• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN ZULFIKAR TAHIR (Halaman 89-100)

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan kombinasi parecoxib 40 mg IV dengan analgesia epidural 0,125% terhadap ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10 dan intensitas nyeri pascabedah laparatomi ginekologi.

A. Kadar IL-6

Pembedahan dihubungkan dengan terjadinya kerusakan jaringan yang menyebabkan suatu kaskade yaitu terkait nosisepsi dan respon inflamasi baik lokal dan sistemik, diiringi dengan peningkatan sitokin proinflamasi, termasuk didalamnya IL-623. Sitokin proinflamasi IL-6 adalah mediator yang menduduki porsi terbanyak dalam respon fase protein akut terhadap kerusakan jaringan akibat pembedahan. Diantara respon tubuh terhadap pembedahan, dilaporkan bahwa kadar IL-6 adalah merupakan indikator stres pembedahan yang sensitif.Konsentrasi IL-6 dalam sirkulasi secara normal rendah dan bisa saja tidak dapat dideteksi (Hudspith dkk., 2003).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar IL-6 awal yang bervariasi pada 2 kelompok, namun perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Selain berhubungan dengan inflamasi akibat trauma atau pembedahan, beberapa peneliti menghubungkan kadar IL-6 plasma dengan tumor, yaitu Coward dkk yang menghubungkannya dengan tumor

ovarium34 dan Ravishankaran dkk dengan tumor payudara33. Setelah terjadi trauma, konsentrasi IL-6 dalam plasma dapat dideteksi dalam 60 menit dan puncaknya antara 4-6 jam, mulai menurun antara 24-48 jam pascatrauma namun dapat bertahan hingga 10 hari. Interleukin-6 ini merupakan penanda yang paling sesuai dengan derajat kerusakan jaringan, semakin lama kadar IL-6 dalam plasma besar morbiditas pascabedah (Jun-Hua dkk., 2006).

Teori mengenai kadar konsentrasi IL-6 sejalan dengan hasil kedua kelompok. Pada penelitian ini,yang telah dilakukan pengambilan serum darah untuk melihat kadar IL-6 pada sebelum pembedahan sebagai data dasar, dilanjutkan 2 jam dan 24 pascabedah, ditemukan bahwa dinamika kadar IL-6 mengalami kenaikan pada jam ke 2 dan 24 pascabedah dibandingkan kadar IL-6 sebelum pembedahan (p<0,05).

Pada gambar 8 menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 pada kedua kelompok dimana peningkatan terjadi pada 2 jam pascabedah dan semakin meningkat pada 24 jam pascabedah. Hal ini sejalan yang dengan hasil penelitian Esme dkk mendapatkan kadar puncak IL-6 pada 24 jam pascabedah9.

Pada masing-masing kelompok menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 pada 2 jam dan 24 jam pascabedah, dimana pada kelompok parecoxib peningkatan pada 2 jam pascabedah adalah 90% dari nilai awal dan pada 24 jam meningkat 112,5% dari nilai awal. Pada kelompok kontrol, kadar IL-6 2 jam pascabedah meningkat 182,3% dan pada 24 jam

meningkat 191% dari rerata awal kadar IL-6 yang diukur. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pada kelompok parecoxib lebih rendah dibanding kelompok kontrol, namun saat dilakukan uji statistik, perbedaan tersebut tidak bermakna. Pola peningkatan kadar IL-6 ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Beilin dkk pada pasien yang menjalani bedah abdomen bawah dengan menggunakan teknik analgesia epidural preemptif yang dilanjutkan dengan PCEA didapatkan bahwa kadar IL-6 meningkat selama 24 jam pertama pascabedah (p<0,03) namun lebih rendah dibandingkan kelompok yang mendapatkan PCA dengan morfin, dan kelompok yang mendapatkan IOR(Beilin dkk., 2003).

