berkebun. g) Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat,

memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan. h) Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani,

tenang dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini terdapat pada semua kegiatan tersebut di atas, dan bersifat tumpang tindih (Bruton dalam Hamalik, 2008: 91).

3. Hasil Belajar

Seseorang yang belajar untuk mencapai tujuan tertentu, tentunya ingin agar tujuan yaitu mencapai hasil yang maksimal. Hasil dari belajar inilah yang akan menunjukkan kegiatan belajar yang telah dilalui berhasil atau tidak. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004: 22). Selain itu menurut Nasution (dalam http://ppg-pgsd.blogspot.com) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru.

Berdasarkan pada PP. Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 64 ayat (1) dijelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Selanjutnya, ayat (2) menjelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik digunakan untuk (a) menilai pencapaian kompetensi peserta didik: (b) bahan penyusun laporan kemajuan hasil belajar; dan (c) memperbaiki proses pembelajaran. Guru sebagai pengajar sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan siswa. Dimana peran ini akan mempengaruhi hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa. Hasil belajar yang baik akan tercapai bila proses belajar mengajar berlangsung dengan baik pula.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah melalui proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan.

B. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Dilihat dari sejarahnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau civic education di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sejarah perkembangan Ilmu Kewarganegaraan (PKN) atau civics. Istilah civics dan PKn di Indonesia sudah mulai dikenal dalam kurikulum sekolah sejak tahun 1968 sebagai upaya untuk menyiapkan warga negara menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.

Ditulis dengan menggunakan s di belakang civic oleh Cogan dan Derricott (dalam Aziz Wahab & Sapriya, 2011:32) menjadi civics education, juga dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah perluasan dari civics yang lebih menekankan pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan. Oleh sebab itu, pendidikan kewarganegaraan juga disebut sebagai pendidikan orang dewasa (adult education) yang mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang memahami perannya sebagai warga negara. Secara teoritik, PKn (civic education atau citisenship education) merupakan perluasan dari mata pelajaran civics dan lebih menekankan pada pendidikan orang dewasa dan lebih berorientasi pada praktik kewarganegaraan. Winataputra (dalam Ruminiati, 2007: 1.25) mengemukakan bahwa PKn yaitu pendidikan yang menyangkut status formal warganegara yang pada awalnya diatur dalam undang-undang No. 2 TH. 1949.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa PKn adalah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada seseorang menyangkut negaranya serta perannya sebagai warga negara, serta menanamkan pendidikan nilai moral dan norma yang baik dalam kehidupan bernegara.

2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari beranekaragam suku bangsa serta kaya akan sumber daya alamnya, membutuhkan pemimpin yang memiliki nilai moral dan norma yang baik. Untuk membentuk pemimpin yang memiliki kecakapan tersebut tentulah dimulai sejak dini. Pembentukan kecakapan ini telah diterapkan oleh guru di Sekolah Dasar sejak siswa berada di kelas I, yakni pada mata pelajaran PKn. Tujuan PKn adalah untuk membentuk watak atau karakteristik warga negara yang baik (Depdiknas, 2007: 1.26).

Tujuan pembelajaran dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, menurut Mulyasa (dalam Depdiknas, 2007: 1.26) adalah untuk menjadikan siswa:

a. Mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya.

b. Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan.

c. Bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Hal ini akan mudah tercapai jika pendidikan nilai moral dan norma tetap ditanamkan pada siswa sejak usia dini, karena jika siswa sudah memiliki nilai moral

yang baik, maka tujuan untuk membentuk warga negara yang baik akan mudah diwujudkan.

Kelak siswa diharapkan dapat memiliki karakter yang memelihara dan mempertahankan eksistensinya sebagai warga negara sehingga mengantarkannya menjadi warga dunia yang memiliki moral yang positif sesuai dengan tujuan dari PKn itu sendiri.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki ruang lingkup di dalam pembelajarannya. Dimana aspek-aspeknya saling berkaitan satu sama lain. Ruang lingkup mata pelajaran PKn meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Permendiknas No 22 TH 2006): (a) Persatuan dan Kesatuan bangsa, (b) Norma, hukum dan peraturan, (c) Hak asasi manusia, (d) Kebutuhan warga negara, (e) Konstitusi Negara, (f) Kekuaasaan dan Politik, (g) Pancasila, dan (h) Globalisasi.

Berdasarkan aspek-aspek di atas, diharapkan siswa dapat memahami dan mampu menerapkan nilai serta norma-norma yang telah dipelajari dari ruang lingkup mata pelajaran PKn ini. Sehingga tujuan PKn dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

C. Model Cooperative Learning

1. Pengertian Model Pembelajaran

Guru sering mendapat kesulitan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Penyebabnya mungkin dari siswa atau bahkan dari guru itu sendiri. Kesulitan yang dialaminya ini membuat guru mencoba mencari tahu apa penyebabnya. Banyak rencana, teknik serta model yang coba diterapkan.

Dokumen terkait