OF HUMAN RIGHTS
Bab ini menjelaskan tentang mekanisme dan bentuk implementasi
putusan European Court of Human Rights mulai dari bentuk-bentuk
umum implementasi putusan European Court of Human Rights,
sampai pada mekanisme pengawasan implementasi putusan European
BAB IV : YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT
IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS
Bab ini berisi analisis mengenai yurisdiksi European Court of Human
Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional antara lain dengan terlebih dahulu membahas legitimasi
putusan European Court of Human Rights menurut Hukum Inggris
sampai pada kekuatan mengikat European Convention on Human
Rights terhadap Inggris.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang
sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan dalam
penulisan ini. Selanjutnya akan diutarakan saran sebagai masukan
untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan yang telah dibahas
BAB II
YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS
A. Tinjauan Umum Tentang Yurisdiksi menurut Hukum Internasional
Hukum Internasional (HI) ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara ; Negara dengan
Negara, Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum
bukan Negara satu sama lain.43 Pada umumya HI diartikan sebagai himpunan dari
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur
hubungan antara Negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam
kehidupan maysarakat internasional.44
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek HI sebenarnya hanyalah
Negara.
45 dan beberapa penulis tertentu menyatakan bahwa negara satu-satunya
subjek HI.46
43
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 4
Namun keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan
perkara budak-budak (slaves) dan perompak-perompak (pirates). Sebagai akibat
dari traktat-traktat umum, beberapa hak perlindungan tertentu dan lain-lain telah
diberikan kepada budak-budak oleh masyarakat Negara-negara. Selain itu,
berdasarkan hukum kebiasaan internasional, individu-individu yang melakukan
tindak pidana perompakan jure gentium di laut lepas dapat dipandang sebagai
44
Boer Mauna, HI: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 1
45
Ibid, hlm. 95 46
J.G. Starke, Pengantar HI, (Edisi Kesepuluh), terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.77
musuh-musuh umat manusia yang bertanggung jawab atas penghukuman oleh
setiap Negara yang menangkap mereka.47 Dengan demikian berdasarkan mana
para budak menikmati perlindungan sesungguhnya memberikan
kewajiban-kewajiban atas Negara-negara peserta. Tanpa adanya kewajiban-kewajiban demikian atas
Negara-negara untuk mengakui dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka,
maka para budak tersebut tidak akan memiliki hak-hak apapun dalam HI.48
Subjek HI menurut Martin Dixon adalah “a body or entity which is capable of
possessing and exercising rights and duties under international law”. Subjek-subjek HI tersebut seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan HI utama (the main
international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian Hukum Intenraisonalnya (international legal personality). Kecakapan hukum yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
Sebagai pendukung teori tersebut maka terdapat berbagai pendapat yang
menyatakan bahwa individu merupakan subjek hukum yang sesungguhnya dari
HI, karena dalam analisis terakhir, individulah yang merupakan subjek segala
hukum nasional maupun internasional.
49
1. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional
(dan nasional)
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh
Hukum Internasional 47 Ibid hlm.78 48 Ibid 49
Martin Dixon, Textbook on International Law, (4th Edition), (London: Blackstone Press Limited, 2000), hlm. 105
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam
Hukum Internasional
4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik.
Dalam praktik hanya Negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB
yang memiliki semua kecakapan hukum diatas.50
1. Negara
Seiring dengan perkembangan
pendapat ini, terdapat berbagai macam subjek HI yang memperoleh
kedudukannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan
sejarah. Adapun subjek-subjek hukum menurut kebiasaan internasional yang
dianggap memiliki beberapa kecakapan tersebut antara lain :
Negara adalah subjek HI dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya
sejak lahirnya HI.51 Teori HI dilandasi oleh prinsip kedaulatan negara.52
Mengenai syarat-syarat sebuah entitas dapat dikategorikan sebagai Negara,
HI mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan Negara memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek HI dan semua
kecakapan hukum. Dalam perkembangannya telah muncul macam-macam
bentuk Negara dan kesatuan Bukan Negara, antara lain Negara kesatuan,
Negara federasi, Negara konfederasi, Negara persemakmuran, Negara mikro,
Negara netral, Negara protektorat, condominium, serta wilayah perwalian
(trust).
50
Karenanya Boer Mauna membagi subjek HI dalam subjek HI aktif yaitu Negara dan organissasi internasional serta subjek HI pasif yaitu subjek HI non-Negara dan organisasi internasional.
