Catatan; Dirangkum dari MRA on Nursing Services
Berdasarkan mekanisme di atas dapat dilihat bahawa fase pengakuan merupakan fase pertama yang harus dilakukan melalui proses registrasi dan mendapatkan license yang dikeluarkan oleh NRA negara asal. Kemudian, merujuk pada kesepakatan dalam MRA, setiap negara harus mengakui kualifikasi yang telah dikeluarkan oleh negara asal. Walau demikian harus diakui bahwa kesepakatan dalam MRA memberikan celah bagi beragamnya perlakuan host country terhadap tenaga perawat asing. Misalnya Artikel 3 Pasal 3.3. yang menekankan bahwa setiap perawat asing harus tunduk pada aturan atau regulasi domestik host country yang dapat dijadikan sebagai salah satu celah untuk menerapkan non tariff barriers.
Dalam hal monitoring dan evaluasi, peran NRA dan A-JCCN menjadi focal point untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dan melakukan evaluasi atas pelaksanaan MRA tersebut. Walau demikian, perlu mencatat bahwa mekanisme evaluasi belum tertera secara detail dalam MRA yang disepakati.
V.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keperawatan
Profesi perawat memiliki porsi terbesar dalam persentase tenaga kesehatan, tidak hanya di Indoensia akan tetapi juga secara global. Di Indonesia data, proporsi perawat (termasuk perawat gigi) yaitu sebesar 173.948 orang (44%) yang
Evaluation
the qualifications and experiences of Foreign Nurses maintain high standards of practice of nursing in accordance with the code of professional conduct of the Host Country
Monitoring
the professional practice Conduct foreign Nurse
Recognition
43 | A S C F I S I P U I
kemudian diikuti oleh bidan (23%). 53Lebih jauh, seiring dengan perkembangan dan dinamika global, tercatat bahwa perawat merupakan salah satu profesi yang mengalami peningkatan tren kebutuhan dalam beberapa dekade terakhir ini tidak hanya di level ASEAN tetapi juga di secara global. Pesatnya pertumbuhan lansia yang melonjak drastis menjadi salah satu penyebab tingginya kebutuhan akan perawat.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, perkiraan permintaan tenaga kesehatan Indonesia dari luar negeri meningkat pesat, dan perawat menempati porsi kebutuhan terbesar dengan perkiraan tingkat permintaan yang terus melonjak dari tahun 2014 sebanyak 9280 perawat, tahun 2019 sebanyak 13100 perawat dan tahun 2025 sebanyak 16920 perawat. Merujuk angka tersebut dapat dikatakan terdapat peluang besar bagi Indonesia dalam pasar tenaga perawat ASEAN.54
Tabel V.2. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar Negeri
No. Tenaga Kesehatan 2014 2019 2025
1. Perawat 9280 13100 16920 2 Dokter Spesialis 1440 1800 2160 3 Dokter Umum 400 500 600 4 Dokter Gigi 40 50 60 5 Bidan 400 500 600 6 Keteknisian Medis 400 500 600 7 SKM 200 250 300
Namun ada beberapa tantangan yang harus dihadapi tenaga perawat Indonesia antara lain tercatat bahwa banyak negara yang tetap memberlakukan entry barrier, sehingga tenaga perawat asing sulit masuk ke suatu negara. Ada dua argument dasar yang melandasi mengapa suatu negara tetap memberlakukan barrier, pertama, untuk menjaga terjadinya brain drain sehingga kecukupan tenaga perawat tetap terjaga, dan kedua adalah negara menempatkan sektor kesehatan sebagai salah satu pilar utama untuk menjaga ketahanan Negara sehingga sektor ini perlu bahkan harus di proteksi.55 Kedua, adalah persaingan yang ketat dengan negara lainnya, contohnya Filipina sudah terkenal dengan sebagai leading supplier tenaga perawat Indonesia baik dtingkat global maupun regional ASEAN. Tercatat sudah 8000-9000 perawat Filipina yang dikirim ke luar negeri. Ketiga, kualifikasi perawat Indonesia yang masih berstandar nasional.
