• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT (STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT (STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT

(STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : DIAN UTAMI NIM : 080200200

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : DIAN UTAMI

NIM : 080200200

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN BW

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT (STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak mana pun.

Medan, 3 Desember 2013 Hormat saya

DIAN UTAMI

Nim : 080200200

(3)

ABSTRAK

Disamping jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai, perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa garansi. Di dalam suatu perjanjian jual beli, pihak pembeli biasanya akan selalu meneliti keadaan dan kondisi suatu barang yang akan dibelinya, apakah dalam kondisi baik ataukah ada kecacatan. Namun apabila barang yang dijual belikan berupa kendaraan roda empat (mobil) secara kredit, maka pihak pembeli tidak mungkin dapat mengetahui kondisi kendaraan roda empat (mobil) secara kredit apabila tidak dicoba secara langsung guna mengetahui pakaha berfungsi atau tidak. Untuk itu seseorang yang membeli kendaraan roda empat (mobil) dapat menuntut terhadap penjual apabila pada kendaraan roda empat (mobil) yang telah dibelinya ternyata terdapat adanya cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada saat membeli. Beberapa permasalahan yang diangkat, antara lain

bagaimana

Pengaturan Perlindungan Hukum terhadap kkonsumen dalam perjanjian jual beli secara kredit,

bagaimana

pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual beli mobil kredit dan

bagaimana

upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen PT BII Finance Center apabila dirugikan dalam jual beli mobil kredit.

Adapun metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, berupa data sekunder yuridis normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder serta pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Kredit yakni jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai, perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa garansi. Selanjutnya Pasal 1504 K.U.H.Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat yang tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Pasal 1504 K.U.H.Perdata ini menyatakan bahwa: “Penjual wajib untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya, yang mengakibatkan barang itu tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya pemakaian itu sedemikian rupa”. Kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin membaik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK dilarang memuat klausula- klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Upaya- Upaya Hukum yang dapat dilakukan konsumen PT BII Finance Center apabila dirugikan

(4)

dalam Jual Beli Mobil Kredit yakni Penyelesaian masalah apabila terjadi kredit bermasalah di perusahaan pembiayaan ditempuh dengan dua cara yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi.

Kata kunci : perjanjian jual beli

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT (STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

Berkat bimbingan dan arahan serta petunjuk dari dosen pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan sera kekurangannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan-masukan dan arahan-arahan yang bersifat membangun agar penulis dapat menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum, sebagai dekan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum, sebagai pembantu dekan I fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan,SH,MH,DFM, sebagai pembantu dekan II

fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum, sebagai pembantu dekan III fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr.H.Hasim,SH,M.Hum, sebagai ketua jurusan departemen hukum fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Zulkifli Sembiring,SH,M.Hum, sebagai dosen penasehat akademik fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum, sebagai dosen pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan dan masukan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

8. Bapak M. Siddik, SH,M.Hum, srbagai dosen pembimbing II, terima kasih atas segala bimbingan dan masukan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu dosen serta staff pegawai fakultas hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi selama ini.

10. Yang teristimewa buat ayah dan mama tercinta Gunawan dan mbabasa br sitepu Spd, terima kasih atas doa yang selalu ayah dan mama panjatkan, serta tidak pernah mengenal kata lelah dalam memberikan dukungan terhadap penulis agar penulis kelak menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga serta nusa dan bangsa.

11. Buat yang saya sayangi adek Chairunnysa, adek Arif Budiman serta Adek

Satriawan, terima kasih banyak selama ini selalu memberikan motivasi

(7)

yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

12. Buat semua unde-unde, bibik-bibik, kila, keponakan dan sepupu-sepupu, dari ayah dan mama terima kasih banyak selama ini selalu memberikan motivasi yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

13. Buat sahabat-sahabat penulis Susi, Uci, Arin, Romi, Jefri, Barita, vitra, dan teman-teman Stambuk 2008 yang selama ini sama-sama berjuang dalam perkuliahan yang kita hadapi, terima kasih untuk pertemanannya.

14. Buat sahabat-sahabat dari SMA Negeri 1 Tanjung Balai, Ade, deny, Faisal, veri, ali, dan semua teman-teman Stambuk 2008 terima kasih banyak selama ini selalu memberikan motivasi yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

15. Buat karyawan PT BII FINANCE CENTER, terima kasih yang telah membantu penulis dalam memberikan informasi dan data-data dalam menyelesaikan skripsi ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya . Atas perhatian penulis ucapkan terima kasih.

Hormat saya

Dian Utami

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II: PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SECARA KREDIT A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK……… 13

B. Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum………. 18

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen……… 25

D. Perjanjian Kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen……….. 30

(9)

E. Jual beli menurut KUH Perdata……….. 38

BAB III: PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT

A.

Proses/Prosedur perjanjian jual beli Jual Beli Mobil secara kredit……… 51

B.

Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli………. 54

C.

Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli……….. 59

D.

Ketentuan Jual Beli Mobil Kredit……… 61

E.

Mekanisme Pemberian kredit………. 63

BAB IV : UPAYA-UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KONSUMEN PT BII FINANCE CENTER APABILA DIRUGIKAN DALAM JUAL BELI MOBIL KREDIT

A. Tanggungjawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian

jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah………..

71

B. Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit

menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen………

. 80

C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi dan

(10)

Litigasi………. 85

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa

“setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, maka jual-belipun adalah hak setiap individu/ manusia, dikatakan demikian karena jual beli merupakan suatu kegiatan manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan mulai dari jual beli biasa seperti jual beli permen di kios-kios sampai jual beli yang dilakukan secara tertulis seperti jual beli tanah, bebas untuk dilakukan dengan syarat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada transaksi jual beli, terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus berhak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui, sedangkan pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.

1

1 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Hal. 17.

Pembayaran yang harus dilakukan oleh pembeli dapat

ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran secara tunai seketika atau

(12)

pembayaran secara cicilan/ kredit, hal ini tergantung dari apa yang disepakati sebelumnya oleh penjual dan pembeli.

Kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari bermacam-macam kebutuhan.

Manusia harus berusaha dengan cara bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut. Bekerja dapat dilakukan sendiri tanpa harus bekerja pada orang lain, misalnya dengan berwiraswasta. Seorang wiraswasta membutuhkan tempat usaha yang strategis, terutama bila usaha yang digeluti tengah tengah mengalami kemajuan pesat. Untuk mendapatkan tempat usaha yang baru tersebut ada berbagai cara yang dapat ditempuh, diantaranya adalah dengan melakukan jual beli mobil kredit dengan pihak lain. Adanya hubungan jual beli mobil kredit etersebut diawali dengan pembuatan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian sendiri bisa berupa perjanjian lisan bisa pula dalam bentuk perjanjian tertulis.

2

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan memenuhi persyaratan ini, masyarakat dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal- hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari

2 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 6.

(13)

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.

Perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang disepakati.

Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata, berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang lebih.”

3

3 Salim H.S, Hukum Kontrak & Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 25

Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan

oleh manusia adalah, kendaraan roda empat (mobil). Kendaraan roda empat

(mobil) saat ini menjadi salah satu kebutuhan utama transportasi bagi sebagian

masyarakat Indonesia, karena dipandang dari sudut fungsionalnya, kendaraan roda

empat (mobil) dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi keluarga maupun

mengangkut barang, serta lebih efisien dan praktis untuk dipergunakan berpergian

ke luar kota. Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kendaraan roda

empat (mobil), maka banyak perusahaan yang bergerak dibidang jual beli

kendaraan roda empat (mobil). Namun disamping jual beli kendaraan roda empat,

banyak juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jual beli mobil secara kredit

tersebut.

(14)

Pengertian jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 1457 K.U.H.Perdata adalah: Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan. Hukum perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada seseorang untuk membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini ditafsirkan dari Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan, bahwa:

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi

mereka yang membuatnya. Disamping jual beli yang diatur dalam Pasal 1457

K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal

memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai,

perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa

garansi. Di dalam suatu perjanjian jual beli, pihak pembeli biasanya akan selalu

meneliti keadaan dan kondisi suatu barang yang akan dibelinya, apakah dalam

kondisi baik ataukah ada kecacatan. Namun apabila barang yang dijual belikan

berupa kendaraan roda empat (mobil) secara kredit, maka pihak pembeli tidak

mungkin dapat mengetahui kondisi kendaraan roda empat (mobil) secara kredit

apabila tidak dicoba secara langsung guna mengetahui pakaha berfungsi atau

tidak. Untuk itu seseorang yang membeli kendaraan roda empat (mobil) dapat

menuntut terhadap penjual apabila pada kendaraan roda empat (mobil) yang telah

dibelinya ternyata terdapat adanya cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada

saat membeli. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1504 K.U.H.Perdata yang

(15)

menyatakan bahwa: Penjual wajib untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya, yang mengakibatkan barang itu tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya pemakaian itu sedemikian rupa.

Dalam praktek perjanjian lembaga sewa guna memiliki posisi yang kuat bila di bandingkan dengan pembeli hal ini dikarena adanya resiko yang tidak mau diambil oleh pihak sewa guna apabila terjadinya kemacetan dalam angsuran yang telah ditetapkan kedua belah pihak. Maka dibuatlah klausula-klausula yang memberikan hak kepada penjual untuk menuntut dan penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya.