51
Sefriani, op.cit, hlm. 98 52
kewajiban Negara53
a. Memiliki teritorial tertentu
yang menyatakan bahwa karakteristik Negara adalah
sebagai berikut :
Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan
mendasar adanya suatu Negara. meskipun demikian, tidak ada
persyaratan dalam HI bahwa semua perbatasan sudah final dan tidak
memiliki sengketa perbatasan lagi dengan Negara-negara tetanga baik
pada waktu memproklamirkan diri sebagai Negara baru ataupun
setelahnya.54
b. Memiliki populasi permanen
Negara tidak akan eksis tanpa penduduk. Persyaratan a permanent
population dimaksudkan untuk sebuah komunitas yang stabil. Tidak ada peryaratan jumlah minimum penduduk yang harus dimiliki suatu
Negara. HI juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah
homogeneous. Kriteria a stable population merujuk pada kelompok individu yang hidup di wilayah Negara tertentu.55
c. Memiliki pemerintahan (government)
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,
mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan
memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang bersangkutan.
Pengertian berdaulat tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah yang
53
Konvensi ini sebenarnya hanya merupakan konvensi Regional kawasan Amerika, senantiasa menjadi rujukan dalam HI
54
Sefriani, op.cit hlm. 104 55
bersangkutan tidak pernah diintervensi pihak manapun dalam
menentukan kebijakannya. Dalam praktik, hampir tidak ditemukan
pemerintah suatu Negara yang bebas dari intervensi, baik intervensi
yang berasal dari Negara lain maupun subjek HI lain seperti yang
berasal dari lembaga internasional.56
d. Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional
dengan negara lain (capacity to enter into relations with other state).
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Negara lain
merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu Negara yang merdeka
tidak dibawah kedaulatan Negara lain akan mampu melakukan
hubungan dengan Negara lain. Suatu Negara dikatakan merdeka (legal
independence) jika wilayahnya tidak berada dibawah otoritas berdaulat yang sah dari Negara lain. Kemampuan untuk melakukan hubungan
dengan Negara lain adalah kemampuan dalam pengertian yuridis baik
berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan
secara fisik.57
2. Organisasi (Publik) Internasional
Organisasi internasional diakui sebagai subjek HI yang berhak
menyandang hak dan kewajiban dalam HI barulah sejak keluarnya
pendapat nasihat Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation Case
1949. Mahkamah Internasional dalam pendapat nasihatnya menyatakan
bahwa secara de jure dan de facto cukup PBB sebagai suatu organisasi
56
Ibid, hlm.106 57
internasional yang memiliki legal personality serta legal capacity untuk
bertindak di depan hukum mewakili kepentingan PBB sendiri juga
kepentingan korbannya.58
D.W. Bowett merumuskan pengertian umum dari organisasi
internasional sebagai berikut : In general, however, they were permanent
association…,based upon treaty of a multilateral than a bilateral type and with some define criterion of purpose.59
Terdapat dua fungsi utama dari organisasi internasional yaitu
sentralitas seperti halnya mengatur kegiatan organisasi lewat struktur yang
stabil dan perlengkapan administrasi yang mendukung. Selain itu
organisasi internasional juga berfungsi independen yang berarti memiliki
kemampuan untuk bertindak sesuai kadarnya dalam suatu bidang
tertentu.
Dalam artian ini organisasi
internasional harus memiliki syarat yaitu perjanjian dan lebih cenderung
pada perjanjian multilateral (banyak Negara) dibandingkan dengan
perjanjian bilateral (antara dua Negara) dan harus dengan tujuan tertentu.
