• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM

E. Mekanisme Pemberian kredit

Mekanisme pemberian kredit merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh bank dalam pemberian kredit kepada nasabahnya. Mekanisme pemberian kredit ini dilakukan mulai dari nasabah mengajukan fasilitas kredit sampai dengan kredit tersebut dinyatakan selesai oleh PT BII Finance Center.

1. Permohonan Kredit

Proses awal nasabah mengajukan fasilitas kredit adalah dengan mengajukan permohonan kredit. Pada tahap ini nasabah mengajukan permohonan kredit kepemilikan mobil dengan membawa bukti diri dan bukti pekerjaan seperti yang ada pada syarat pengajuan kredit serta persyaratan lainnya seperti surat pernyataan yang dibuat oleh konsumen untuk menerangkan bahwa mobil tersebut sebagai kendaraan pribadi, batas maksimal kredit tidak melebihi ketentuan yang telah ditetapkan bank, tidak memindahtangankan mobil ke pihak kedua ke pihak ketiga dan telah melakukan perjanjian jual beli mobil dengan PT BII Finance Center yang dibuktikan dengan AJB (akta jual beli). Selanjutnya nasabah mengisi form aplikasi kredit seperti :

a. Form aplikasi pengajuan kredit perorangan b. Daftar pendapatan perbulan

c. Daftar penghasilan lainnya

d. Serta form-form lainnya yang dapat mendukung dalam pengajuan kredit.

2. Penerimaan Berkas / Dokumen Mobil Kredit dan Surat Pernyataan

Setelah nasabah mengajukan permohonan kredit dengan membawa syarat-syarat kredit dan surat penyataan yangtelah dibuat maka berkas / dokumen tersebut diberikan kepada pihak bank. Selanjutnya bank melakukan pemeriksaan kelengkapan berkas dan surat pernyataan yang nasabah berikan kepada bank apabila ada syarat yang belum lengkap maka bank segera meminta nasabah segera melengkapi. Kemudian berkas-berkas tersebut diproses lebih lanjut melalui proses verifikasi.

3. Verifikasi

Pada tahap ini PT BII Finance Center menerima berkas-berkas yang diberikan oleh konsumen dan selanjutnya berkas tersebut di verifikasi oleh pihak PT BII Finance

Center. Dalam pengecekan atau memverifikasi berkas hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Memeriksa kelengkapan dan keaslian berkas, dengan melihat masa berlaku foto kopi KPT dan KK yang diberikan nasabah serta tercantumnya tanda tangan pemohon dalam KTP maupun KK.

b. Membandingkan antara dokumen yang satu dengan yang lainnya, yang harus dilakukan pada tahap ini adalah mencocokan data tanggal lahir di KTP dengan KK, mencocokan data status perkawinan, mencocokan alamat KTP dengan KK.

Tujuan dilakukannya verifikasi adalah untuk mengetahui kebenaran, kelengkapan serta keaslian berkas-berkas yang diberikan oleh nasabah. Setelah dokumen yang diperlukan telah lengkap semua, maka pihak PT BII Finance Center akan menyusun dokumen-dokumen tersebut, dan mempergunakan dokumen tersebut untuk tahap kredit selanjutnya.

4. Wawancara

Setelah pihak PT BII Finance Center melakukan analisa kepada pemohon maka tahap selanjutnya adalah wawancara. Tahap ini merupakan penyelidikan kepada calon konsumen dengan cara berhadapan langsung. Tujuan wawancara kredit yaitu untuk mencocokan dokumen yang telah diterima oleh PT BII Finance Center. Dalam melakukan wawancara bank mengajukan beberapa pertanyaan kepada konsumennya. Hal-hal yang perlu dipertanyakan dalam wawancara adalah :

a. Data-data pemohon b. Data-data pekerjaan

c. Pengeluaran atau biaya hidup 5. Analisa Pemohon

Tahap selanjutnya adalah bank melakukan analisa terhadap permohonan kredit yang diajukan oleh nasabah dengan melakukan analisis kredit. Analisis kredit yang dilakukan oleh pihak PT BII Finance Center merupakan bagian dari tahap proses pemberian kredit. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui calon konsumen apakah layak atau tidak untuk diberikan kredit serta sebagai bahan rekomendasi dalam pemutusan kredit. Dalam melakukan analisa kredit, PT BII Finance Center melakukan analisa pemohon 5’C yaitu :

a. Character

Sebelum PT BII Finance Center memberikan kredit kepada konsumen PT BII Finance Center harus melakukan analisa guna mengetahui watak atau itikad dari konsumen. Untuk melihat watak atau itikad baik dari konsumen dapat tercermin pada latar belakang nasabah, melihat gaya hidup, serta kesediaannya untuk melengkapi seluruh persyaratan yang diminta oleh pihak PT BII Finance Center serta melihat kebenaran berkas yang diberikan konsumen.