Jika terjadi persoalan, umumnya yang ditarik adalah obyek dari perjanjian. Penarikan menurut Undang-Undang akan memerlukan waktu yang relatif lama, karena harus melalui perintah Hakim. Untuk menghindari risiko tersebut, sering pihak penjual menempuh jalan pintas dengan penarikan barang obyek sewa guna (otomotif) secara langsung.4

Sepeti halnya suatu perjanjian antara pelaku usaha yang pada umumnya lebih kuat, dihadapkan dengan pihak konsumen yang cenderung mempunyai posisi lemah, bagi pihak yang lemah hanya terdapat dua pilihan, yaitu apabila mereka membutuhkan jasa atau barang yang ditawarkan kepadanya, maka ia harus menyetujui semua syarat- syarat yang diajukan kepadanya, tanpa menghiraukan apakah konsumen mengetahui dan atau memahami urusan perjanjian tersebut atau tidak, dan sebaliknya, apabila mereka tidak menyetujui syarat-syarat yang diajukan kepadanya, maka mereka harus meninggalkan atau tidak mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha tersebut (take it

4 Abdulkadir, Muhammad. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan.

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hal 44

(16)

or leave it contract). “Dalam perjanjian baku sering ditemukan pencantuman klausula- klausula yang antara lain mengatur cara, penyelesaian sengketa, dan klausula eksonerasi, yaitu klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha.”5

Pemberian kredit secara luas dimasyarakat seperti pada masa sekarang ini menampakkan adanya usaha untuk memberikan kesempatan bagi pihak ekonomi menengah dan ekonomi lemah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka meningkatkan status sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kata kredit bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat.Kredit tidak hanya dijumpai di perkotaan namun juga dipedesaan. Karena pada umumnya seperti pada masa sekarang ini dalam memperoleh barang atau kebutuhan hidupnya masyarakat di kota atau di desa memperoleh dengan cara kredit. Yang dimaksud jual beli secara kredit disini adalah jual beli yang cara pembayarannya atau dengan kata lain pembayarannya secara diangsur atau bertahap, tidak sekaligus atau tunai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh masing-masing pihak yang membuat perjanjian jual beli itu.

Mengingat pentingnya kedudukan cara pemenuhan kebutuhan manusia secara kredit Walaupun telah ada tentang perijinan kegiatan jual beli angsuran dan sewa secara kredit. Namun pengaturan lembaga sewa guna tersebut tidak menjelaskan secara rinci, tentang kedudukan pembeli/penyewa-guna-konsumen dalam lembaga sewa beli.

Keadaan yang demikian telah mendorong instansi terkait untuk melindungi konsumen terhadap keadaan-keadaan yang tidak seimbang yang diciptakan oleh pelaku usaha.

5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 120

(17)

dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, sudah semestinya jika pemberi kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Perkembangan kebutuhan kredit dan pemberian fasilitas kredit memerlukan jaminan demi keamanan pengembalian atau angsuran kredit tersebut.6

Dalam suatu masyarakat yang sudah sangat berkembang seperti Indonesia, perjanjian jual–beli kendaraan secara kredit yang paling sederhana sampai yang paling canggih setiap hari dibuat, adapun suatui perjanjian yang dibuat ada yang lisan, ada yang dengan akta dibawah tangan,ada pula pihak-pihak yang sengaja datang kepada notaris dan minta agar dibuatkan akta jual-beli,tidak jarang dari perjanjian tersebut tidak dilakukan oleh salah satu pihak,sehingga timbul masalah,apabila tidak dapat diselesaikan secara damai,tentu dengan terpaksa akan diselesaikan dengan jalur pengadilan.

Dari hal di atas maka dapat dilihat dalam jual beli secara kredit mobil di PT BII Finance Center tersebut, memberikan kredit kepada leasing yang mendanai. Karena jual beli mobil secara kredit itu belum lunas pembayarannya atau masih dalam masa cicilan atau masa angsuran sesuai perjanjian kredit jangka waktu kredit yang telah disepakati.

Oleh karena disebabkan hal-hal diatas maka sebagai pembeli yang telah membuat surat perjanjian jual beli mobil secara kredit dengan pihak PT BII Finance Center, yang bersangkutan belum lunas pembayarannya.

7

6 Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi: Jual Beli, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hal 8

7 Ibid, hal 13

(18)

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil Kredit (Studi pada PT BII Finance Center).”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang merupakan permasalah yang timbul dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1.

Bagaimana

Tanggungjawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah?

2.

Bagaimana

Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

3.

Bagaimana

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi dan Litigasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui Tanggungjawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah

(19)

b. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

c. Untuk mengetahui Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi dan Litigasi.

2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum jual beli kredit.

b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui bagaimana upaya hukum bagi para dalam perjanjian jual beli kendaraan roda empat (mobil) kredit.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil Kredit (Studi pada PT BII Finance Center), judul skripsi ini belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama.

Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi:

1. Tipe Penelitian

(20)

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.8

2. Data dan Sumber Data

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan undang-undang No. 10 tahun 2009.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum kepariwisataan.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 9

a.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan undang-undang No. 10 tahun 2009.