60
Pemahaman lebih lanjut tentang elemen-elemen yang harus dimiliki
sebuah organisasi internasional diutarakan oleh Lerroy Bennet61
mengemukakan ada 5 ciri-ciri yang dimiliki organisasi Internasional yaitu:
58
Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, (Inggris: George Allen 7 Unwin Publisher, 1983), hlm.69, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.143
59
D. W. Bowett, The Law of International Institutions, (2nd ed.), (London: Butter Worth, 1970), hlm.5-6
60
Gerd Oberleitner, op.cit, hlm.12 61
a. A permanent organization to carry on a continuing set of functions
b. Voluntary Membership of Eligible
c. Basic Instrumen stating goals, structure and methods of operation
d. A broadly representative consultative conference organ
e. Permanent secretariat to carry on continuous administrative,
research and information functions
Klasifikasi secara umum berdasarkan Piagam PBB bahwa terdapat 2
(dua) jenis organisasi internasional yaitu organisasi internasional
antar-pemerintah atau Internastional Governmental Organizations (IGOs) dan
organisasi non-pemerintah atau Non-Governmental Organizations
(NGOs).62 Organisasi internasional antar pemerintah atau Internasional
Governmental Organization (IGOs) adalah organisasi yang beranggotakan pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu Negara secara
resmi.63
Dalam menjalankan fungsinya, organisasi tersebut perlu mempunyai
keabsahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar mengatasnamakan Sedangkan Non-Governmental Organization adalah suatu
lembaga yang didirikan atas prakarsa swasta atau non-pemerintah. Ruang
lingkup organisasi NGOs ini sangat luas dan beraneka ragam : Bidang
humaniter seperti Komisi Palang Merah Internasional (International
Committee of Red Cross/ICRC) maupun Amnesty International. Selain itu, di bidang olahraga seperti Komite Olimpiade Internasional dan bidang
perlindungan lingkungan seperti Greenpeace.
62
United Nations, United Nations Charter, Pasal 71 63
T. May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 5
Negara-negara anggotanya.64 Legal personality dan legal capacity adalah
hal yang sangat penting dimiliki oleh suatu organisasi internasional agar
mereka dapat menjalankan fungsinya.65 Tidak semua organisasi
internasional memiliki status sebagai subjek hukum HI. Organisasi
Internasional yang diakui sebagai subjek HI harus memenuhi karakteristik
berikut66
a. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dari dua :
Negara, apapun namanya dan tunduk pada rezim HI
b. Memiliki sekretariat tetap
Lewat perjanjian ini dapat diketahui apa nama organisasi tersebut,
tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan
suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur
organisasinya. Syarat adanya perjanjian yang dibentuk oleh Negara-negara
menjadikan organisasi yang memiliki kedudukan sebagai subjek dalam HI
hanyalah organisasi antar-pemerintah (Inter-Government Organization)
bukan Non-Government Organization.
Syarat kedua menujukkan tempat kedudukan organisasi tersebut.
Sekretariat menjadi tempat kegiatan, penyimpanan arsip,
pertemuan-pertemuan dan administrasi dari organisasi internasional hal ini juga
sebagai identitas dan pertanggunjawaban pendirian organisasi dalam
menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi internasional. Dengan
64
T. May Rudy, op.cit, hlm. 26 65
Sefriani, op.cit, hlm.143 66
international personality yang dimilikinya maka suatu organisasi internasional akan memiliki kecakapan HI (international legal capacity).67
3. Tahta Suci (Vatikan)
Tahta Suci merupakan suatu contoh dari suatu subjek HI yang telah
ada sejak dahulu di samping Negara. Hal ini merupakan peninggalan atau
kelanjutan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya
merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.
Hingga sekarang Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di
banyak ibukota (antara lain di Jakarta) wakil diplomatik Negara-negara
lain. Takhta suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan
sejajar keduudkannya dengan Negara. hal ini terjadi terutama setelah
diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11
Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di
Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya Negara
Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.
Dalam kategori yang sama, yaitu subjek HI karena sejarah, walaupun
dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang
bernama Order of The Knights of Malta. Himpunan ini hanya diakui oleh
beberapa Negara sebagai subjek HI.
4. Palang Merah internasional
International Committee of The Red Cross (ICRC) atau Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri
67
(unik) dalam sejarah HI. ICRC adalah organisasi yang dibentuk oleh John
Henry Dunant pada tahun 1949. Organisasi ini sebagai suatu subjek
hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian
kedudukannya (status) diperkuat dalam perjanjian dan kemudian
Konvensi-konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa Tahun
1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang Palang Merah
Internasional secara umum memiliki kedudukan sebagai subjek HI
walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. 68
5. Orang Perorangan (Individu)
Pendapat yang dikemukakan Hans Kelsen dalam bukunya Prinsciples
of International Law menyatakan bahwa apa yang dinamakan hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban semua manusia
yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam
negara itu. Dalam pandangan teori Kelsen ini Negara tidak lain dari suatu
konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia
anggota masyarakat Negara itu.69
Dalam perjanjian perdamaian Versailes tahun 1919 yang mengakhiri
Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan
masing-masing sekutunya sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan
orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase
Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama
68
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 101 69
Hans Kelsen, Principles of International Law (New York: 1952), hlm. 97 dikutip dari Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm 97
bahwa hanya Negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan
internasional.70
Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc
Nurenberg dan Tokyo dinyatakan bahwa individu memeiliki international
personality, mampu menyandang hak dan kewajiban yang diberikan HI
padanya. Individu bertanggung jawab secara pribadi, dapat dituntut di
pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa
dapat berlinudng dibalik negaranya.71
Dari paparan historis tersebut tampak bahwa pengakuan HI terhadap
individu sebagai subjek HI terbatas pada dimungkinkannya individu
dituntut di depan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara
pribadi atas namanyanya sendiri terhadap kejahatan-kejahatan
internasional yang telah dilakukannya.
