• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI DUALISME KEWENANGAN

MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA PENGADILAN

NEGERI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi

Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PERISTA FRANSISXA. S

060200261

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI DUALISME KEWENANGAN

MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA PENGADILAN

NEGERI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Universitas Sumatera Utara

O L E H :

PERISTA FRANSISXA. S

NIM : 060200261

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair S.H, M.Hum

196107021989031001

Dosen Pembingbing I

Dosen Pembingbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum

Edi Yunara, S.H, M.Hum

Nip : 1951021061980021001 Nip : 196012221986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkat dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan menyusun skripsi yang berjudul : “Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ”.

Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Untuk orang tua penulis yang sangat mendukung dan senantiasa member masukan atas pengerjaan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga yang turut membantu atas penyelesaian skripsi ini, hanya beribu terima kasih yang dapat penulis ucapkan.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum selaku dosen pembimbing I penulis yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(4)

5. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum, selaku dosen yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini;

6. Untuk orangtua yang paling aku cintai, untuk Bapak Serinta Singarimbun dan buat Mama Purnama Waty Lubis, Sth, terima kasih untuk semua dukungan, doa serta kasih sayang yang sudah diberikan kepada penulis, sehingga gelar sarjana ini bisa didapatkan, ini persembahan buat kalian;

7. Untuk Adik-adik ku tercinta, Luther Prananta Singarimbun, yang telah memberikan semangat dan menemani penulis selama pengerjaan skipsi ini,makasih dek atas smua perhatiannya juga Tiyolita Frastika dan Putri Fransionita trimakasih atas doa kalian semua kakak sayang kalian;

8. Untuk Nenekku dan Alm.Bolang dan Opungku, yang slama ini selalu mendukung sepenuhati dan memberi semangat kepada penulis selama perkulianhan,trimakasih buat kalian yang selalu menyayangiku.

9. Keluarga besar Singarimbun dan keluarga besar Lubis yang tak dapat penulis tuliskan satu persatu, trimakasih atas doa dan dukungannya;

10.Untuk Jhon Timothy tow Ginting, yang telah memberikan Pengertian, Perhatian dan kesabaran bagi penulis selama penulis mengerjakan skipsi ini.terimakasih atas kepercayaanmu.

(5)

12.Untuk Sahabatku Era Mutiara terimakasih atas dukungan dan doanya,aku sangat merindukanmu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Medan, Maret 2010 Penulis

(6)

ABSTRAKSI

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 atas judicial review Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan dasar hukum Pengadilan Tipikor membawa polemik hukum yang saat ini menjadi perhatian. Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUN RI 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan ini diucapkan. Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah dasar hukum terbentuknya Pengadilan Tipikor yang kewenangan mengadili tindak pidana korupsi berada di Pengadilan Negeri serta tugas dan kewenangan masing-masing lembaga peradilan tersebut dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh kedua badan peradilan tersebut dalam penanganan tindak pidana korupsi juga mengenai mekanisme pemeriksaan yang dilakukan dalam mengadili tindak pidana korupsi di Indonesia beserta factor-faktor penyebab terjadinya dualisme kewenangan mengadili tersebut dan upaya penanggulangannya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan untuk menunjang data yang diperlukan, maka dilakukan kegiatan wawancara dengan responden. Kemudian dalam pengambilan kesimpulannya dengan menggunakan tekhnis analisis subtantif yang berpedoman pada cara berfikir induktif.

(7)

DAFTAR ISI

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………. 5

D. Keaslian Penulisan……… 7

E. Tinjauan Kepustakaan……….. 7

1. Pengertian Tindak Pidana………... 7

2. Pengertian korupsi……….. 9

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi………. 10

4. Pengertian Pengadilan Negeri………. 18

5. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi………... 20

F. Metode Penelitian ………. 21

G. Sistematika Penulisan ………... 22

BAB II : PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI A. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Negeri sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi... 24

B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan negri dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi...31

C. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi... 42

D. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi... 45

(8)

b. Konektisitas dan pemeriksaan Sidang Pengadilan...60

c. Tindakan – tindakan selama Proses Perkara ...67

d. Sidang In Absensia...75

e. Pembuktian Terbalik...78

BAB IV : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DUALISME KEWENANGAN MENGADILI ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA A. Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili……….……80

