• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar

Dalam dokumen 1 A S C F I S I P U I (Halaman 44-50)

Bab V Jasa Keperawatan (Nursing Services)

V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar

Berbicara tentang jumlah tenaga perawat, dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2003, disebutkan masih rendahnya rasio antara jumlah tenaga perawat dan jumlah penduduk yaitu dengan rasio 1:2850. Padahal jika merujuk indikator Indonesia Sehat 2010 disebutkan bahwa dibutuhkan 117,5 perawat per 100.000 penduduk sebagai rasio ideal. Data pada tabel berikut juga memperlihatkan perkiraan peningkatan kebutuhan dan kekurangan tenaga perawat Indonesia tahun 2014, 2019 dan 2025 yang memperlihatkan bahwa walau terjadi peningkatan jumlah perawat tapi belum mencukupi untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan. 57

Tabel V.3. Perkiraan Kebutuhan dan Kekurangan Tenaga Perawat di Indonesia

No Tahun Kebutuhan Kekurangan

1. 2014 60022 0

2. 2019 140137 87618

3. 2025 183684 64568

Sumber: Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDMKes, BPPSDMK, Kemenkes, 2011.

Langkah yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah perawat, antara lain memperbanyak insititusi pendidikan keperawatan. Walau demikian persebarannya masih terfokus di pulau Jawa (52,7%) baik untuk pendidikan D3 dan S1, diikuti pulau Sumatera (26%) dan Sulawesi (13%), sementara di wilayah lainnya dapat dikatakan masih sangat tertinggal. Untuk tingkat pendidikan S2, S3 dan Spesialis hanya ada di Pulau Jawa dengan jumlah sangat minim. 58

Selain itu, laporan penelitian DIKTI menyebutkan bahwa walau insititusi pendidikan keperawatan tumbuh pesat, hal ini belum mampu menjamin ketersediaan tenaga perawat yang memadai karena dua alasan. Pertama, banyak lulusan keperawatan yang tidak beekerja di bidangnya. Kedua, menjamurnya insititusi pendidikan keperawatan tidak diikuti oleh peningkatan kualitas institusi yang akan berkorelasi scara langsung dan tidak langsung terhadap lulusan.59 Dengan kata lain, kualitas tenaga perawat yang rendah menjadi bagian dari persoalan ketersediaan tenaga perawat yang kompeten.

56 Komentar narasumber dari PPNI yang disampaikan dalam FGD ASC FISIP UI pada tanggal 26 Oktober 2013. 57Ibid..

58Data EPSBED - 19/08/2010 dalam Laporan Penelitian, “Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Perawat” , Research and Development Team, Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, DIKTI 2010.

45 | A S C F I S I P U I

Penting juga untuk menyimak hasil penelitian DIKTI yang memaparkan hasil survei kepada perawat dan pengguna sebagai indikator persoalan kualitas tenaga perawat di Indonesia sebagai berikut:60

bahwa dari persepsi perawat pelaksana, mayoritas perawat mempersepsikan kompetensi yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan harapannya. Jawaban serupa juga didapatkan dari sisi pengguna dan pasien yang menyatakan bahwa mayoritas pengguna dan pasien menyatakan saat ini bahwa kompetensi perawat yang dimiliki saat ini belum sesuai dengan kompetensi. Juga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi saat ini dengan harapan responden akan kompetensi perawat yang diinginkan, yaitu sebesar 48,02%; 74,1% dan 36,2% dari responden perawat pelaksana, pengguna dan masyarakat.”

Kesenjangan antara harapan dan realita yang digambarkan dari hasil survei tersebut, diperkuat oleh data yang disampaikan oleh Bank Dunia tentang kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa inggris (44 persen), keterampilan penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen), dan keterampilan dasar (13 persen).61 Untuk perawat, Center for International Trade Studies Thailand (2012) yang membuat tiga kategori dalam melihat kualitas tenaga terampil, mencatat bahwa kulitas perawat Indonesia berada pada kategori menengah yang ditempatkan sejajar dengan Thailand.62