:

b.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara10

a. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet,

:

8 Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986) hal 9-10.

9 Ibid, hal 51-52

10 Ibid, hal. 24

(21)

peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dikemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub- sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Kredit. Bab ini berisikan tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK, Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang

(22)

Perlindungan Konsumen, Perjanjian Kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Jual beli menurut KUH Perdata.

BAB III : Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Mobil Kredit. Bab ini berisikan tentang Proses/Prosedur perjanjian jual beli Jual Beli Mobil secara kredit, Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli, Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli, Ketentuan Jual Beli Mobil Kredit dan Mekanisme Pemberian kredit.

BAB IV : Upaya-Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen PT BII FINANCE CENTER Apabila Dirugikan Dalam Jual Beli Mobil Kredit. Bab ini berisi tentang Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi dan Litigasi.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.

(23)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SECARA KREDIT

A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK

Konsumen memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian.

Ini disebabkan barang yang diproduksi maupun yang dijual oleh pelaku usaha11

11 Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Pelaku usaha yang dimaksud adalah termasuk perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.

akan

(24)

dikonsumsi oleh konsumen sehingga pelaku usaha harus memiliki itikad baik dalam menjualkan barang kepada konsumen. Pelaku usaha dan pemerintah dituntut aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku sehingga melindungi kepentingan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa ini juga sejalan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat 1 bahwa “semua sama dimata hukum dan wajib menjunjung hukum di setiap kehidupan sehari-hari”. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatan maupun keuangannya12

Faktanya pelaku usaha kurang memprioritaskan kepentingan-kepentingan serta hak-hak konsumen, itu disebabkan pelaku usaha hanya mementingkan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan barang. Sehubungan dengan hal ini pemerintah telah membuat peraturan perlindungan konsumen sebagai upaya untuk memberi perlindungan kepada konsumen dari tindakan-tindakan pelaku usaha yang merugikan kepentingan konsumen.

.

13

Perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 UUPK bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. ”Undang-undang ini sangat jelas untuk menjadi sarana perlindungan hukum bagi kepentingan konsumen. Undang-

12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), Hal. 23-24.

13Yusuf Shofie, 2000, Perlindugan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 71

(25)

undang yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk Iebih menyadari akan hak dan kewajibannya. Pasal 4 butir a & c UUPK menyebutkan, bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

Selanjutnya konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kedua hak konsumen ini, berkaitan erat dengan keamanan produk bagi konsumen. Misalnya pelaku usaha di dalam menggunakan bahan tambahan makanan dalam produk makanannya, harus bersifat nyaman, aman, dan tidak menimbulkan efek buruk bagi konsumen. dan harus diinformasikan secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun antara pelaku dan

korban tidak terdapat persetujuan lebih dahulu yang disebut dengan kewajiban produk.

Selain kewajiban produk tersebut, UUPK juga mengatur tentang perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha antara lain yang berkaitan dengan standar produk, yaitu: Apabila dilihat dari perbuatan produsen yang memproduksi, menjual atau memasarkan makanan berformalin tersebut, tentunya produsen tersebut telah melanggar ketentuan/pasal-pasal yang diatur dalam UUPK tersebut. Dalam hal pertanggungjawabannya, UUPK juga mengaturnya dalam beberapa pasal, antara lain:

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang

(26)

dihasilkan atau diperdagangkan, Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntuan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan; Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut; Pembuktian mengenai ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi oleh konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Ada yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian darimhukum konsumen yang memuat asas- asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen .”14 Selain berpendapat seperti itu, Az. Nasution juga mengemukakan bahwa: Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hokum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Hukum konsumen adalah hukum yang bersifat komperhensif mencakup berbagai hal. Sedangkan hukum perlindungan konsumen lebih merupakan bagian yang khusus mengatasi perlindungan Konsumen.15

Menurut Johannes Gunawan dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Perlindungan konsumen”, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat

14 Az. Nasution. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada perlindungan konsumen. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

15Ibid, hal. 82.

(27)

setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).16

1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundangan tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan hukum sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.

Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara :

2. Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih hati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.17

UUPK juga mengatur perlindungan hukum terhadap konsumen sebelum terjadinya transaksi. Di dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUPK dijelaskan bahwa, undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen disebutkan dalam Pasal 1 Angka (1) UUPK, yaitu “segala upaya yang menj amin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Oleh karena itu dalam Penjelasan Umum Angka 1

16 Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, hal. 3

17 Ibid, hal. 4

(28)

UUPK disebutkan bahwa, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.18 Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa konsumen (BPSK), berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi Konsumen dan tentunya perlindungan Konsumen tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena kedudukan konsumen yang lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan melalui peraturan perundangundanganan yang berlaku, dan Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap dilaksanakannya peraturan perundang-undangan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait.19

B. Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum

Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi

18Halim Barkatullah, Abdul. Hak-Hak Konsumen. Cet 1. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010, hal 49

19 Resti Nurhayati. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. Semarang : Kisi Hukum Majalah Ilmiah FH Unika Soegijapranata, 2001.

