YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
110200245
SAIDESI MAYSELA S.
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O l e h :
SAIDESI MAYSELA S. 110200245
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
NIP : 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah S.H.,M.Hum.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum
NIP : 197302202002121001 NIP : 195610101986031003 Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah
serta berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan
baik. Salawat beriring salam senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
yang merubah dunia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh pengetahuan
serta penghormatan harkat dan martabat manusia seperti sekarang.
Penelitian yang berjudul “Yurisdiksi European Court of Human Rights
Terkait Implementasi Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional” ini
dilakukan terutama guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini lahir dari ketertarikan penulis terhadap permasalahan
penegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Telah
banyak terdapat instrumen hukum internasional mengenai HAM khususnya Hak
Sipil dan Politik, namun penegakkan hukum tersebutlah yang paling penting
untuk menjadi perhatian dunia. Oleh karenanya, suatu putusan pengadilan
internasional seperti pengadilan HAM pada tingkat regional adalah salah satu cara
penegakkan hukum tersebut, walaupun banyak ditemui kendala. Salah satu yang
paling sering adalah kendala yursdiksi terkait implementasi putusan tersebut pada
yurisdiksi suatu Negara. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini dilakukan
untuk menganalisis yurisdiksi ECtHR sebagai salah satu pengadilan HAM
regional yang dibentuk oleh perjanjian internasional dalam menerapkan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat
maupun memberi bantuan moril atau materil kepada penulis terkhusus kedua
orang tua penulis, ayahanda Sintong Sibuea dan ibunda Nursyamsu Erna tercinta
atas segala pemberian dan pengorbanan tak terbalaskan yang telah, sedang dan
akan selalu penulis rasakan seumur hidup. Selain itu, tak lupa pula penulis
haturkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan yang
sangat berharga dalam penelitian ini, yaitu :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu., S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara ;
2. Dr. Chairul Bariah, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;
3. Dr. Mahmul Siregar S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis
atas waktu, tenaga dan pikiran melalui diskusi maupun motivasi kepada
penulis untuk melakukan yang terbaik dalam penelitian ini. Dari beliau,
penulis juga belajar menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang banyak ;
4. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis atas
waktu, tenaga, dan pikiran melalui diskusi substansi dan sistematika pada
penelitian ini yang sangat membantu penulis ;
5. Dra. Zakiah M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan
penuh kesabaran telah membimbing penulis sejak pertama duduk sebagai
6. Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu atas ilmu, pengalaman serta nasihat
yang telah diberikan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan guna
bekal penulis untuk menjadi sarjana hukum yang berguna bagi nusa dan
bangsa di masa depan ;
7. Keluarga besar Badan Ta’mirul Mushalla Aladdinsyah (BTM) S.H.
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan, pengalaman
dan pelajaran yang senantiasa mengingatkan diri penulis untuk menjadi
manusia yang lebih baik dalam hablum minallah dan hablum minannaas ;
8. Sahabat-sahabat SPEKTRA, sebagai teman berbagi amanah, tanggung
jawab, serta cerita dalam suka maupun duka baik selama masa tugas
maupun setelahnya. Semoga kita bisa sukses menggapai cita-cita dan
selalu dapat dipertemukan dengan ridho Allah SWT ;
9. Para Senior Coach, Coaches serta Cannonners Meriam Debating Club
(MDC) yang tidak hanya telah banyak berkontribusi pada peningkatan
kemampuan akademis penulis, namun juga telah membangun
kekeluargaan dan semangat berkompetisi dalam diri penulis. Semoga
perjuangan untuk mengharumkan nama Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dapat terus berkobar ;
10.Sahabat-sahabat ILSA Angkatan 2011 yang senantiasa menjadi mood
booster harian penulis melalui kebersamaan dan setiap kebaikan dalam
merajut kekeluargaan antar-mahasiswa maupun antara mahasiswa dengan
11.Keluarga Besar Opung Wilmar Sibuea dan Opung Marsinta br. Tobing
serta Datuk Syamsuddin Zainuddin dan Nenek Nurlis Tanjung dimanapun
berada yang tak henti-hentinya mendukung penulis sampai detik ini ;
12.Adik-adik penulis yang sangat penulis sayangi yaitu Rizka Damela Sibuea
dan Adianfela Narotama Sibuea yang senantiasa memberikan keceriaan,
waktu untuk berbagi suka duka, hingga memberikan sumbangsih dalam
proses pengerjaan skripsi ini ;
13.Teman-teman Grup F yang telah mewarnai hari-hari penulis serta
meninggalkan kenangan-kenangan indah melalui kebersamaan selama
tujuh semester ini. Semoga tetap kompak dan sukses meraih cita-cita ;
14.Sahabat-sahaba penulis sejak SMP, Lia Hatika, Yogie Julianda, Desty
Wulandari dan Aji Putro yang senantiasa memberi motivasi pada penulis ;
15.Segenap civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, jajaran staf
administrasi dan pegawai di lingkungan kampus.
Dengan ilmu yang masih seujung kuku ini, sangat mungkinlah terdapat
ketidaksempurnaan baik dari segi substansi maupun sistematika penelitian ini
untuk itu penulis mohon untuk kiranya dapat dimaklumi. Akhir kata, semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat-manfaat seperti yang telah dicitakan.