Terkait dengan peluang pasar tenaga perawat tersebut, MRA dilihat sebagai salah satu solusi yang tepat. Melalui MRA diharapkan akan tersedia tenaga perawat yang kompetitif. ASEAN juga melihat peluang tersebut, sehingga pada tahun 20006 ditandatangani MRA ASEAN on nursing services. Indonesia dengan alasan belum siap, meminta penundaan hingga 1 Januari 2010. Akan tetapi
53 Departemen Kesehatan RI Profil Tenaga Kesehatan tahun 2008.
54 Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, 2011. 55 Wawancara dengan PB IDI, Jakarta, 12 Desember 2013.
44 | A S C F I S I P U I
sayangnya ketidaksiapan Indonesia dirasakan masih berlanjut hingga saat ini. 56
Menyangkut kesiapan Indonesia dalam meraih manfaat liberalisasi sektor jasa keperawatan, beberapa hal kunci yang perlu diperhatikan adalah kuantitas dan kualitas SDM termasuk didalamnya kemampuan bahasa dan kualifikasi tenaga perawat, dan regulasi-regulasi dari pemerintah yang dibutuhkan untuk mendukung penguatan jasa keperawatan Indonesia agar dapat bersaing di pasar ASEAN.
V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar
Berbicara tentang jumlah tenaga perawat, dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2003, disebutkan masih rendahnya rasio antara jumlah tenaga perawat dan jumlah penduduk yaitu dengan rasio 1:2850. Padahal jika merujuk indikator Indonesia Sehat 2010 disebutkan bahwa dibutuhkan 117,5 perawat per 100.000 penduduk sebagai rasio ideal. Data pada tabel berikut juga memperlihatkan perkiraan peningkatan kebutuhan dan kekurangan tenaga perawat Indonesia tahun 2014, 2019 dan 2025 yang memperlihatkan bahwa walau terjadi peningkatan jumlah perawat tapi belum mencukupi untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan. 57
Tabel V.3. Perkiraan Kebutuhan dan Kekurangan Tenaga Perawat di Indonesia
No Tahun Kebutuhan Kekurangan
1. 2014 60022 0
2. 2019 140137 87618
3. 2025 183684 64568
Sumber: Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, 2011.
Langkah yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah perawat, antara lain memperbanyak insititusi pendidikan keperawatan. Walau demikian persebarannya masih terfokus di pulau Jawa (52,7%) baik untuk pendidikan D3 dan S1, diikuti pulau Sumatera (26%) dan Sulawesi (13%), sementara di wilayah lainnya dapat dikatakan masih sangat tertinggal. Untuk tingkat pendidikan S2, S3 dan Spesialis hanya ada di Pulau Jawa dengan jumlah sangat minim. 58
Selain itu, laporan penelitian DIKTI menyebutkan bahwa walau insititusi pendidikan keperawatan tumbuh pesat, hal ini belum mampu menjamin ketersediaan tenaga perawat yang memadai karena dua alasan. Pertama, banyak lulusan keperawatan yang tidak beekerja di bidangnya. Kedua, menjamurnya insititusi pendidikan keperawatan tidak diikuti oleh peningkatan kualitas institusi yang akan berkorelasi scara langsung dan tidak langsung terhadap lulusan.59 Dengan kata lain, kualitas tenaga perawat yang rendah menjadi bagian dari persoalan ketersediaan tenaga perawat yang kompeten.
56 Komentar narasumber dari PPNI yang disampaikan dalam FGD ASC FISIP UI pada tanggal 26 Oktober 2013. 57Ibid..
58Data EPSBED - 19/08/2010 dalam Laporan Penelitian, “Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat” , Research and Development Team, Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, DIKTI 2010.
