• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 A S C F I S I P U I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 A S C F I S I P U I"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2 | A S C F I S I P U I

Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia

bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Makmur Keliat, Ph.D

Asra Virgianita, MA

Shofwan Al Banna Choiruzzad, Ph.D

Agus Catur Aryanto Putro, S.Sos

(3)

3 | A S C F I S I P U I

KATA PENGANTAR

Laporan penelitian ini merupakan hasil penelitian tentang Tenaga Kerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Study Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tema penelitian ini menjadi tema penting mengingat urgensinya untuk menata kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Penelitian ini mengkaji kondisi delapan sektor yang telah disepakati di dalam Mutual Recognition Arrangement atau Mutual Recognition Agreement Framework. Analisis dirancang untuk: (1) mendapatkan gambaran mengenai nilai strategis berbagai sektor jasa yang disepakati di dalam ASEAN MRA dan MRA Framework; (2) memetakan daya saing pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor tersebut; (3) mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan muncul berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN di masing-masing sektor jasa.

Dengan kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pada pembuatan kebijakan berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan tentu saja menempatkan kepentingan nasional Indonesia sebagai pertimbangan utamanya.

Tim Peneliti ASEAN Study Center FISIP UI 2013

(4)

4 | A S C F I S I P U I

DAFTAR ISI

Halaman Sampul……… 2

Kata Pengantar……… 3

Daftar Isi……….. 4

Daftar Tabel, Grafik, Bagan……… 6

Bab I Pendahuluan ... 8

I.1. Sejarah dan Perkembangan Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN ... 8

I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian ... 11

I.3. Tujuan Penelitian ... 13

I.4. Konseptualisasi ... 13

I.5. Cakupan Penelitian ... 14

I.6. Metodologi Penelitian ... 14

Bab II Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia: ... 18

II.1. Pendahuluan ... 18

II.2. Sektor yang Tumbuh dan Semakin Penting ... 19

II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal ... 21

II.4. Sektor Jasa dan Daya Saing Tenaga Kerja Terampil ... 22

Bab III Jasa Keinsinyuran (Engineering Services) ... 25

III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services ... 25

III.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keinsinyuran ... 27

III.3. Permasalahan SDM Insinyur Indonesia: Kekurangan Kuantitas & Kualitas ... 28

III.4. Kebijakan Pemerintah / Tata Kelola Regulasi ... 32

III.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 33

Bab IV Jasa Arsitektur (Architectural Services)... 34

IV.1. ASEAN MRA on Architectural Services ... 34

IV.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Arsitek ... 35

IV.3. SDM ... 36

IV.4. Tata Kelola/Regulasi ... 38

IV.5. Infrastruktur Pendukung ... 39

IV. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 39

Bab V Jasa Keperawatan (Nursing Services) ... 40

V.1. ASEAN MRA on Nursing Services ... 40

V.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keperawatan ... 42

V.3. Sumber Daya Manusia: Kebutuhan Domestik vs Peluang Pasar ... 44

V.4. Tata Kelola/Regulasi ... 46

(5)

5 | A S C F I S I P U I

V.6. Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan ... 50

Bab VI Jasa Praktisi Medis/Dokter ... 52

VI.1. ASEAN MRA on Medical Practitioners... 52

VI.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Praktisi Medis/Dokter ... 55

VI.3. Sumber Daya Manusia ... 56

VI.4. Tata Kelola/Regulasi ... 57

VI.5. Infrastruktur Pendukung ... 59

VI.6. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 60

Bab VII Jasa Kedokteran Gigi (Dental Practitioners) ... 61

VII.1. ASEAN MRA on Dental Practitioners ... 61

VII.2. Gambaran Umum Sektor Kedokteran Gigi ... 62

VII.3. Sumber Daya Manusia ... 64

VII.4. Tata Kelola/Regulasi ... 67

VII.5. Infrastruktur ... 68

VII.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan ... 69

Bab VIII Tenaga Profesional Pariwisata (Tourism Professionals) ... 71

VIII.1. ASEAN MRA on Tourism Professionals ... 71

VIII.2. Gambaran Umum Sektor Pariwisata ... 73

VIII.3 Sumber Daya Manusia ... 76

VIII.4. Tata Kelola/Regulasi ... 77

VIII.5. Infrastruktur ... 79

VIII.6 Kesimpulan dan Rekomendasi ... 80

BAB IX Surveying Qualifications ... 83

IX.1. ASEAN MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications ... 83

IX.2. Gambaran Umum Bidang Surveying di Indonesia ... 85

IX.3. Sumber Daya Manusia, Tata Kelola dan Infrastruktur ... 87

IX.4. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 89

Bab X Jasa Akuntansi (Accountancy Services) ... 90

X.1. Tentang ASEAN MRA Framework on Accountancy Services ... 90

X.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Akuntansi ... 92

X.3. Sumber Daya Manusia: Perlu Upaya Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas ... 93

X.4. Tata Kelola/Regulasi... 98

X.5. Infrastruktur Pendukung ... 101

X.6. Kesimpulan dan Rekomendasi... 102

(6)

6 | A S C F I S I P U I

DAFTAR TABEL, GRAFIK, BAGAN

DAFTAR TABEL

Tabel I.1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual Recognition

Arrangement Framework ……….……….……….. 14

Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, 2008-2012 (dalam juta USD)... 21

Tabel II.2. Peringkat Negara-Negara Anggota ASEAN ... 23

Tabel IV.1. Istilah dalam MRA ASEAN untuk Jasa Arsitektur... 34

Tabel IV.2. Distribusi Pekerjaan di Sektor Jasa……….. 35

Tabel IV. 3. Tabel Klasifikasi dan Kualifikasi Jasa Konstruksi... 36

Tabel V.1. Daftar NRA di Negara Anggota ASEAN... 41

Tabel V.2. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia dari Luar Negeri... 43

Tabel V.3. Perkiraan Kebutuhan dan Kekurangan Tenaga Perawat di Indonesia….. 44

Tabel V.4. Tumpang Tindih Aturan tentang Registrasi dan Sertifikasi Tenaga Perawat... 47

Tabel V.5. Jumlah Mahasiswa Per wilayah Untuk Tahun Akademik 2008/2009...….. 50

Tabel VI.1. Istilah dan Definisi terkait Jasa Dokter dalam MRA... 52

Tabel VI.2. Otoritas PMRA Di Setiap Negara ASEAN... 53

Tabel V1.3. Perkiraan Permintaan Tenaga Dokter Indonesia dari Luar Negeri... 55

Tabel VI.4. Kebutuhan dan Ketersedian Tenaga Medis di RSU Pemerintah dan Pemda 2010... 55

Tabel VI.5. Rasio Dokter Spesialis di negara-negara ASEAN……….. 56

Tabel VI.6. Regulasi Dokter Asing di Indonesia... 58

Tabel VI.7. Alokasi Pembiayaan Kesehatan Di Beberapa Negara……….. 59

Tabel VII.1. Kebutuhan Dokter Gigi Berdasarkan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Target UHH di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan 2025... 63

Tabel VII.2. Jumlah Dokter Gigi Per 10.000 penduduk... 64

Tabel VII.3. Kebutuhan dan Kekurangan Dokter Gigi Berbagai Fasilitas Kesehatan di Indonesia Tahun 2014, 2019, dan 2025... 65

Tabel VII.4. Jumlah Dokter Gigi di Masing-Masing Provinsi, 2005 dan 2012... 66

Tabel VII.5. Perkiraan Permintaan Tenaga Kesehatan Indonesia Dari Luar Negeri Tahun 2014, 2019 dan 2025... 67

Tabel VII.6. Jumlah Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/2009... 68

Tabel VII.7. Jumlah Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Per Jenjang Pendidikan Tahun Akademik 2008/2009... 69

Tabel VIII.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Internasional ke Negara-negara ASEAN………. 74

Tabel VIII.2. Peringkat Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan (Tourism and Travel Competitiveness Index), 2011 dan 2013……...……… 75

Tabel VIII.3. Peringkat dalam Pilar Sumber Daya Manusia, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011……….……… 76

Tabel VIII.4. Peringkat dalam Pilar Infrastruktur Pariwisata, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011……….……… 79

Tabel VIII.5. Peringkat dalam Sub Pilar Infrastruktur Transportasi Darat, Indeks Daya Saing Pariwisata dan Perjalanan, 2011……… 80

(7)

7 | A S C F I S I P U I

Tabel IX.2. Peta Kompetensi Surveyor………. 87

Tabel X.1. Jumlah Akuntan yang Menjadi Anggota Asosiasi Akuntan Nasional di Negara-negara ASEAN……….. 94