72
Pengakuan terhadap kewajiban individu sebagai subjek HI diikuti oleh
pengakuan hak atas individu tersebut secara internasional. Perjanjian
Internasional yang memberikan hak pada individu untuk mengajukan
tuntutan di depan pengadilan internasional (salah satunya) adalah
Washington Convention Establishing the International Centre for Settlement of Investment Dispute 1965 yang dikenal dengan konvensi ICSID.
73
70
Treaty of Versailles, 1919, Pasal 297 dan 304
71 Sefriani, ibid, hlm. 147 72 Ibid, hlm. 148 73 Ibid, hlm. 149
Namun pengakuan ini memperoleh pembatasan. Individu-individu
dalam hal tertentu dapat menjadi subjek HI, tetapi hanya sebagai subjek
hukum buatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Nguyen Quoc
Din.74
6. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)
Disebut subjek hukum buatan adalah karena kehendak
Negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal
tertentu sebagai subjek HI yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan
konvensional.
Kejadian-kejadian dalam suatu negara, termasuk di dalamnya
pemberontakan dari kaum separatis merupakan urusan intern negara yang
bersangkutan. Hukum yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan
tersebut adalah hukum nasional Negara yang bersangkutan. HI melarang
Negara lain untuk tidak melakukan intervensi tanpa persetujuan Negara
tersebut. Negara-negara lain berkewajiban menghormati hak Negara
tersebut menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa
pemberontakan itu.75 Menurut hukum perang, pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa
(belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu76 Pada umumnya terdapat 4
unsur yang harus dipenuhi kaum pemberontak untuk mendapat pengakuan
sebagai belligerent yaitu77
74
Nguyen Quoc Din, Droit International Public, (5th Ed.), (Paris: Libraire Generale de Droit et de Jurisprudence, 1994), hlm. 620
:
75
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 85 76
Lih Oppenheim-Lauterpacht, International Law, (8th Ed., Vol II) dikutip dari Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 110
77
a. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepemimpinan yang jelas
b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan
identitasnya
c. Harus sudah mengasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah
tersebut benar-benar telah di bawah kekuasaannya
d. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya
Beberapa subjek-subjek lantas dapat dikaitkan dengan yurisdiksi. Dalam
praktiknya, kata yurisdiksi sering memiliki beberapa arti seperti territorial dan
kewenangan. Namun paling sering untuk menyatakan kewenangan yang
dilaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa.78
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio yang berasal dari
dua kata yaitu kata yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau
kepunyaan menurut hukum. Adapun diction berarti ucapan, sabda atau sebutan.
Didalam bahasa Inggris jurisdiction berarti “authority to carry out justice and
to interpret and apply laws” atau ”right to exercise legal authority”.
79 Adapun
Black’s Law Dictionary mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the power of court
to inquire into facts, apply the law, make decision, and declare judgement” atau “the legal right by which judges exercise their authority.”80
Namun banyak pendapat sarjana yang menyimpulkan bahwa bukan hanya
Negara yang memiliki yurisdiksi. Pendapat-pendapat tersebut dapat dibagi
78
Michael Akehurst, op.cit, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.232 79
A.P. Cowie (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 679
80
menjadi pendapat yang mendefinisikan yurisdiksi secara sempit (hanya
dimiliki oleh Negara) dan pendapat yurisdiksi secara lebih luas.
1. Yurisdiksi Dalam Arti Sempit
Dalam pendapat yang menyatakan bahwa yurisdiksi dilaksanakan oleh
Negara, lebih cenderung berpendapat bahwa yurisdiksi adalah refleksi dari
kedaulatan suatu Negara, yang dilaksanakan dalam batas-batas wilayahnya.
Apabila kedaulatan merupakan atribut atau ciri khusus dari Negara maka
yurisdiksi merupakan lambang kedaulatan suatu Negara. Pendapat-pendapat
yang mendukung pernyataan tersebut antara lain :
a. B. James George Jr. yang mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the
authority of nations or states to create or prescribe penal or regulatory norms and to enforce them through administrative and judicial action”.81
b. Malcon N. Shaw memberikan pengertian yurisdiksi sebagai berikut:
“The power of state to affect people, property and circumstances and reflects the basic of state sovereignty, equality of states and non-interference in domestic affairs. Jurisdiction is a vital and indeed central feature of sovereignty,…it may be achieved by means of legislative action or by executive action or by judicial action.”
Hal ini berarti yurisdiksi menggambarkan kekuasaan Negara untuk
mengatur orang, kebendaan, dan peristiwa serta mencerminkan
landasan dari kedaulatan Negara, kesederajatan antar-negara dan tidak
campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain. Shaw juga
81
Sanford H.Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, (New York :The Free Press, 1983) hlm. 922 dikutip dari Ibid.
berpendapat bahwa yurisdiksi merupakan hal yang sangat penting dari
kedaulatan Negara, Hal ini dapat diwujudkan melalui kegiatan
legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Menurut Shaw, lingkup
yursidiksi sebagai refleksi kedaulatan negara terdiri dari tiga jenis
yurisdiksi yaitu :
1) Legislative Jurisdiction. Yurisdiksi legislatif menunjukan pada
kekuasaan yang dimiliki organ Negara secara konstitusional untuk
membuat hukum yang mengikat di dalam wilayahnya.
2) Executive Jurisdiction. Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan
kemampuan Negara untuk melakukan tindakan di dalam
batas-batas Negara lain. Pejabat negar tidak dapat menerapkan
hukumnya di wilayah Negara lain.
3) Judicial Jurisdiction. Yurisdiksi yudisial berkaitan dengan
kekuasaan pengadilan Negara tertentu untuk mengadili
perkara-perkara yang ada faktor asing. Terdapat sejumlah dasar atau alasan
yang dapat digunakan pengadilan untuk menuntut mengadili dalam
yurisdiksinya, dari mulai prinsip territorial sampai prinsip
universal.82
c. Hakim Mac Millan menyatakan :
“it is essential attribute if sovereignity…,as of all soverign independent states, that it just process jurisdiction over all person and
82
things within its territorial limits and in all causes, civil and criminal arising within its limits”83
(Ini merupakan karakteristik esensial dari kedaulatan…,sebagaimana
juga yang melekat pada semua Negara merdeka yang berdaulat, bahwa
kekuasaan tersebut mencakup yurisdiksi atau kewenangan atas semua
orang dan benda atau peristiwa yang ada atau terjadi dalam batas-batas
wilayahnya, baik yang bersifat keperdataan maupun pidana)
Dalam tataran teoritis, terdapat dua doktrin kontemporer tentang yurisdiksi
ini yakni doktrin Domestic Jurisdiction (Yurisdiksi Domestik) yang
merupakan yurisdiksi dalam suatu Negara dan Universal Jurisdiction
(Yurisdiksi Universal). Dalam HI prinsip yurisdiksi domestik dijamin seperti
dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang berbunyi :
“Nothing contained in the present Charter shall authorize The United Nations to intervene in matters which are essentially with the domestic jurisdiction of any state.”84
Namun dalam Piagam PBB juga diberikan pengesahan untuk melakukan
intervensi (dalam hal ini intervensi positif atau kemanusiaan, seperti yang
diatur dalam Bab VII tentang keleluasaan Organisasi Internasional (PBB, atau
organisasi regional) untuk merespons ancaman-ancaman terhadap perdamaian,
pelanggaran atas perdamaian, tindakan-tindakan melanggar HAM dan praktik
terorisme. Dengan kata lain, yurisdiksi domestik masih diakui selama tidak
83
Sigid Suseno, loc.cit., hlm. 54 84
UN Charter, Text in Ian Brownlie (ed), Basic Documents on Human Rights, (3rd Editions), Oxford :Clederon Press, 1993) hlm. 4-5 dikutip dari Mirza Satria Buana, HI: Teori dan Praktek,