Medan, April 2015
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR SINGKATAN ... ix
DAFTAR SKEMA ... x
ABSTRAK ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... . 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... . 8
D. Keaslian Penulisan ... . 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... . 10
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS A. Tinjauan Umum Tentang Yurisdiksi menurut Hukum Internasional ... 20
1. Yurisdiksi Dalam Arti Sempit ... 33
2. Yurisdiksi Dalam Arti Luas ... 39
C. Komponen European Court of Human Rights menurut
European Convention on Human Rights... 53
1. Hakim-Hakim ... 55
2. Seksi dan Chamber ... 56
3. Grand Chamber ... 57
D. Yurisdiksi European Court of Human Rights menurut European Convention on Human Rights... 57
1. Yurisdiksi Penerapan Konvensi (Applications) ... 58
a. Individual Application (Permohonan Perseorangan) 58
b. Inter-States Application (Permohonan Antar-Negara) 68 2. Yurisdiksi Penafsiran Konvensi (Interpretations) ... 71
3. Yurisdiksi Pendapat Nasihat (Advisory Opinion) ... 74
BAB III MEKANISME IMPLEMENTASI PUTUSAN EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS A. Bentuk-Bentuk Umum Implementasi Putusan European Court of Human Rights terhadap Negara-Negara Pihak ... 78
1. Penggunaan Langkah Individual (Adoption of Individual Measures) ... 79
a. Penebusan Setimpal (Just Satisfaction) ... 79
2. Penggunaan Langkah Umum (Adoption of General
Measures) ... 83
a. Tindakan yang diambil Negara Termohon ... 86
b. Tindakan yang diadopsi Negara yang bukan Pihak
dalam Putusan ... 88
c. Pengaturan Kelembagaan dalam Negara untuk
Melaksanakan Putusan Pengadilan ... 89
B. Pengawasan terhadap Implementasi Putusan European Court
of Human Rights ... 90
1. Komite Menteri (Committee of Ministers) ... 90
2. Organ Lain Council of Europe untuk Mempercepat
Pelaksanaan Putusan ... 93
BAB IV YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS
TERKAIT IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS
HUKUM INTERNASIONAL
A. Bentuk-Bentuk Yurisdiksi European Court of Human Rights
terkait Implementasi Putusannya di Inggris ... 96
1. Pelaksanaan Penebusan Setimpal ... 97
2. Petunjuk Langkah yang Mungkin dari Pelaksanaan
Dalam Putusan ... 98
3. Putusan Kedua dari Permasalahan yang Sama ... 99
B. Penolakan Pematuhan Putusan European Court of Human
Rights oleh Inggris ... 106
C. Yurisdiksi European Court of Human Rights terkait
Implementasi Putusannya di Inggris menurut Hukum
Internasional ... 108
1. Kekuatan Mengikat European Convention on Human
Rights terhadap Inggris ... 108
2. Legitimasi Putusan European Court of Human Rights
di Inggris ... 115
a. Human Rights Act 1998 ... 120
b. Joint Committee on Human Rights ... 125
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 131
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
CoE : Council of Europe
DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
ECHR : European Convention on Human Rights
ECtHR : European Court of Human Rights
HAM : Hak Asasi Manusia
HI : Hukum Internasional
HN : Hukum Nasional
ITLOS : International Tribunal in The Law of The Sea
ICJ : International Court of Justice
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Prosedur Permohonan Perseorangan ……… 67
Yurisdiksi European Court of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional
ABSTRAK
Saidesi Maysela S.1
Dr. Mahmul Siregar S.H.,M.Hum.2 Dr. Sutiarnoto S.H.,M.Hum.3
Perlindungan Hak Asasi Manusia telah menjadi salah satu konsentrasi Hukum Internasional. Realisasi upaya perlindungan tersebut dapat ditempuh melalui penegakkan hukum oleh Peradilan HAM, salah satunya adalah European Court of Human Rights (ECtHR) yang lahir dari European Convention on Human Rights (ECHR) sebagai bentukan dari organisasi internasional yakni Council of Europe (CoE). Namun dalam perkembangannya, tidak semua putusan ECtHR diterapkan di Negara-negara Pihak, salah satunya Inggris. Oleh karenanya, penting untuk menganalisis yurisdiksi ECtHR menurut ECHR, mekanisme implementasi putusan ECtHR tersebut di Negara-Negara Pihak, serta yurisdiksi ECtHR terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif atau studi pustaka (library research) sedangkan sumber data berasal dari data primer, data sekunder, dan data tersier. Penelitian ini merupakan analisa data yang bersifat kualitatif dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis sehingga menghasilkan pembahasan sebagaimana yang tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Hasil dari penelitian ini antara lain, berdasarkan Pasal 32 ECHR, yurisdiksi ECtHR mencakup permohonan dan penafsiran terhadap ECHR. Implementasi putusan ECtHR dapat berupa langkah umum dan langkah individual yang mana pengawasan implementasi putusan tersebut dilakukan oleh Komite Menteri yang merupakan organ lain dari CoE. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, ECtHR memiliki yurisdiksi terkait implementasi putusannya di Inggris, karena Inggris masih merupakan Negara Pihak dalam ECHR. Yurisdiksi ECtHR tersebut berupa pelaksanaan penebusan setimpal, petunjuk kemungkinan langkah pelaksanaan dalam putusan, putusan kedua dari permasalahan yang sama, serta Pilot-Judgment Procedure. Namun yurisdiksi tersebut dibatasi oleh prinsip kedaulatan negara, dimana Inggris menentukan bahwa putusan ECtHR tidak memiliki dampak langsung terhadap hukum Inggris berdasarkan Bagian 2 dari Human Rights Act 1998.
Kata Kunci : European Court, HAM, Inggris, Yurisdiksi
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2
Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3
Yurisdiksi European Court of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional
ABSTRAK
Saidesi Maysela S.1
Dr. Mahmul Siregar S.H.,M.Hum.2 Dr. Sutiarnoto S.H.,M.Hum.3
Perlindungan Hak Asasi Manusia telah menjadi salah satu konsentrasi Hukum Internasional. Realisasi upaya perlindungan tersebut dapat ditempuh melalui penegakkan hukum oleh Peradilan HAM, salah satunya adalah European Court of Human Rights (ECtHR) yang lahir dari European Convention on Human Rights (ECHR) sebagai bentukan dari organisasi internasional yakni Council of Europe (CoE). Namun dalam perkembangannya, tidak semua putusan ECtHR diterapkan di Negara-negara Pihak, salah satunya Inggris. Oleh karenanya, penting untuk menganalisis yurisdiksi ECtHR menurut ECHR, mekanisme implementasi putusan ECtHR tersebut di Negara-Negara Pihak, serta yurisdiksi ECtHR terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum normatif atau studi pustaka (library research) sedangkan sumber data berasal dari data primer, data sekunder, dan data tersier. Penelitian ini merupakan analisa data yang bersifat kualitatif dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis sehingga menghasilkan pembahasan sebagaimana yang tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Hasil dari penelitian ini antara lain, berdasarkan Pasal 32 ECHR, yurisdiksi ECtHR mencakup permohonan dan penafsiran terhadap ECHR. Implementasi putusan ECtHR dapat berupa langkah umum dan langkah individual yang mana pengawasan implementasi putusan tersebut dilakukan oleh Komite Menteri yang merupakan organ lain dari CoE. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, ECtHR memiliki yurisdiksi terkait implementasi putusannya di Inggris, karena Inggris masih merupakan Negara Pihak dalam ECHR. Yurisdiksi ECtHR tersebut berupa pelaksanaan penebusan setimpal, petunjuk kemungkinan langkah pelaksanaan dalam putusan, putusan kedua dari permasalahan yang sama, serta Pilot-Judgment Procedure. Namun yurisdiksi tersebut dibatasi oleh prinsip kedaulatan negara, dimana Inggris menentukan bahwa putusan ECtHR tidak memiliki dampak langsung terhadap hukum Inggris berdasarkan Bagian 2 dari Human Rights Act 1998.
Kata Kunci : European Court, HAM, Inggris, Yurisdiksi
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2
Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada hakikatnya, semua manusia memiliki martabat dan derajat yang sama,
serta memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula tanpa membedakan jenis
kelamin, warna kulit, suku, agama, maupun status sosial lainnya. Hal ini karena
setiap manusia memiliki derajat yang luhur (human dignity) dan berasal dari
Tuhan yang menciptakannya sebagai individu yang bebas untuk dapat
mengembangkan diri.4 Hak-hak manusia tersebut, lantas semakin berkembang
dari hak asasi yang bersifat pribadi atau orang-perorangan (personal rights)
menjadi Hak Asasi Manusia (HAM) atau human rights.5
Paton mengatakan bahwa hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan
dan juga kehendak.
6 Hal ini dapat dikaitkan dengan realita perlindungan HAM
Internasional. Dalam perspektif sejarah, perlindungan terhadap HAM telah
dilaksanakan lewat Piagam Madinah tahun 622 M.7
4
Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi (Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media, 2003), hlm.200
Setelah itu, lahir beragam
instrumen hukum normatif dari berbagai belahan dunia antara lain Magna Charta
(1679), Bill of Rights (1776), Declaration des Droits l’Hommes et du Citoyen
(1789). Namun komitmen internasional yang luas baru terlihat dalam
pembentukan United Nations Declaration of Human Rights atau Deklarasi Hak
5
Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, HAM dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hlm.47
6
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hlm.95 7
Asasi Manusia PBB (DUHAM) yang dibentuk tahun 1948 sebagai landasan moril
penegakkan HAM dunia.