(29)

dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, ditandai dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lain. Indonesia dituntut membentuk hukum nasional yang mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas hukum di tingkat internasional. Unsur-unsur dari makna perlindungan konsumen ini yaitu unsur tindakan melindungi, unsur adanya pihak-pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi. Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan- ketentuan yang baik berasal dari legal culture bangsa lain ataupun konvensi-konvensi internasional yang dapat dimanfaatkan dalam rangka modernsasi hukum nasional. Yang perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk (product liability).20

Secara historis, product liability lahir karena adanya ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya menerapkan strategi producy oriented dalam pemasaran produknya, harus merubah strateginya menjadi consumer oriented. Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap badan/orang yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk.

Unsur-unsur dari makna perlindungan konsumen yaitu unsur tindakan melindungi, unsur adanya pihak-pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi. Berdasarkan unsur- unsur ini berarti perlindungan mengandung makna suatu tindakan perlindungan atau

20Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, hal 34

(30)

tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlindungan konsumen dapat dilakukan melalui berbagai bentuk diantaranya perlindungan ekonomi, sosial, politik dan perlindungan hukum. Tetap dari bentuk- bentuk perlindungan terhadap konsumen tersebut yang terpenting adalah perlindungan yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan kalimat untuk kepentingan pihak lain, serta rumusannya hanya terpaku pada orang atau mahluk lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya orang saja yang disebut konsumen, tetapi masih ada yang lain yakni badan usaha.21

Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan adanya penetapan serta pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen yang terdapat pada pasal 4-5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan batasan terhadap kewajiban-kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak-hak produsen (Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen (Pasal 8-17 UUPK). Perlindungan konsumen ini juga ditegaskan lagi dengan adanya permberian sanksi administratif ataupun sanksi pidana (Pasal 60 dan 62 UUPK) terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam UUPK, yakni pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 akan dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 8, pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (e), ayat

21 Nining Muktamar; 2005, Berperkara Secara Mudah, Murah dan Cepat, Pengenalan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen, Piramedia, Jakarta.

(31)

2 dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Serta pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat 1 huruf (d) dan huruf (f) dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan lika berat, sakit berat, cacat hingga menyebabkan kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Selain itu, konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (Pasal 45 ayat 1 UUPK).

Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan (dengan menggunakan ketentuan Hukum Acara Perdata) atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat 2 UUPK).

Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan adanya penetapan serta pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen yang terdapat pada pasal 4-5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan batasan terhadap kewajiban-kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak-hak produsen (Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen (Pasal 8-17 UUPK). Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia dipopulerkan sekitar 25 tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI).

Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak tahun 1988 dan bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, dewasa

(32)

ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di tanah air.28 Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha), apabila dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III yang benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen, dan membantu permerintah. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya terlindungi. Di samping itu tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.22

Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandas pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara. Prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :

23

1. Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara.

Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui

22 Happy Susanto,Op.Cit, hal. 10.

23Nurmandjito; 2000, Kesiapan Perangkat Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal 48

(33)

kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada usaha untuk mencapain kesejahteraan bersama.

2. Prinsip Negara Hukum

Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan. Nurmandjito membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu :

a. Perlindungan hukum yang preventif. Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

b. Perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu:

(34)

1) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

2) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.

3) Badan-badan khusus. Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.

Adapun Prinsip Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen yakni:

24 1. Let The Buyer Beware

• Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi

• konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung jawab sendiri

• konsumen tidak mendapatkan akses informasi karena pelaku usaha tidak terbuka

• DAlam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat venditor 2. The due Care Theory

24 Permadi; 2006. Pola Sikap Masyarakat terhadap Masalah Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Bina Cipta, hal 39

(35)

• pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan.

• Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristirwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.

• kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan 3. The Privity of Contract

• Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.

• fenomena kontrak kontrak standar yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha.

4. Kontrak bukan Syarat

• Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu huungan hukum 25

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

25 http://ranggiwirasakti.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-dalam-hukum.html diakses 26 Oktober 2013

(36)

Pada pokoknya hak dan kewajiban satu pihak terhadap pihak lainnya lahir dari suatu perjanjian maupun undang-undang. Secara umum telah diketahui bahwa perjanjian tertulis antar konsumen dengan pelaku usaha tidak dapat dikemukakan, sehingga kebanyakan orang hanya berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan dari konsumen yang mempergunakan, memanfaatkan maupun memakai barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha.

Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak, Undang-undang Perlindungan Konsumen telah memberikan batasan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pelindungan Konsumen Pasal 6 (tentang hak pelaku usaha) dan Pasal 7 (mengenai kewajiban pelaku usaha).