B. Upaya Penanggulangannya...82

1. Perbaikan Terhadap Undang Undang Tindak Pidana Korupsi... 82

2. Pembentukan Badan Anti Korupsi... 83

3. Kasus Korupsi Besar Hendaknya Diserahkan Kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi... 89

BAB : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………91

B. Saran………..96

(9)

ABSTRAKSI

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 atas judicial review Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan dasar hukum Pengadilan Tipikor membawa polemik hukum yang saat ini menjadi perhatian. Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUN RI 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan ini diucapkan. Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah dasar hukum terbentuknya Pengadilan Tipikor yang kewenangan mengadili tindak pidana korupsi berada di Pengadilan Negeri serta tugas dan kewenangan masing-masing lembaga peradilan tersebut dan penyelesaian hukum yang dilakukan oleh kedua badan peradilan tersebut dalam penanganan tindak pidana korupsi juga mengenai mekanisme pemeriksaan yang dilakukan dalam mengadili tindak pidana korupsi di Indonesia beserta factor-faktor penyebab terjadinya dualisme kewenangan mengadili tersebut dan upaya penanggulangannya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan untuk menunjang data yang diperlukan, maka dilakukan kegiatan wawancara dengan responden. Kemudian dalam pengambilan kesimpulannya dengan menggunakan tekhnis analisis subtantif yang berpedoman pada cara berfikir induktif.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu fenomena hukum di masyarakat yang mengemuka beberapa waktu belakangan ini adalah wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melimpahkan seluruh kasus korupsi yang saat ini ditangani Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Seperti diketahui bersama bahwa saat ini di Indonesia terdapat 2 (dua) jalur mekanisme hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi, yaitu melalui Peradilan Umum biasa dan melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK). Pada dasarnya landasan dari keberadaan Pengadilan Tipikor ini adalah karena praktek korupsi di Indonesia dianggap sudah begitu melembaga dan sistematis sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang demikian besar, disamping hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen para Aparat Penegak Hukum, baik Polisi, Jaksa dan Hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga dianggap perlu untuk membentuk suatu pengadilan yang secara khusus menangani perkara-perkara korupsi dengan segala ciri dan pengaturannya yang khas, antara lain mengenai struktur organisasi, personil dan hukum acaranya.1

1

(11)

Tidak dapat dipungkiri bahwa lemahnya kinerja dari Pengadilan Umum dalam hal ini Pengadilan Negeri sangat mempengaruhi berkembangnya kasus korupsi dewasa ini, dapat kita lihat bahwa selama beberapa tahun belakangan ini dalam penanganan perkara korupsi, masih sangat mengecewakan. Baik Mahkamah Agung, maupun Pengadilan Umum dibawahnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Umum. Berdasarkan pemantauan dari Indonesia Corruption Watch selama tahun 2009 terdapat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan diseluruh Indonesia, terdapat bahwa 224 terdakwa yang mendapat putusan atau divonis bebas oleh pengadilan ( 59,26 % ) dan hanya 154 terdakwa ( 40,74 % ) yang akhirnya divonis bersalah.2

1. jumlah vonis bebas atau lepas bagi terdakwa masih dominan dan mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya dimana berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch jumlah terdakwa yang mendapat vonis bebas/lepas pada tahun 2009 adalah 224 terdakwa hal ini menambah jumlah terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan oleh pengadilan umum sejak tahun 2005.

Hal tersebut tentu tidak akan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi tersebut, karena vonis hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan perbuatan yang telah mereka perbuat.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara yang diadili oleh pengadilan umum selama tahun 2009 ini, yaitu :

2. adanya kebiasaan baru dimana terdakwa divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yakni 1 tahun bahkan ada yang dibawah 1 tahun sedangkan yang

2

(12)

ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah, maka dijatuhi pidana paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara.

3. fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi semakin marak pula terjadi, hingga akhir 2009 ditemukan adanya 16 koruptor yang divonis dengan hukuman percobaan. Umumnya mereka dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun, dengan kondisi ini maka dapat dipastikan terdakwa tidak perlu menjalani hukuman meskipun telah dinyatakan bersalah.3

Terdapatnya disparitas Putusan Hakim dalam perkara korupsi tersebut menimbulkan suatu wacana untuk memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor – yang berdasarkan pasal 53 UU KPK secara khusus hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana diatur dalam pasal 11 huruf c UU KPK – sehingga juga mengadili seluruh perkara korupsi yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.4

Pembagian tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Negeri ini sesungguhnya adalah semata-mata untuk melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini secara lebih efektif dan efesien, dimana pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan, baik oleh Pengadilan Negeri

3

Ibid.

2010 jam 15.10

(13)

maupun Pengadilan Tipikor. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi. Kedudukan Pengadilan Tipikor itu sendiri telah secara jelas ditentukan melalui pasal 54 ayat (1) UU KPK berada di dalam lingkungan Peradilan Umum yang mana di dalamnya dapat diadakan pengkhususan melalui suatu Undang-Undang, diantaranya adalah Pengadilan Tipikor. Adapun yang dimaksud dengan ”pengkhususan” disini adalah suatu diferensiasi dan spesialisasi yang terbatas pada Struktur Organisasi, Personil dan Hukum Acara guna tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih efektif dan efisien, namun bukan terhadap “keberadaan” dari Pengadilan Tipikor yang telah secara jelas disebutkan pada pasal 54 ayat (1) UU KPK tersebut berada di dalam lingkungan Peradilan Umum.

Dengan demikian, sesungguhnya yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa kita dewasa ini guna dapat menyelesaikan perkara korupsi secara adil dan benar menurut hukum bukanlah dengan hanya sekedar mempersoalkan tentang “keberadaan” dari Pengadilan Korupsi, melainkan lebih kepada adanya suatu komitmen kolektif dari para Aparat Penegak Hukum, termasuk para Hakim di setiap jalur dan tingkatan Pengadilan, untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Disamping tentunya diperlukan pula ketelitian dan kecermatan Jaksa Penuntut Umum dalam mengkonstruksi suatu dakwaan yang berkualitas sehingga

(14)

Semoga dengan terpenuhinya kedua hal tersebut diatas, pemberantasan segala bentuk tindak pidana korupsi di negeri ini yang memang telah begitu banyak menimbulkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional dapat segera terwujud.

B. Perumusan Masalah

1.

Apa Saja Peranan Dan Kewenangan Dari Pengadilan Negri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi ?

2.

Bagaimana Mekanisme yang Dilakukan dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?

3.

Apakah Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya?

C. Tujuan Dan Mamfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang akan tercapai dari penulisan skipsi ini adalah :

a) Untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kewenangan dari pengadilan negeri dalam menangani kasus korupsi

(15)

c) Untuk mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya

2. Manfaat Penulisan a) Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi,kontribusi,pemikiran dan menambah kasanah dalam bidang pengetahuan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan tentang Tindak Pidana Korupsi pada khususnya.sehingga diharapkan skipsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dalam koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut.

b) Manfaat Praktis

1) Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang Tindak Pidana Korupsi kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan peranan nya dalam mencegah dan memberantas Tindak pidana Korupsi di Indonesia.

2) Memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum pada umum nya dan khususnya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan pihak pengadilan negeri untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya dalam menangani kasus korupsi demi upaya penegakan hukum yang baik.

(16)

dalam kasus Tindak Pidana Korupsi agar lembaga-lembaga yang telah bertugas dibidangnya masing-masing lebih mampu memaksimalkan kinerjanya untuk membantu mengurangi timbulnya kasus korupsi.

D. Keaslian Penulisan

Skipsi dengan judul ”Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.skipsi tentang korupsi memang sudah ada sebelumnya tetapi dapat dipastikan bahwa sebenarnya substansi pembahasannya berbeda.ide dan pemikiran untuk menulis skipsi ini adalah benar-benar karya tulis penulis sendiri.oleh karena itu skipsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

(17)

akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.5

Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu.

Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

5

(18)

mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.6

2. Pegertian Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya penyuapan,corruptore yaitu merusak7

a) Kejahatan,kebusukan,dapat disuap,tidak bermoral,kebejatan dan ketidak jujuran .gejala dimana para pejabat,badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :

8

b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok,dan sebagainya

.