b. Capacity (kamampuan)

Capacity adalah analisa untuk mengetahui kemampuan konsumen dalam membayar kredit. Kemampuan ini dilihat dari jabatan dan lama bekerja di perusahaan tempat ia bekerja serta jenis usaha dari penghasilan tambahan yang ia peroleh.

c. Collateral (jaminan)

Collateral merupakan jaminan yang diberikan oleh debitur kepada pihak PT BII Finance Center. Jaminan ini dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkecil resiko yang ditanggung oleh pihak PT BII Finance Center. Dalam pemberian kredit

ini, jaminan yang diperoleh PT BII Finance Center adalah dokumen-dokumen mobil yang dikredit oleh konsumen.

d. Capital (modal)

Capital merupakan modal yang diberikan konsumen kepada pihak PT BII Finance Center. Untuk memberikan keyakinan dan kesungguhan konsumen dalam melaksanakan kredit, dalam hal ini modal yang diberikan oleh konsumen kepada pihak PT BII Finance Center adalah berupa uang muka (DP).

e. Condition of economy (kondisi ekonomi)

Dalam penilaian kredit hendaknya juga melihat kondisi ekonomi yang ada pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Penilaian ini dilakukan dengan melihat kondisi pekerjaan dari konsumen guna menghindari kredit tersebut bermasalah pada masa yang akan datang relatif kecil.

6. Persetujuan Kredit

Setelah melalui berbagai penilaian maka tahap selanjutnya adalah keputusan kredit. Keputusan kredit dilakukan dengan dihadiri oleh pejabat PT BII Finance Center untuk memberikan putusan atau persetujuan kredit. Keputusan kredit dilakukan untuk menentukan apakah kredit layak untuk diberikan atau ditolak. Jika konsumen dinyatakan layak diberikan kredit maka PT BII Finance Center akan membuat surat penegasan persetujuan penyediaan kredit (SP3K). Surat ini dibuat untuk menyatakan bahwa PT BII Finance Center menyetujui menyediakan fasilitas kredit. Dalam surat penegasan persetujuan penyediaan kredit tercantum :

a. Jumlah maksimum kredit yang disediakan b. Jenis kredit

c. Jangka waktu

d. Suku bunga e. Angsuran perbulan f. Jaminan kredit

g. Syarat dan ketentuan lain (biaya-biaya kredit yang dikenakan)

Apabila debitur menyetujui ketentuan dan syarat penyediaan fasilitas kredit yang tertera pada surat keputusan SP3K maka sebagai tanda persetujuan, nasabah harus menandatangani surat pernyataan dan kuasa di atas materai 6.000, kemudian dikembalikan kepada BII Finance selambat-lambatnya 6 bulan sejak diterbitkannya surat penegasan persetujuan pemberian kredit. Apabila sampai dengan tanggal yang telah ditetapkan debitur belum mengembalikan tembusan surat tersebut serta melengkapi dengan keterangan/data yang ditentukan maka surat penegasan persetujuan pemberian kredit ini batal dengan sendirinya dan tidak berlaku. Setelah adanya penandatanganan persetujuan maka akan dilakukan akad kredit.

7. LPA (Laporan Pemeriksaan Akhir)

Setelah kredit dinyatakan setuju oleh pihak PT BII Finance Center maka tahap selanjutnya adalah LPA (Laporan Pemeriksaan Akhir). Laporan pemeriksaan akhir adalah tahap dimana petugas bank harus dapat memastikan kondisi mobil telah mencapai 100

%. Bank dalam melakukan pembayaran harga mobil kepada pihak BII Finance tidak semuanya dibayar lunas, sebab apabila bank membayar lunas lalu pihak BII Finance membuat curang maka PT BII Finance Center akan mengalami kerugian. Oleh karena itu dengan ditahannya sebagian dana pihak PT BII Finance Center berharap BII Finance tidak akan bertindak curang kepada bank.