Tabel X.2. Jumlah Akuntan Beregister, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik di Indonesia, 2010-2013……….……….. 95

Tabel X.3. Jumlah Lulusan S-1 Akuntansi di Indonesia………... 101

Tabel XI.1. Pemetaan Nilai Strategis dan Daya Saing Tenaga Terampil Indonesia di 8 Sektor MRA dan MRA Framework... 105

Tabel XI.2. Rekomendasi Spesifik untuk Masing-Masing Sektor ... 111

DAFTAR GRAFIK Grafik II.1. Komposisi GDP berdasarkan Sektor……….. 19

Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama, 2010... 20

Grafik III.1. Diagram Populasi Sarjana Teknik di Beberapa Negara Tahun 2008... 29

Grafik III.2. Diagram Pertumbuhan Sarjana Teknik di Beberapa Negara: 2004-2007... 30

Grafik III.3. Diagram Proyeksi Kebutuhan Insinyur Indonesia 2015-2030... 31

Grafik IV.1. Jumlah Sarjana Teknik per 1 Juta Penduduk di beberapa Negara... 37

Grafik IV.2. Tambahan Sarjana Tenik per tahun / 1 juta penduduk... 38

Grafik V.1 Jumlah Program Studi Keperawatan per Wilayah di Indonesia Tahun Akademik 2008/2009……… 49

Grafik X.1. Pertumbuhan Jumlah Akuntan Publik………. 95

Grafik X.2. Struktur Usia Akuntan Publik di Indonesia……….. 96

DAFTAR BAGAN Bagan II.1. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global dalam Indeks Daya Saing Global... 23

(8)

8 | A S C F I S I P U I

I

Pendahuluan

I.1. Sejarah dan Perkembangan Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN

Meskipun liberalisasi perdagangan di level global mengalami hambatan dengan berlarut-larutnya Putaran Doha yang dimulai sejak 2001 dan belum tuntas hingga hari ini, proses liberalisasi perdagangan mengalami perkembangan signifikan dengan kemunculan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas di level regional. Di Asia Tenggara sendiri, ASEAN telah berhasil menyepakati perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA, ASEAN Free Trade Area) yang mengharuskan negara-negara ASEAN mereduksi tarif hingga 0-5% untuk barang-barang yang diperdagangkan di antara negara-negara ASEAN dengan tenggat waktu pada tahun 2015.1

Namun, tercatat bahwa pada awal masa liberalisasi perdagangan, fokus lebih diutamakan pada perdagangan barang (goods) daripada jasa (services). Baru pada tahun 1970an, liberalisasi sektor jasa kemudian mendapatkan perhatian dan mengalami peningkatan yang signifikan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan investasi internasional. Walau demikian, Hartman dan Scherrer (2003) menegaskan bahwa 75% perdagangan jasa masih terjadi di negara maju yang menguasai seperlima dari total perdagangan jasa dunia. 2

Dalam upaya meningkatkan liberalisasi perdagangan jasa, WTO3 kemudian

membentuk GATS (General Agreements on Trade in Services) mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa. GATS menganut beberapa prinsip utama yaitu: yaitu prinsip non-diskriminasi yang terdiri dari most favoured nation principle (MFN Principle) dan national treatment, prinsip liberalisasi akses pasar, serta prinsip transparansi.4 Selain itu, GATS secara rinci mengatur ruang lingkup perdagangan

jasa dalam Pasal 1 dan 2 yang meliputi empat mode pasokan yaitu:

1. Mode 1 adalah pasokan lintas batas (cross border supply) yaitu penyediaan jasa di dalam suatu wilayah negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya.

2. Mode 2 adalah konsumsi luar negeri (consumption abroad) yaitu penyediaan jasa dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya.

3. Mode 3 adalah kehadiran komersial (commercial presence) yaitu penyediaan jasa oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya.

1 Berbeda dengan Uni Eropa, ASEAN tidak menerapkan Common External Tariff, sehingga negara-negara ASEAN dapat menerapkan tarif untuk barang-barang dari luar negara-negara ASEAN sesuai dengan kondisi masing-masing negara.

2 E. Hartmann dan C. Sherrer, Negotiations on Trade in Services-The Position of theTrade Unions on GATS (Geneva: FES, 2003), dalam Susan L. Robertson, Globalization, GATS and Trading in Education Service,” Centre for Globalisation, Education and Societies, (Bristol: The University of Bristol), diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 dari: http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publications/04slr.pdf

3 Di bawah WTO terdapat tiga perjanjian yang dibuat yaitu GATT, GATS dan TRIPS.

4 General Agreements on Trade in Services, diakses dari http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/26-gats_01_e.htm, diakses 21 Agustus 2013

(9)

9 | A S C F I S I P U I

4. Mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person) yaitu pernyediaan jasa oleh penyedia jasa dari satu negara anggota melalui kehadiran natural person dari suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota

Aturan-aturan dalam GATS ini menjadi acuan utama dalam implementasi liberalisasi sektor jasa yang dilakukan tidak hanya di level internasional tetapi juga di level regional dan bilateral. Di level ASEAN, disepakatinya AFTA pada tahun 1992 menandai mulai dialihkannya fokus perhatian pada liberalisasi perdagangan di dalam sektor jasa (trade in services liberalization). Upaya melakukan liberalisasi perdagangan di sektor jasa ini diawali dengan disepakatinya AFAS (ASEAN Framework Agreement on Trade in Services) pada tahun 1995. AFAS dibangun dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diletakkan di dalam GATS, yaitu melalui proses negosiasi ‘permintaan dan penawaran’ liberalisasi sektor jasa di antara negara-negara anggota.5 Sejak disepakati pada tahun 1995, AFAS tidak terlalu berhasil

mendorong liberalisasi sektor jasa di ASEAN.6

Sayangnya, krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menghancurkan perekonomian dan melahirkan perubahan-perubahan sosial politik di sebagian negara ASEAN, termasuk motor-motor utamanya seperti Indonesia dan Thailand, sehingga proses perundingan untuk liberalisasi sektor jasa di level ASEAN pun tidak berlangsung dengan efektif saat itu.

Setelah negara ASEAN mulai pulih dari guncangan krisis Asia, negara-negara ASEAN kembali melihat potensi ASEAN untuk memajukan kesejahteraan masing-masing negara. Dalam konteks inilah muncul inisiatif-inisiatif baru untuk membuat ASEAN lebih efektif dan terintegrasi. Inisiatif-inisiatif inilah yang kemudian berujung pada dideklarasikannya ASEAN Concord II (atau “Bali Concord II”) pada bulan Oktober 2003. Para pemimpin ASEAN bersepakat untuk mewujudkan satu masyarakat ASEAN yang memiliki tiga pilar: (1) Komunitas Keamanan ASEAN (ASC, ASEAN Security Community), (2) Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC, ASEAN Economic Community) dan (3) Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC, ASEAN Socio-Cultural Community).

Sejak saat itu, liberalisasi sektor jasa di ASEAN pun menemukan momentum baru. Bali Concord II sendiri menyebutkan dengan tegas bahwa liberalisasi sektor jasa adalah salah satu elemen penting di dalam integrasi ASEAN:

“The ASEAN Economic Community is the realisation of the end-goal of economic integration asoutlined in the ASEAN Vision 2020, to create a stable, prosperous and highly competitive ASEANeconomic region in which there is a free flow of goods, services, investment and a freer flow of capital,equitable economic development and reduced poverty and socio-economic disparities in year 2020.”

KTT ASEAN Ke-13 pada bulan November 2007 menyepakati diadopsinya Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC Blueprint) sebagai dokumen rencana yang komprehensif untuk memandu terwujudnya Komunitas Keamanan ASEAN pada tahun 2015. Dokumen tersebut menyatakan bahwa ASEAN tidak hanya akan menjadi

5 ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hal. 1.

6 Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, “An Assesment of Services Sector Liberalization in ASEAN”, dalam Sanchita Basu Das (ed), ASEAN Economic Community Scorecard, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studes, 2013), hal. 48.