45 | A S C F I S I P U I
Penting juga untuk menyimak hasil penelitian DIKTI yang memaparkan hasil survei kepada perawat dan pengguna sebagai indikator persoalan kualitas tenaga perawat di Indonesia sebagai berikut:60
“bahwa dari persepsi perawat pelaksana, mayoritas perawat mempersepsikan kompetensi yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan harapannya. Jawaban serupa juga didapatkan dari sisi pengguna dan pasien yang menyatakan bahwa mayoritas pengguna dan pasien menyatakan saat ini bahwa kompetensi perawat yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan kompetensi. Juga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi saat ini dengan harapan responden akan kompetensi perawat yang diinginkan, yaitu sebesar 48,02%; 74,1% dan 36,2% dari responden perawat pelaksana, pengguna dan masyarakat.”
Kesenjangan antara harapan dan realita yang digambarkan dari hasil survei tersebut, diperkuat oleh data yang disampaikan oleh Bank Dunia tentang kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa inggris (44 persen), keterampilan penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen), dan keterampilan dasar (13 persen).61 Untuk perawat, Center for International Trade Studies Thailand (2012) yang membuat tiga kategori dalam melihat kualitas tenaga terampil, mencatat bahwa kulitas perawat Indonesia berada pada kategori menengah yang ditempatkan sejajar dengan Thailand.62
Terkait data di atas, hal lain yang perlu disoroti adalah tidak adanya kategorisasi/nomenklatur profesi perawat. Dari jumlah yang ada tidak diberi keterangan secara jelas tenaga perawat profesi level yang mana yang dibutuhkan. Padahal dari aspek pendidikan sudah terjadi pembedaan. Perbedaan ini menjadi penting karena terkait pada keputusan jasa keperawatan yang mana yang akan diliberalkan dan yang akan diserap. Persoalan ini sangat erat kaitannya dengan pendefinisian perawat yang masih tumpang tindih/tidak memiliki standar baku.63
Kembali pada persoalaan ketersediaan tenaga perawat, seperti yang dijelaskan di depan ASEAN MRA on Nursing Services bisa menjadi satu solusi untuk pemenuhan ketimpangan antara jumlah tenaga perawat yang dibutuhkan dan tersedia. Walau demikian perlu mencatat bahwa free flow of services dalam skema MNP (movement of natural person) tidak dapat dibendung. Efek brain drain menjadi resiko proses ini. Adapun aspek lain yang perlu dilihat adalah keterbukaan pasar yang terlalu luas, akan memberikan efek tersingkirnya tenaga kerja domestik karena ketidakmampuan berkompetisi dengan perawat asing. Selain itu perlu juga menyimak apa yang disampaikan oleh Marry Grace L Riguer (2012) yang menggambarkan mobilitas MNP tidak sepenuhnya bebas akan tetapi lebih cenderung kepada pada mobilitas yang terkelola atau facilitated entry.64 Dengan demikian, terdapat celah bagi pemerintah untuk memainkan peran dalam menjaga sektor jasa
60Ibid.,hlm.17.
61 Marry Grace L.Riguer, ASEAN 2015: Implication of People Mobility and Services diambil dari
http://ilsdole.gov.ph/wp-content/uploads/2013/01/Riguer-ASEAN-2015-Implications-of-People-Mobility-and-Services.pdf. Lihat juga Makmur Keliat, “Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN”, Kompas, 11 Juni 2013.
62Ibid.
63 FGD ASC FISIP UI, 26 Oktober 2013. 64 Lihat juga Keliat (2013), Loc.Cit.
46 | A S C F I S I P U I
keperawatan di Indonesia, terutama dengan menempatkan sektor jasa kesehatan (sebagai payung besar jasa keperawatan) sebagai salah satu pilar penting dalam menjaga ketahanan negara.
V.4. Tata Kelola/Regulasi
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tingkat kebutuhan negara-negara maju maupun negara berkembang terhadap jasa keperawatan terus meningkat. Hal ini memberikan peluang bagi Indonesia dalam hal pendayagunaan jasa keperawatan ke luar negeri, baik dari Indonesia maupun yang akan ke Indonesia, baik untuk skema ASEAN maupun secara global. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui Permenkes 47 tahun 2012 tentang Pendayagunaan Perawat ke Luar negeri dan Permenkes 317 tahun 2010 tentang Tenaga Kerja Warga Negara Asing, yang salah satunya menekankan perlunya adaptasi tenaga asing yang akan masuk ke Indonesia. Walau demikian, hingga saat ini belum ada ketentuan detail bagaimana mengatur hal tersebut.
Dalam upaya memanfaatkan peluang dan meningkatkan daya saing tenaga perawat Indonesia, jaminan mutu baik tenaga perawat maupun pelayanan keperawatan profesional, maka proses kredensial yang mencakup registrasi, sertifikasi, dan lisensi menjadi sebuah keharusan. Untuk registrasi diatur dalam Permenkes 1796 tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan di mana registrasi ini merupakan pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah mempunyai sertifikasi. Jadi sekalipun ada lulusan perawat baik dari perguruan tinggi maupun yang profesi, akan tetapi tidak memperoleh surat tanda registrasi (STR), maka lulusan tersebut tidak dapat bekerja sebagai perawat sekalipun merupakan lulusan profesi perawat.
Lebih jauh, merujuk Permenkes yang sama, diatur juga standar kompetensi yaitu surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat ini dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI).
Dalam hal sertifikasi ini, terdapat peraturan lain yang mengatur yaitu UU no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, di mana terdapat dua hal yaitu; sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. Sertifikat profesi sebagai pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. Kemudian sertifikat profesi ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan kementerian lain, lembaga profesi, dan sebagainya. Adapun sertifikat kompetensi, merupakan pengakuan kompetensi terhadap lulusan. Hal ini menjadikan proses tersebut (uji kompetensi) seolah sebagai exit exam sebelum peserta didik dinyatakan lulus. Sertifikat ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan lembaga profesi. UU tersebut sudah diterjemahkan ke dalam Permendikbud no 83 tahun 2013 tentang sertifikat kompetensi.
Perbedaan kedua aturan ini dalam hal sertifikasi, kemudian memunculkan kebingungan aturan mana yang harus diikuti. Sementara Permenkes 1796 tahun 2011, terkesan terburu-buru karena hingga saat ini proses uji kompetensi untuk mendapatkan STR belum siap.65 Ketidakjelasan dan tumpang tindih aturan ini akan
47 | A S C F I S I P U I
mengganggu baik secara internal maupun terhadap rencana penerimaan perawat tenaga asing terutama dalam skema ASEAN.
Tabel V.4. Tumpang Tindih Aturan
tentang Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Perawat Permenkes 1796 tahun 2011 Tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan
Undang Undang no 12 th 2012 tentang Pendidikan Tinggi &
Permendikbud No 83 tahun 2013 tentang Sertifikat kompetensi Registrasi :
Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya.
Sertifikasi :
Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).
Pasal 43 : Sertifikat Profesi
Sertifikat profesi merupakan
pengakuan untuk melakukan
praktik profesi yang diperoleh
lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sertifikat profesi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi
yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 44 : Sertifikat Kompetensi
Sertifikat kompetensi merupakan
pengakuan kompetensi atas
prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.
Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.
48 | A S C F I S I P U I
Sertifikat kompetensi dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu
Dalam hal lisensi diatur melalui permenkes 17 tahun 2013 yang merupakan revisi permenkes 148 tahun 2010 ttg izin dan penyelenggaraan praktik perawat. Adapun ini Permenkes ini meyebutkan:
“Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Kerja Perawat (SIKP). “
“Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). “
Perlu dicatat bahwa SIKP dan SIPP ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hanya berlaku di satu tempat. Untuk memperoleh SIKP dan SIPP ini harus melampirkan STR, padahal proses STR yang direncanakan belum siap. Pada akhirnya proses kredensial yang diatur hanya merupakan sebuah rencana tanpa proses dan ketentuan yang jelas.
Selain itu, dalam hal kategorisasi perawat atau isitilah profesi dan kependidikan profesi, aturan yang ada tidak sesuai dengan yang berjalan dalam sistem pendidikan. PP No 32 secara general membedakan perawat hanya menjadi 3 (tga) kategori yaitu perawat, perawat gigi dan bidan. Padahal perawat memiliki 9 (sembilan) level dimana pekerjaan dan pelayanannya beda. Ketika itu disamakan dalam pelayanan kesehatan, maka profesi perawat tidak tampak. 66
Dalam hal istilah profesi dan pendidikan profesi, juga terdapat perbedaan sehingga menimbulkan kebingungan. Terdapat standar ganda dalam regulasi pendidikan perawat terutama dalam bidang vokasi antara Kemenkes dan Kemdiknas. Jika merujuk aturan sebelumnya, pembuatan regulasi pendidikan juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Namun kemudian diambil alih oleh Kemdiknas. Hal yang penting juga dicatat adalah Kemdiknas dulu menyelenggarakan pendidikan kedinasan, yang kemudian berubah kependidikan umum tanpa ikatan dinas. Perubahan ini tidak diikuti dengan regulasi-regulasi yang jelas terutama untuk menempatkan atau mendefinisikan posisi lulusan. Saat ini pendidikan kedinasan hanya ada di level Program Magister, akan tetapi program diploma masih dibuka.
Selain itu, dalam UU no 12 tentang pendidikan tinggi salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pendidikan vokasi paling tinggi setara dengan pendidikan sarjana, akan tetapi di pasal selanjutnya dikatakan bahwa bisa dikembangkan dalam jenjang magister terapan dan doktoral terapan. Hal ini dipandang tidak sesuai mengingat dasar pendidikan tetap vokasi. Yang perlu diupayakan adalah agar
66Ibid
49 | A S C F I S I P U I
Kemenkes bisa menyelenggarakan pendidikan sampai doktor. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan daya saing jasa keperawatan Indonesia.67
V.5. Infrastruktur Pendukung
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mengoptimalkan manfaat dalam liberalisasi sektor jasa keperawatan, kontribusi infrasturktur pendukung tak pelak akan senantiasa dibutuhkan. Infrastruktur kependidikan tidak hanya fisik akan tetapi juga regulasi menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam ini, indikator penting untuk menelaah adalah jumlah perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan keperawatan dan jumlah mahasiswa yang mengikuti pendidikan tersebut. Berdasarkan data yang sudah disampaikan di depan, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keperawatan untuk semua jenjang pendidikan masih terpusat di Pulau Jawa. Sementara itu, kawasan Papua, Bali dan Nusa Tenggara, dan Kalimantan, perguruan tinggi penyelenggaran pendidikan keperawatan sangat minim dan hanya terfokus pada level S1 dan D3.68
Grafik V.1 Jumlah Program Studi Keperawatan per Wilayah di Indonesia Tahun Akademik 2008/2009
Catatan: Grafik diambil dari Hasil Penelitian DIKTI (2010).
Hal ini sekaligus mengindikasikan jumlah mahasiswa dan tentu saja lulusan pendidikan keperawatan terpusat di Jawa. Tercatat per tahun ajaran 2008/2009, jumlah total mahasiswa keperawatan di seluruh Indonesia adalah 104.239 orang untuk semua jenjang pendidikan, yang didominasi oleh mahasiswa S1 dan D3. Yang penting dicatat pula bahwa dari sisi jumlah, program D3 mendapatkan jumlah mahasiswa yang lebih besar dari program S1.
67 Ibid.
50 | A S C F I S I P U I Tabel V.5. Jumlah Mahasiswa Per wilayah Untuk Tahun Akademik
2008/2009 Wilayah D3 S1 S2 S3 Sp1 Sumatera 12783 11627 0 0 0 Jawa 25202 24897 11 6 72 Bali dan NT 1120 2645 0 0 0 Kalimantan 2584 1655 0 0 0 Sulawesi 11661 9370 0 0 0 Papua&Maluku 194 412 0 0 0
Sumber: Hasil Penelitian DIKTI 2010.
Berdasarkan tabel di atas, ketersediaan jasa pendidikan tinggi keperawatan perlu ditingkatkan dan menfokuskan pada program S1. Hal ini dibutuhkan karena yang setara dengan profesi adalah perawat terdaftar yang memiliki gelar kesarjanaan plus pendidikan profesi. Adapun untuk lisensi perawat profesional, lama pendidikan yang ditempuh yaitu 3 (tiga) tahun dirasakan terlalu lama, dan tidak kompetitif untuk bersaing dengan tenaga perawat dari luar.