8. Akad kredit

Setelah petugas bank memberikan laporan pemeriksaan akhir maka tahap selanjutnya adalah akad kredit. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum dilakukannya akad kredit seperti:

a. Telah di setujui dan ditandatangani SP3K oleh nasabah

b. Penyesuaian antara perjanjian kredit dengan SP3K dilihat dari jenis kredit, maksimal kredit, jangka waktu, suku bunga, dan bukti kepemilikan agunan

c. Agunan yang dibuat oleh pihak notaris telah selesai dibuat dantelah diserahkan kepada pihak PT BII Finance Center serta tidak ada permasalahan

d. Selanjutnya kewajiban-kewajiban seperti pembayaran uang muka dan biaya-biaya telah diselesaikan oleh konsumen.

Selanjutnya setelah kegiatan-kegiatan tersebut telah diselesaikan maka selanjutnya konsumen dan PT BII Finance Center melakukan penandatanganan akad kredit.

9. Realisasi kredit

Realisasi kredit dilakukan setelah penandatanganan akad kredit dan setelah konsumen memenuhi persyaratan pokok realisasi kredit yaitu adalah :

a. Telah diterbitkannya SP3K

b. Telah menyediakan dana dalam rekening tabungan pada PT BII Finance Center tertentu sebesar biaya yang tertera pada SP3K

c. Debitur telah melaksanakan akad kredit

d. Debitur telah kembali melihat kondisi mobil sebelum pelaksanaan akad kredit e. Penandatanganan jaminan yang dibuat secara notaris

Setelah syarat di atas dipenuhi maka bank melakukan realisasi kredit. Dalam tahap ini PT BII Finance Center melakukan serah terima mobil kepada konsumen. PT BII Finance Center memberikan hak kepada konsumen untuk memakai mobil tersebut.

10. Pengawasan kredit

Pengawasan kredit merupakan monitoring yang dilakukan oleh PT BII Finance Center terhadap konsumen yang diberikan kredit, guna menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Pengawasan kredit yang dilakukan oleh pihak PT BII Finance Center yaitu memonitor kepatuhan debitur membayar pokok dan bunga kredit.

BAB IV

UPAYA-UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KONSUMEN PT BII FINANCE CENTER APABILA DIRUGIKAN DALAM JUAL BELI MOBIL KREDIT

A. Tanggung jawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah

Mengenai perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang satunya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berutang atau debitur.

Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “prestasi”, yang menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang;

2. Melakukan suatu perbuatan;

3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Sumber-sumber suatu perikatan bahwa perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian atau dari undang-undang. Berarti sudah jelas di sini bahwa telah terjadi perikatan antara Anda dan pihak yang menjual mobil. Anda katakan di atas bahwa setelah berjalan 5 (lima) bulan Anda mencicil mobil ternyata mobil tersebut hilang.

jadi sebenarnya menurut undang-undang, perikatan antara Anda dan pihak

penjual mobil telah hapus karena mobil yang Anda beli telah hilang di luar

kesalahan Anda. Lebih jelas lagi, Pasal 1381 KUH Perdata yang mengatur tentang hapusnya perikatan, mengatur bahwa: “Perikatan hapus karena pembayaran;

karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dank arena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”

Mengenai, musnahnya barang yang terutang menurut Pasal 1444 KUH Perdata, yaitu: “Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya.

Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya.

Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang

mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti

harga.” Terkait dengan permasalahan yang anda hadapi ini, jika berkaca pada

ketentuan hukum yang berlaku dalam KUH Perdata, jika terjadi kehilangan

terhadap barang yang terutang yang dilakukan dengan tidak sengaja oleh debitur,

maka debitur tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran terhadap cicilan barang tersebut.

76

Oleh karena itu, sebaiknya klausula yang mengenai status uang yang seperti ini hendaknya ditiadakan, agar tidak semata-mata merugikan pihak pembeli. Bagi penjual klausula tersebut dipandang sebagai perlindungan yang sangat efektif, sebab jika status barang dalam perjanjian tidak sebagai sewa, maka penjual sudah tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap barang atau dengan perkataan lain penjual tidak memiliki Sepanjang pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran maka uang tersebut telah dibayarkan kepada penjual apabila terjadi wanprestasi umumnya tidak dikembalikan meskipun barang telah ditarik.