(10)

10 | A S C F I S I P U I

satu pasar tunggal (single market), namun juga satu basis produksi tunggal (single production base) yang mensyaratkan aliran faktor-faktor produksi yang bebas, termasuk modal dan tenaga kerja terampil.7 Cetak Biru ini merupakan milestone

penting dalam liberalisasi sektor jasa di ASEAN karena menjadi titik balik untuk meninggalkan pendekatan “request and offer” yang berlarut-larut dan menetapkan target-target yang jelas dan terukur dalam melakukan proses liberalisasi sektor jasa ASEAN.8

Dalam upaya mendukung liberalisasi sektor jasa ini, terutama terkait lalu lintas atau perpindahan tenaga kerja terampil, negara-negara anggota ASEAN menandatangani MRA (Mutual Recognition Agreement) pada tanggal 19 November 2007. MRA ini menjadi sebuah hal mutlak yang dilakukan untuk mendukung liberalisasi sektor jasa yang berasaskan keadilan/fairness. Dalam kaitan ini, terdapat sejumlah hakikat dari MRA. Pertama, negara tujuan atau negara penerima mengakui kualifikasi profesional dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau negara asal tenaga kerja terampil. Kedua, negara asal diberikan otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Ketiga, pengakuan tidak bersifat otomatis. Ada proses untuk penentuan standar dan persyaratan lainnya yang diterapkan baik di negara penerima maupun di negara asal. Dengan kata lain MRA tidak langsung memberikan hak untuk melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada akses pasar. Hal ini memberikan indikasi persoalan di level regional. Namun MRA merupakan langkah awal yang penting untuk mempromosikan perpindahan tenaga kerja terampil itu. Sejauh yang dapat dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini telah disepakti 8 MRA dan MRA Framework, yaitu (1) MRA untuk jasa teknik; (2) arsitek; (3) jasa perawatan; (4) praktisi medis; (5) praktisi gigi/dokter gigi; (6) jasa akuntan; (7) penyigian (surveying).

Selain MRA sebagai rujukan utama dalam menjamin mobilitas tenaga kerja terampil, AFAS (Artikel 5 tentang domestic regulations on qualifications dan Artikel 6 tentang recognition on qualifications), dan AEC Blue Print secara jelas mengatur keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN. Walau demikian, Chia Siow Yue (2013) mencatat bahwa ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keleluasaan mobilitas tenaga kerja terampil yaitu: 1) disparitas yang besar antara upah dan kesempatan kerja; 2) geographical proximity dan lingkungan sosial-budaya dan bahasa; 3) disparitas perkembangan sektor pendidikan antara negara di ASEAN dan; 4) faktor kebijakan yang berlaku di setiap negara anggota.9

Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan implementasi liberalisasi sektor jasa yang sudah disepakati dalam AEC, ASEAN bergerak cepat dengan disepakatinya ASEAN Agreement on the Movement of Natural Persons (MNP) yang ditandatangani pada November 2012. Kesepakatan ini memberikan jaminan hak dan aturan tambahan yang sudah diatur di AFAS tentang MNP dan juga memfasilitasi MNP dalam menjalankan perdagangan dalam jasa dan investasi. Namun kesepakatan ini sekaligus juga memberikan perlindungan bagi integritas batas negara anggota ASEAN dan tentu perlindungan terhadap tenaga kerja domestik dan pekerjan tetap di negara-negara anggota ASEAN.

7Ibid,. hal. 55.

8Ibid,. hal. 62.

9 Chia Siow Yue, ‘Free Flow of Skilled Labor in the AEC’, dalam Urata, S. dan M. Okabe (ed), Toward a Competitive

(11)

11 | A S C F I S I P U I

Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa kebijakan luar negeri, termasuk kesepakatan Indonesia pada perjanjian untuk melakukan liberalisasi sektor jasa, bukanlah perundingan yang hanya berada di satu tingkat saja. Pemerintah tidak hanya berunding dengan negara anggota ASEAN yang lain, namun juga dengan rakyatnya sendiri. Dalam kajian hubungan internasional, Robert Putnam sejak jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa diplomasi adalah sebuah “two level game.”10

Ada kepentingan-kepentingan di dalam negeri yang harus diajak berunding dalam implementasi liberalisasi sektor jasa di Indonesia.

Penelitian ini mencoba menangkap fenomena tersebut dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan yang terimbas liberalisasi sektor jasa ASEAN untuk duduk bersama. Untuk mendapatkan kedalaman, penelitian ini akan berfokus pada delapan sektor yang telah disepakati di dalam MRA atau MRA Framework. Dari kegiatan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih utuh tentang daya saing para pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor, hambatan-hambatan yang dihadapi untuk meningkatkan kapasitas SDM tenaga terampil Indonesia di masing-masing sektor, serta kebijakan seperti apa yang dapat dilaksanakan untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut.

I.2. Mengisi Ruang Kosong: Signifikansi Penelitian

Kajian-kajian mengenai evaluasi terhadap liberalisasi sektor jasa ASEAN saat ini didominasi oleh kajian-kajian yang mengukur tingkat pencapaian (atau ‘kepatuhan’) negara-negara ASEAN pada target yang telah ditetapkan oleh Cetak Biru KEA. Dengan titik awal seperti demikian, dapat diduga bahwa mayoritas kajian-kajian tersebut kemudian melihat bahwa liberalisasi sektor jasa di ASEAN ‘tidak terlalu berhasil’ dan mendorong pemerintah untuk ‘berupaya lebih keras memenuhi komitmen liberalisasi sektor jasa.’

Dalam tulisan mereka yang melakukan penilaian tentang liberalisasi sektor jasa di ASEAN, Deunden Nikomborirak dan Supunnavadee Jitdumrong, menyatakan bahwa dibandingkan dengan liberalisasi perdagangan barang (‘trade in goods’) yang mereka sebut sebagai pencapaian yang baik sekali,“the progress made in liberalizing trade in services...have not been as impressive” (“kemajuan di dalam liberalisasi sektor jasa...tidaklah seberhasil itu”).

Nikomborirak dan Jitdumrong mencatat bahwa implementasi yang sebenarnya dari rencana-rencana yang ditetapkan di dalam cetak biru KEA banyak yang tidak sesuai dengan tahapan yang telah disepakati di dalam cetak biru tersebut. Sebagai contoh, untuk sektor E-ASEAN yang merupakan salah satu prioritas utama dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN saja, paket liberalisasi jasa ASEAN ke 7 (AFAS 7) menetapkan angka yang di bawah target. Misalnya, Cetak Biru KEA menargetkan bahwa kepemilikan modal asing (ASEAN) di dalam layanan telepon genggam seharusnya dibebaskan sampai 70% pada tahun 2010, namun hanya Singapura saja yang mampu membuka sektor tersebut sampai di atas 70%. Negara lain rata-rata memberikan komitmen liberalisasi kepemilikan modal di sektor tersebut di bawah 50%.11 Lagipula, menurut keduanya, pembatasan modal asing (yang dirundingkan di

dalam proses liberalisasi sektor jasa ASEAN selama ini) bukan satu-satunya faktor yang menghambat perdagangan jasa. Nikomborirak dan Jitdumrong menyebutkan bahwa faktor-faktor lain seperti hak kepemilikan tanah, menggunakan jasa tenaga

10 Robert Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two Level Games,” International Organization, 42(3), 1988, hal. 427-460.

(12)

12 | A S C F I S I P U I

kerja asing, serta tingkat kesulitan perizinan usaha juga menjadi pertimbangan penting bagi sebuah perusahaan untuk memiliki commercial presence di luar negeri. Dengan pembahasan tersebut, kedua peneliti ini menyatakan pesimismenya bahwa “tampaknya kita tidak akan melihat kemajuan yang berarti dalam perdagangan jasa di ASEAN dalam waktu dekat ini.”12

Berkaitan dengan mobilitas tenaga kerja terampil di ASEAN yang merupakan salah satu aspek penting dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN, pesimisme senada juga muncul. Chia Siow Yue, misalnya, menyebutkan bahwa “hampir semua negara (anggota ASEAN) beralih dari kebijakan, peraturan, dan praktik-praktik yang ditujukan untuk memproteksi tenaga kerja terampil dan profesional dalam negeri dari kompetisi dengan tenaga asing.”13

Chia Siow Yue juga mengatakan bahwa salah satu mekanisme terpenting untuk menyukseskan liberalisasi sektor jasa ASEAN, yaitu kesepakatan-kesepakatan MRA, pun memiliki banyak masalah. Perundingannya memakan waktu yang lama dan rumit karena adanya perbedaan tingkat pembangunan di antara negara-negara ASEAN. Tak hanya perundingannya yang rumit dan memakan waktu, ia juga mengatakan bahwa implementasinya juga sering tersendat. Terlebih lagi, ia menyebutkan bahwa perundingan MRA tidak bisa secara otomatis diartikan terbukanya akses pasar dan mobilitas intra-ASEAN yang efektif. Kondisi ini disebabkan oleh peraturan dan praktik bisnis domestik yang menghalangi mobilitas tersebut, termasuk aturan-aturan hukum yang termuat dalam undang-undang maupun aturan lainnya (seperti pembatasan pekerja asing dalam sektor tertentu, persyaratan dan prosedur visa, harus adanya pembuktian bahwa sebuah perusahaan membutuhkan tenaga kerja asing, dan seterusnya).14

Kajian-kajian tersebut tidak mampu memberikan gambaran yang utuh mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan liberalisasi sektor jasa di ASEAN karena tidak melihat adanya pro-kontra terhadap gagasan liberalisasi sektor jasa itu sendiri. Gagasan liberalisasi (termasuk sektor jasa) berakar dari satu pemikiran ekonomi yang bukannya tanpa kritik. Dengan demikian, banyak kelompok masih memandang liberalisasi sektor jasa dengan pandangan negatif, sehingga masih melakukan penolakan-penolakan melalui berbagai saluran yang ada, termasuk melalui konstitusi. Hal inilah yang membuat proses perundingan dan implementasi MRA, dalam bahasa Chia Siow Yue, “rumit dan berlarut-larut.” Sayangnya, kebanyakan peneliti yang berlatarbelakang ekonomi ini mengkritik keadaan tersebut (“rumit dan berlarut-larut”) namun tidak lebih jauh lagi mencoba memahami mengapa hal tersebut menjadi berlarut-larut.