Hasil penelitian pada 2 jam pascabedah tidak sejalan dengan penelitian preemptif analgesia oleh Xu dkk pada pemberian parecoxib 40 mg IM yang menjalani pembedahan oftamologi dengan anestesi umum, dimana bahwa kadar IL-6 plasma pada pascabedah dini menurun (p<0,01). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kadar IL-6 pascabedah sangat berhubungan dengan besarnya kerusakan dan trauma yang terjadi, selain itu lokasi pembedahan yang hanya melibatkan nyeri somatik akan memberikan hasil yang berbeda dengan pembedahan yang melibatkan nyeri somatik dan visera sebagaimana pada penelitian ini35. Pada penelitian oleh Aida dkk menunjukkan bahwa analgesia preemtif terbukti efektif pada pembedahan yang hanya melibatkan nyeri somatik seperti bedah ekstremitas dan mastektomi, namun tidak efektif pada pembedahan gastrektomi, appendiktomi, dan histerektomi. Aida

menjelaskan bahwa nosiseptif pada visero-peritoneal sangat berpengaruh pada nyeri pascabedah yang melibatkannya. Organ viseral dan peritoneum dipersarafi secara heterosegmental dan secara segmental oleh nervus spinalis (Aida dkk., 1999).

Penelitian oleh Buvanendran dkk (2006) menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan kadar IL-6 plasma pada kelompok yang mendapatkan COX-2 inhibitor dan kelompok kontrol pada pasien yang menjalani pembedahan arthroplasti sendi panggul, namun penurunan bermakna pada kadar IL-6 cairan serebrospinalis.

B. Kadar IL-10

Kerusakan jaringan akibat pembedahan menimbulkan reaksi inflamasi lokal yang akan mengiringi peningkatan kadar sitokin proinflamasi. Sitokin tersebut dapat menginduksi sensitisasi sistem saraf pusat dan perifer untuk menimbulkan hiperalgesia. Akibat adanya umpan balik antara nosiseptif dan sitokin proinflamasi, maka tidak mustahil nyeri menyebabkan kadar sitokin proinflamasi meningkat. Sementara itu, kadar sitokin antiinflamasi juga meningkat untuk mempertahankan hemostasis termasuk IL-10 (Tang Ching., 2003).

Neidhardt dkk (1992) menyatakan bahwa trauma menyebabkan peningkatan pelepasan IL-10 yang tergantung pada keparahan cedera. Naito dkk menyatakan bahwa IL-10 menghambat produksi PGE2 pada monosit yang distimulasi oleh endotoksin dan tergantung pada dosisnya.

Shimizu dkk juga menemukan bahwa OAINS meningkatkan pelepasan IL-10 pada makrofag perotonium murine yang terinfeksi oleh

Mikobacterium avium secara in vitro. Perubahan kadar IL-10 akibat

pemberian OAINS tampaknya menginduksi efek antiinflamasi dengan cara menghambat produksi PGE2 melalui pelepasan IL-10.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar IL-10 pada kelompok parecoxib maupun kontrol meningkat pada 2 jam dan 24 jam pascabedah, namun tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada kedua kelompok. Kami mengamati bahwa nilai maksimum IL-10 pada kedua kelompok terjadi pada dua jam pascabedah dan ini menandakan adanya suatu mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dengan sitokin proinflamasi. Hal ini kemungkinan disebabkan dengan analgesia epidural maupun kombinasi epidural-parecoxib ternyata tidak menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi secara dramatis, sehingga kadar sitokin antiinflamasi kedua kelompok juga meningkat secara stabil.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad MR (2012), yang menyatakan bahwa kadar IL-10 pada kelompok epidural preemptif bupivakain 0,125% dan plasebo sama-sama meningkat namun tidak bermakna secara statistik.

Kato dkk (1997) yang melakukan penelitian pada pasien yang menjalani pembedahan pembedahan abdomen atas dengan Combine

Epidural Genaeral Anesthesia (CEGA) mendapatkan bahwa kadar sitokin

pembedahan, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar plasma IL-10 dapat berfungsi sebagai indikator yang berguna dari besarnya stres pembedahan selama periode pembedahan. Yang menarik adalah terdapatnya hubungan antara kadar plasma puncak dari tiga sitokin yang berbeda yaitu, IL-6, IL-8, dan IL-10. Interleukin-10 telah terbukti menghambat sintesis IL-6 dan IL-8 oleh monosit. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa IL-10 bertindak sebagai antagonis alami dari sitokin proinflamasi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahdy dkk (2007) yang membandingkan efek pemberian natrum diklofenak pada pasien yang menjalani pembedahan mayor dengan anestesi CEGA didapatkan bahwa kadar IL-6 menurun sedangkan kadar IL-10 meningkat secara bermakna pada kelompok pasien yang mendapatkan natrium diklofenak. Peningkatan kadar IL-10 diduga sebagai akibat pemberian diklofenak, dimana peningkatan IL-10 selanjutnya akan menurunkan kadar IL-6.

Kim dkk (2001) melakukan penelitian pada 22 pasien yang menjalani pembedahan histerektomi abdominal, menemukan bahwa pada kelompok analgesia kombinasi morfin dan ketorolak didapatkan kadar sitokin IL-6 meningkat setelah pembedahan dan tetap bertahan selama 24 jam sementara kadar Il-10 mencapai puncaknya 2 jam pascabedah dan menurun dengan cepat. Didapatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kadar IL-6 pada 24 jam pascabedah sementara IL-10 berbeda signifikan pada 4 jam pascabedah. Sitokin antiinflamasi IL-10 berperan penting

dalam mengurangi produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan. Sitokin antiinflamasi juga meningkat selama pembedahan dalam sirkulasi darah untuk mempertahankan keseimbangannya dengan sitokin proinflamasi. Efek antiinflamasi IL-10 dan sintesis PGE2 tampaknya saling mempengaruhi. Perubahan kadar IL-10 akibat pemberian OAINS tampaknya menginduksi efek antiinflamasi dengan cara menghambat produksi PGE2 melalui pelepasan IL-10.

C. Ratio kadar antara IL-6 dengan IL-10

Sitokin antiinflamasi IL-10 telah diketahui dapat menurunkan produksi IL-6 oleh monosit manusia. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa IL-10 diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan endotoksin, dan bahwa IL-10 mengurangi respon sitokin. Neidhardt dkk telah meneliti bahwa trauma menyebabkan pelepasan sitokin IL-10 dimana kadar yang dilepaskan tergantung pada tingkat keparahan cedera (Xu dkk., 2010).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahdy dkk (2007) terhadap pengaruh natrium diklofenak terhadap kadar IL-6 dan IL-10 pada pasien yang menjalani pembedahan urologi didapatkan bahwa pemberian natrium diklofenak dapat mengurangi kadar IL-6 secara signifikan dibanding plasebo pada 12 jam pascabedah, sementara kadar IL-10 ditemukan bermakna dibanding plasebo pada 6 jam pascabedah. Penurunan kadar IL-6 diduga oleh karena penurunan produksi

prostaglandin dan cyclic Adeno Monophosphate (cAMP) akibat pemberian natrium diklofenak, yang mengakibatkan penurunan kadar IL-6. Peningkatan kadar IL-10 diduga juga akibat penurunan kadar prostaglandin.

Berdasarkan atas fungsi fisiologis, IL-6 dikategorikan sebagai sitokin proinflamasi sedang IL-10 diklasifikasikan sebagai sitokin antiinflamasi. Untuk mempertahankan homeostasis imun, diperlukan keseimbangan antara efek kedua sitokin. Ketidakseimbangan antara proinflamasi dan antiinflamasi sitokin dikaitkan dengan berkurangnya kelangsungan hidup(Kim dkk., 2001).

Kim dkk (2001) meneliti efek pemberian ketorolak terhadap kadar IL-6 dan IL-10 dalam plasma pada 22 pasien yang menjalani pembedahan abdominal histerektomi dan menyimpulkan bahwa penggunaan ketorolak dapat mengubah respon sitokin dan menyebabkan peningkatan respon imun selama periode pascabedah. Pada kedua kelompok, didapatkan bahwa kadar IL-6 meningkat segera pascabedah dan masih konsisten hingga 24 jam, sedang kadar IL-10 mencapai puncak dalam 2 jam pascabedah tetap konsisten kadarnya hingga 24 jam pascabedah.

