• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN ZULFIKAR TAHIR (Halaman 30-36)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah

Nyeri akut pascabedah adalah terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata. Terdapat 5 proses yang terjadi pada nosiseptif: 1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Sebagai mediator noxius perifer di sini bisa karena bahan yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan. Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum mengakibatkan dilepasnya ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisis dari membran sel (Vadivelu dkk., 2009).

2. Proses konduksi, merupakan perjalanan aksi potensial dari nosisepsi perifer yang berakhir pada serabut saraf bermielin atau tidak bermielin. Pangkal sentral dari serabut saraf ini bersinaps dengan sel-sel second-order pada medulla spinalis. Serabut saraf nosisepsi dan nonnoxious diklasifikasikan berdasarkan derajat myelin, diameter, dan velositas konduksi (tabel 1) (Vadivelu dkk., 2009).

3. Proses transmisi, merupakan penyaluran impuls listrik yang terjadi pada proses transduksi melalui serabut A-δ bermielin dan

serabut C tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini dapat dihambat oleh anestetik lokal (Vadivelu dkk., 2009).

Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf afferan primer

Karakteristik A-β A-δ C

Diameter Besar Kecil Sangat kecil

Derajat mielin Bermielin Sedikit bermielin Tidak bermielin Velositas konduksi Sangat cepat

30-50 m/detik

Cepat 5-25 m/detik

Lambat <2 m/detik

Ambang Rendah Tinggi Tinggi

Diaktifkan oleh Sentuhan halus dan getaran

Stimulasi noxious singkat; juga stimulus noxious yang kuat dan lama

Stimulasi noxious yang kuat dan lama

Lokasi Kulit, sendi Kulit dan jaringan superfisial;

struktur somatik dan viseral

Kulit dan jaringan superfisial;

struktur somatik dan viseral

Dikutip dari: Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathway and acute pain processing. In: Sinatra RS, Leon-casasola O, Ginsberg B, Viscusi ER, editors. Acute pain management. New York: Cambridge University Press. 2009.

Saraf sensorik aferen primer dikelompokkan menurut karakteristik anatomi dan elektrofisiologi. Serabut A-β, merupakan serabut bermielin, berdiameter besar, dengan konduksi yang cepat. Saraf ini secara khusus mengirimkan informasi non nosisepsi. Nosiseptor aferen primer adalah cabang terminal serabut A-δ dan C di mana badan sel bertempat di ganglia dorsalis. Pada proses transmisi impuls noxius dari nosiseptor primer diteruskan ke sel di dalam kornu dorsalis medulla spinalis. Serabut saraf A-δ dan serabut saraf C memiliki proyeksi di distal yang dikenal sebagai ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan masuk ke

dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan bersinaps dengan

second-order neuron yang berlokasi dominan dalam lamina II

(substansia gelatinosa) dan dalam lamina V (nucleus proprius) (Mikhail dkk., 2006).

Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama (presinaptik) dan

second order neuron yang menerima rangsang dari neuron

pertama (pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh

second order neuron ini, yang memfasilitasi atau menghambat

masuknya suatu rangsang noxius (Vadivelu dkk., 2009). Second-order neuron terdiri atas dua jenis, yaitu :

a. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam lamina I dan bereaksi terhadap rangsang dari serabut saraf

A-δ dan serabut saraf C (Mikhail dkk., 2006).

b. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam lamina V dan bereaksi terhadap rangsang noxius ataupun rangsang non noxius, dan yang menyebabkan menurunnya ambang respon serta meningkatnya receptive field, sehingga terjadi peningkatan sinyal transmisi ke otak dan terjadi persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi karena perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta proses inflamasi, dan disebut sensitisasi sentral (Mikhail dkk., 2006).

Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron menjadi lebih sensitif terhadap rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan allodinia (Kleinman dkk., 2006).

Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang dapat berubah sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron WDR berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan transmisi sensoris nyeri. Neuron WDR ini dihambat oleh sel inhibisi lokal di substansia gelatinosa dan dari sinaptik desendens. Sintesis protein pada fase akut bersama dengan meningkatnya prostaglandin (PG) E dan nitrit oxida (NO) intra dan ekstraselular berperan pada sensitisasi sentral dan plastisitas neural serta melakukan fasilitasi transmisi nyeri (Mikhail dkk., 2006).

4. Proses modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan impuls nyeri yang masuk di medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin, serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgetik endogen tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan,

motivasi, status emosional dan kultur seseorang (Vadivelu dkk., 2009).

Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subjektif setiap orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu impuls nyeri (Mikhail dkk., 2006).

Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan (inhibisi) terhadap nyeri di dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan di tingkat lebih tinggi di batang otak dan otak tengah. Di medulla spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada sinaps pertama antara aferen noxius primer dan sel-sel WDR dan NS dari second order, dengan demikian mengurangi penghantaran spinotalamus dari impuls noxius. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat inhibisi

desendens dari central gray locus ceruleus dan dari supraspinal

yang lain. Analgetik endogen itu adalah enkaphalin (ENK), norepinephrin (NE), dan gamma aminobutyric acid (GABA). Analgetik endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid, alpha adrenergik, dan reseptor yang lain, yang bekerja melakukan inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi pascasinaptik dari neuron second order NS atau WDR. Proses modulasi adalah proses interaksi antara mediator yang

menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgetik endogen (Vadivelu dkk., 2009).

Opioid endogen seperti ENK dan endorphin akan melakukan modulasi transmisi nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti IL-1β dan IL-6 yang terbentuk di perifer, bersama aliran darah akan sampai ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di dalam neuron otak sehingga terbentuk juga PGE-2 yang juga mengakibatkan perasaan nyeri (Kleinman dkk., 2006).

Namun di dalam sistem saraf pusat (SSP) sitokin IL-6 memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah sitokin tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar akan memberikan efek analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi dengan pengeluaran endorphin dalam darah, yang akan memberikan efek analgesia (Vadivelu dkk., 2009).

5. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Serabut aferen nosisepsi dari second order mempunyai badan sel pada kornu dorsalis dari medulla spinalis, yang berfungsi memproyeksi axon ke SSP yang lebih tinggi dan bertanggung jawab terhadap proses informasi nosisepsi. Seperti

yang disebutkan sebelumnya terbanyak serabut asending

menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada traktus spinothalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinothalamikus adalah WDR atau saraf high threshold, berjalan melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di thalamus. Dari thalamus informasi aferen dibawa ke korteks somatosensorik. Traktus spinothalamikus juga mengirimkan cabang kolateral ke

formatio reticularis. Impuls yang ditransmisikan melalui traktus ini

berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi yang ditimbulkan. Formatio retikularis mungkin berperan terhadap peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti refleks somatik dan otonomik. Aktivasi dari struktur supraspinal diperantarai oleh

essential amino acid (EAA), tapi neurotransmiter yang terlibat

dalam proses sentral dari informasi nosisepsi masih belum dapat dijelaskan (Gambar 1) (Vadivelu dkk., 2009).

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN ZULFIKAR TAHIR (Halaman 30-36)

Dokumen terkait