Selain itu, aspek pendukung yang tidak kalah pentingya adalah keberadaan asosiasi yang dapat memberikan sumbasih dala memperkuat jasa keperawatan. Hingga saat ini belum ada badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat (Board of Nursing / Konsil Keperawatan).69 Asosiasi yang ada saat ini seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) merupakan wadah komunikasi bagi perawat dirasakan cukup membantu dalam membawa aspirasi perawat dan berperan untuk meningkatkan pelayanan mutu pendidikan dan pelayanan jasa keperawata di Indonesia. Walau demikian, posisi kedua organisasi tersebut tidak berada secara langsung dalam lingkaran untuk merumuskan kebijakan. Oleh karena itu, keberadaan board of nurse seharusnya dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan.
V.6. Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan
Sektor jasa keperawatan adalah salah satu sektor yang menjadi prioritas dalam liberalisasi sektor jasa. Liberalisasi sektor jasa keperawatan memberikan sebuah peluang dan tantangan ke depan. Jika dilihat berdasarkan tren kebutuhan tenaga keperawatan baik ditingkat ASEAN maupun global, Indonesia memiliki peluang untuk ikut terlibat dalam pasar bebas ASEAN. Walau demikian banyak hal-hal yang perlu dipersiapkan mengingat beberapa kendala masih ada.
Secara mendasar, masalah kuantitas dan kualitas menjadi sorotan utama dalam melihat kendala jasa keperawatan Indonesia dapat ikut bersaing. Ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya manusia, menjadi persoalan yang tidak hanya terkait kebutuhan untuk meningkatkan daya saing akan tetapi juga memenuhi kebutuhan domestik. Dalam hal kualitas, kita harus mengakui bahwa tenaga perawat Indonesia memiliki kelemahan bahasa. Selain itu, standar nasional yang belum baku terhadap profesi perawat, seperti definisi profesi perawat yang terlalu umum dan tumpang tindihnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
51 | A S C F I S I P U I
pemerintah (domestic regulation) seperti proses sertfikasi dan jenjang pendidikan keperawatan memperlemah posisi Indonesia. Lebih jauh, kurangnya fasilitas pendukung terkait ketersediaan institusi pendidikan keperawatan yang minim dan hanya terpusat di Pulau Jawa ikut menyumbang terhadap tantangan Indonesia dalam bersaing di pasar ASEAN.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki sektor jasa keperawatan di Indonesia baik dilihat sebagai upaya pembenahan untuk kepentingan domestik maupun dalam kerangka pasar ASEAN, perlu langkah-langkah strategis untuk dilakukan pemerintah. Adapun langkah-langkah tersebut antara lain:
1. Mengkaji kembali beberapa kebijakan di sektor jasa keperawatan terkait misalnya definisi tentang profesi perawat, proses sertifikasi yang tumpang tindih, dan jenjang kependidikan keperawatan. Regulasi Pendidikan Perawat terutama pada jalur pendidikan vokasi masih terdapat kebijakan ganda antara Kemenkes dan Kemendiknas.
2. Menyiapkan skenario atau perencanaan penempatan tanaga perawat Indonesia secara stratgeis. Hal ini perlu dilakukan mengingat persoalan kebutuhan tenaga perawat juga menjadi persoalan domestik. Strategi untuk menyelaraskan antara kepentingan domestic dan komitmen pasar bebas yang sudah disepakati mendesak untuk segera dilakukan.
3. Mengupayakan agar RUU keperawatan dapat segera disahkan, sehingga dapat berfungsi sebagai badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat.
52 | A S C F I S I P U I
VI
Jasa Praktisi Medis/Dokter
(Medical Practitioners)
VI.1. ASEAN MRA on Medical Practitioners
MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26 Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi (dental practitioners) dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan untuk: 70
1. Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN;