• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Seperti halnya pengungkapan kasus tindak pidana pada umumnya, sebelum sampai pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, pengungkapan kasus tindak pidana korupsi juga melalui serangkaian proses untuk pencarian tersangka dan pengumpulan barang bukti. Menurut ketentuan dalam hukum acara pidana, hal tersebut lazim disebut

36

sebagai tindakan penyelidikan dan penyidikan. Dalam Pasal 1 angka ( 5 ) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah :

“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

Sedangkan dalam angka ( 3 ) pasal yang sama disebutkan bahwa penyidikan adalah : “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itumembuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Apabila hanya berdasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam angka ( 3 ) dan ( 4 ) Pasal 1 Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, maka yang dapat bertindak sebagai penyelidik dan penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi apabila mencermati penjelasan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan adanya pengecualian terhadap pemberlakuan ketentuan dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak Pidana Ekonomi dan Undang- Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi37

37

Lihat penjelasan pasal 284 UU.No 8 Tahun 1981

, maka dalam tindak pidana khusus korupsi, selain polisi jaksa juga berhak untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik.

Selain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat ( 1 ) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan : melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan peundang-undangan lainnya. Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan terhadap tugas pokok kepolisian yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang No.2 Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukun, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi ditegaskan dalam Pasal 30 ayat ( 1 ) huruf d Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang kejaksaan yang menyatakan bahwa dibidang pidana jaksa mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan tehadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang- Undang menurut penjelasan umum dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, pengertian tindak pidana tertentu dalam Pasal 30 tersebut adalah dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam perkembangan selanjutnya, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan saja. Pada saat ini, Komisi Pemberantasan korupsi yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 juga mempunyai tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 6 huruf c Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002.Hanya saja terdapat pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Pemberantasan tersebut tercantum dalam Pasal 11 yang menyatakan “ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan oranglain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;dan/atau

c. Menyangkut kerugian paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 ( Satu Miliyar Rupiah ) .

Walaupun komisi pemberantasan korupsi dianggap sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, akan tetapi dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut, terlihat masih ada kewenangan bagi kejaksaan dan kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi. Hanya saja apabila kinerja kejaksaan dan kepolisian tersebut dianggap tidak maksimal dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik korupsi, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih penyidikan korupsi dari kepolisian dan kejaksaan.

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, pengambilalihan penyidikan korupsi dari kepolisian dan kejaksaan oleh Komisi Pemberaantasan Korupsi dilakukan dengan alasan :

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi ditindaklanjuti;

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda- tunda tampa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain ketiga institusi tersebut, saat ini terdapat tim gabungan yang keanggotaannya berasal dari kejaksaan, kepolisian dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi ( Tastipikor ) ini bertugas untuk :

a. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi dan

b. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Sedangkan penuntutan adalah “ tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan “38

Dalam hal Penuntut Umum melakukan penuntutan itu, maka ia dapat mengambil beberapa sikap. Misalnya dalam hal tersangkut beberapa orang Terdakwa, maksudnya apakah perkara itu diajukan dalam1 ( satu ) berkas perkara atau dipecah menjadi beberapa berkas perkara ( Splitsing ). Pemecahan perkara ini biasanya dilakukan apabila terdapat kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan saksi mahkota. Dimana . Adapun yang dimaksud dengan penuntut umum adalah Jaks yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 angka 6 KUHAP ), sedangkan jaksa itu sendiri adalah pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

38

pelaku yang 1 ( satu ) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya. Akan tetapi sering kali menjadi masalah dalam praktek adalah ketentuan Pasal 168 c KUHAP yang menentukan, bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah suami/istri Terdakwa meskipun sudah bercerai dan yang bersama-sama sebagai Terdakwa. Ketentuan tentang suami atau istri terdakwa mudah dipahami, tetapi yang dipahami sebagai bersama-sama sebagai Terdakwa sulit dimengerti. Apakah yang dimaksud adalah mereka yang diajukan dalam 1 ( satu ) berkas perkara atau juga termasuk mereka yang melakukan tindak pidana yang sama, tetapi diajukan dalam berkas perkara yang berbeda.

Sikap lain dari penuntut umum adalah melakukan “ penggabungan perkara “, ini dalam hal pada waktu yang sama atau bersamaan menerima berkas perkara dan membuatnya dalam satu (1) surat dakwaan. Alasan dimungkinkannya dilakukan penggabungan perkara itu adalah bila beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya. Atau beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain, dan beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu satu sama lain, tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya. Yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan ( Pasal 141 KUHAP ).

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan, bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkipan peradilan militer, diperiksa dan diadili diperadilan umum, kecuali jika menurut Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Perundang-

undangan ( d/h Menteri Kehakiman ) perkara itu harus diperiksa dan diadili di Peradilan Militer. Untuk menentukannya diadakan penelitian bersama oleh Jksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditor militer Tinggi ( Pasal 90 ayat ( 1 ) KUHAP ). Apabila diadili dalam Peradilan Umum maka Jaksa Penuntut Umum yang melimpahkan perkara ke pengadilan. Pelimpahan perkara kepengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah dengan membuat surat dakwaan, dan permintaan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan.

B. Konektisitas dan Pemeriksaan Sidang Pengadilan

Konektisitas berarti bercampurnya orang-orang yang sebenarnya termasuk yurisdiksi pengadilan yang berbeda dalam 1 ( satu ) perkara. Sebagai contoh seorang sipil dan seorang yang berstatus militer melakukan kejahatan bersama-sama. Misalnya dalam suatu perkara Tindak Pidana Korupsi tersangkut pelaku yang tunduk pada Peradilan Umum dan pelaku lainnya yang tunduk pada Peradilan Militer. Keadaan demikian dikenal dengan istilah perkara konektisitas dimana beberapa orang melakukan tindak pidana ( korupsi ) dan mereka tidak tunduk pada badan peradilan yang sama. Masalahnya dalam keadaan demikian Peradilan mana yang berwenang untuk mengadilinya, hal ini akan berdampak mulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang pengadilan.

Penyidik tunggal bagi Tersangka yang tunduk pada Peradilan Umum adalah Polisi dan Penuntut Umumnya adalah Jaksa Penuntut Umum serta Pengadilannya adalah

Peradilan Umum. Sebaliknya bagi yang tunduk pada Peradilan Militer adalah Penyidiknya adalah Corps Polisi Miter ( CPM ) dan Penuntut Umumnya adalah Oditur Militer serta peradilannya adalah Peradilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Untuk melakukan penyidikan perkara konektisitas, berdasarkan SKB Menhankam dan Menteri Kehakiman No. KEP. 01/M/XII?1985 dan No. KEP. 57.1 R.09.1985 dibentuk Tim Tetap di Pusat dan di Daerah. Tim Pusat terdiri atas Penyidik dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Penyidik dari Polisi Militer TNI pada Pusat Polisi Militer TNI, dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dari Oditur Jenderal TNI, sedangkan dalam daerah Pengadilan Negeri terdiri atas Penyidik dari Markas Polisi Wilayah Kepolisian Republik Indonesia, Markas Mapolres, Mapoltabes, dan Mapolsek-Mapolsek, Penyidik dari Polisi Militer TNI dan Oditur Militer pada datasemen POM TNI.39

Menurut penjelasan pasal tersebut, mengkoordinasikan adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 perkara koneksitas

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, mengatakan :

“ Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, dan penyidikan, tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer”.

39

di adili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Hal ini dapat dikecualikan jika menurut menteri pertahanan dengan persetujuan menteri kehakiman harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Untuk itu harus dilakukan penelitian bersama oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi (Pasal 90 KUHAP). Dasar untuk menentukan pengadilan mana yang memeriksa perkara itu adalah besarnya kepentingan umum atau kepentingan militer yang dirugikan oleh perbuatan tersebut. Apabila cukup alsan untuk mengajukan perkara korupsi dilingkungan peradilan Militer sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-undang No 31 Tahun 1999,maka ketentuan pasal 123 ayat 1 huruf g Undang-undang No 31 tahun 1999 tidak dapat diberlakukan.

Didalam praktek dikenal 2 (dua) sistem pemeriksaan, yaitu accusatoir dan inquisitoir. Dalam pemerikasaan accusatoir tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subjek hukum. Oleh karena itu, di berikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri dan pemeriksaan dilakukan dengan pintu terbuka. Sementara dalam sistem pemeriksaan inquisitoir, tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai objek pemeriksaan dan karenanya dilakukan dengan pintu tertutup. Pemeriksaan perkara disidang pengadilan di lakukan dengan sistem accusatoir,sementara pemeriksaan di penyedikan dengan sistem inqiusitoir.

Pelimpahan perkara kedepan pengadilan dikenal dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:40

1. Acara Pemeriksaan Biasa.

40

Disini perkara dilimpahkan kepengadilan oleh jaksa penuntut umum dengan surat dakwaan perkara demikian biasannya perkara besar dan sulit pembuktiannya.

2. Acara Pemeriksaan Singkat.

Adalah perkara-perkara yang sifatnya bersahaja, khususnya mengenai soal pembuktian dan pemakaian Undang-undang,dan hukum,an yang dijatuhkan yang diperkirakan tidak lebih dari 1(satu) tahun. Dalam perkara acara pemeriksaan singkat tidak dibuat suirat dakwaan, tetapi penuntut umum menghadapakan terdakwa beserta saksi ahli, juru bahasa, dan barang bukti yang diperlukan (Pasal 2 05 KUHAP). Setelah hakim ketua sidang menanyai identitas terdakwa, seperti : nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tibnggal, agama dan pekerjaan terdakwa (Pasal 155 KUHAP),selanjutnya hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut umum secara lisan kepada terdakwa yang di buat dari catatannya tentang tindak pidanan yang didakwakan dengan menyebut waktu (Tempos delicti), tempat kejadian (locus delicti) dan keadaan pda waktu tindak pidana di adakan. Pemberitahuan ini di catat dalam berita acara sidang dan dijadikan penganti surat dakwaan.

3. Acara Pemeriksaan Cepat.

a. Tindak Pidana Ringan.

Adalah tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500, 00 ( tujuh ribu lima

ratus rupiah ). Dengan pengecualian seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 205 ayat 2 ( dua ) KUHAP.

b. .Perkara Rol Polisi

Adalah perkara-perkara pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas ( Pasal 211 KUHAP ).Setelah Pengadilan Negeri menerima pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, maka ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya ( Pasal 147 KUHAP ). Apabila ketua berpendapat bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya tetapi termasuk dalam wewenang Pengadilan Negeri lain ( kompetensi relatif ), maka ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri lain yang dinggap berkompeten mengadilinya. Untuk itu ia membuat surat penetapan dan memuat alasannya. Surat pelimpahan perkara kembali diserahkan kepada Penuntut Umum, untuk selanjutnya menyampaikannya kepada Kejaksaan Negeri tempat Pengadilan Negeri yang berkompeten tersebut. Turunan surat itu disampaikan kepada Terdakwa/penasihat Hukum dan Penyidik.

Dalam hal Penuntut Umum berkeberatan terhadap surat penetapan itu ( Pasal 149 KUHAP ) maka ia dapat mengajukan perlawanan ( Verzet ) kepada Pengadilan Tinggi dalam tenggang waktu 7 ( tujuh ) hari setelah penetapan itu diterimanya.

Tidak terpenuhinya ketentuan tersebut perlawanan ( Verzet ) menjadi batal Perlawanan ( verzet ) itu disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana disebut dalam Pasal 148 KUHAP dan hal ini dicacat daftar Panitia. Selanjutnya, dalam waktu 7 ( tujuh ) hari sejak menerima perlawanan itu Pengadilan Negeri wajib meneruskannya kepada Pengadilan Tinggi. Dan dalam waktu 14 ( empat belas ) hari sejak menerima perlawanan itu Pengadilan Tinggi mengambil keputusan apakah menguatkan atau menolak perlawanan. Putusan itu dituangkan dalam Surat Penetapan. Apabila Pengadilan Tinggi menerima perlawanan Penuntut Umum maka dengan surat penetapan memerintahkan kepada Pengadilan Negeri untuk menyidangkan perkara tersebut. Atau jika Pengadilan Tinggi menguatkan pendapat Pengadilan Negeri, maka ia mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan dengan tembusan disampaikan kepada Penuntut Umum.

Dalam hal Terdakwa/Penasihat Hukum ( Pasal 156 KUHAP ) mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, atau Surat Dakwaan tidak dapat diterima ( Niet Ovankelijke Verklaart ) atau Surat Dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menanyakan pendapatnya, Hakim lalu mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Jika Hakim menyatakan keberatan itu diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, selanjutnya kalau tidak diterima atau Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan maka sidang dilanjutkan.

Dalam hal Penuntut Umum keberatan atas putusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan ( verzet ) kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan ( Pasal 156 ayat ( 3 ) KUHAP ). Dalam hal perlwanan diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukumnya diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu 14 ( empat belas ) hari Pengadilan Tinggi dengan surat penetapan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan memerintahkannya untuk memeriksa perkara itu.

Demikian juga dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh Terdakwa atau Penasihat Hukumnya kepada Pengadilan Tinggi maka dalam waktu 14 ( empat belas ) hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan Perlawanan Terdakwa, maka Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan yang berwenang.

Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara bersangkutan dengan disertai berkas untuk diteruskan kepada Kejaksaan Negeri yang telah melimpahkan perkara itu. Apabila pengadilan yang berwenang itu berkedudukan didaerah hukum Pengadilan Tinggi lain, maka Kejaksaan Negeri mengirimkan Perkara tersebut kepada Kejaksaan Negeri dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang berwenang ditempat itu. Selain itu. Hakim Ketua Sidang ( Pasal 156 ayat ( 6 ) KUHAP ), karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar pendapat Penuntut Umum dan Terdakwa dengan surat penetapan

yang memuat alasannya dapat menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara itu.

Untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi di era reformasi sekarang ini, ternyata ada kecenderungan Surat Dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum yang mempunyai celah-celah untuk dieksepsi dan karenanya Hakim menyatakan Surat Dakwaannya tidak dapat diterima, atau dibatalkan atau tidak sempurna. Ini misalnya terjadi dalam kasus Dr. Beddu Amang, Tomy Soeharto, Richardo Gelael, Rudy ramly, Rachmadsyah dan Zulkifli Harahap. Atas putusan mana Jaksa Penuntut Umum lalu mengajukan verzet ( perlawanan ), lalu atas putusan Pengadilan Tinggi, Terdakwa/Penasihat Hukum menyatakan kasasi. Akibatnya, perkara menjadi lambat dan terkatung- katung. Padahal, kalau Jaksa memperbaiki surat dakwaannya itu hanyalah memerlukan beberapa hari saja.41

C. Tindakan-tindakan Selama Proses Perkara

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 membolehkan dilakukannya beberapa tindakan selama proses perkara sedang berjalan mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Pengadilan. Adapun tindakan-tindakan yang dapat diambil tersebut adalah sebagai berikut : 42

1. Rahasia Bank Dapat Dibuka

41

Ibid , Hal 100 42

Untuk kepentingan penyidikan, atau penuntutan, atau pemeriksaan di sidang Pengadilan ( Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan Tersangka atau Terdakwa. Keterangan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan, dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait.

Permintaan keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan Tersangka/terdakwa ( ayat ( 2) ) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk memenuhi permintaan tersebut ( ayat (3 ) ), Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi selambat-lambatnya 3 ( tiga ) hari kerja terhitung sejak permintaan diterima secara lengkap.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang berhak meminta keterangan kepada Bank tentang rekening Tersangka/Terdakwa adalah :

a. Penyidik untuk tingkat Penyidikan;

b. Penuntut Umum untuk tingkat penuntutan;dan c. Hakim untuk tingkat pemeriksaan di pengadilan.

2. Blokir Rekening Tersangka/Terdakwa

Menurut Pasal 29 ayat ( 4 ) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dapat meminta Bank untuk memblokir rekening

simpanan milik Tersangka/Terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi. Adapun yang dimaksud dengan rekening simpanan adalah dana-dana yang dipercayakan masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu termasuk penitipan ( Custodian ) dan penyimpanan barang/surat berharga ( Safe Deposit Box ). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan yang diperoleh dari simpanan tersebut.

Dalam hal pemeriksaan terhadap Tersangka atau Terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup ( Pasal 29 ayat ( 5 ) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ), maka atas permintaan Penyidik atau Penuntut Umum, atau Hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan kasus/perkara. Maksudnya ditingkat penyidikan diminta oleh Penyidik, di tingkat penuntutan oleh Penuntut, atau ditingkat pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim, baik ditingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Banding atau Kasasi.

3. Memeriksa dan Menyita barang Kiriman

Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lain yang dicurigai berhubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa ( Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kewenangan kepada Penyidik dalam rangka mempercepat penyidikan. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan KUHAP, dimana untuk membuka surat atau

barang kiriman atau menyitanya harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri ( Pasal 38 Jo Pasal 148 KUHAP ).

4. Larangan Menyebut Identitas Pelapor

Pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan ( Pasal 31 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang meyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi informasi kepada

Dokumen terkait