Eropa sebagai benua dengan Negara yang saling berbatasan darat, telah banyak
menjadi tempat pelanggaran HAM yang berat8 terutama selama perang dunia.
Semangat untuk melindungi HAM mulai berkembang di Eropa terutama sejak
Pidato Winston Churchill di Universitas Zurich tanggal 19 September 1946 :9 "We
must build a kind of United States of Europe...The first step is to form a Council of
Europe".10 Pernyataan ini lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan kongres
pada tahun 1948 untuk merumuskan organisasi yang hanya mencakup
Negara-negara di Eropa yang pada akhirnya membentuk Council of Europe (Dewan
Eropa). Dewan Eropa menjadi organisasi politik benua tertua yang dibentuk pada
194911 melalui Treaty of London atau Statute of Council of Europe yang
sasarannya adalah, inter alia12, penguatan demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Rule of Law.13
Sebagai organisasi internasional, CoE memiliki kewenangan untuk
membentuk perjanjian-perjanjian termasuk diantara Negara-negara anggotanya.
8
Javaid Rehman, International Human Rights Law : Practical Approach, (London: Pearson Education Limited, 2003), hlm. 136
9
The Council of Europe,
10
Winston Churchill and the Council of Europe, dikutip dari
tanggal 12 Januari 2015
Information Sources, diakses tanggal 11 Januari 2015
12
Bahasa Latin untuk “antara lain”. Frasa ini sering ditemukan dalam dalil-dalil permohonan yang ditulis untuk mengkhususkan contoh dari banyak kemungkinan. Dikutip dari
13
Oleh karenanya, Pada 1950 dibentuklah Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedom atau dikenal dengan European Convention on
Human Rights (ECHR).
Dalam sistem yang pertama kali dibentuk, 3 (tiga) institusi atau organ
diberikan tugas untuk menjamin pematuhan ECHR oleh Negara-negara anggota,
yakni The European Court of Human Rights, European Commission on Human
Rights dan The Committee of Ministers (Komite Menteri). Setelah berlakunya
Protokol Nomor 11 pada 1 November 1998, dua institusi digabungkan menjadi
Pengadilan tunggal yang mana permohonan perseorangan atau antar-Negara
mengenai dugaan pelanggaran hak sipil dan politik yang diatur dalam ECHR
dapat langsung disampaikan pada Pengadilan. Perubahan ini mengakhiri fungsi
penyaringan Komisi dan memungkinkan pemohon untuk membawa kasus mereka
langsung kepada Pengadilan.14
Berbicara mengenai suatu pengadilan, maka perlu membahas ruang lingkup
yurisdiksi pengadilan tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Yurisdiksi
berkaitan dengan kekuasaan, hak atau wewenang untuk menetapkan hukum.
15
14
Dikutip dari
Hal
ini dapat diterapkan pada lembaga atau organ yudisial sebagai pembentuk sumber
hukum yakni melalui yurisprudensi atau putusannya. Maka dari itu, ECtHR
sebagai suatu badan peradilan atau organ yudisial dari organisasi internasional
memiliki yurisdiksi tertentu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
15
Pengaturan mengenai yurisdiksi ECtHR terdapat dalam Pasal 32 ECHR yang
terdiri dari application (penerapan) dan interpretation (penafsiran) Konvensi dan
Protokol-protokol Tambahan. Penerapan berarti kewenangan ECHR untuk
menerima dan menolak individual application (permohonan perseorangan)
maupun inter-states application (permohonan antar-negara). Sedangkan yurisdiksi
penafsiran dilakukan untuk memperjelas makna dari ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan termasuk berkaitan dengan
implementasi putusan. Selain itu, kewenangan tambahan yang dimiliki ECtHR
adalah memberikan advisory opinion atau pendapat nasihat yang bersifat tidak
mengikat, atas permintaan Komite Menteri maupun para pihak dalam perkara.
Implementasi atau penerapan putusan adalah langkah utama bagi efisiensi
Pengadilan. Tanpanya, keadaan bagi mereka yang dibantu oleh Pengadilan
tersebut tidak bertambah baik. Bahkan yurisprudensi yang terbaik dan sangat
mendalam pun dapat dianggap tidak efektif bila tidak diterapkan, dan legitimasi
Pengadilan itu pun dapat dipertanyakan.16
16
Ibid, hlm.11
Maka dari itu, putusan ECtHR perlu
diterapkan di Negara pihak (High Contracting Party). Kewajiban untuk mematuhi
atau menerapkan putusan akhir ECtHR tercantum dalam Pasal 46 Paragraf 1
ECHR “The High Contracting Parties undertake to abide by the final judgment of
the Court in any case to which they are parties.” Penerapan tersebut dapat berupa
Individual Measure (Langkah Individual) yang diterapkan untuk menghilangkan
konsekuensi kerugian yang diderita seseorang akibat terjadinya suatu pelanggaran
Measure (Langkah Umum) yang lebih berfungsi preventif yakni mencegah
terjadinya kasus yang sama terulang dikemudian hari dimana salah satu
dampaknya adalah amandemen legislasi Negara pihak.
Sejak pengadilan dibuka tahun 1959, Negara anggota CoE telah mengadopsi
sejumlah protokol yang lebih fokus pada perlindungan hak sipil dan politik seperti
hak berserikat dan berkumpul, hak hak atas proses peradilan yang adil, dan hak
kebebasan dalam pemilihan umum. Saat ini, 9 Protokol Tambahan telah dibentuk
agar ECtHR berperan dalam perlindungan hak-hak yang dijamin dalam ECHR
dan Protokolnya tersebut di atas yurisdiksi Negara-negara Pihak.
ECtHR tidak berwenang dalam mengawasi implementasi putusannya. ECtHR
sebagai mekanisme yudisial yang paling maju untuk memperbaiki pelanggaran
HAM ini, harus bergantung pada Komite Menteri untuk mengawasi eksekusi
putusannya17
Hukum supranasional semakin lama telah mempengaruhi hukum nasional
selama bertahun-tahun.
sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 46 Paragraf 2 ECHR.
18 ECtHR sebagai pengadilan supranasional19 berarti
bahwa pengadilan ini ditempatkan untuk memutuskan masalah tertentu dari
kepentingan umum yang berkaitan dengan perlindungan HAM yang melintasi
keseluruhan Eropa.20
17
Gerd Oberleitner, Global Human Rights Institutions: Between Remedy and Ritual, (Cambridge :Polity Press 2007), hlm.13
Berkaitan dengan praktik dari peran tersebut, sampai saat ini
ECtHR telah menanggapi ribuan putusan yang mengikat setiap aspek legislasi
18
Nina-Louisa Arold, The Legal Culture Of The European Court of Human Rights (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), hlm.6
19
Supranasional diartikan disini sebagai sebuah perluasan melampaui atau melewati batasan-batasan yang dibangun untuk memisahkan bangsa-bangsa suatu Negara.
20
pada benua Eropa. ECtHR juga dinilai sebagai perintis dari salah satu rezim HAM
yang paling berhasil saat ini.21
Namun dalam perkembangannya, ECtHR dikritisi atas jangkauan berlebih
terhadap kekuasaan dan turut campur terhadap hukum dalam negeri yang telah
terbentuk serta praktik untuk memaksakan standar yang seragam pada
Negara-negara Pihak.
22
Inggris merupakan salah satu Negara yang pertama menandatangani teks
ECHR pada saat terbentuk tahun 1950, serta yang paling awal meratifikasinya
yakni pada tahun 1951. Putusan ECtHR yang menyangkut Inggris biasanya
menuntun pada perubahan cepat terhadap hukum atau cara hukum itu diterapkan.
Secara umum, Inggris merupakan rekor percontohan dalam penerapan putusan
ECtHR.
Selain itu, masih banyak terdapat penundaan bahkan penolakan
pelaksanaan putusan oleh Negara-negara Pihak dalam beberapa kasus, salah
satunya dilakukan oleh Inggris.
23
21
David C. Baluarte, Christian M. De Vos, From Judgment to Justice : Implementing International and Regional Human Rights Decisions, (New York: Open Society Foundations, 2010), hlm.33
Namun masih terdapat beberapa putusan ECtHR yang ditolak oleh
Inggris untuk diterapkan di Negara tersebut, diantaranya adalah kasus Hirst tahun
2005 serta kasus Greens dan MT tahun 2010. Dalam kasus-kasus ini, putusan
akhir ECtHR menyatakan bahwa Inggris telah melanggar hak kebebasan dalam
pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 3 Protokol 1 ECHR. Putusan ini
mewajibkan Inggris untuk mengamandemen legislasi yang bertentangan dengan
ECHR tersebut, khususnya Bagian 3 dari Representation of the People Act 1983.
22
Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm178 23
Namun hingga 2015 amandemen tersebut belum dilakukan, padahal batas waktu
yang ditetapkan adalah tanggal 11 Oktober 2011.
Terhadap kaidah-kaidah Hukum Internasional, Inggris cenderung kepada dua
pendekatan yakni lebih mengutamakan hukum nasional atau dalam hal-hal
tertentu mengutamakan Hukum Internasional. Demikian pula,
perjanjian-perjanjian internasional yang dilaksanakan oleh Inggris, mensyaratkan legislasi
untuk dapat berlaku. Peraturan-peraturan Hukum Internasional menjadi bagian
dari hukum Inggris jika hukum itu diterima dan diadopsi oleh Inggris. Hal ini
menggambarkan bahwa Inggris menganut aliran dualisme dalam menerapkan
Hukum Internasional di dalam negeri.
Instrumen ratifikasi mengharuskan Inggris untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan dalam ECHR termasuk Pasal 46 Paragraf 1 yang menegaskan bahwa
kekuatan mengikat dan pelaksanaan putusan ECtHR harus dipatuhi oleh
Negara-negara Pihak dimana mereka terlibat dalam suatu kasus. Namun, Inggris telah
menerapkan legislasi sebagai bentuk kedaulatan Negara untuk melegitimasi
putusan ECtHR, yakni melalui Human Rights Act 1998 (HRA) melalui
transformasi hukum. Dalam Bagian 2 HRA, Inggris menyatakan bahwa
Pengadilan Inggris harus menindaklanjuti setiap putusan ECtHR agar memiliki
kekuatan hukum dalam negeri. Hal ini menyebabkan putusan ECtHR tidak dapat
langsung diterapkan atau tidak memiliki dampak langsung (dirrect effect)
terhadap hukum Inggris. Ketentuan ini menjadi dasar hukum bagi Inggris untuk
demikian, sebuah badan telah dibentuk untuk memfasilitasi penerapan putusan
ECtHR di Inggris yakni Joint Committee on Human Rights (JCHR).
Permasalahan penolakan implementasi oleh Inggris lantas memunculkan
pertanyaan mengenai yurisdiksi ECtHR terkait implementasi putusannya di
Inggris yang dikaji menurut Hukum Internasional. Oleh karenanya penelitian ini
akan lebih dikhususkan pada pembahasan yurisdiksi tersebut yang mana dapat
dianalisis dengan melihat kekuatan mengikat ECHR terhadap Inggris serta
legitimasi putusan ECtHR dalam hukum inggris.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diangkat dan dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana yurisdiksi European Court of Human Rights menurut
European Convention of Human Rights ?
2. Bagaimana mekanisme implementasi putusan European Court of Human
Rights ?
3. Bagaimana yurisdiksi European Court of Human Rights terkait
implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini memiliki tujuan dan manfaat yang ingin dicapai. Tujuan
1. Untuk mengetahui yurisdiksi European Court of Human Rights menurut
European Convention of Human Rights
2. Untuk mengetahui mekanisme implementasi putusan European Court of
Human Rights
3. Untuk mengidentifikasi yurisdiksi European Court of Human Rights
terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional
Selain tujuan dari penulisan skripsi ini, perlu diketahui pula manfaat yang
diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini. Manfaat tersebut antara lain
sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi literatur guna
perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Selain itu, juga agar dapat
menambah wawasan para akademisi maupun praktisi hukum khususnya
pada kajian yang berkaitan dengan Yurisdiksi European Court of Human
Rights terkait implementasi putusannya di Inggris sebagai Negara Pihak
menurut Hukum Internasional.
2. Secara Praktis
Penelitian ini kiranya dapat memberi gambaran mekanisme
perlindungan HAM dan yurisdiksi pengadilan HAM regional, dalam
penelitian ini adalah European Court of Human Rights terhadap
Negara-Negara Pihak di benua Eropa terkait implementasi putusannya. Hal ini
dapat dikaitkan dengan strukturisasi lembaga HAM ASEAN dalam
akan berdampak langsung pada pemerintah Republik Indonesia sebagai
anggota ASEAN dalam hal perlindungan dan penegakkan HAM.
D. Keaslian Penulisan
Penelitian yang berjudul “Yurisdiksi European Court of Human Rights
Terkait Implementasi Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional” ini
merupakan karya tulis asli sebagai refleksi pengetahuan dan pemahaman yang
diperoleh selama perkuliahan terutama yang berasal dari Departemen Hukum
Internasional. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis Yurisdiksi European
Court of Human Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut
Hukum Internasional. Sepanjang penelusuran dalam lingkup Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa tidak terdapat judul yang sama
termasuk unsur-unsur yang menyusunnya di dalam Arsip Perpustakaan
Universitas Cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi
Hukum Fakultas Hukum USU sehingga dapat dibuktikan dengan surat
pernyataan. Selain itu judul yang sama juga tidak ditemukan dalam penelusuran
media elektronik maupun media cetak.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, jurnal,
laporan-laporan ilmiah dan informasi dari internet. Untuk menghindari penafsiran ganda,
maka perlu penegasan batasan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari
sarjana terhadap beberapa pokok pembahasan maupun materi yang akan di
jabarkan dalam skripsi ini antara lain :
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara ; Negara dengan
Negara, Negara dengan subyek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum
bukan negara satu sama lain.24
Regional menurut KBBI adalah bersifat daerah; kedaerahan25. Regionalyaitu wilayah yang jelas teridentifikasi walau relatif tergantung konteks waktu
selain itu unsur yang mendorong identifikasi diri adalah secara sejarah dan
juga geografisnya serta aktivitas yang dilakukan26
Organisasi Internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan
perjanjian internasional oleh dua Negara atau lebih berisi fungsi, tujuan,
kewenangan, asas, struktur organisasi.
. Dalam Hukum
Internasional hal ini dapat digambarkan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah
asas-asas yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang
melintasi batas negara-negara antara subjek-subjek Hukum Internasional di
kawasan dunia tertentu yang bersumber pada Perjanjian Internasional.
27
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.28
24
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar HI, (Bandung: Alumni, 2003), hlm.4
Hak yang telah dilindungi
25
Dikutip dari 26
Geografi Regional,
27
Sefriani, HI: Suatu Pengantar, (Edisi Kedua), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.142 28
secara internasional ini, melekat pada setiap manusia dengan sifat abstrak dan
universal.
Hak Sipil dan Politik adalah hak-hak yang secara umum membatasi
kekuasaan pemerintah dalam tindakan-tindakan yang mempengaruhi individu
dan kekuasaannya (civil rights), dan memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berkontribusi pada penentuan hukum dan berpartisipasi
dalam pemerintahan (political rights).29
Yurisdiksi secara umum dapat berarti kewenangan untuk menetapkan hukum.
Dapat pula berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan
peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum
yang berlaku.30
Perjanjian Internasional adalah persetujuan internasional yang mengikat antara Negara-negara dalam bentuk tertulis dan ditentukan oleh Hukum
Internasional, baik dengan instrument tunggal maupun dua atau lebih
instrument yang berkaitan dan apapun sebutan khususnya.
31
Konvensi dapat berarti perjanjian antarnegara.32
29
Civil and Political Rights, dikutip dar
Kata ini umumnya digunakan
pada perjanjian multilateral yang formal dengan jumlah pihak yang banyak.
Konvensi biasanya terbuka dalam hal partisipasi komunitas internasional
secara keseluruhan, atau dengan jumlah Negara yang banyak. Biasanya
andpolitical.htm, para.1, terakhir diakses tanggal 20 Februari 2015
30
I Wayan Parthiana, Pengantar HI, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 293-294 31
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Bagian I, Pasal 2 Paragraf (1) a 32
Instrumen ini dinegosiasikan sesuai organisasi internasional yang menamakan
konvensi.33
Dualisme dalam Hukum Internasional berarti aliran yang mengemukakan
bahwa antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah dua sistem
hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain.34
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang terjadi.35
1. Tipe Penelitian
Terkait hal tersebut, agar penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka perlu dijelaskan mengenai metode
penelitian yang digunakan dalam penulisannya. Metode penulisan akan dijabarkan
sebagai berikut :
Penelitian yang dilakukan dalam membahas rumusan masalah dalam
skripsi ini adalah tipe pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim dalam proses persidangan.36
33
Definition of key terms used in The UN Treaty Colletion, dikutip dari
Penelitian ini dikategorikan
sebagai metode yuridis normatif karena menggunakan peraturan-peraturan
terakhir diakses tangggal 4 April 2015
34
Sefriani, op.cit, hlm.87 35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 35. 36
tertulis yang terdapat dalam konvensi-konvensi-konvensi dan
protokol-protokol internasional serta peraturan nasional Inggris yang menyangkut
yurisdiksi European Court of Human Rights yakni Human Rights Act
1998.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif
bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu
gejala ataupun untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini kadang-kadang
berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat
membentuk teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada.37
3. Sumber Data
Penelitian ini memperkuat teori-teori Hukum Internasional yang sudah ada
dari suatu keadaan untuk menganalisis yurisdiksi European Court of
Human Rights terkait implementasi putusannya terutama di Inggris.
Dalam penelitian yuridis normatif, maka sumber data yang perlu untuk
dikaji bahan-bahan yang diidentifikasi sebagai berikut :
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
37
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.38
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari aturan
hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau
peraturan perundang-undangan.39
1) European Convention on Human Rights dan
Protokol-Protokol Tambahan
Perangkat hukum yang terkait
dengan objek penelitian ini, antara lain :
2) Vienna Convention 1969 tentang Hukum Perjanjian
3) Human Rights Act 1998
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil
penelitian.40
c) Bahan Hukum Tertier,
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang
digunakan mayoritas berupa buku-buku baik hard copy maupun
soft copy, serta jurnal-jurnal ilmiah Internasional.
Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti Kamus (Hukum) dan
38
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm.141 39
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm. 192
ensiklopedia.41
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan bahan hukum tertier
seperti Oxford Advanced Learner’s Dictionary
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari
buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan,
artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik,
dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan
dan perjanjian internasional.
Adapun tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah
sebagai berikut :
a) Melakukan inventarisir hukum positif dan bahan-bahan hukum
lainnya yang relevan dengan objek kajian
b) Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media
cetak dan elektronik, dokumen pemerintahan dan peraturan
perundang-undangan. Mengelompokkan data-data yang relevan
dengan permasalahan
c) Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk
menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian dan
menarik kesimpulan
41
5. Analisis Data
Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan
kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat bukan angka
seperti halnya pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif lebih
mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data. Secara
keseluruhan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan
menjabarkan secara mendalam konsep yang diperlukan dan kemudian
diuraikan secara komprehensif untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini serta penarikan kesimpulan dengan pendekatan atau metode
induktif yang bertolak dari proposisi umum yang telah diketahui dan
diyakini umum kebenarannya yang merupakan kebenaran ideal bersifat
aksiomatik, tidak perlu diragukan lagi dan berujung pada kesimpulan
(pengetahuan baru) yang bersifat khusus.42 Dalam penelitian ini analisis
dikhususkan pada kajian Hukum Internasional mengenai yurisdiksi dari
organ yudisial suatu organisasi internasional terhadap yurisdiksi suatu
Negara, dalam hal ini European Court of Human Rights terhadap Inggris.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahaman materi yang
disampaikan, skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang saling berkorelasi,
dengan perincian sebagai berikut :
42
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini mengungkapkan dasar-dasar dalam pembuatan skripsi ini
antara lain tentang latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan
masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
kepustakaan tentang ruang lingkup pokok-pokok pembahasan, metode
penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II : YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS
MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS
Pada bab ini akan dibahas mengenai yurisdiksi European Court of
Human Rights menurut European Convention on Human Rights
dengan terlebih dahulu membahas tinjauan umum mengenai yurisdiksi
menurut Hukum Internasional, sejarah dan komponen-komponen
European Court of Human Rights berdasarkan European Convention
on Human Rights.
BAB III : MEKANISME IMPLEMENTASI PUTUSAN EUROPEAN COURT
OF HUMAN RIGHTS
Bab ini menjelaskan tentang mekanisme dan bentuk implementasi
putusan European Court of Human Rights mulai dari bentuk-bentuk
umum implementasi putusan European Court of Human Rights,
sampai pada mekanisme pengawasan implementasi putusan European
BAB IV : YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT
IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS
Bab ini berisi analisis mengenai yurisdiksi European Court of Human
Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum
Internasional antara lain dengan terlebih dahulu membahas legitimasi
putusan European Court of Human Rights menurut Hukum Inggris
sampai pada kekuatan mengikat European Convention on Human
Rights terhadap Inggris.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang
sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan dalam
penulisan ini. Selanjutnya akan diutarakan saran sebagai masukan
untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan yang telah dibahas
BAB II
YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS
A. Tinjauan Umum Tentang Yurisdiksi menurut Hukum Internasional
Hukum Internasional (HI) ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara ; Negara dengan
Negara, Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum
bukan Negara satu sama lain.43 Pada umumya HI diartikan sebagai himpunan dari
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur
hubungan antara Negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam
kehidupan maysarakat internasional.44
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek HI sebenarnya hanyalah
Negara.
45 dan beberapa penulis tertentu menyatakan bahwa negara satu-satunya
subjek HI.46
43
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 4
Namun keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan
perkara budak-budak (slaves) dan perompak-perompak (pirates). Sebagai akibat
dari traktat-traktat umum, beberapa hak perlindungan tertentu dan lain-lain telah
diberikan kepada budak-budak oleh masyarakat Negara-negara. Selain itu,
berdasarkan hukum kebiasaan internasional, individu-individu yang melakukan
tindak pidana perompakan jure gentium di laut lepas dapat dipandang sebagai
44
Boer Mauna, HI: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 1
45
Ibid, hlm. 95 46
musuh-musuh umat manusia yang bertanggung jawab atas penghukuman oleh
setiap Negara yang menangkap mereka.47 Dengan demikian berdasarkan mana
para budak menikmati perlindungan sesungguhnya memberikan
kewajiban-kewajiban atas Negara-negara peserta. Tanpa adanya kewajiban-kewajiban demikian atas
Negara-negara untuk mengakui dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka,
maka para budak tersebut tidak akan memiliki hak-hak apapun dalam HI.48
Subjek HI menurut Martin Dixon adalah “a body or entity which is capable of
possessing and exercising rights and duties under international law”.
Subjek-subjek HI tersebut seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan HI utama (the main
international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian Hukum
Intenraisonalnya (international legal personality). Kecakapan hukum yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
Sebagai pendukung teori tersebut maka terdapat berbagai pendapat yang
menyatakan bahwa individu merupakan subjek hukum yang sesungguhnya dari
HI, karena dalam analisis terakhir, individulah yang merupakan subjek segala
hukum nasional maupun internasional.
49
1. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional
(dan nasional)
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh
Hukum Internasional
47
Ibid hlm.78 48
Ibid 49
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam
Hukum Internasional
4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik.
Dalam praktik hanya Negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB
yang memiliki semua kecakapan hukum diatas.50
1. Negara
Seiring dengan perkembangan
pendapat ini, terdapat berbagai macam subjek HI yang memperoleh
kedudukannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan
sejarah. Adapun subjek-subjek hukum menurut kebiasaan internasional yang
dianggap memiliki beberapa kecakapan tersebut antara lain :
Negara adalah subjek HI dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya
sejak lahirnya HI.51 Teori HI dilandasi oleh prinsip kedaulatan negara.52
Mengenai syarat-syarat sebuah entitas dapat dikategorikan sebagai Negara,
HI mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan Negara memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek HI dan semua
kecakapan hukum. Dalam perkembangannya telah muncul macam-macam
bentuk Negara dan kesatuan Bukan Negara, antara lain Negara kesatuan,
Negara federasi, Negara konfederasi, Negara persemakmuran, Negara mikro,
Negara netral, Negara protektorat, condominium, serta wilayah perwalian
(trust).
50
Karenanya Boer Mauna membagi subjek HI dalam subjek HI aktif yaitu Negara dan organissasi internasional serta subjek HI pasif yaitu subjek HI non-Negara dan organisasi internasional.
51
Sefriani, op.cit, hlm. 98 52
kewajiban Negara53
a. Memiliki teritorial tertentu
yang menyatakan bahwa karakteristik Negara adalah
sebagai berikut :
Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan
mendasar adanya suatu Negara. meskipun demikian, tidak ada
persyaratan dalam HI bahwa semua perbatasan sudah final dan tidak
memiliki sengketa perbatasan lagi dengan Negara-negara tetanga baik
pada waktu memproklamirkan diri sebagai Negara baru ataupun
setelahnya.54
b. Memiliki populasi permanen
Negara tidak akan eksis tanpa penduduk. Persyaratan a permanent
population dimaksudkan untuk sebuah komunitas yang stabil. Tidak
ada peryaratan jumlah minimum penduduk yang harus dimiliki suatu
Negara. HI juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah
homogeneous. Kriteria a stable population merujuk pada kelompok
individu yang hidup di wilayah Negara tertentu.55
c. Memiliki pemerintahan (government)
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,
mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan
memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang bersangkutan.
Pengertian berdaulat tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah yang
53
Konvensi ini sebenarnya hanya merupakan konvensi Regional kawasan Amerika, senantiasa menjadi rujukan dalam HI
54
Sefriani, op.cit hlm. 104 55
bersangkutan tidak pernah diintervensi pihak manapun dalam
menentukan kebijakannya. Dalam praktik, hampir tidak ditemukan
pemerintah suatu Negara yang bebas dari intervensi, baik intervensi
yang berasal dari Negara lain maupun subjek HI lain seperti yang
berasal dari lembaga internasional.56
d. Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional
dengan negara lain (capacity to enter into relations with other state).
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Negara lain
merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu Negara yang merdeka
tidak dibawah kedaulatan Negara lain akan mampu melakukan
hubungan dengan Negara lain. Suatu Negara dikatakan merdeka (legal
independence) jika wilayahnya tidak berada dibawah otoritas berdaulat
yang sah dari Negara lain. Kemampuan untuk melakukan hubungan
dengan Negara lain adalah kemampuan dalam pengertian yuridis baik
berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan
secara fisik.57
2. Organisasi (Publik) Internasional
Organisasi internasional diakui sebagai subjek HI yang berhak
menyandang hak dan kewajiban dalam HI barulah sejak keluarnya
pendapat nasihat Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation Case
1949. Mahkamah Internasional dalam pendapat nasihatnya menyatakan
bahwa secara de jure dan de facto cukup PBB sebagai suatu organisasi
56
Ibid, hlm.106 57
internasional yang memiliki legal personality serta legal capacity untuk
bertindak di depan hukum mewakili kepentingan PBB sendiri juga
kepentingan korbannya.58
D.W. Bowett merumuskan pengertian umum dari organisasi
internasional sebagai berikut : In general, however, they were permanent
association…,based upon treaty of a multilateral than a bilateral type and
with some define criterion of purpose.59
Terdapat dua fungsi utama dari organisasi internasional yaitu
sentralitas seperti halnya mengatur kegiatan organisasi lewat struktur yang
stabil dan perlengkapan administrasi yang mendukung. Selain itu
organisasi internasional juga berfungsi independen yang berarti memiliki
kemampuan untuk bertindak sesuai kadarnya dalam suatu bidang
tertentu.
Dalam artian ini organisasi
internasional harus memiliki syarat yaitu perjanjian dan lebih cenderung
pada perjanjian multilateral (banyak Negara) dibandingkan dengan
perjanjian bilateral (antara dua Negara) dan harus dengan tujuan tertentu.
60
Pemahaman lebih lanjut tentang elemen-elemen yang harus dimiliki
sebuah organisasi internasional diutarakan oleh Lerroy Bennet61
mengemukakan ada 5 ciri-ciri yang dimiliki organisasi Internasional yaitu:
58
Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, (Inggris: George Allen 7 Unwin Publisher, 1983), hlm.69, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.143
59
D. W. Bowett, The Law of International Institutions, (2nd ed.), (London: Butter Worth, 1970), hlm.5-6
60
Gerd Oberleitner, op.cit, hlm.12 61
a. A permanent organization to carry on a continuing set of functions
b. Voluntary Membership of Eligible
c. Basic Instrumen stating goals, structure and methods of operation
d. A broadly representative consultative conference organ
e. Permanent secretariat to carry on continuous administrative,
research and information functions
Klasifikasi secara umum berdasarkan Piagam PBB bahwa terdapat 2
(dua) jenis organisasi internasional yaitu organisasi internasional
antar-pemerintah atau Internastional Governmental Organizations (IGOs) dan
organisasi non-pemerintah atau Non-Governmental Organizations
(NGOs).62 Organisasi internasional antar pemerintah atau Internasional
Governmental Organization (IGOs) adalah organisasi yang beranggotakan
pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu Negara secara
resmi.63
Dalam menjalankan fungsinya, organisasi tersebut perlu mempunyai
keabsahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar mengatasnamakan Sedangkan Non-Governmental Organization adalah suatu
lembaga yang didirikan atas prakarsa swasta atau non-pemerintah. Ruang
lingkup organisasi NGOs ini sangat luas dan beraneka ragam : Bidang
humaniter seperti Komisi Palang Merah Internasional (International
Committee of Red Cross/ICRC) maupun Amnesty International. Selain itu,
di bidang olahraga seperti Komite Olimpiade Internasional dan bidang
perlindungan lingkungan seperti Greenpeace.
62
United Nations, United Nations Charter, Pasal 71 63
Negara-negara anggotanya.64 Legal personality dan legal capacity adalah
hal yang sangat penting dimiliki oleh suatu organisasi internasional agar
mereka dapat menjalankan fungsinya.65 Tidak semua organisasi
internasional memiliki status sebagai subjek hukum HI. Organisasi
Internasional yang diakui sebagai subjek HI harus memenuhi karakteristik
berikut66
a. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dari dua :
Negara, apapun namanya dan tunduk pada rezim HI
b. Memiliki sekretariat tetap
Lewat perjanjian ini dapat diketahui apa nama organisasi tersebut,
tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan
suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur
organisasinya. Syarat adanya perjanjian yang dibentuk oleh Negara-negara
menjadikan organisasi yang memiliki kedudukan sebagai subjek dalam HI
hanyalah organisasi antar-pemerintah (Inter-Government Organization)
bukan Non-Government Organization.
Syarat kedua menujukkan tempat kedudukan organisasi tersebut.
Sekretariat menjadi tempat kegiatan, penyimpanan arsip,
pertemuan-pertemuan dan administrasi dari organisasi internasional hal ini juga
sebagai identitas dan pertanggunjawaban pendirian organisasi dalam
menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi internasional. Dengan
64
T. May Rudy, op.cit, hlm. 26 65
Sefriani, op.cit, hlm.143 66
international personality yang dimilikinya maka suatu organisasi
internasional akan memiliki kecakapan HI (international legal capacity).67
3. Tahta Suci (Vatikan)
Tahta Suci merupakan suatu contoh dari suatu subjek HI yang telah
ada sejak dahulu di samping Negara. Hal ini merupakan peninggalan atau
kelanjutan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya
merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.
Hingga sekarang Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di
banyak ibukota (antara lain di Jakarta) wakil diplomatik Negara-negara
lain. Takhta suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan
sejajar keduudkannya dengan Negara. hal ini terjadi terutama setelah
diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11
Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di
Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya Negara
Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.
Dalam kategori yang sama, yaitu subjek HI karena sejarah, walaupun
dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang
bernama Order of The Knights of Malta. Himpunan ini hanya diakui oleh
beberapa Negara sebagai subjek HI.
4. Palang Merah internasional
International Committee of The Red Cross (ICRC) atau Palang Merah
Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri
67
(unik) dalam sejarah HI. ICRC adalah organisasi yang dibentuk oleh John
Henry Dunant pada tahun 1949. Organisasi ini sebagai suatu subjek
hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian
kedudukannya (status) diperkuat dalam perjanjian dan kemudian
Konvensi-konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa Tahun
1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang Palang Merah
Internasional secara umum memiliki kedudukan sebagai subjek HI
walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. 68
5. Orang Perorangan (Individu)
Pendapat yang dikemukakan Hans Kelsen dalam bukunya Prinsciples
of International Law menyatakan bahwa apa yang dinamakan hak dan
kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban semua manusia
yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam
negara itu. Dalam pandangan teori Kelsen ini Negara tidak lain dari suatu
konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia
anggota masyarakat Negara itu.69
Dalam perjanjian perdamaian Versailes tahun 1919 yang mengakhiri
Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan
masing-masing sekutunya sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan
orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase
Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama
68
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 101 69
bahwa hanya Negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan
internasional.70
Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc
Nurenberg dan Tokyo dinyatakan bahwa individu memeiliki international
personality, mampu menyandang hak dan kewajiban yang diberikan HI
padanya. Individu bertanggung jawab secara pribadi, dapat dituntut di
pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa
dapat berlinudng dibalik negaranya.71
Dari paparan historis tersebut tampak bahwa pengakuan HI terhadap
individu sebagai subjek HI terbatas pada dimungkinkannya individu
dituntut di depan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara
pribadi atas namanyanya sendiri terhadap kejahatan-kejahatan
internasional yang telah dilakukannya.
72
Pengakuan terhadap kewajiban individu sebagai subjek HI diikuti oleh
pengakuan hak atas individu tersebut secara internasional. Perjanjian
Internasional yang memberikan hak pada individu untuk mengajukan
tuntutan di depan pengadilan internasional (salah satunya) adalah
Washington Convention Establishing the International Centre for
Settlement of Investment Dispute 1965 yang dikenal dengan konvensi
ICSID.
73
70
Treaty of Versailles, 1919, Pasal 297 dan 304
71
Sefriani, ibid, hlm. 147 72
Ibid, hlm. 148 73
Namun pengakuan ini memperoleh pembatasan. Individu-individu
dalam hal tertentu dapat menjadi subjek HI, tetapi hanya sebagai subjek
hukum buatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Nguyen Quoc
Din.74
6. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)
Disebut subjek hukum buatan adalah karena kehendak
Negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal
tertentu sebagai subjek HI yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan
konvensional.
Kejadian-kejadian dalam suatu negara, termasuk di dalamnya
pemberontakan dari kaum separatis merupakan urusan intern negara yang
bersangkutan. Hukum yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan
tersebut adalah hukum nasional Negara yang bersangkutan. HI melarang
Negara lain untuk tidak melakukan intervensi tanpa persetujuan Negara
tersebut. Negara-negara lain berkewajiban menghormati hak Negara
tersebut menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa
pemberontakan itu.75 Menurut hukum perang, pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa
(belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu76 Pada umumnya terdapat 4
unsur yang harus dipenuhi kaum pemberontak untuk mendapat pengakuan
sebagai belligerent yaitu77
74
Nguyen Quoc Din, Droit International Public, (5th Ed.), (Paris: Libraire Generale de Droit et de Jurisprudence, 1994), hlm. 620
:
75
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 85 76
Lih Oppenheim-Lauterpacht, International Law, (8th Ed., Vol II) dikutip dari Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 110
77
a. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepemimpinan yang jelas
b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan
identitasnya
c. Harus sudah mengasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah
tersebut benar-benar telah di bawah kekuasaannya
d. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya
Beberapa subjek-subjek lantas dapat dikaitkan dengan yurisdiksi. Dalam
praktiknya, kata yurisdiksi sering memiliki beberapa arti seperti territorial dan
kewenangan. Namun paling sering untuk menyatakan kewenangan yang
dilaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa.78
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio yang berasal dari
dua kata yaitu kata yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau
kepunyaan menurut hukum. Adapun diction berarti ucapan, sabda atau sebutan.
Didalam bahasa Inggris jurisdiction berarti “authority to carry out justice and
to interpret and apply laws” atau ”right to exercise legal authority”.
79 Adapun
Black’s Law Dictionary mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the power of court
to inquire into facts, apply the law, make decision, and declare judgement”
atau “the legal right by which judges exercise their authority.”80
Namun banyak pendapat sarjana yang menyimpulkan bahwa bukan hanya
Negara yang memiliki yurisdiksi. Pendapat-pendapat tersebut dapat dibagi
78
Michael Akehurst, op.cit, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.232 79
A.P. Cowie (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 679
80
menjadi pendapat yang mendefinisikan yurisdiksi secara sempit (hanya
dimiliki oleh Negara) dan pendapat yurisdiksi secara lebih luas.
1. Yurisdiksi Dalam Arti Sempit
Dalam pendapat yang menyatakan bahwa yurisdiksi dilaksanakan oleh
Negara, lebih cenderung berpendapat bahwa yurisdiksi adalah refleksi dari
kedaulatan suatu Negara, yang dilaksanakan dalam batas-batas wilayahnya.
Apabila kedaulatan merupakan atribut atau ciri khusus dari Negara maka
yurisdiksi merupakan lambang kedaulatan suatu Negara. Pendapat-pendapat
yang mendukung pernyataan tersebut antara lain :
a. B. James George Jr. yang mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the
authority of nations or states to create or prescribe penal or
regulatory norms and to enforce them through administrative and
judicial action”.81
b. Malcon N. Shaw memberikan pengertian yurisdiksi sebagai berikut:
“The power of state to affect people, property and circumstances and reflects the basic of state sovereignty, equality of states and non-interference in domestic affairs. Jurisdiction is a vital and indeed central feature of sovereignty,…it may be achieved by means of legislative action or by executive action or by judicial action.”
Hal ini berarti yurisdiksi menggambarkan kekuasaan Negara untuk
mengatur orang, kebendaan, dan peristiwa serta mencerminkan
landasan dari kedaulatan Negara, kesederajatan antar-negara dan tidak
campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain. Shaw juga
81
berpendapat bahwa yurisdiksi merupakan hal yang sangat penting dari
kedaulatan Negara, Hal ini dapat diwujudkan melalui kegiatan
legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Menurut Shaw, lingkup
yursidiksi sebagai refleksi kedaulatan negara terdiri dari tiga jenis
yurisdiksi yaitu :
1) Legislative Jurisdiction. Yurisdiksi legislatif menunjukan pada
kekuasaan yang dimiliki organ Negara secara konstitusional untuk
membuat hukum yang mengikat di dalam wilayahnya.
2) Executive Jurisdiction. Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan
kemampuan Negara untuk melakukan tindakan di dalam
batas-batas Negara lain. Pejabat negar tidak dapat menerapkan
hukumnya di wilayah Negara lain.
3) Judicial Jurisdiction. Yurisdiksi yudisial berkaitan dengan
kekuasaan pengadilan Negara tertentu untuk mengadili
perkara-perkara yang ada faktor asing. Terdapat sejumlah dasar atau alasan
yang dapat digunakan pengadilan untuk menuntut mengadili dalam
yurisdiksinya, dari mulai prinsip territorial sampai prinsip
universal.82
c. Hakim Mac Millan menyatakan :
“it is essential attribute if sovereignity…,as of all soverign
independent states, that it just process jurisdiction over all person and
82
things within its territorial limits and in all causes, civil and criminal
arising within its limits”83
(Ini merupakan karakteristik esensial dari kedaulatan…,sebagaimana
juga yang melekat pada semua Negara merdeka yang berdaulat, bahwa
kekuasaan tersebut mencakup yurisdiksi atau kewenangan atas semua
orang dan benda atau peristiwa yang ada atau terjadi dalam batas-batas
wilayahnya, baik yang bersifat keperdataan maupun pidana)
Dalam tataran teoritis, terdapat dua doktrin kontemporer tentang yurisdiksi
ini yakni doktrin Domestic Jurisdiction (Yurisdiksi Domestik) yang
merupakan yurisdiksi dalam suatu Negara dan Universal Jurisdiction
(Yurisdiksi Universal). Dalam HI prinsip yurisdiksi domestik dijamin seperti
dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang berbunyi :
“Nothing contained in the present Charter shall authorize The United Nations to intervene in matters which are essentially with the domestic jurisdiction of any state.”84
Namun dalam Piagam PBB juga diberikan pengesahan untuk melakukan
intervensi (dalam hal ini intervensi positif atau kemanusiaan, seperti yang
diatur dalam Bab VII tentang keleluasaan Organisasi Internasional (PBB, atau
organisasi regional) untuk merespons ancaman-ancaman terhadap perdamaian,
pelanggaran atas perdamaian, tindakan-tindakan melanggar HAM dan praktik
terorisme. Dengan kata lain, yurisdiksi domestik masih diakui selama tidak
83
Sigid Suseno, loc.cit., hlm. 54 84
bertentangan dan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia
global.
Dalam kajian HI kontemporer, setidaknya ada 2 penyebab utama kenapa
yurisdiksi domestik suatu Negara tidak bisa dijalankan secara mutlak, yaitu :
a. Adanya perkembangan mekanisme internasional tentang perlindungan
HAM dan perlingdungan dari serangan terorisme global
b. Adanya praktik-praktik intervensi yang dilakukan komunitas
internasional terhadap rezim pemerintahan yang dinilai telah
melakukan kejahatan berat HAM dan Terorisme.85
Selain itu terdapat doktrin Universal Jurisdiction (Yurisdiksi Universal)
Prinsip HI yang menjadi antitesa dari kejayaan prinsip yurisdiksi domestik
adalah prinsip yurisdiksi universal. Prinsip ini lahir dari pemahaman bahwa
setiap Negara di dunia ini memiliki kewajiban-kewajiban universal untuk
melindungi HAM, memerangi terorisme global dan melindungi kebebasan
fundamental semua warga dunia. Berdasarkan hal ini, dipandang perlu adanya
suatu komunitas internasional yang mempunyai hak dan tanggung jawab
untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas terhadap Negara-negara yang
mengancam kedamaian dunia. Komunitas internasional tersebut adalah PBB
dan organisasi regional yang ada di setiap