Terkait data di atas, hal lain yang perlu disoroti adalah tidak adanya kategorisasi/nomenklatur profesi perawat. Dari jumlah yang ada tidak diberi keterangan secara jelas tenaga perawat profesi level yang mana yang dibutuhkan. Padahal dari aspek pendidikan sudah terjadi pembedaan. Perbedaan ini menjadi penting karena terkait pada keputusan jasa keperawatan yang mana yang akan diliberalkan dan yang akan diserap. Persoalan ini sangat erat kaitannya dengan pendefinisian perawat yang masih tumpang tindih/tidak memiliki standar baku.63

Kembali pada persoalaan ketersediaan tenaga perawat, seperti yang dijelaskan di depan ASEAN MRA on Nursing Services bisa menjadi satu solusi untuk pemenuhan ketimpangan antara jumlah tenaga perawat yang dibutuhkan dan tersedia. Walau demikian perlu mencatat bahwa free flow of services dalam skema MNP (movement of natural person) tidak dapat dibendung. Efek brain drain menjadi resiko proses ini. Adapun aspek lain yang perlu dilihat adalah keterbukaan pasar yang terlalu luas, akan memberikan efek tersingkirnya tenaga kerja domestik karena ketidakmampuan berkompetisi dengan perawat asing. Selain itu perlu juga menyimak apa yang disampaikan oleh Marry Grace L Riguer (2012) yang menggambarkan mobilitas MNP tidak sepenuhnya bebas akan tetapi lebih cenderung kepada pada mobilitas yang terkelola atau facilitated entry.64 Dengan demikian, terdapat celah bagi pemerintah untuk memainkan peran dalam menjaga sektor jasa

60Ibid.,hlm.17.

61 Marry Grace L.Riguer, ASEAN 2015: Implication of People Mobility and Services diambil dari

http://ilsdole.gov.ph/wp-content/uploads/2013/01/Riguer-ASEAN-2015-Implications-of-People-Mobility-and-Services.pdf. Lihat juga Makmur Keliat, “Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN”, Kompas, 11 Juni 2013.

62Ibid.

63 FGD ASC FISIP UI, 26 Oktober 2013. 64 Lihat juga Keliat (2013), Loc.Cit.

46 | A S C F I S I P U I

keperawatan di Indonesia, terutama dengan menempatkan sektor jasa kesehatan (sebagai payung besar jasa keperawatan) sebagai salah satu pilar penting dalam menjaga ketahanan negara.

V.4. Tata Kelola/Regulasi

Seperti yang telah dijelaskan di atas, tingkat kebutuhan negara-negara maju maupun negara berkembang terhadap jasa keperawatan terus meningkat. Hal ini memberikan peluang bagi Indonesia dalam hal pendayagunaan jasa keperawatan ke luar negeri, baik dari Indonesia maupun yang akan ke Indonesia, baik untuk skema ASEAN maupun secara global. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui Permenkes 47 tahun 2012 tentang Pendayagunaan Perawat ke Luar negeri dan Permenkes 317 tahun 2010 tentang Tenaga Kerja Warga Negara Asing, yang salah satunya menekankan perlunya adaptasi tenaga asing yang akan masuk ke Indonesia. Walau demikian, hingga saat ini belum ada ketentuan detail bagaimana mengatur hal tersebut.

Dalam upaya memanfaatkan peluang dan meningkatkan daya saing tenaga perawat Indonesia, jaminan mutu baik tenaga perawat maupun pelayanan keperawatan profesional, maka proses kredensial yang mencakup registrasi, sertifikasi, dan lisensi menjadi sebuah keharusan. Untuk registrasi diatur dalam Permenkes 1796 tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan di mana registrasi ini merupakan pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah mempunyai sertifikasi. Jadi sekalipun ada lulusan perawat baik dari perguruan tinggi maupun yang profesi, akan tetapi tidak memperoleh surat tanda registrasi (STR), maka lulusan tersebut tidak dapat bekerja sebagai perawat sekalipun merupakan lulusan profesi perawat.

Lebih jauh, merujuk Permenkes yang sama, diatur juga standar kompetensi yaitu surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat ini dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI).

Dalam hal sertifikasi ini, terdapat peraturan lain yang mengatur yaitu UU no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, di mana terdapat dua hal yaitu; sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. Sertifikat profesi sebagai pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. Kemudian sertifikat profesi ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan kementerian lain, lembaga profesi, dan sebagainya. Adapun sertifikat kompetensi, merupakan pengakuan kompetensi terhadap lulusan. Hal ini menjadikan proses tersebut (uji kompetensi) seolah sebagai exit exam sebelum peserta didik dinyatakan lulus. Sertifikat ini diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama dengan lembaga profesi. UU tersebut sudah diterjemahkan ke dalam Permendikbud no 83 tahun 2013 tentang sertifikat kompetensi.

Perbedaan kedua aturan ini dalam hal sertifikasi, kemudian memunculkan kebingungan aturan mana yang harus diikuti. Sementara Permenkes 1796 tahun 2011, terkesan terburu-buru karena hingga saat ini proses uji kompetensi untuk mendapatkan STR belum siap.65 Ketidakjelasan dan tumpang tindih aturan ini akan

47 | A S C F I S I P U I

mengganggu baik secara internal maupun terhadap rencana penerimaan perawat tenaga asing terutama dalam skema ASEAN.

Tabel V.4. Tumpang Tindih Aturan

tentang Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Perawat Permenkes 1796 tahun 2011 Tentang

Registrasi Tenaga Kesehatan

Undang Undang no 12 th 2012 tentang Pendidikan Tinggi &

Permendikbud No 83 tahun 2013 tentang Sertifikat kompetensi Registrasi :

Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya.

 Sertifikasi :

Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seseorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).

 Pasal 43 : Sertifikat Profesi

Sertifikat profesi merupakan

pengakuan untuk melakukan

praktik profesi yang diperoleh

lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sertifikat profesi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan

Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi

yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

 Pasal 44 : Sertifikat Kompetensi

Sertifikat kompetensi merupakan

pengakuan kompetensi atas

prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.

Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.

48 | A S C F I S I P U I

Sertifikat kompetensi dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu

Dalam hal lisensi diatur melalui permenkes 17 tahun 2013 yang merupakan revisi permenkes 148 tahun 2010 ttg izin dan penyelenggaraan praktik perawat. Adapun ini Permenkes ini meyebutkan:

“Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Kerja Perawat (SIKP). “

“Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). “

Perlu dicatat bahwa SIKP dan SIPP ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hanya berlaku di satu tempat. Untuk memperoleh SIKP dan SIPP ini harus melampirkan STR, padahal proses STR yang direncanakan belum siap. Pada akhirnya proses kredensial yang diatur hanya merupakan sebuah rencana tanpa proses dan ketentuan yang jelas.

Selain itu, dalam hal kategorisasi perawat atau isitilah profesi dan kependidikan profesi, aturan yang ada tidak sesuai dengan yang berjalan dalam sistem pendidikan. PP No 32 secara general membedakan perawat hanya menjadi 3 (tga) kategori yaitu perawat, perawat gigi dan bidan. Padahal perawat memiliki 9 (sembilan) level dimana pekerjaan dan pelayanannya beda. Ketika itu disamakan dalam pelayanan kesehatan, maka profesi perawat tidak tampak. 66

Dalam hal istilah profesi dan pendidikan profesi, juga terdapat perbedaan sehingga menimbulkan kebingungan. Terdapat standar ganda dalam regulasi pendidikan perawat terutama dalam bidang vokasi antara Kemenkes dan Kemdiknas. Jika merujuk aturan sebelumnya, pembuatan regulasi pendidikan juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Namun kemudian diambil alih oleh Kemdiknas. Hal yang penting juga dicatat adalah Kemdiknas dulu menyelenggarakan pendidikan kedinasan, yang kemudian berubah kependidikan umum tanpa ikatan dinas. Perubahan ini tidak diikuti dengan regulasi-regulasi yang jelas terutama untuk menempatkan atau mendefinisikan posisi lulusan. Saat ini pendidikan kedinasan hanya ada di level Program Magister, akan tetapi program diploma masih dibuka.