Aspek penting kedua yaitu berkaitan dengan pemahaman bahwa kebijakan luar negeri adalah sebuah ‘two level game,’ yang mengharuskan pemerintah sebuah negara tidak hanya bernegosiasi dengan negara lain saja, namun juga harus berunding dengan berbagai kelompok di dalam negeri. Dengan memahami dua hal tersebut, kita dapat memahami kenyataan bahwa meskipun dokumen ASEAN (yang tentunya disepakati oleh negara-negara anggota) memandang liberalisasi sektor jasa dengan sangat positif, banyak negara ASEAN cenderung berhati-hati untuk mengimplementasikannya dalam kebijakan nasional.

12Ibid,. Hal. 75-76.

13 Chia Siow Yue, Op.cit,. hal.232. 14Ibid,. hal. 233.

(13)

13 | A S C F I S I P U I

Penelitian ini mencoba mempertimbangkan kedua faktor itu di dalam penelitian melalui focus group discussion dengan para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN, terutama asosiasi-asosiasi profesi.

I.3. Tujuan Penelitian

Berangkat dari pemahaman tersebut, penelitian ini mencoba memberikan sumbangsih pada pembuatan kebijakan berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan melihat kepentingan nasional Indonesia sebagai pertimbangan utamanya. Untuk lebih fokus, penelitian ini mengkaji satu aspek khusus yaitu daya saing pekerja terampil Indonesia di delapan sektor yang telah disepakati di dalam Mutual Recognition Arrangement atau Mutual Recognition Agreement Framework.

Penelitian ini dirancang untuk: (1) mendapatkan gambaran mengenai nilai strategis berbagai sektor jasa yang disepakati di dalam ASEAN MRA dan MRA Framework; (2) memetakan daya saing pekerja terampil Indonesia di berbagai sektor tersebut; (3) mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan muncul berkaitan dengan liberalisasi sektor jasa ASEAN di masing-masing sektor jasa; dan (4) memberikan rekomendasi kebijakan.

I.4. Konseptualisasi

Untuk tujuan pembahasan, kajian ini memberikan beberapa pembatasan konsep. Pertama, konsep sektor jasa. Rujukan tentang rincian sektor jasa mengacu pada dokumen resmi GATS/WTO dan ASEAN. Dokumen Cetak Biru KEA sendiri menggunakan dokumen GATS W.120 sebagai rujukan untuk melakukan klasifikasi terhadap sektor jasa.

Kedua, konsep liberalisasi. Pengertian yang dianut adalah tindakan-tindakan kebijakan yang dibuat dengan sengaja oleh pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan (entry barriers) dalam lalu lintas barang dan dan jasa antar negara.

Ketiga, pekerja terampil (skilled labor). Definisi yang dianut bersifat terbatas. Pengertiannya adalah pekerja dalam sektor jasa dan memiliki mobilitas untuk berpindah kerja antarnegara baik sebagai individu maupun bagian dari pekerja perusahan multinasional. Istilah “pekerja terampil” juga meliputi tenaga ahli dan profesional.

Keempat, mobilitas tenaga kerja terampil. Merujuk pada Chia Siow Yue (2011), konsep ini sealur dengan istilah movement of natural persons (MNP) dalam GATS/WTO yaitu mobilitas individul terampil dan para professional untuk kurun waktu yang tertentu baik sebagai individu yang mempekerjakan dirinya ( self-employed) atau sebagai pekerja dari suatu perusahan multinasional. Oleh sebab itu yang termasuk dalam MNP misalnya adalah para pengunjung bisnis, para investor dan pedagang yang melaksanakan kegiatan investasi dan perdagangan, perpindahan tenaga kerja antar perusahaan multinasional, dan kalangan profesional antara lain dokter, perawat, pengacara, akuntan, insinyur teknik, pekerja profesional IT, dan sebagainya. Karena itu, pengertian mobilitas, mengutip pendapat Marry Grace L tidak berarti absolute mobility atau totally free tetapi mobilitas yang terkelola

(14)

14 | A S C F I S I P U I

(managed mobility) atau melalui istilah “perpindahan yang dipermudah” (facilitated entry).15

I.5. Cakupan Penelitian

Penelitian ini akan berfokus pada 8 sektor jasa yang telah disepakati di dalam MRA atau MRA Framework. Pemilihan sektor berdasarkan MRA ini juga relevan karena penelitian ini berfokus pada daya saing tenaga terampil Indonesia. Kedelapan sektor tersebut adalah:

Tabel I.1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual Recognition Arrangement Framework

No Sektor Keterangan Waktu Disepakati

1 Engineering services MRA Desember 2005

2 Nursing Services MRA Desember 2006

3 Architectural Services MRA November 2007

4 Surveying

Qualifications MRA Framework November 2007

5 Medical practicioners MRA Februari 2009

6 Dental practicioners MRA Februari 2009

7 Accountancy Services MRA Framework Februari 2009

8 Tourism Professionals MRA Januari 2009

I.6. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah metode kualitatif. Metode yang pertama adalah kajian literatur. Ada dua sumber dokumen yang dianalisis. Pertama adalah sumber-sumber primer yang mencakup dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh ASEAN, kerangka regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang terkait dengan liberalisasi sektor jasa maupun wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. Kedua adalah sumber sekunder berupa laporan-laporan yang telah dihasilkan oleh berbagai lembaga kajian tentang liberalisasi sektor jasa baik di Indonesia maupun negara-negara ASEAN lainnya.

Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang kondisi di berbagai sektor jasa tersebut, penelitian juga menggunakan wawancara mendalam (in depth interview) dan Focus Group Discussions.

Sebagai sebuah penelitian kualitatif yang mementingkan kedalaman pemahaman, penelitian ini tidak dimulai dari metode yang kaku dan tidak berubah. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, penelitian ini secara fleksibel membangun konsep seiring dengan temuan-temuan baru yang ditemukan di dalam penelitian. Sebagai contoh, penelitian ini tidak langsung membuat standar tunggal untuk mengukur daya saing 8 sektor jasa tersebut. Seiring dengan berjalannya penelitian, terutama melalui interaksi dengan berbagai pihak yang terkait dengan

15 Mary Grace L. Riguer, “ASEAN 2015: Implications of People Mobility and Services “,ILS Discussion Paper Series 2012, hal. 11, diakses dari http://ilsdole.gov.ph/wp-content/uploads/2013/01/Riguer-ASEAN-2015-Implications-of-People-Mobility-and-Services1.pdf, Kamis, 22 Agustus 2013

(15)

15 | A S C F I S I P U I

liberalisasi sektor jasa ini, penelitian ini menggunakan tiga dimensi untuk mengukur daya saing sektor jasa, yaitu: (1) Sumber Daya Manusia (kualitas dan kuantitas); (2) Tata kelola; (3) Infrastruktur pendukung.

Istilah “infrastruktur” di sini merujuk kepada “An underlying base or foundation especially for an organization or system”16 secara fleksibel. Sesuai dengan

pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, definisi tersebut tidak diterapkan secara kaku dan sama untuk setiap sektor jasa. Dalam penelitian ini, aspek infrastruktur yang dilihat (fasilitas pendidikan, sarana transportasi, dan lain-lain) akan ditentukan seiring dengan berjalannya penelitian di dalam sektor tersebut. Di masing-masing sektor, berdasarkan FGD dan kajian literatur di sektor tersebut, kita akan melihat infrastruktur apa yang signifikan mempengaruhi daya saing pekerja terampil di sektor itu.