9

c) Korup (busuk;suka menerima uang suap/sogok;memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

.

d) Korupsi ( perbuatan busuk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok dan sebagainya.

e) Koruptor (orang yang korupsi)10

6

Ibid, hal 6

7

Ibid, hal 8

8

S.Wojowasito WJS Poerwadarminta,Kamus Lengkap Inggris Indonesia,Indonesia Inggris, ( Bandung : Hasta.,1976 ) Hal. 156

9

Ibid

10

(19)

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.Jika membicarakan korupsi maka akan menemukan suatu kenyataan karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan dalam pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yakni :

a) Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan )untuk kepentingan diri sendiri

b) Busuk, rusak, suka memakai uang atau barang yang dipercayakan kepadanya11 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan korupsi adalah perbuatan curang,tindak pidana yang merugikan keuangan negara12

3. Pegertian Tindak Pidana Korupsi

.

Tindak pidana korupsi adalah jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kerah putih( white collar crime), pada dasarnya jenis kejahatan ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat, mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka pekerjaannya, umumnya merupakan pelanggaran kepercayaan.pengertian lain dari white collar crime antara lain sebagai berikut :

1. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk dibelakang meja. 2. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpangkat

11

Evi Hartanti, Op.Cit, Hal. 9

12

(20)

3. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan.

4. ditafsirkan sebagai lawan kata ”crime using force” atau ”street crime”(kejahatan biasa).

5. kejahatan yang dilakukan dengan teknologi canggih

6. kejahatan yang non konvensional;dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan teknologi canggih.

7. kejahatan terselubung.

Akibatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan kerah putih, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras dibandingkan dengan pengungkapan kejahatan konvensional.Aparat penegak hukum seolah-olah terlebih dahulu beradu kepintaran dan kecerdikan dengan pelaku kejahatan13

Jika kita berbicara mengenai Tindak pidana korupsi, sudah barang tentu kita harus merujuk kepada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau yang digolongkan dalam tindak pidana itu.karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan.jika ada devenisi yang tegas dalam undang-undang itu maka kita harus melihat rumusannya dari unsur-unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana.

.

13

Romli atmasasmita, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penyelidikan dan

(21)

Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : ”korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”14

a. Tindak Pidana Korupsi yang bersifat Umum

Tindak pidana korupsi itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu :

A. Tindak Pidana Korupsi diLuar KUHP

Terbagi atas beberapa sub bagian :

Yang dimaksud dengan bersifat umum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara.artinya dapat dilakukan siapa saja dari masyarakat umum. Hal ini diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.,00 ( satu miliar rupiah ).

2. Dalam hal Tindak pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati diajatuhkan.

b. Penyalahgunaan Kewenangan/Kekuasaan

14

(22)

Hal ini diatur pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut :

” setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh )tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).

Berdasarkan rumusan pasal 3 di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan adalah :

a) Dengan maksud :

b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

c) Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

d) Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.

c. Memberi Hadiah dengan Mengingat Kekuasaan

Hal ini diatur dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut :

”setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaa atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp.150.000.000,00

( seratus lima puluh juta rupiah).

(23)

tepat dalam pasal ini yang tepat adalah ” memberikan sesuatu ” yang menurut Hoge Raad pada tanggal 26 April 1916 diartikan :

”meliputi setiap penyerahan barang sesuatu yang untuk orang lain mempunyai nilai dengan maksud sebagaimana dimuat dalam pasal ini.15

d. Percobaan/Pembantuan/Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana

Korupsi

Hal ini diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut :

”setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemukafakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3,Pasal 5 sampai Pasal 14” Penjelasan resmi atas Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

”ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 ( satu pertiga ) dari ancaman pidananya”.

”Percobaan” melakukan tindak pidana diatur oleh Pasal 35 KUHP, sedang ”pembantuan” diatur dalam Pasal 56 KUHP.istilah ”pemukafakatan” dipergunakan juga dalam Pasal 110 KUHP. Penjelasan istilah kata ”pemukafakatan” ada dimuat pada Rencana Undang-undang (RUU) KUHP-1993 penjelasan Pasal 171 ( 1-8 ),antara lain sebagai berikut :

”...Pemukafakatan dapat dilihat dalam pasal 22 yaitu apabila ada dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan tindak pidana...”

15

(24)

Secara umum ” pemukafakatan” dalam ilmu hukum pidana,masih termasuk ”perbuatan persiapan” dan belum merupakan perbuatan pidana kecuali terhadap beberapa tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 22 RUU-KUHP-1993,yang berbunyi sebagai berikut :

” pemukafakatan jahat ( samenspanning,conspiracy)dapat dipidana meskipun perbuatan yang dilarang belum terlaksana sama sekali, namun niat jahat dari dua orang atau lebih itu, yang merupakan pemukafakatan jahat yang dipidana dibatasi hanya pada beberapa tindak pidana yang sangat serius dan dinyatakan dalam perumusan tindak pidana”.

e. Sengaja Mencegah/Merintangi/Menggagalkan Penanganan Tindak

Pidana Korupsi

Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut :

”setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 ( dua belas ) tahun dan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah)”

Yang dihalangi/dirintangi/digagalkan tersebut adalah tersangka/terdakwa/s aksi dalam perkara korupsi. Hal ini berarti, jika tidak dalam perkara korupsi maka pasal 21 tidak dapat diterapkan atau jika masih penanganan perkara korupsi masih dalam tahap penyidikan.

(25)

Hal ini diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut :

”sebagai orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama 12 (dua belas ) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah)”. Penjelasan resmi pasal 22 tersebut berbunyi ”cukup jelas” berdasarkanrumusan Pasal 22, maka unsur-unsur nya adalah :

a. setiap orang yang disebut Pasal 28, 29, 35, dan 56; b. dengan sengaja;

c. tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.

g. Menyebut Nama atau Alamat Pelapor

Hal ini diatur dalam Pasal 24,yang berbunyi sebagai berikut :

” saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah )”. Penjelasan resmi Pasal 24 berbunyi cukup jelas.

B. Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari KUHP

Tindak pidana korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari :

a) Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang rumusannya,antaralain sebagai berikut :

” ...dengan tidak mengacu pasal-pasal...tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu...”16

16

(26)

b) Pasal 43B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

” Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417,418, 420, 423, 425,dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana...dinyatakan tidak berlaku ”17

1. setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.

Berdasarkan rumusan diatas,maka Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 jelas-jelas mengambil alih 13 (tigabelas ) pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi.

Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah :

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai

17

(27)

dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.

Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

4. Pengertian Pengadilan Negeri

Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :

1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.

2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:

a. Proses mengadili.

b. Upaya untuk mencari keadilan.

(28)

Pembaharuan Lembaga Peradilan Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah:18

a. Peradilan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Peradilan agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

18

(29)

c. Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah

perkar

dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada

Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.19

19

http;/www.kpk.go.id/modules/edito/doc/UU302002.pdf. diakses pada tanggal 13 Januari 2010 jam 14.15 Wib.

Dalam ayat 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa :

(30)

(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.

Dimana dengan adanya pengadilan Tindak Pidana Korupsi diharapkan akan membantu untuk mengurangi timbulnya Tindak pidana korupsi di Indonesia juga untuk membantu Pengadilan Negeri dalam menangani kasus-kasus korupsi.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skipsi ini,agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan,dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka ( library research) yang berkaitan dengan isi dari skipsi ini.

2. Sumber Data

(31)

buku,artikel,koran,majalah,dan wacana yang dikemukakan oleh pendapat para ahli hukum dengan cara membaca,menafsirkan,membandingkan serta menterjemahkan dari beberapa sumber yang berhubungan dengan hukum pidana umumnya dan korupsi pada khususnya.

3. Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk mnjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skipsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik,maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis.Agar penulisannya lebih terarah dan lebih mudah dipahami,maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur.Sistematika dalam penulisan skipsi ini adalah :

(32)

dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut,dan terakhir diuraikan sistematika penulisan.

BAB II :Adalah tentang Peranan dan kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi.Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang dan dasar hukum di jadikannya pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi,peranan dan juga kewenangan dari pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi.

BAB III :Dalam bab ini akan dibahas mengenai mekanisme penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan, konektisitas dan pemeriksaan sidang pengadilan, tindakan-tindakan selama proses perkara, sidang In Absentia, dan pembuktian terbalik .

BAB IV :merupakan pembahasan mengeni faktor-faktor penyebab terjadinya dualisme kewenangan mengadili antara pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi beserta upaya penanggulangannya.

BAB V :Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

(33)

PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM

MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Negeri sebagai

Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum disebutkan dalam ayat 2 bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya dan pada ayat tiganya ( 3 ) juga dikatakan bahwa :

(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh : a. PengadilanNegeri;

b. PengadilanTinggi.

(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkunganPeradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan NegaraTertinggi.

Dimana kemudian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian dirubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mana isinya tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebelumnya.