Shidarta mengemukakan bahwa dalam UUPK digunakan kata pelaku usaha yang bermakna lebih luas karena untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.26

26Shidarta, Op cit, hal. 2.

Pengertian pelaku usaha secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka (3) UUPK, yaitu “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Lebih lanjut hal tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 Angka (3) UUPK, bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian diatas adalah perusahaan, korporasi, Badan

(37)

Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, dan menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 UUPK adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang diperdagangkan

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik

3. Hak melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/jasa yang diperdagangkan

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan lainnya.

Ketententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang kewajiban bagi para Pelaku Usaha sebenarnya sudah jelas di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen namun ternyata masih banyak para pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban - kewajiban tersebut yang mana peraturan yang mengatur tentang kewajiban bagi Pelaku Usaha seperti yang tersebut di bawah ini dalam Pengaturan mengenai kewajiban dari pelaku usaha tertuang dalam Pasal 7 UUPK, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

(38)

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam perjanjian jual beli secara kredit, maka terdapat kewajiban bagi para pihak-pihak yang berjanji. Pasal 1477 KUHP Perdata, dikatakan tentang dua kewajiban penjual, yakni :

1. Menyerahkan (leveren) barang yang dijualnya

Dalam penyerahan ini dapat kita baca dalam pasal 1475 KUHPerdata yakni pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli.

Selain itu ada pula dua macam penyerahan yakni : penyerahan secara nyata (feitelijk levering) dan penyerahan menurut hukum (jurische levering). Misalnya, si A menjual rumahnya kepada si B, si A sebagai penjual harus mengusahakan atau

(39)

memungkinkan agar si B dapat mengusahakan rumah tersebut. Ini dilakukan oleh si A dengan menyerahkan semua kunci-kunci rumah itu kepada si B. inilah yang dimaksudkan dengan penyerahan secara nyata (feitlijk levering). Tetapi dengan penyerahan ini si B belum menjadi pemilik rumah itu, sebab yang dibeli si B adalah barang yang bergerak dan pemindah tanganan hak milik atas barang tak bergerak harus dilakukan dengan mendaftarkan akta jual belinya itu dalam daftar yang disediakan untuk maksud tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 616, 617 dan 620 KUHPerdata, inilah yang dimaksud dengan penyerahan menurut hukum, (jurisdische levering). Apabila pendaftaran tersebut dilaksanakan barulah si B menjadi pemilik rumah yang dibelinya itu.

2. Menanggungnya

Menurut pasal 1474 KUHPerdata kewajiban lain dari penjual ialah menanggung.

Menanggung ini mempunyai tujuan yakni : penguasaan (bezit) secara aman dan tenteram dari barang yang dijual, dan cacat yang tidak dapat dilihat. Kedua tujuan dapat kita baca dalam pasal 1491 KUHPerdata yang berbunyi :”Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal yaitu, pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram, kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi atau sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.

Bermacam-macam caranya orang dapat mengganggu si pembeli dalam penguasaan barangnya secara aman dan tenteram. Diantaranya itu dapat dilakukan oleh pihak-pihak ketiga dengan perbuatan melanggarhukum (onrechtmatigedaad). Dalam hal ini pembeli dapat melawan pihak ketiga yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu. Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih

(40)

ada ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik oleh karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa menganggur, pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau memindahtangankan barang (objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindah tanganan objek perjanjian beli sewa selama masa angsuran, maka dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu didalam masa angsuran pembeli juga diwajibkan untuk memelihara barang yang dibelinya dan tidak boleh menyalah gunakannya atau pun merubahnya.

Pada masa pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya. Kewajiban tersebut dapat disamakan sebagai kewajiban penyewa dalam perjanjian sewa menyewa. Selama dalam keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan objek perjanjian dan tidak menyewakan atau tindakan yang berlainan dengan tujuannya. Ia harus merupakan “tuan rumah” yang baik dan bertanggung jawab atas keselamatan barang.

Apabila dilihat seperti dalam keadaan tersebut diatas, maka terdapat gambaran seakan- akan pembeli adalah penyewa, sesungguhnya tidaklah demikian. Niat utamanya adalah adanya peralihan hak. Pembeli sewa (dehuurkoper) lebih merupakan pembeli daripada penyewa, sehingga memikul tanggungjawab atas objek perjanjian.27

D. Perjanjian Kredit ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Perjanjian kredit tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak kreditor dalam hal ini bank. Pihak debitor sebagai pihak yang mengajukan kredit tidak memiliki kewenangan untuk turut campur dalam membuat rumusan isi perjanjian tersebut. Dalam posisi yang seperti ini pihak debitor merupakan pihak yang kedudukannya berada di bawah

27 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia PT. Buku Kita, Jakarta, hal 41

(41)

kreditor, sehingga debitor tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap isi perjanjian.