Selain itu, dalam UU no 12 tentang pendidikan tinggi salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pendidikan vokasi paling tinggi setara dengan pendidikan sarjana, akan tetapi di pasal selanjutnya dikatakan bahwa bisa dikembangkan dalam jenjang magister terapan dan doktoral terapan. Hal ini dipandang tidak sesuai mengingat dasar pendidikan tetap vokasi. Yang perlu diupayakan adalah agar

66Ibid

49 | A S C F I S I P U I

Kemenkes bisa menyelenggarakan pendidikan sampai doktor. Hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan daya saing jasa keperawatan Indonesia.67

V.5. Infrastruktur Pendukung

Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mengoptimalkan manfaat dalam liberalisasi sektor jasa keperawatan, kontribusi infrasturktur pendukung tak pelak akan senantiasa dibutuhkan. Infrastruktur kependidikan tidak hanya fisik akan tetapi juga regulasi menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam ini, indikator penting untuk menelaah adalah jumlah perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan keperawatan dan jumlah mahasiswa yang mengikuti pendidikan tersebut. Berdasarkan data yang sudah disampaikan di depan, perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keperawatan untuk semua jenjang pendidikan masih terpusat di Pulau Jawa. Sementara itu, kawasan Papua, Bali dan Nusa Tenggara, dan Kalimantan, perguruan tinggi penyelenggaran pendidikan keperawatan sangat minim dan hanya terfokus pada level S1 dan D3.68

Grafik V.1 Jumlah Program Studi Keperawatan per Wilayah di Indonesia Tahun Akademik 2008/2009

Catatan: Grafik diambil dari Hasil Penelitian DIKTI (2010).

Hal ini sekaligus mengindikasikan jumlah mahasiswa dan tentu saja lulusan pendidikan keperawatan terpusat di Jawa. Tercatat per tahun ajaran 2008/2009, jumlah total mahasiswa keperawatan di seluruh Indonesia adalah 104.239 orang untuk semua jenjang pendidikan, yang didominasi oleh mahasiswa S1 dan D3. Yang penting dicatat pula bahwa dari sisi jumlah, program D3 mendapatkan jumlah mahasiswa yang lebih besar dari program S1.

67 Ibid.

50 | A S C F I S I P U I Tabel V.5. Jumlah Mahasiswa Per wilayah Untuk Tahun Akademik

2008/2009 Wilayah D3 S1 S2 S3 Sp1 Sumatera 12783 11627 0 0 0 Jawa 25202 24897 11 6 72 Bali dan NT 1120 2645 0 0 0 Kalimantan 2584 1655 0 0 0 Sulawesi 11661 9370 0 0 0 Papua&Maluku 194 412 0 0 0

Sumber: Hasil Penelitian DIKTI 2010.

Berdasarkan tabel di atas, ketersediaan jasa pendidikan tinggi keperawatan perlu ditingkatkan dan menfokuskan pada program S1. Hal ini dibutuhkan karena yang setara dengan profesi adalah perawat terdaftar yang memiliki gelar kesarjanaan plus pendidikan profesi. Adapun untuk lisensi perawat profesional, lama pendidikan yang ditempuh yaitu 3 (tiga) tahun dirasakan terlalu lama, dan tidak kompetitif untuk bersaing dengan tenaga perawat dari luar.

Selain itu, aspek pendukung yang tidak kalah pentingya adalah keberadaan asosiasi yang dapat memberikan sumbasih dala memperkuat jasa keperawatan. Hingga saat ini belum ada badan regulator keperawatan yang mandiri di Indonesia untuk menata sistem kredensial bagi perawat (Board of Nursing / Konsil Keperawatan).69 Asosiasi yang ada saat ini seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) merupakan wadah komunikasi bagi perawat dirasakan cukup membantu dalam membawa aspirasi perawat dan berperan untuk meningkatkan pelayanan mutu pendidikan dan pelayanan jasa keperawata di Indonesia. Walau demikian, posisi kedua organisasi tersebut tidak berada secara langsung dalam lingkaran untuk merumuskan kebijakan. Oleh karena itu, keberadaan board of nurse seharusnya dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan.

Dalam dokumen 1 A S C F I S I P U I (Halaman 44-50)

Dokumen terkait