TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Candida albicans
2.3.2 Mekanisme Infeksi Candida albicans pada Permukaan Sel
Tahap pertama dalam proses infeksi Candida albicans ke tubuh manusia (sel inang) adalah perlekatan (adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel inang adalah dinding sel.
Mekanisme perlekatan sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding sel Candida albicans melekat (misalnya sel epitelium). Perlekatan dan kontak fisik antara Candida albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi mitogen activated protein kinase (Map-kinase) yang dibutuhkan untuk perkembangan hifa dan lapisan biofilm Candida albicans.
Tahap setelah perlekatan adalah invasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan khamir ke bentuk hifa (filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa sangat
dipengaruhi oleh lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh Candida albicans selama proses invasi.Hifa Candida albicans mempunyai kepekaan untuk menempel sehingga membantu dalam proses infiltrasi pada permukaan epitel selama invasi jaringan. Kemampuan untuk merubah morfologi merupakan faktor penting dalam menentukan infeksi dan penyebaran Candida albicans pada jaringan inang (Pintauli 2008).Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa mulut dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis.Denture stomatitis adalah inflamasi pada mukosa mulut dengan bentuk utamanya atropik dengan lesi hiperplastik.
Faktor etiologi terjadinya denture stomatitis adalah multifaktorial, antara lain Candida albicans sebagai agen etiologi primer, diikuti dengan plak, trauma, pemakaian gigitiruan secara terus-menerus, oral hygene yang buruk, diet yang tidak memadai, penggunaan antibiotik, dan kondisi sistemik. Faktor etiologi denture stomatitis terbagi atas dua faktor yaitu faktor utama dan faktor predisposisi (Campanha 2013).
Faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya denture stomatitis adalah:
1. Faktor gigitiruan
Denture stomatitis tidak akan terjadi tanpa adanya gigitiruan. Pemakaian gigitiruan secara terus-menerus serta kebersihan gigitiruan yang tidak adekuat menghasilkan akumulasi plak pada permukaan gigitiruan, sehingga terjadi infeksi pada mukosa yang berkontak langsung dengan gigitiruan, hal inilah yang merupakan tempat pertumbuhan yang ideal untuk jamur dan mikroorganisme lainnya. Denture stomatitis lebih sering terjadi pada rahang atas daripada rahang bawah, karena pada rahang bawah terdapat banyak kelenjar saliva mayor seperti kelenjar parotis,
submandibular, dan sublingualis, sehingga memberikan self cleansing effect serta aktivitas antimikroorganisme yang lebih baik daripada rahang atas (Salermo dkk.
2011).
2. Faktor infeksi
Faktor infeksi yang disebabkan gigitiruan dapat menghasilkan sejumlah perubahan ekologi yang memfasilitasi akumulasi daripada mikroorganisme dan jamur. Spesies Candida, terutama Candida albicans telah diidentifikasi pada banyak pasien denture stomatitis. Pasien denture stomatitis menunjukkan konsentrasi Candida albicans yang tinggi di dalam mulut daripada individu sehat. Candida albicans merupakan agen penyebab yang paling utama bagi terbentuknya denture stomatitis dan terjadi sedikitnya 50% pada pemakai gigitiruan. Beberapa penelitian terdahulu telah menemukan bahwa Candida albicans paling sering diisolasi dari permukaan gigitiruan yang berkontak ke mukosa daripada mukosa yang terlibat itu sendiri. Keberadaan Candida albicans akan mengubah lingkungan di rongga mulut bersamaan dengan faktor etiologi dan predisposisi yang ada.
Faktor predisposisi denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
1. Faktor sistemik yaitu umur, gangguan fungsi endokrin, malnutrisi, neoplasia, gangguan imun, spektrum antibiotik yang luas.
2. Faktor lokal yaitu antimikroba dan topikal maupun kortikosteroid inhalasi, diet tinggi karbohidrat, konsumsi tembakau dan alkohol, hiposalivasi, oral hygene yang buruk, pemakaian gigitiruan pada malam hari.
Predisposisi gigitiruan pada infeksi dengan Candida albicans sebanyak 65%
pada orang tua yang memakai gigitiruan penuh pada rahang atas. Pemakaian
gigitiruan menghasilkan lingkungan mikro yang kondusif bagi pertumbuhan Candida dengan oksigen yang rendah, pH yang rendah dan lingkungan anaerob. Hal tersebut meningkatkan perlekatan spesies Candida albicans pada akrilik, mengurangi aliran saliva di bawah permukaan gigitiruan, gigitiruan yang tidak stabil dan oral hyegene yang buruk.
Candida albicans dapat melakukan penetrasi pada resin akrilik dan tumbuh pada permukaan gigitiruan sehingga dapat menginfeksi jaringan lunak. Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa mulut dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis. Permukaan gigitiruan mempunyai porositas memungkinkan terjadinya perlekatan mikroorganisme dengan cara menembus gigitiruan dan perlekatan kimia terjadi pada permukaan yang tidak rata.
Pada permukaan yang tidak dipolis yang kontak dengan mukosa merupakan tempat proliferasi bagi Candida albicans yang akan menyebabkan terbentuknya plak. Plak pada gigitiruan mengandung lebih dari 1011 mikroorganisme per gram berat basah.
Penelitian dengan menggunakan sinar dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa plak gigitiruan memiliki struktur yang sama dengan plak gigi. Flora mikrobial dasar pada plak gigitiruan mirip dengan plak gigi, tetapi pada plak gigitiruan memiliki jumlah Candida albicans lebih banyak. Plak gigi mulai terbentuk sebagai tumpukan dan kolonisasi mikroorganisme pada permukaan enamel dalam 3-4 jam sesudah gigi dibersihkan dan mencapai ketebalan maksimal pada hari ke tiga puluh. Pada awal pembentukan plak, jenis mikroorganisme gram positif, terutama Streptococcus paling banyak dijumpai. Setelah itu, berbagai jenis mikroorganisme lainnya masuk ke plak gigi. Kebersihan rongga mulut dan gigitiruan merupakan faktor lokal pertama dalam
perkembangan denture stomatitis, dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti jumlah saliva, umur pasien, dan umur gigitiruan. Oleh karena itu desinfeksi gigitiruan merupakan faktor penting yang harus dilakukan (Uludamar dkk. 2010).
Denture stomatitis memiliki gambaran klinis berupa eritema difus dan pembengkakan mukosa pada permukaan mukosa yang berkontak dengan gigitiruan.
Tanda dan gejala pada denture stomatitis disertai dengan perdarahan mukosa, pembengkakan, rasa terbakar, halitosis, perasaan tidak nyaman, dan mulut kering.
Denture stomatitis berhubungan dengan angular selitis, atrofik glositis, kandidiasis pseudomembran akut, dan kandidiasis hiperplastik kronis.
Denture stomatitis dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan klasifikasi Newton, yaitu (Campanha dkk. 2013; Rao 2013):
1. Tipe 1 yaitu tahap inisial berupa ptechiae (bintik merah) terlokalisir atau tersebar pada mukosa palatum (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Denture stomatitis tipe 1
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A review. Biological and Biomedical Reports 2012; 2(2)
2. Tipe 2 yaitu terjadi eritema difus dan edema terbatas pada daerah mukosa palatum yang ditutupi gigitiruan (tipe yang paling sering terjadi) (Gambar 2.3)
Gambar 2.3. Denture stomatitis tipe 2
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A review. Biological and
Biomedical Reports, 2012; 2(2)
3. Tipe 3 yaitu hiperplasia papila dengan eritema difus (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Denture stomatitis tipe 3
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A review. Biological and
Biomedical Reports 2012; 2(2)
Perawatan denture stomatitis disesuaikan dengan faktor etiologinya. Tujuan utama perawatan denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
- Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pencetus terkait - Untuk mencegah penyebaran secara sistemik
- Untuk mengeliminasi ketidaknyamanan
- Untuk menurunkan level infeksi Candida
Karena faktor etiologi denture stomatitis multifaktorial, sehingga perawatan denture stomatitis juga semakin kompleks. Beberapa rencana perawatan dapat digunakan, diantaranya yaitu (Cenci dkk. 2008):
- Memperbaiki gigitiruan yang menyebabkan trauma.
Gigitiruan yang tidak sesuai adalah faktor predisposisi terjadinya denture stomatitis, sehingga memperbaiki adaptasi gigitiruan tersebut merupakan salah satu penanganan denture stomatitis. Melepaskan gigitiruan pada malam hari juga merupakan salah satu perawatan yang penting.
- Terapi antifungal.
Terapi antifungal berperan menghambat jalur (enzim, substrat) yang penting dalam proses sintesis membran sel atau mengubah permeabilitas membran sel pada sel Candida, dan juga dapat mengubah metabolisme RNA dan DNA atau akumulasi peroksida intraselular yang memberikan efek toksik pada sel Candida. Pengaruh antifungal agen tergantung pada konsentrasi, dan penerimaan mukosa terhadap antifungal agen. Topikal antifungal agen mempunyai respons mukosa kurang baik karena penghapusan topikal antifungal agen akan larut terlalu cepat oleh aksi pembilasan dari saliva, dan harus diaplikasikan berulang sehingga pasien terkadang kurang menaati prosedur tersebut, sedangkan sistemik antifungal juga memiliki kekurangan seperti harga yang lebih mahal daripada topikal antifungal agen, terdapat beberapa efek samping dan interaksi obat, serta medikasi sistemik akan menyebabkan lebih banyak spesies yang resisten. Dari beberapa hasil penelitian terdahulu, didapati
bahwa setelah pemberian terapi antifungal tidak lagi diberikan maka denture stomatitis akan kambuh kembali.
- Oral hygiene yang baik
Prosedur pemeliharaan oral hygiene dapat dilakukan dengan cara membersihkan rongga mulut dengan kain kasa steril yang sudah dibasahi dengan air, berkumur dengan larutan antiseptik, menyikat mukosa rongga mulut dengan sikat yang lembut.
- Desinfeksi gigitiruan
Prosedur desinfeksi gigitiruan yang tepat dapat merawat dan mencegah denture stomatitis terjadi dan kambuh kembali. Metode desinfeksi gigitiruan dapat dilakukan secara mekanis, kemis, serta kombinasi keduanya.
- Pembedahan
Pada kasus yang berat seperti tipe 3, dilakukan perawatan dengan pembedahan.