Bentuk perjanjian yang digunakan dalam perjanjian kredit tersebut adalah merupakan bentuk perjanjian baku atau kontrak standar. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: ”Suatu perbuatan yang mengikatkan diri antara satu orang atau lebih terhadap suatu subyek tertentu. Hal ini berarti bahwa kontrak menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara para pihak yang membuatnya.” Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selain melihat unsur–unsur sahnya, perjanjian yang dibuat harus memperhatikan asas kebebasan berkontrak. Para pihak bebas menentukan isi kontrak dan objek perjanjian. Namun dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak mempunyai keterbatasan. Untuk itu perlindungan bagi debitor selaku konsumen dalam perbankan perlu diperhatikan lebih lanjut.28

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka hak-hak konsumen yang diatur di dalam Pasal 18 melarang adanya klausula eksonerasi ( pengecualian ) dalam perjanjian kredit bank.

Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melarang bank untuk menyatakan tunduknya debitor pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. Nasabah peminjam kredit juga merupakan konsumen yang hak-

28Salim H.S, Op.Cit, hal 44

(42)

hak dasarnya harus dilindungi. Perjanjian baku yang dibuat bank dalam perjanjian kredit terkadang masih mengabaikan hak-hak dasar konsumen.

Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan perjanjian yang dibuat menimbulkan

hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum yang cakap hukum tidak boleh merugikan ataupun menguntungkan salah satu pihak tertentu saja. Jika dalam suatu perjanjian baku menguntungkan pihak kreditor saja maka perjanjian ini menjadi tidak seimbang dan bisa batal demi hukum. Pihak bank dalam membuat perjanjian kredit hanya melihat dan berpikir pada pertimbangannya sendiri.

Perjanjian yang dibuat oleh pihak bank sebagai kreditor hanya memikirkan bagaimana ia dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir terjadinya kerugian. Undang-undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa setiap konsumen harus dilindungi hak-haknya. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, hak untuk tidak didiskriminasi, dan kaitannya dalam perjanjian standart adalah hak untuk tidak melakukan perubahan-perubahan terhadap isi perjanjian secara sepihak oleh pihak bank. Masyarakat dalam hal pengajuan kredit biasanya tidak menyadari bahwa sebenarnya ada payung hukum yang melindungi masyarakat dari tindakan pelanggaran hak-hak konsumen di dalam perjanjian kredit tersebut.29

Perjanjian kredit bank sebagaimana telah diuraikan diatas, cenderung menempatkan posisi tawar pemohon kredit menjadi lebih lemah sebagai akibat adanya klausula yang ditentukan secara sepihak oleh pihak perbankan. Meskipun pihak

29Subekti & R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 52

(43)

pemohon kredit telah menerima syarat-syarat dalam perjanjian yang berarti telah secara sukarela bersedia mengikatkan diri untuk menerima persyaratan-persyaratan yang dimaksud, penting kiranya adanya itikad baik dari pihak bank untuk menjaga agar terms and condition pada perjanjian tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang.30 Bila ditinjau dari hukum perjanjian, memang tidak ada pengaturan secara rinci mengenai batasan klausula baku dalam KUH Perdata yang diterapkan dalam praktek dunia usaha, sehingga hal ini menggambarkan belum diberikannya perlindungan yang seimbang bagi para pihak. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), kekosongan hukum tersebut menjadi terjawab melalui pengaturan dan batasan-batasan tentang bagaimana seharusnya perlindungan konsumen diberikan secara berimbang, berdasarkan keadilan dan kepastian hukum terhadap penggunaan perjanjian baku.31

UUPK dalam hal ini telah menuangkan secara tegas dalam pasal 2 mengenai asas perlindungan konsumen yang digunakan sebagai landasan untuk mewujudkan perlindungan bagi konsumen, termasuk dalam penerapan perjanjian baku. Adapun beberapa asas perlindungan konsumen yang dimaksud disini yaitu Asas Manfaat, Asas Keadilan, Asas Keseimbangan, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta Asas Kepastian Hukum. Adanya Asas Manfaat dimaksudkan agar segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya

30Patrik, Purwahid, Dasar-dasar hukum perikatan (perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 67

31Siahaan NHT; 2005, Perlindungan Konsumen & Tanggung jawab Produk, Panta Rei, hal 38

(44)

bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan membedakan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil sesuai dengan Asas Keadilan. Selanjutnya Asas Keseimbangan bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Begitu pula dengan Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan. Agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara memberikan jaminan adanya kepastian hukum sesuai dengan Asas Kepastian Hukum.

Tentunya dalam perjanjian pemberian kredit antara pemohon dan pihak bank apabila ditinjau dari UUPK haruslah berpegang pada kelima asas di atas. Dari segi manfaat, perjanjian pemberian kredit pastinya telah memberikan manfaat yang besar bagi pemohon kredit yang membutuhkan bantuan financial, sehingga kebutuhan akan uang dapat terpenuhi melalui peran pelaku usaha yaitu perbankan. Demikian pula dari sisi pihak bank sendiri, dengan adanya transaksi pemberian kredit dapat meningkatkan keuntungan melalui rentang positif suku bunga bank atau positive spread (bunga pinjaman lebih tinggi daripada bunga simpanan).32

32 Ketut Rindjin, 2000, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.112.

Yang juga perlu diperhatikan dalam perjanjian pemberian kredit adalah dari segi keseimbangan para pihak. Tentunya dengan penetapan sejumlah persyaratan oleh pihak bank dimaksudkan untuk menyeimbangkan

(45)

pengeluaran dan resiko atas fasilitas pemberian kredit tersebut, namun upaya untuk menjaga kedudukan yang berimbang antara pelaku usaha dan konsumen haruslah tetap dijaga. Seringkali karena kurangnya informasi bagi pemohon kredit dan posisinya yang sangat tergantung pada bank pada akhirnya membuat nasabah harus tunduk pada perjanjian yang telah ditandatangani tersebut.33

Dengan adanya ketentuan ini, setiap syarat yang digunakan dalam dokumen (bon pembelian, kwitansi pembayaran, tanda penyerahan kiriman, dan lain sebagainya) atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian, perjanjian asuransi, dan sejenisnya) dilarang dipergunakan sepanjang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana telah tertuang dalam pasal 18 UUPK yang menetapkan bahwa dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila klausula baku tersebut:

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK disebutkan bahwa: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

34

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

(1) Isinya:

33 Widijantoro; 1999, Dari Tradisi Hukum Caveat Emptor Menuju Product Liability Mengenai Hak dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha –UUPK, Rajawali Press, Jakarta, hal 71

34 Ida Susanti & Bayu Seto (editor), Op.cit., hal.120.

(46)

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Letak atau bentuknya:

a. sulit terlihat;

b. tidak dapat dibaca secara jelas.

(3) Pengungkapannya sulit dimengerti.

Dalam perjanjian pemberian kredit bank terdapat beberapa klausula baku yang dianggap merugikan kedudukan salah satu pihak yang secara ekonomi lebih lemah dari

(47)

pihak yang lain yaitu nasabah, diantaranya tentang jaminan dan jaminan tambahan serta cara pengikatannya, pelaksanaan eksekusi barang jaminan, pelunasan kembali sebelum jangka waktu pelunasan dan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Mengenai jaminan dan cara pengikatannya, terdapat klausula yang menyatakan bahwa debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk memberikan bantuan guna memungkinkan bank melaksanakan pengikatan barang jaminan kredit menurut cara dan pada saat yang dianggap baik oleh bank dan memberikan kuasa kepada bank yaitu kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sebelum utangnya kepada bank dilunasi, yang merupakan kuasa mutlak untuk menjual barang jaminan yang dijaminkan maupun jaminan tambahan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi nilai jaminan pokok tidak cukup untuk membayar seluruh utang dan bunga bank,maka debitur menyetujui dan mewajibkan serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dari bank membayar kepada bank sejumlah uang menurut ketetapan bank atau menambah barang-barang atau benda-benda tertentu oleh bank untuk dijadikan jaminan tambahan menurut ketetapan bank.35

Dalam melaksanakan bisnis perbankan, ada prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh bank terutama dalam hal penilaian benda jaminan yang diberikan oleh debitur. Tentunya pihak bank dalam melakukan penilaian benda jaminan telah menilai cukup bahwa nilai benda jaminan mampu menutupi seluruh nilai utang berikut bunganya apabila debitur wanprestasi. Akan tetapi bank masih mencantumkan klausula bagi debitur untuk memberi tambahan benda jaminan bilamana nilai jaminan awal tidak mencukupi pada saat eksekusi. Klausula demikian tersebut jelas merugikan pihak

35 Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 81

Referensi

Dokumen terkait

penggunaan kartu kredit dalam perjanjian jual beli barang ditinjau dari. aspek

Perjanjian jual beli hak milik atas tanah yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, pada

Pihak kedua berhak mengambil sepeda motor merek Yamaha Mio Soul sejak penanda tanganan surat perjanjian jual beli kredit dan uang muka yang telah dibayar sebagai barang bukti..

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan perjanjian jual beli dengan kartu kredit, penerapan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli serta

Berdasarkan metode yang digunakan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keabsahan perjanjian jual beli melalui sistem elektronik tetap melihat pada syarat

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian pengikatan jual beli dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Di dalam perjanjian jual beli terdapat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPdt yang berbunyi “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perlindungan hukum bagi konsumen apartemen dalam perjanjian pengikatan jual beli dikaitkan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang