• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Mekanisme Antagonis Bakteri Diazotrof

Mekanisme antagonis bakteri diazotrof dalam menghambat G. boninense kemungkinan karena senyawa antijamur dan enzim lisis yang dihasilkan bakteri diazotrof (Tabel 4.4). Pada pengujian aktivitas penghambatan oleh senyawa antijamur ekstrak metanol dan etil asetat serta kemampuan bakteri menghasilkan enzim kitinase dan glukanase menunjukkan beberapa bakteri memiliki ketiga atau salah satu mekanisme tersebut. Namun, terdapat 2 isolat bakteri yang tidak menunjukkan salah satu dari ketiga mekanisme antagonis yang diuji yaitu isolat TU 22 dan TP 13. Secara dual culture, kedua bakteri tersebut menunjukkan hambatan pertumbuhan terhadap G. boninense. Kemungkinan kedua isolat bakteri tersebut menghasilkan senyawa atau mekanisme lain dalam menghambat G. boninense seperti menghasilkan siderofor (Chrisnawati et al., 2017) atau enzim lisis lain seperti protease (Illakkiam et al., 2013).

Senyawa antijamur yang terdapat pada ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat bakteri diazotrof menghasilkan tingkat penghambatan yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan G. boninense. Tingkat penghambatan yang berbeda kemungkinan karena perbedaan jenis dan kadar senyawa antijamur yang dihasilkan oleh bakteri diazotrof berbeda. Menurut Dharmawan et al. (2009), setiap bakteri menghasilkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

metabolit sekunder senyawa antijamur akan ada perbedaan dalam hal komposisi dan konsentrasi antijamur.

Pelarut metanol dan etil asetat digunakan untuk mengekstrak senyawa antijamur berdasarkan sifat polaritas. Metanol merupakan pelarut bersifat polar sedangkan etil asetat adalah pelarut yang bersifat semi polar. Hambatan senyawa antijamur tertinggi didapatkan dari ekstrak metanol oleh isolat TU 1 sebesar 36,0%

(Gambar 4.4 A). Isolat TU 1 kemungkinan memiliki senyawa antijamur yang lebih bersifat polar dibandingkan semi polar pada ekstrak etil asetat. Menurut Lestari et al.

(2017), perbedaan efektifitas ekstrak dalam menghambat mikroba uji kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kelarutan senyawa aktif yang terkandung terhadap jenis pelarut. Beberapa jenis senyawa antijamur ekstrak metanol dan etil asetat yang diperoleh dari bakteri diazotrof adalah phenazine dan phenazine-1-carboxylic (Lee et al., 2018), bacitracine, polymyxin, colistin, gatavalin, jolipeptid (Mejdad et al., 2013).

Tabel 4.4 Aktivitas Antijamur, Indeks Kitinolitik dan Glukanolitik Bakteri Diazotrof

No. Kode Isolat Aktivitas antijamur (CGI%) Indeks Kitiniolitik

23

Kemampuan kitinolitik dan glukanolitik juga merupakan salah satu mekanisme penghambatan bakteri terhadap jamur patogen. Enzim kitinase dan glukanase yang dihasilkan bakteri dapat melisiskan kitin dan glukan yang terdapat pada dinding sel jamur. Dari penelitian ini tidak satu isolat bakteripun dari 16 isolat yang diujikan menghasilkan enzim kitinase. Sebaliknya sebanyak 7 isolat bakteri menghasilkan enzim glukanase dengan indeks glukanolitik 0,3-2,5.

Aktivitas glukanolitik dari 7 bakteri diazotrof diamati dari pembentukan zona bening pada media glukan setelah diinkubasi 2 hari dan pemberian congo red pada media glukan dengan substrat laminarin 1%. Nilai indeks glukanolitik tertinggi dihasilkan oleh isolat TP 21 (Gambar 4.4 B).

Zona bening terbentuk karena enzim glukanase bakteri yang tumbuh pada medium glukan menghidrolisis substrat laminarin yang terdapat dalam medium.

Penelitian Manzila et al. (2015) mendapatkan ukuran zona bening pada waktu inkubasi 48 jam sebesar 1,4 cm oleh Burkholderia cepacia. Indeks glukanolitik pada penelitian ini memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan penelitian Dewi et al.

(2016) isolat SAHA 3.5 sebesar 2,6. Laminarin merupakan substrat yang biasa digunakan untuk uji deteksi bakteri penghasil glukan. Laminarin berasal dari Laminaria digitata yang memiliki glukan dengan ikatan rantai utama β-1,3 glukosidik dan cabang β-1,6 (Fukuda et al., 2008). Ikatan glukan tersebut merupakan komponen penyusun dinding sel jamur.

Gambar 4.4 Gambaran mekanisme antijamur dan glukanolitik bakteri diazotrof. (A) Hambatan pertumbuhan G. boninense terhadap senyawa antijamur isolat TU 1 pada medium PDA umur inkubasi 24 jam pada suhu 28°C.

(B) Aktivitas glukanolitik isolat TU 21 pada media glukan + laminarin

% umur 48 jam pada suhu 28°C.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.5 Potensi Bakteri Diazotrof

Potensi bakteri diazotrof yang memiliki kemampuan antagonis terhadap G.

boninense menunjukkan kemampuan yang bervariasi (Tabel 4.5). Semua bakteri mampu menambat N tetapi tidak semua bakteri menghasilkan IAA dan melarutkan fosfat. Kemampuan menambat N diamati secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif berdasarkan tebal pelikel yang terbentuk di permukaan medium Ashby’s semi padat, menunjukkan bahwa semua isolat menghasilkan pelikel dengan ketebalan berkisar antara 7-12 mm (Lampiran 3). Secara kuantitatif produksi amonium hanya diamati pada 5 isolat dengan kemampuan antagonis tertinggi. Isolat bakteri dengan kemampuan menambat N tertinggi yaitu TU 1 menghasilkan amonium sebanyak 3,1 ppm.

Pelikel yang terbentuk pada media menunjukkan bahawa jumlah nitrogen pada media telah terakumulasi (Susilowati dan Setyowati, 2016). Pelikel menunjukkan aktivitas nitrogenase bakteri pemfiksasi nitrogen dalam kondisi baik karena dalam media tidak ada kelebihan oksigen sehingga laju difusi oksigen sama dengan laju respirasi organisme (Susilowati et al., 2007). Kemampuan bakteri dalam memfiksasi nitrogen diujikan terhadap 5 isolat dengan kemampuan antagonis tertinggi terhadap G. boninense.

Hasil pengukuran konsentrasi amonium menunjukkan lima isolat bakteri diazotrof menghasilkan amonium sebesar 2,3-3,1 ppm. Isolat bakteri yang menghasilkan amonium dengan konsentrasi tertinggi yaitu isolat TU 1 sebesar 3,1 ppm dan terendah yaitu isolat TP 6 sebesar 2,3 ppm. Penelitian Hartono et al. (2014) yang juga mengamati kemampuan bakteri dalam memfiksasi nitrogen dengan mengamati produksi amonium diperoleh konsentrasi amonium dengan kisaran 104 μg/L – 272 μg/L. Vionita et al. (2015) memperoleh akumulasi amonium tertinggi sebesar 15,18 mg/L.

Amonia sebagai produk fiksasi N oleh bakteri diazotrof dihasilkan pada fase log akhir atau awal fase stasioner. Yu et al. (2017) berpendapat bahwa akumulasi amonium oleh bakteri diazotrof dipengaruhi oleh sumber karbon pada medium pertumbuhan. Sumber karbon pada medium pertumbuhan dimanfaatkan bakteri diazotrof untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri diazotrof menghasilkan amonium di dalam sel tetapi tidak diekskresikan ke medium. Saat sumber karbon sudah habis, sel

25

bakteri kehilangan kapasitas untuk menyimpan amonia sehingga amonia akan diekskresikan keluar sel. Aktivitas nitrogenase juga berperan secara tidak langsung saat adanya sumber karbon di medium pertumbuhan.

Kemampuan 5 isolat bakteri diazotrof dalam menghasilkan IAA bervariasi.

Isolat TP 6 menghasilkan IAA dengan konsentrasi tertinggi yaitu 3,7 ppm sedangkan isolat TU 38 tidak menghasilkan IAA. Hal tersebut mungkin dikarenakan isolat TU 38 tidak mampu mensintesis triptopan pada media menjadi IAA. Penelitian Sukmadi (2012) mendapat 14 isolat bakteri asal rizosfer dan endofit tidak mampu menghasilkan IAA. Hal tersebut dikarenakan isolat bakteri tidak memiliki enzim triptopan-mono-oksigenase. Enzim tersebut bekerja untuk mengubah triptopan dalam media menjadi IAA.

Produksi IAA oleh isolat bakteri diukur pada umur 48 jam. Konsentrasi IAA yang diperoleh pada penelitian ini memiliki nilai yang mendekati dengan hasil penelitian Susilowati et al., (2018) dengan konsentrasi tertinggi sebesar 1,0652 ppm dan terendah sebesar 0,0573 ppm. Produksi IAA pada medium oleh bakteri diazotrof dipengaruhi oleh isolat bakteri, komposisi media serta waktu inkubasi isolat bakteri (Sukmadi, 2012).

Tabel 4.5 Kemampuan Fiksasi N, Produksi IAA, Indeks Pelarut Fosfat

No. Kode

Keterangan : TU : Tanah USU, TK : Tanah Kebun Rakyat, TP : Tanah PTPN IV, td : tidak diamati, - : tidak menghasilkan.

Pengamatan kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat diperoleh sebanyak 7 isolat bakteri mampu menghasilkan zona bening di media Pikovskaya Agar. Hasil pengukuran nilai indeks perlarutan fosfat tertinggi diperoleh pada isolat TU 36 sebesar 5,2 sedangkan indeks terendah diperoleh pada isolat TP 30 sebesar 2,4.

Bakteri yang tumbuh pada media Pikovskaya Agar akan melarutkan (Ca3(PO4)2) sumber fosfat tidak larut pada media Pikovskaya tersebut (Purwaningsih, 2012). Zona bening yang terbentuk disekitar isolat bakteri yang diasumsikan bahwa fosfat yang tidak terlarut menjadi terlarut karena aktivitas enzim fosfatase (Lestari et al., 2011) yang dimiliki isolat bakteri (Lampiran 3).

Isolat TU 36 merupakan bakteri diazotrof potensial dalam melarutkan fosfat.

Ukuran zona bening yang terbentuk disekitar koloni bakteri dapat menunjukkan kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat pada media namun tidak menunjukkan jumlah fosfat yang dilarutkan oleh bakteri (Suliasih dan Rahmat, 2007). Bakteri pelarut fosfat mampu menghasilkan asam organik dalam aktivitas melarutkan fosfat.

Asam organik tersebut seperti 2-ketoglukonik (Hwangbo et al., 2003), asam sitrat, format, suksinat, asetat, propionat, butirat dan oksalat (Setiawati dan Mihardja, 2008). Ion Ca pada Ca3(PO4)2 diikat oleh asam-asam organik tersebut kemudian membebaskan H2PO4 sehingga terbentuklah daerah bening pada media (Widawati dan Suliasih, 2006).

4.6 Aktivitas Antagonis dan Pemacu Pertumbuhan Tanaman Bakteri Diazotrof

Dokumen terkait