Dengan demikian status uang selama pembayaran angsuran dianggap hangus atau hilang karena status barang sebagai barang yang disewa. Di lain pihak status uang tersebut dapat dianggap pula sebagai uang ganti rugi pemakaian atas barang yang dinikmati kegunaannya. Apabila perjanjian beli sewa dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, maka sudah tentu status uang tersebut sebagai uang pembayaran atas pembelian barang objek perjanjian tersebut. Dengan demikian uang yang telah dibayarkan sebelumnya diperhitungkan sebagai pembayaran barang namun oleh karena ternyata uang yang sudah dibayarkan adalah sebagai uang sewa, maka dengan demikian uang tersebut dianggap hangus dan tidak dapat diminta baik untuk sebagian maupun seluruhnya. Hal yang seperti ini dipandang sangat kurang memenuhi rasa keadilan karena terlalu menguntungkan pihak penjual, sedangkan pihak pembeli sangat dirugikan.

76 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f39b6c38b7a3/penyelesaian-hukum-kasus-mobil-cicilan-yang-hilang diakes tanggal 26 Oktober 2013

hak istimewa (privilege) sebagaimana diatur dalam pasal 1144 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penjual barang-barang bergerak yang masih belum dibayarkan, dapat melaksanakan hak istimewanya atas harga pembelian barang-barang itu, jika barangnya berada di tangan si berutang tidak peduli apakah ia menjual barang-barang itu dengan penundaan waktu atau dengan tunai. Pemberian kebebasan kepada para pihak oleh KUHPerdata dalam menentukan bentuk dan isi perjanjian yang mengikat di antara para pihak tersebut melalui asaskebebasan berkontrak tidak boleh menciptakan suatu ketidakadilan yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Dengan demikian pemberlakuan Pasal 18 UUPK yang membatasi pencantuman klausula baku dengan melarang beberapa bentuk klausula baku harus dijadikan patokan oleh penjual dalam membuat perjanjian baku yangakan mengikat para pihak. Perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang telah dibuat sebelum lahirnya UUPK harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUPK Pasal 18 ayat (4) UUPK.

Beberapa klausula baku yang masih berlaku dalam perjanjian sewa beli yang secara prinsip bertentangan dengan Pasal 18 UUPK adalah:

1. “Segala resiko atau hilang dan/atau musnahnya barang yang disewabelikan yang disebabkan oleh kelalaian Pihak Kedua baik secara sengaja ataupu tidak sengaja, menjadi tanggung jawab Pihak Kedua sepenuhnya, dengan tidak menunda atau mengurangi atau menghilangkan segala kewajiban Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Sewa Beli “.

2. “Pihak Kedua mengakui bahwa Pihak Pertama adalah pemilik yang sah dari kendaraan bermotor tersebut diatas,yang dengan ini memberi kuasa / hak untuk

memakai sesuai dengan tujuan barang itu dibuat dan Pihak Kedua berkewajiban memelihara / merawat dan atau memperbaiki suatu kerusakan atas beayanya sendiri serta tidak diperkenankan merubah bentuk apapun terhadap barang tersebut”.

3. “Dengan penerimaan / penyerahan kendaraan tersebut, maka mulai saat ini, seluruh tanggung jawab / resiko atas kendaraan tersebut telah beralih pada Pihak Kedua dan ia berkewajiban memenuhi segala tanggung jawabnya dalam perjanjian ini, meskipun terjadi penurunan nilai kendaraan tersebut dan atau menjadi nihil.

Pihak Pertama sama sekali tidak mempunyai kewajiban menanggung /vrij-waring terhadap barang yang telah diserahkan kepada Pihak Kedua”.

Dalam klausula tersebut terdapat unsur pembebanan resiko secara sepihak yang dibebankan kepada pembeli/penyewa/konsumen. Pembebanan resiko yang penyebabnya tidak dibatasi sehingga meliputi semua keadaan, termasuk keadaan memaksa atau overmacht yang harus ditanggung oleh konsumen adalah tidak adil karena tidak semua keadaan yang dapat menyebabkan hilang/rusaknya barang, adalah merupakan tanggung jawab konsumen. Penjual seharusnya tidak membebankan semua tanggung jawab atas kerusakan atau musnahnya barang sewa beli kepada konsumen, tetapi harus diperhitungkan pula penyebab dari kerusakan, musnah, atau hilangnya barang sewa beli. Pada praktek dalam lembaga sewa beli, tanggung jawab atas kerusakan, musnah, atau hilangnya barang kendaraan bermotor ditanggung oleh pihak asuransi, bukan seluruhnya ditanggung oleh pembeli/konsumen. Tanggung jawab pembeli dapat diperhitungkan dari penyebab kerusakan/musnah atau hilangnya barang tersebut. Pengalihan atau pembebasan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha ini secara prinsip bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUPK.“Pihak

Pertama berhak sepenuhnya untuk memperhitungkan besarnya pembayaran angsuran dan denda untuk kepentingan Penagihan, dan/atau memperhitungkanganti rugi apabila dilakukan penarikan kendaraan”.

Klausula tersebut memperlihatkan posisi tawar yang kuat dari pelaku usaha

dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor, sehingga dapat melakukan tindakan hukum sepihak yang dianggap menguntungkan pihaknya, sehingga cenderung tidak sesuai dengan kepatutan. Pelaksanaan tanggung jawab penjual yang dapat dituntut dalam perjanjian sewa beli otomotif adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Hal ini karena antara pelaku usaha dan konsumen terjadi hubungan hukum yang didasarkan kepada kontrak atau perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena kelalaian, kesalahan atau wanprestasi yang disebabkan karena musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian, maka konsumen dapat menuntut tanggung jawab dari penjual dengan membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya benar-benar terjadi karena apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab penjual.

Dalam KUHPerdata, ketentuan tentang tanggung jawab yang dapat dituntut

dalam hal terjadi wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 juncto 1246 KUHPerdata yang mengatur tentang ganti kerugian yang meliputi penggantian biaya, rugi dan bunga.

Dalam Pasal 1553 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila barang yang disewa itu musnah karena sesuatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan “gugur demi hukum” ini kita simpulkan, masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, yang berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. Namun apabila musnahnya suatu

barang yang dipersewakan itu akibat lalainya si penyewa, maka risiko akan beralih kepadanya.

Dalam praktek dewasa ini, peralihan resiko yang berhubungan dengan tanggung jawab atas obyek jual beli barang (mobil) selalu menggunakan lembaga asuransi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan untuk mengatasi resiko, dan lembaga asuransi, sesuai dengan lembaga yang berkaitan dengan resiko, adalah lembaga yang lahir sebagai upaya untuk mengalihkan atau membagi resiko yang dihadapi oleh para pihak dalam perjanjian, terhadap resiko yang dihadapinya yang seharusnya merupakan tanggung jawabnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penjual melakukan pengalihan tanggung jawabnya atas resiko yang mungkin dihadapinya dengan musnahnya barang otomotif kepada pihak asuransi dan membebankan uang preminya kepada konsumen.

Hal ini dimungkinkan dalam hukum perjanjian Indonesia yang menganut asas kebebasan dalam berkontrak, sehingga para pihak dapat menentukan klausula-klausula yang diinginkan dan mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang. Tetapi pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh penjual tersebut tidak membebaskannya dari tanggung jawabnya berdasarkan kontrak atau perjanjian yang tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, yaitu KUHPerdata dan UUPK. Konsumen harus bertanggung jawab dalam melaksanakan sewa beli jika barang (otomotif) itu musnah. Musnahnya barang atau otomotif yang disebabkan oleh keadaan di luar kehendak konsumen/penyewa beli maka menjadi tanggungan penyewa beli atau konsumen, karena dalam perjanjian sewa, beli otomotif disebutkan bahwa apa yang disewanya tersebut seluruh atau sebagiannya karena sebab apapun, atau tidak dapat dipakai lagi, maka penyewa diwajibkan membayar kerugian kepada yang menyewakan

sebesar yang telah ditentukan oleh perjanjian sewa beli otomotif tersebut dan dikurangi dengan harga sewa bulanan yang telah dibayar olehnya.

Dalam perjanjian tersebut di atas telah disebutkan bahwa barang yang telah

diserahkan menjadi milik penyewa beli, namun harganya boleh dicicil. Dengan demikian maka penyewa beli menjadi pemilik mutlak dari barangnya dan penyewa beli mempunyai hutang kepada penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang belum dibayarnya. Jika penyewa beli/konsumen lalai disebabkan karena penyewa beli tersebut tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang diperjanjikan, maka penyewa beli harus menanggung resiko yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Jika penyewa beli tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi bukan karena kesalahannya, maka penyewa beli diwajibkan untuk membayar ganti kerugian. Sebaliknya penyewa beli bebas dari kewajiban membayar ganti rugi, jika penyewa beli karena keadaan memaksa tidak memberi atau tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, tetapi dalam bentuk prestasi yang tidak sempurna.

Keadaan memaksa di sini adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi penyewa beli untuk memenuhi prestasinya di mana penyewa beli tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum penyewa beli

Keadaan memaksa di sini adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi penyewa beli untuk memenuhi prestasinya di mana penyewa beli tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum penyewa beli

Dokumen terkait