Bagan I.1. Alur Logika Penelitian

16The American Heritage Dictionary of the English Language, 4th Ed. (Boston: Houghton Mifflin Company, 2000). Diakses dari http://www.thefreedictionary.com/infrastructure

Perumusan Masalah

•Liberalisasi sektor jasa ASEAN •Daya saing pekerja terampil Indonesia

Konseptualisasi •Sektor jasa •Liberalisasi •Pekerja terampil

•Mobilitas tenaga kerja terampil

Pemetaan Sektor Jasa •Identifikasi Sektor: GATS W/120 •Pemilihan sektor

•Pengenalan terhadap nilai strategis •Pemetaan daya saing pekerja terampil

masing-masing sektor

•Identifikasi pemangku kepentingan

Identifikasi Hambatan

•Pendekatan kualitatif, ditopang oleh pendekatan kuantitatif

•Analisis dokumen

Focus Group Discussion dengan pemangku kepentingan terkait

•Pemetaan hambatan di masing-masing sektor

Luaran

•Laporan akhir: pemetaan daya saing tenaga kerja terampil Indonesia dan hambatan-hambatannya

•Rekomendasi kebijakan untuk optimalisasi manfaat liberalisasi sektor jasa ASEAN

(16)

16 | A S C F I S I P U I

Berkat dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini terlaksana dengan baik pada bulan Juli hingga bulan Desember 2013. Selama periode tersebut, semua kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan, meskipun dengan berbagai penyesuaian karena berbagai faktor.

Sebagai contoh, FGD yang dilakukan oleh tim peneliti berhasil menghadirkan 6 Asosiasi profesi. Dengan demikian, masih ada lagi dua sektor yang belum berhasil dihadirkan dalam FGD karena permasalahan yang bersifat teknis (tidak ada waktu yang cocok). Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penelitian ini kemudian melakukan wawancara mendalam kepada narasumber dari dua asosiasi yang belum terlibat di dalam Focus Group Discussion, yaitu Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

Kajian literatur dilaksanakan terus menerus selama penelitian ini, namun data-data yang mendalam didapatkan dari Focus Group Discussion yang melibatkan 8 asosiasi profesi atau lembaga yang terkait dengan 8 sektor jasa yang disepakati dalam MRA atau MRA Framework.

Seiring dengan berjalannya penelitian, tim peneliti melakukan penyesuaian terhadap daftar yang akan dilibatkan dalam FGD berdasarkan relevansi pemangku kepentingan yang akan diundang tersebut. Tim peneliti juga memutuskan untuk membuat FGD ke dalam beberapa sesi supaya data yang didapatkan dapat lebih mendalam dan utuh.

FGD akhirnya terlaksana dalam dua kali tanggal pelaksanaan, yaitu:

FGD I: 26 Oktober 2013

FGD yang pertama ini dilaksanakan di Ruang Nurani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. FGD ini menghadirkan 4 (empat) Asosiasi profesi di antara 8 sektor yang diteliti. Keempat asosiasi tersebut adalah: (1) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang mewakili sektor jasa keinsinyuran, (2) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang mewakili sektor jasa keperawatan, (3) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang mewakili sektor jasa arsitek, dan (4) Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia yang mewakili sektor jasa pariwisata. Selain keempat asosiasi tersebut, hadir pula perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, serta kalangan akademisi.

FGD II, 15 November 2013

FGD yang kedua terlaksana pada tanggal 15 November 2013 di Gedung Kuntjoroningrat, FISIP UI. Dalam FGD ini, pihak yang hadir adalah Ikatan Akuntan Indonesia dan Badan Informasi Geospasial. Ikatan Akuntan Indonesia mewakili sektor jasa akuntan dan Badan Informasi Geospasial dianggap representatif untuk berbicara masalah ini karena badan ini mengurusi sertifikasi tenaga kerja dalam bidang pemetaan di Indonesia.

(17)

17 | A S C F I S I P U I

Selain FGD, wawancara mendalam juga dilakukan pada 13 Desember 2013 dengan narasumber dari Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.

I.7. Susunan Laporan Penelitian

Laporan ini disusun ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai penelitian ini, mulai dari pertanyaan masalah hingga metodologi yang digunakan, serta gambaran umum sektor jasa di Indonesia.

Bagian kedua adalah bagian inti dari laporan ini yang berisi gambaran dalam setiap sektor. Di setiap sektor, dibahas mengenai isi MRA atau MRA Framework di sektor tersebut. Hal ini penting untuk melihat dampak MRA bagi sektor yang dibahas. Selanjutnya, di masing-masing pembahasan diberikan gambaran umum sektor untuk memberikan gambaran tentang nilai strategis dari sektor tersebut bagi Indonesia. Selanjutnya, laporan ini mengelaborasi dimensi-dimensi yang mempengaruhi daya saing tenaga kerja terampil Indonesia di sektor tersebut, yaitu: (1) kondisi sumber daya manusia; (2) tata kelola; dan (3) infrastruktur. Setelah itu, masing-masing bagian akan memberikan rekomendasi kebijakan untuk masing-masing sektor berdasarkan pembahasan permasalahan di masing-masing dimensi yang dibahas.

Bagian ketiga berisi kesimpulan umum dari penelitian ini dan rekomendasi-rekomendasi kebijakan untuk pemangku kepentingan terkait.

(18)

18 | A S C F I S I P U I

II

Sektor Jasa dan Daya Saing Indonesia:

Potensial tapi Belum Optimal

II.1. Pendahuluan

Sektor jasa adalah salah satu sektor yang belakangan ini mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak di Indonesia. Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, menyampaikan bahwa peran sektor jasa dalam perdagangan internasional sangat penting dan oleh karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk terus mendukung sektor tersebut.Menurutnya, semakin maju perekonomian suatu negara, sektor jasa menjadi semakin penting dan melampaui pentingnya sektor agrikultur dan industri.17 Pandangan senada juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian, M.S.

Hidayat, yang menyampaikan bahwa sektor jasa adalah sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia dan menyumbang sekitar 60-80% dalam penurunan kemiskinan di Indonesia.18

Di sektor swasta, berbagai pihak juga dengan serius memperbincangkan sektor tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), misalnya, menyelenggarakan Indonesia Services Dialogue dengan dukungan dari U.S. Agency for International Development (USAID) untuk mendorong perbaikan kebijakan di sektor jasa.19

Pada saat yang bersamaan, banyak pihak juga mengakui bahwa sektor jasa Indonesia masih belum optimal. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Suryo Bambang Sulisto, menyampaikan bahwa Indonesia banyak kehilangan peluang di industri jasa. Kehilangan potensi keuntungan ini, yang menurutnya disebabkan oleh dominasi asing di sektor tersebut, jika diangkakan dapat mencapai sekitar 10 Milyar USD.20

Sebelum membicarakan sektor-sektor jasa yang lebih spesifik pada bagian selanjutnya, penting untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi sektor jasa di Indonesia. Bagian ini dituliskan untuk memberikan gambaran umum yang singkat kepada pembaca mengenai sektor jasa di Indonesia tersebut.

17 “Sektor Jasa Berpotensi Naikkan Daya Saing Indonesia,” Republika, Jumat, 19 April 2013, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/04/19/mlhx7a-sektor-jasa-berpotensi-naikkan-daya-saing-indonesia

18 “Sektor Jasa Pegang Peranan Penting dalam Perekonomian Indonesia,” diakses dari http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=4222&cHash=1

19 Sila lihat http://apindo.or.id/index.php/indonesia-services-dialogue/information/868-the-indonesia-services-dialogue

20 “Sektor Jasa Belum Optimal,” Riau Pos, 12 Oktober 2013. Diakses dari http://www.riaupos.co/35867-berita-sektor-jasa-belum-optimal-.html

(19)

19 | A S C F I S I P U I II.2. Sektor yang Tumbuh dan Semakin Penting

Sektor jasa adalah sektor yang tumbuh dengan sangat pesat di Indonesia, terutama dalam satu dekade terakhir ini. Kontribusinya bagi Pendapatan Nasional tercatat terus meningkat. Pada awal tahun 2000-an, sektor jasa menyumbang 44% dari GDP. Pada tahun 2010, kontribusi sektor jasa sudah mencapai lebih dari 50%.21

Perkembangan ini dapat terlihat dengan jelas di dalam grafik berikut ini:

Grafik II.1. Komposisi GDP berdasarkan Sektor

Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, “Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia,” Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di

http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm Meskipun demikian, banyak kalangan yang juga melihat hal ini dengan hati-hati karena pertumbuhan sektor jasa ini bersamaan dengan merosotnya sektor industri. Sebagaimana dicatat oleh Chris Manning dan Haryo Aswicahyono (2012), Indonesia mengalami fenomena yang berbeda dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal perbandingan antara pertumbuhan sektor jasa dan sektor manufaktur. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, jasa tercatat tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan manufaktur yang tumbuh dengan sangat lambat. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia di mana sektor manufaktur berkembang sama cepatnya dengan sektor jasa di kedua negara tetangga tersebut (meskipun tetap lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan di masa sebelum krisis Asia 1997/1998).22

Pertumbuhan sektor jasa ini juga terlihat dari jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor tersebut yang meningkat dengan pesat. Pada tahun 2000, ada sekitar 35 juta orang yang bekerja di sektor jasa dan terkait-jasa (services and

21 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, “Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia,” Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di

http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm 22 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit.

(20)

20 | A S C F I S I P U I

services-related). Dalam sepuluh tahun, jumlah yang terlibat dalam sektor jasa menjadi 49,18 juta orang atau meningkat sekitar 14,18 juta orang.23 Berkaitan

dengan perdagangan, jumlah pekerjaan yang disediakan sektor jasa yang terkait dengan semua kegiatan ekspor (dengan mempertimbangkan hubungan langsung maupun tak langsung) tercatat lebih besar dari jumlah total pekerjaan yang diciptakan oleh semua ekspor manufaktur (makanan olahan, industri ringan dan berat). Ada 7,1 juta pekerjaan yang disediakan oleh sektor jasa yang terkait dengan kegiatan ekspor dan hanya 5 juta pekerjaan yang diciptakan oleh semua ekspor manufaktur.24

Di dalam sektor jasa, ada beberapa kegiatan sektor jasa yang utama yang menyerap tenaga kerja paling banyak. Sektor perdagangan ritel adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak dengan 32% (tahun 2010), disusul dengan konstruksi (11%), pendidikan (9%), serta hotel dan restoran (8%).25 Komposisi

lengkapnya dapat dilihat dari grafik berikut ini:

Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama, 201026

Sumber: Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, “Perdagangan dan Pekerjaan di Sektor Jasa di Indonesia,” Laporan International Labour Organization (ILO), 12 Juli 2012, dapat diakses di

http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_185656/lang--en/index.htm Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa sektor jasa adalah sektor yang semakin penting bagi perekonomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan nasional maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Dalam konteks ini, berlakunya Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan liberalisasi

23 ILO Statistics (2013), dikutip dari Siti Tri Joelyartini, “Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN,” presentasi dalam Focus Group Discussion di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 26 Oktober 2013. Ibu Siti Tri Joelyartini adalah Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa, Kementerian Perdagangan.

24 Chris Manning dan Haryo Aswicahyono, Op.Cit. 25Ibid.

26 Manning dan Aswicahyono menyusun grafik tersebut dengan mengolah data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010.

(21)

21 | A S C F I S I P U I

sektor jasa yang menjadi salah satu elemen penting di dalamnya diharapkan dapat mendorong tumbuhnya sektor jasa dan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia.

II.3. Potensial Namun Masih Belum Optimal

Meskipun demikian, kita juga menyaksikan bahwa banyak pihak masih meragukan bahwa liberalisasi sektor jasa ASEAN seiring dengan diterapkannya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 akan menguntungkan Indonesia, khususnya para pekerja Indonesia. Para pelaku sektor jasa yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi profesi yang diundang dalam FGD untuk penelitian ini secara umum menyampaikan kekhawatiran mereka bahwa liberalisasi sektor jasa akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku sektor jasa di dalam negeri.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita melihat neraca perdagangan jasa, Indonesia terus menerus mengalami defisit yang besar. Nilai impor jasa kita sekira dua kali lipat dari ekspor jasa kita, sehingga defisit kita mencapai lebih dari 10 milyar USD. Defisit ini terjadi secara konsisten hingga tahun 2012, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini.

Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, 2008-2012 (dalam juta USD)

2008 2009 2010 2011 2012 Sektor Jasa -12.998 -9.741 -9.324 -10.663 -10.331 A. Jasa Transportasi -11.094 -4.083 -6.007 -8.693 -8.679 B. Jasa Perjalanan (Travel) 1.823 282 563 1.742 1.553 C. Jasa Komunikasi 320 578 579 644 374 D. Jasa Konstruksi -83 -213 -72 54 231 E. Jasa Asuransi -663 -1.298 1.131 -1.267 -1.072 F. Jasa Keuangan -37 -227 -118 -174 -297

G. Jasa Komputer dan

Informasi -536 -516 -471 -508 -523

H. Royalti dan Imbalan

Lisensi -1.300 -1.492 -1.557 -1.709 -1.742

I. Jasa Bisnis Lainnya -1.645 -2.998 -1.147 -704 -109

J. Jasa Personal, Kultural & Rekreasi

-49 -51 -29 -53 -71

K. Jasa Pemerintah 264 277 65 37 5

Sumber: Siti Tri Joelyartini, “Liberalisasi Tenaga Kerja Terampil dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.” Data asli diolah dari data Direktorat Statistik dan Ekonomi Moneter Bank Indonesia.

(22)

22 | A S C F I S I P U I

Di antara sektor-sektor jasa utama, hanya sektor jasa perjalanan (travel), komunikasi, dan jasa pemerintah yang secara stabil mengalami surplus. Satu kabar yang cukup menggembirakan adalah bahwa sektor jasa konstruksi juga mulai mengalami surplus sejak tahun 2011 dan kecenderungannya meningkat.

Mengapa kita mengalami defisit dalam neraca perdagangan jasa? Salah satu yang dianggap menyebabkan masalah tersebut adalah permasalahan daya saing. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menyampaikan bahwa di banyak sektor jasa, pemain Indonesia kalah bersaing dengan pemain dari luar, seperti misalnya dalam sektor kesehatan (pasien Indonesia lebih memilih berobat ke Singapura) atau transportasi (penggunaan kapal asing untuk mengangkut barang dalam kegiatan ekspor impor atau sering disebut sebagai freight).27

II.4. Sektor Jasa dan Daya Saing Tenaga Kerja Terampil

Saat ini, kita belum memiliki parameter yang mengukur daya saing satu sektor jasa secara spesifik, kecuali di dalam sektor pariwisata (yang dikeluarkan oleh World Economic Forum). Untuk itu, pembahasan ini akan berangkat dari gambar besar daya saing Indonesia dengan melihat Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index).

Indeks Daya Saing Global yang dipublikasikan setiap tahun oleh World Economic Forum memotret daya saing dari 142 negara di dunia. Indeks tersebut disusun dengan menggunakan 12 pilar yang digolongkan ke dalam tiga kategori yang disebut “subindex”, yaitu “basic requirements” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “factor-driven”), “efficiency enhancers” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “efficiency-driven,” dan “innovation and sophistication factor” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “innovation-driven”). Pilar yang masuk dalam subindeks “basic requirements” adalah: (1) institusi; (2) infrastruktur; (3) makroekonomi; dan (4) kesehatan dan pendidikan dasar. Pilar yang masuk ke dalam subindeks “efficiency enhancers” yaitu: (1) pendidikan tinggi dan pelatihan; (2) efisiensi pasar barang; (3) Efisiensi pasar tenaga kerja; (4) Perkembangan pasar keuangan; (5) Kesiapan teknplogi; dan (6) Ukuran pasar. Sementara itu, pilar yang masuk ke dalam subindeks “innovation and sophistication factors” adalah business sophistication dan inovasi. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:28

27 “Sektor Jasa Belum Optimal,” Riau Pos.

28 Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2013-2014, (Jenewa: World Economic Forum, 2013), halaman 9.

(23)

23 | A S C F I S I P U I Bagan II.1. Kerangka Kerja Indeks Daya Saing Global

Peringkat Indonesia di dalam Indeks Daya Saing Global meningkat dari peringkat 50 pada tahun 2012 menjadi peringkat 38 pada tahun 2013.29 Pada Indeks

tersebut tahun 2012/2014, kita berada di bawah Singapura (peringkat 2 dunia), Malaysia (peringkat 25), Brunei (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38).30

Walaupun Indonesia masih berada di bawah negara-negara tersebut, peningkatan peringkat Indonesia cukup signifikan. Indonesia berada tepat satu peringkat di bawah Thailand.

Tabel II.2. Peringkat Negara-Negara Anggota ASEAN dalam Indeks Daya Saing Global

Negara Peringkat Singapura 2 Malaysia 24 Brunei 26 Thailand 37 Indonesia 38 Filipina 59 Vietnam 70 Laos 81 Kamboja 88 Myanmar 139

Sumber: data diolah dari http://reports.weforum.org/the-global-competitiveness-report-2013-2014/#=

29Ibid., halaman 15-22.

(24)

24 | A S C F I S I P U I

Peningkatan ini secara umum disebabkan oleh kemajuan di dalam 10 dari 12 pilar yang digunakan untuk menilai indeks. Kemajuan paling pesat terjadi di pilar infrastruktur dan efisiensi pasar tenaga kerja. Meskipun demikian, penting untuk mencatat bahwa di 12 pilar tersebut, Indonesia masih banyak tertinggal. Salah satu kecenderungan yang mengkhawatirkan adalah penurunan di aspek kesehatan, terutama disebabkan oleh meningkatnya ancaman penyakit menular dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan, yang mempengaruhi nilai di subindeks “basic requirements.” 31

Pelonjakan peringkat Indonesia ternyata juga ditanggapi dengan skeptis. Banyak pelaku bisnis dan pengamat ekonomi yang terkejut dengan kenaikan peringkat Indonesia yang terutama disebabkan oleh peningkatan dalam infrastruktur, yang melihat bahwa pembangunan infrastruktur masih mandeg.32

Berkaitan dengan tidak adanya satu parameter yang disepakati untuk mengukur daya saing pekerja terampil di sektor jasa, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat induktif. Alih-alih menetapkan “pilar-pilar” yang rigid untuk mengukur daya saing seperti dalam Indeks Daya Saing Global, penelitian ini mendiskusikan mengenai ukuran-ukuran kesiapan tersebut bersama dengan para pelaku atau tenaga kerja terampil di sektor tersebut. Melalui berbagai interaksi tersebut, penelitian ini kemudian menggunakan tiga dimensi yang menjadi “panduan”: (1) aspek sumber daya manusia; (2) tata kelola/regulasi; dan (3) infrastruktur. Ketiga dimensi tersebut tidak diperlakukan sebagai ukuran parametrik, namun sebagai panduan untuk menyelami permasalahan di masing-masing sektor jasa yang dibahas di dalam penelitian ini.

31 Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2013/2014.

32 “Pengusaha dan Pengamat Pertanyakan Indeks Daya Saing,” diakses dari

(25)

25 | A S C F I S I P U I

III

Jasa Keinsinyuran (

Engineering Services

)

III.1. Tentang ASEAN MRA on Engineering Services

Perjanjian MRA ASEAN dalam bidang sektor keinsinyuran (engineering services) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Indonesia diwakilkan oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Berbeda dengan sektor survei dan sektor akuntansi, MRA dalam sektor keinsinyuran telah ditandatangani oleh kesepuluh negara dan bukan lagi merupakan kerangka kerja (framework).

Tujuan dari MRA sektor jasa keinsinyuran adalah untuk memfasilitasi perdagangan dan sebagai stimulan aktivitas ekonomi antarpihak melalui penerimaan kompetensi SDM dalam hal standar, kualifikasi, sertifikasi dan lisensi. Dalam artikel 1 MRA sektor keinsinyuran dijelaskan bahwa tujuan dari adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini adalah untuk memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran profesional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi. Di dalam MRA ini, terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa keinsinyuran. Apa yang dinamakan dengan sektor keinsinyuran (engineering services) merujuk kepada aktivitas yang berada di lingkup Central Product Classification (CPC) Code 8672 dari Provisional CPC yang diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Selain itu, apa yang disebut dengan graduate engineer merujuk kepada setiap warga negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di bidang keinsinyuran yang telah memperoleh pengakuan dan diakreditasi oleh otoritas nasional di suatu negara. Berbeda dengan graduate engineer, professional engineer (practitioner) merujuk kepada:

“..natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and is assessed by a Professional Regulatory Authority (PRA) of any participating ASEAN Member Country as being technically, morally, and legally qualified to undertake independent professional engineering practice and is registered and licensed for such practice by the Authority. ASEAN Member Countries may have different nomenclatures and requirements for this term.”33

Sebenarnya, tujuan umum dari MRA bidang keinsinyuran ini adalah untuk menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, metode dan spesialisasi yang secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negara-negara ASEAN. Ada tiga prinsip yang dilakukan dalam penyelenggaraan MRA bidang keinsinyuran ini, antara

(26)

26 | A S C F I S I P U I

lain: transparansi, ekuivalensi, dan harmonisasi. Dari transparansi inilah yang sedang digalakkan oleh Indonesia dalam hal sertifikasi yang transparan agar mampu memanfaatkan celah untuk menemukan hambatan (barriers) yang diciptakan untuk menahan aliran profesional keinsinyuran negara lain masuk ke Indonesia. Di lain sisi, transparansi ini dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa kualifikasi dan standar kompetensi di Indonesia memiliki kredibilitas yang baik. Ekuivalensi dimaksudkan agar keseragaman dalam hal standardisasi profesi keinsinyuran di masing-masing negara bisa diwujudkan melalui MRA ini. Hal tersebut bisa diwujudkan melalui harmonisasi kebijakan dari masing-masing negara yang disesuaikan dengan MRA yang sudah disepakati bersama.

Agar seorang professional engineer bisa berpraktik di negara tujuan (host country) dan memperoleh gelar ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain mencakup:

 Telah menyelesaikan pendidikan tinggi bidang keinsinyuran

 Mendapatkan izin (lisensi) dari otoritas profesi nasional untuk berpraktik mandiri.

 Memiliki pengalaman kerja 7 tahun, 2 tahun di antaranya adalah pengalaman kerja di bidang keinsinyuran

 Sejalan dengan kebijakan Continuing Professional Development (CPD) dengan tingkat yang memuaskan

 Memperoleh sertifikat dari badan penyelenggara nasional dan tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Jika syarat di atas telah dipenuhi, maka professional engineer bisa mendaftarkan diri ke ACPE Coordinating Committee di bawah ACPE Registers. Insinyur yang telah memperoleh sertifikat ACPE bisa mendaftarkan diri kepada otoritas pengaturan profesional di host country untuk dicatat sebagai Registered Foreign Professional Engineers (RFPE). Jika seorang ACPE akan bekerja di host country, persyaratannya adalah ia tidak bisa bekerja secara mandiri, namun harus berkolaborasi dengan insinyur lokal yang telah memiliki standar kualifikasi yang sama.

Adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini sebenarnya merupakan awal untuk masuk ke dalam penetrasi pasar bebas sektor keinsinyuran, awal untuk memastikan bahwa keseragaman dari kualitas sektor jasa keinsinyuran di negara-negara ASEAN itu sama.34 Masih banyak peraturan dan standar yang bisa dibuat

untuk mengarahkan kepada efisiensi dan daya saing. Tidak bisa diartikan bahwa kualitas insinyur dari seluruh negara ASEAN harus sama karena perbedaan titik awal dan kualitas SDM yang ada di berbagai negara ASEAN. Semisal, SDM insinyur di Singapura tidak bisa disamakan begitu saja dengan SDM insinyur di Filipina, atau negara lainnya.

Dalam bidang keinsinyuran, sebenarnya di MRA ada dua yang diatur, pertama adalah bidang keinsinyuran (engineering services) dan sektor arsitektur (architectural services). Akan tetapi, keduanya dipisah karena sekalipun sama-sama rumpun keinsinyuran namun mempunyai karakteristik yang berbeda. Di Indonesia,

(27)

27 | A S C F I S I P U I

asosiasi yang membidangi keinsinyuran adalah Persatuan Insinyur Indonesia yang dibentuk pada tahun 1952 dan saat ini dipimpin oleh Ir. Bobby Gafur Umar, MBA hingga tahun 2015.35

III.2. Gambaran Umum Sektor Jasa Keinsinyuran

Jasa keinsinyuran adalah jasa yang krusial khususnya dalam hal pembangunan fisik, infrastruktur, dan teknologi di suatu negara. Tanpa adanya sektor keinsinyuran, sektor-sektor ekonomi lainnya tidak akan berjalan, misal tidak adanya jalan yang memadai untuk mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lain; tidak berkembangnya fasilitas publik yang dibutuhkan, dan lain sebagainya. Di Indonesia, jasa keinsinyuran didasarkan pada bidang keilmuan dalam rumpun teknik dari kurikulum yang ada. Indonesia mengenal ada 12 jenis bidang dalam sektor keinsinyuran, antara lain:

1. Teknik Sipil 2. Teknik Mesin 3. Teknik Elektro 4. Teknik Fisika 5. Teknik Perminyakan 6. Teknik Industri 7. Teknik Geodesi 8. Teknik Kelautan 9. Teknik Kimia 10.Teknik Lingkungan 11.Teknik Pertambangan 12.Teknik Aeronautikal

Sementara, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, nomenklatur dalam bidang keinsinyuran berbeda. Semisal, di Singapura, hanya diatur tiga bidang keinsinyuran saja, yakni teknik sipil, teknik elektro, dan teknik mesin, di Thailand dan Malaysia juga mempunyai nomenklatur yang berbeda dalam pengaturan bidang keinsinyuran. Hal ini sebenarnya memberikan tantangan bagi Indonesia, khususnya ketika ada insinyur Indonesia yang ingin bekerja di luar. Semisal insinyur Indonesia tersebut ahli dalam teknik perminyakan dan ingin bekerja di Singapura, sementara di Singapura hanya diatur tiga bidang keteknikan saja – teknik perminyakan masuk ke dalam teknik sipil, semisal. Maka insinyur Indonesia tersebut harus mengambil tes yang disyaratkan oleh otoritas di Singapura agar kompetensi insinyur teknik perminyakan ini sesuai dengan kompetensi insinyur bidang teknik sipil. Nomenklatur-nomenklatur yang berbeda ini yang kemudian menjadi masalah, khususnya di Indonesia yang mempunyai bidang keinsinyuran yang banyak. Hal seperti itulah yang membuat sektor ini menjadi semakin kompleks karena beragamnya peraturan-peraturan yang terkait dengan penyediaan jasa keinsinyuran di masing-masing negara. Masing-masing negara memiliki lembaga sendiri yang memberikan lisensi bagi para insinyur dengan peraturan dan persyaratan yang berbeda-beda.

(28)

28 | A S C F I S I P U I

Berkaitan dengan hal tersebut, kalangan asosiasi profesi keinsinyuran yang diwakili oleh Persatuan Insinyur Indonesia memandang perlunya memanfaatkan celah-celah yang bisa digunakan untuk menciptakan hambatan-hambatan agar arus masuk insinyur asing ke Indonesia bisa diperketat, semisal dengan mengeluarkan peraturan kebijakan yang mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan unsur lokal dalam produk keinsinyuran sehingga mau tidak mau insinyur asing harus mempelajari karakteristik lokal dalam keinsinyuran di Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari internal profesi insinyur di Indonesia, sudah siapkah sebenarnya mereka dalam menghadapi pasar bebas ASEAN? Apakah kebutuhan dalam negeri sudah mencukupi? Apakah infrastruktur yang diperlukan memadai untuk menunjang peningkatan kualitas SDM insinyur Indonesia? Bagaimana regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam bidang keinsinyuran?

III.3. Permasalahan SDM Insinyur Indonesia: Kekurangan Kuantitas & Kualitas

Salah satu indikator dalam menentukan permasalahan insinyur di Indonesia adalah pemenuhan insinyur di dalam negeri dengan melihat pertumbuhan sarjana teknik yang dihasilkan oleh Indonesia setiap tahunnya. Akar permasalahannya berada pada pendidikan teknik yang ada di Indonesia secara keseluruhan. Seperti yang disampaikan di paparan sebelumnya bahwa kualitas SDM Indonesia disamakan dengan kualitas SDM insinyur yang ada di Singapura, atau Malaysia, sebab kualitas pendidikan yang menjadi faktor utama. Di Singapura dan Malaysia, universitas-universitas yang menghasilkan sarjana teknik sebagian besar telah berstandar internasional ABET, sementara di Indonesia, hanya ada satu perguruan tinggi yang telah memperoleh sertifikat akreditasi perguruan tinggi ABET tersebut yaitu Institut Teknologi Bandung dan itu pun hanya di jurusan Teknik Elektronya saja, belum ke semua bidang di ITB. Hal ini yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi penyelenggara pendidikan teknik di Indonesia dan juga kementerian pendidikan yang terkait dalam penyusunan kurikulum dan standar kompetensi pendidikan teknik di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, durasi penyelenggaraan pendidikan teknik di Indonesia yang hanya empat tahun juga berkontribusi pada rendahnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Di luar negeri, durasi minimal untuk program sarjana teknik adalah lima tahun. Namun hal ini dicoba untuk ‘diakali’ dengan membuat satu tahun tambahan program profesi bagi lulusan sarjana teknik agar persyaratan durasi yang ada di negara lain terpenuhi, tetapi permasalahannya adalah tidak semua lulusan sarjana teknik mengambil program profesi ini. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa penyelenggaraan pendidikan teknik di Indonesia belum sebagus negara-negara tetangga.

Sementara jika berbicara masalah kuantitas dalam hal pemenuhan kebutuhan insinyur di dalam negeri, Indonesia masih sangat kekurangan insinyur. Data yang diperoleh dari PII menyebutkan bahwa populasi sarjana teknik di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia terpaut cukup jauh.

(29)

29 | A S C F I S I P U I Grafik III.1. Diagram Populasi Sarjana Teknik di Beberapa Negara Tahun

2008

Sumber: PII 2013

Dari grafik di atas jelas terlihat bahwa dari segi rasio perbandingan populasi sarjana teknik di Indonesia per 1 juta penduduk di tahun 2008 masih sangat kecil dibanding Viet Nam, Malaysia, atau Thailand. Menurut Ketua PII, Bobby Umar, saat ini Indonesia kekurangan sekitar 1,2 juta insinyur. Idealnya, Indonesia memiliki 2 juta insinyur, sementara saat ini hanya memenuhi 600-700ribu saja.36 Hal ini disebabkan

salah satunya karena pertumbuhan sarjana teknik di Indonesia per tahunnya juga tidak setinggi negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Data mengenai pertumbuhan sarjana teknik tiap tahunnya tercermin di dalam grafik di bawah ini.

36 Selengkapnya lihat

(30)

30 | A S C F I S I P U I Grafik III.2. Diagram Pertumbuhan Sarjana Teknik di Beberapa Negara:

2004-2007

Sumber: PII 2013

Di Indonesia, per tahunnya pertambahan sarjana teknik per 1 juta penduduk hanya sekitar 164 saja, sementara di Malaysia per 1 juta penduduk bisa menghasilkan 367 sarjana teknik. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan kuantitas insinyur di Indonesia sangat terbatas. Jika diproyeksikan di tahun-tahun mendatang, kebutuhan akan sarjana teknik di Indonesia akan semakin meningkat namun pemenuhannya justru akan makin menurun. Persatuan Insinyur Indonesia memproyeksikan bahwa hingga tahun 2030 jika tidak ada perubahan kebijakan pendidikan yang mampu mendorong tumbuhnya sarjana teknik dengan pesat, maka tiap tahunnya Indonesia kekurangan sekitar 15.000 insinyur dan kekurangan tersebut akan diisi oleh tenaga asing.

Gambar

Tabel I.1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual  Recognition Arrangement Framework
Grafik II.1. Komposisi GDP berdasarkan Sektor
Grafik II.2. Distribusi Pekerjaan dalam Kegiatan Sektor Jasa yang Utama,  2010 26
Tabel II.1. Neraca Jasa Indonesia, 2008-2012 (dalam juta USD)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru dan siswa berdiskusi tentang cara menentukan turunan fungsi aljabar dengan menggunakan rumus turunan fungsi aljabar.. Guru dan siswa mendiskusikan soal-soal turunan

kebijakan fiskal, sistem ekonomi Islam menggunakan sumber lain yakni zakat. Zakat merupakan alat yang efektif untuk mewujudkan tujuan fiskal yang juga diharapkan akan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bid-ask spread, market value dan variance return terhadap holding period saham secara parsial maupun simultan pada saham

Hal ini dilihat dari meskipun tingkat kebutuhan wanita karir akan adanya ruang laktasi dan tingkat pengetahuan pemimpin BUMN atau orang yang ditunjuk mengenai PP RI

Fungsi untuk mencari nilai rata-rata dari suatu nilai yang berisi data angka, teks dan nilai logika. adalah nilai yang akan dicari

Tahanan lateral acuan dari suatu sambungan yang menggunakan paku baja, pasak, atau sekrup satu irisan yang dibebani secara tegak lurus terhadap sumbu alat pengencang dan

Untuk penelaahan data sifat fisis mekanis (kerapatan dan keteguhan tarik sejajar serat) dari 23 jenis rotan berdiameter kecil (<1,2 cm), digunakan analisa keragaman

Para ayah yang berkecenderungan menggunakan tipe pola asuh autoritatif tersebut, secara umum mempunyai karakteristik sebagai berikut : memberi kebebasan dengan