Penelitian yang dilakukan oleh Wu dkk (2003) mengenai efek parecoxib 80 mg pada 306 pasien yang menjalani pembedahan katup mitral dengan cardio pulmonal bypass (CPB), mendapatkan bahwa parecoxib dapat menurunkan kadar sitokin proinflamasi IL-6. Kadar serum IL-6 pada kedua kelompok mencapai puncaknya pada 2 jam setelah akhir

CPB. Pasien pada kelompok parecoxib menunjukkan kadar plasma IL-10 lebih tinggi secara signifikan pada akhir CPB dibanding kelompok plasebo.

Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan diatas, terdapat perbedaan dari hasil penelitian yang kami lakukan mengenai efek parecoxib 40 mg terhadap kadar ratio antara IL-6 dengan IL-10. Pada penelitian ini, kami mendapatkan bahwa pada kelompok parecoxib, ada perbedaan ratio kadar IL-6 dan IL-10 yang lebih tinggi dibanding kontrol, walaupun dari statistik tidak bermakna.

D. Intensitas nyeri

Inflamasi perifer menyebabkan aktifasi jalur otak ke medulla spinalis, yang menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi mikroglia dan astrosit di medulla spinalis. Secara anatomi astrosit dan mikroglia jelas diaktifasi oleh inflamasi perifer, hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspresi dari aktifasi glia-spesific marker. Pelepasan sitokin IL-6 diduga terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (Buvanendran., 2009).

Beberapa penemuan menyatakan bahwa kemungkinan IL-6 ikut serta dalam modulasi nyeri. Produksi IL-6 diproduksi ketika adanya trauma jaringan, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dan masuk ke SSP yang mana konsentrasinya sejalan dengan luasnya kerusakan jaringan kemudian dalam 24-36 jam jumlahnya dapat menurun kembali. Berdasarkan teori ini maka dapat dijelaskan bahwa IL-6 dapat

menyebabkan allodinia dan hiperalgesia melalui produksi PG baik perifer maupun sentral (Jongh dkk., 2003).

Saat ini adalah merupakan suatu pilihan dalam mencegah hipersensitifitas terhadap nyeri inflamasi adalah dengan menghambat produksi PGEs baik perifer maupun sentral dengan pemberian COX-2

inhibitor(Samad dkk., 2002).

Pada hasil penelitian ini didapatkan NRSi dan NRSb prabedah dan pascabedah tidak berbeda antara dua kelompok (p>0,05). Sehingga dapat dikatakan bahwa secara klinis tidak ada perbedaan NRSi maupun NRSb pada waktu pengamatan yaitu 2 jam, 12 jam, dan 24 pascabedah.

Proporsi pasien yang memerlukan rescue lebih banyak pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok parecoxib namun tidak bermakna secara statistik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk (2010) dan Esme dkk (2011) bahwa pemberian COX-2 inhibitor memiliki intensitas nyeri yang lebih rendah dibanding grup kontrol. Namun dengan mempertimbangkan bahwa kedua kelompok mendapatkan analgetik epidural pascabedah, penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Beilin dkk yang menunjukkan bahwa analgesia epidural kombinasi antara anestetik lokal dan opioid dapat mempertahankan Visual Analog Scale (VAS) 1-3 (nyeri ringan), seperti yang terlihat pada kedua kelompok penelitian ini.

Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari satu dekade yang lalu sebagai suatu teknik untuk meningkatkan efek analgesia

dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan penggunaan opioid. Strategi ini mengutamakan tercapainya analgesia yang optimal dengan cara penambahan analgesia yang bekerja sinergis dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal ini menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek yang tidak diharapkan dari obat tertentu yang digunakan pada perioperatif. Saat ini American Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain

Management menganjurkan penggunaan analgesia multimodal ini

(Buvanendran dkk., 2009).

Pemikiran penggunaan teknik analgesia multimodal ini untuk mengurangi respon stres akibat pembedahan, menurunkan nyeri saat bergerak, mempercepat penyembuhan pascabedah dan meningkatkan perbaikan klinis seiring dengan meminimalkan efek samping (Buvanendran dkk., 2009).

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN ZULFIKAR TAHIR (Halaman 89-100)

Dokumen terkait