(34)

terciptanya masyarakat yang tertib, aman dan damai seperti yang diamanatkan dalam pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa :

1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” .

2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila.

3) Seluruh peradilan diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara yang diatur dengan undang-undang.

4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Maka berdasarkan Undang-Undang Tersebut dimaksudkan bahwa Pengadilan Negeri mempunyai Tugas dan wewenang Untuk menyidik dan memeriksa perkara-perkara pidana yang berada dalam lingkungan kekuasaan mengadilinya dan tidak terkecuali dalam kasus korupsi yang dewasa ini semakin mengkhawatirkan.

Jika diperhatikan Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 ( dua ) segi, yakni korupsi aktif dan korupsi pasif.20

20

Evi Hartanti, Op. Cit Hal. 25

(35)

1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau oranglain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)

2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999)

3) Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi ( Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat ( 1 ) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

5) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau terhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya ( Pasal 5 ayat ( 2 ) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

6) Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ( Pasal 6 ayat ( 1 ) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

(36)

keselamatan negara pada waktu perang ( Pasal 7 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curangsebagaimana dimaksud dalam huruf a ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) 9) Setiap orang yang pada waktu menyiapkan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

10)Setiap orang yang bertugas menguasai penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c ( Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

11)Pegawai negeri atau oranglain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh oranglain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

(37)

13)Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, untuk membiarkan oranglain untuk menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat tersebut ( Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

14)Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

a) Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran, dengan pemotongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri ( Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

b) Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ( huruf f )

c) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atas penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ( huruf h )

(38)

perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

e) Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya ( huruf i ).

15)Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

Adapun korupsi yang bersifat pasif adalah sebagai berikut :

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

2) bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

(39)

4) Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang memerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ( Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

5) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

6) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

(40)

8) Advocat yang diberi hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan unntuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diberikan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

9) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima grafitasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ( Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 )

B. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Mengadili Tindak Pidana

Korupsi.

Sebagai suatu sistem dalam negara hukum, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan menunjukkan bahwa pengadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk kemudian melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.

(41)

ini kriteria buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur dari lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus. Padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) telah mengatur tentang kewenangan-kewenangan Pengadilan Negeri yang terkait dengan proses penyidikan dan penuntutan. Kewenangan tersebut antara lain adalah kewenangan untuk mengalihkan jenis tahanan ( Pasal 23 ), kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah tahanan ( Pasal 26 ),dan kewenangan untuk mengeluarkan izin kepada penyidik melakukan penggeledahan serta penyitaan bagi keperluan penyidikan ( Pasal 33 dan Pasal 38 ). Kewenangan-kewenangan tersebut seharusnya dapat untuk mempercepat jalannya proses perkara secara keseluruhan. Selain itu, buruknya kinerja pengadilan ini juga dapat dilihat dari banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan diluar biaya tak resmi sampai pada prosedur penetapan putusan pengadilan yang dianggap tidak transparan oleh publik serta pelaksanaan eksekusi yang penuh dengan permasalahan.

(42)

serta mengeluarkan putusan-putusannya, terutama antara lain dalam kasus-kasus yang melibatkan penguasa seperti korupsi dan pembalakan hutan.21

1. Kepolisian, dengan tugas utama :

Dalam suatu penyelesaian tindak pidana korupsi ( yang tidak melalui jalur Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), terdapat beberapa lembaga penegakan hukum yang terlibat, yaitu :

a. Menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana ;

b. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana ;

c. Melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan;

d. Melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan;

e. Melindungi para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam pasal 14 huruf g ditegaskan “ Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”22

21

BPHN departemen hukum dan hak asasi manusia RI,analisis dan evaluasi hukum penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi,( Jakarta : BPHN, 2008 ) Hal. 19

22

(43)

Wewenang kepolisian dalam proses pidana ( Pasal 16 ) adalah :

Huruf a :Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

Huruf b :Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kegiatan penyidikan;

Huruf c :Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

Huruf d :Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

Huruf e :Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

Huruf f :Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

Huruf g :Mendatangkan orang yang ahli yang diperlukan dengan hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

Huruf h :Mengadakan pengengtian;

Huruf i :Menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum;

(44)

keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka untuk melakukan tindak pidana;

Huruf k :Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan PNS untuk diserahkan kepada Penuntut Umum;

Huruf l :Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

2. Kejaksaan, dengan tugas pokok :

a. Menyaring kasus-kasus yang layak di ajukan ke pengadilan; b. Mempersiapkan berkas penuntutan;

c. Melakukan penuntutan;

d. Melaksanakan putusan pengadilan.23

Pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat yang fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh

23

(45)

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam penegakan supremasi hukum,perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa wewenang jaksa adalah bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai eksekutor. Sementara tugas penyidikan ditangan Polri, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan “ Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Dan diatur lebih lanjut pada pasal 6 KUHAP adapun yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya ( Pasal 1 butir 2 KUHAP ).

Pasal 91 ayat ( 1 ) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa ( Penuntut Umum ) untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan.Jika tidak ada kewenangan untuk melakukan penyidikan maka berita acara pemeriksaan itu, diambil alih dan dapat ditaksirkan tidak sah.

Sesuai ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP yang menyatakan :

(46)

pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Dengan berlakunya KUHAP, dimana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pejabat penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP jo. Pasal 17 peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu ( Tindak Pidana Khusus ).

3. Pengadilan, dengan kewajiban untuk : a. Menegakkan hukum dan keadilan;

b. Melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan; c. Melakukan pemeriksaan kasus secara efisien dan efektif;

d. Memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum;

e. Menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan

4. Lembaga Pemasyarakatan, dengan tugas untuk :

a. Menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; b. Memastikan terlindunginya hak-hak narapidana;

c. Menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana; d. Melakukan upaya-upaya memperbaiki narapidana;

(47)

Berkaitan dengan proses pemeriksaan atas perkara Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, berdasarkan KUHAP sebenarnya tidak terdapat perbedaan dengan proses pemeriksaan atas perkara pidana lainnya ( diluar korupsi ) yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, adalah : 24

1. Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili, dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah ganjil dengan minimal 3 orang.

2. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan ditempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui. Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa dia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah atau tidak.

3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir disidang tampa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakin ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir dalam persidangan,

24

(48)

maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.

4. Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan kebertan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, maka hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

5. Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 ( empat belas ) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersrbut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut.

(49)

dilakukan oleh Pengadilan Negeri apabila akan melakukan pemeriksaan atas suatu tindak pidana korupsi, yaitu : 25

a. Terdapat perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, yang mana dalam Undang-Undang tersebut dirumuskan bahwa mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, telekgram, teleks dan faksimile.

b. Terdapat ketentuan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

c. Terdapat ketentuan pidana baru tentang grafitifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut.

d. Terdapat pula ketentuan bahwa tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil.

Yang mana semua hal tersebut jelas berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mempunyai sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif( Negatif wettelijk )26

25

Darwan Prinst, Ibid, Hal. 70

26

Ibid, Hal 24

(50)

disimpulkan dari pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain itu alat bukti yang sah yang disebutkan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdiri dari :

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;dan

5. Keterangan Terdakwa.

C. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana

Korupsi.

Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 menyatakan bahwa :

“ Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan Pengadilan Khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum”27

Dimana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini berkedudukan disetiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri

27

(51)

yang bersangkutan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Maka berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa pemeriksaan disidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 ( lima ) orang hakim, terdiri dari hakim Karier dan hakin ad hoc.

Inisiatif pemberantasan korupsi menggunakan komisi independen di Indonesia bukanlah hal yang baru, sejak awal pemerintahan presiden Soeharto sudah membentuk beberapa komisi anti korupsi, diantaranya pada Tahun 1967, soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada dibawah Kejaksaan Agung dan Pada Tahun 1970 pemerintah juga membentuk Komisi Empat dimana komisi ini bertugas untuk menemukan penyimpangan di Pertamina, bulog, dan penebangan hutan.28

Sejarah pembentukan lembaga negara yang bertugas untuk memberantantas korupsi ternyata dalam pelaksanaanya menuai kegagalan. Hingga akhirnya pada akhir Tahun 2002 tepatnya pada tanggal 27 Desember 2002 dibentuklah Komisi

28

(52)

Pemberantasan Korupsi untuk mengatasi kemacetan dan penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).29

1. hukum acara pidana yang termuat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ); dan

Berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga dengan demikian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi yang diajukan penuntut umum kepada kejaksaan ( baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Agung.

Berdasarkan Pasal 56, Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, hukum acara yang dijadikan Dasar pemeriksaan dalam Persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah didasarkan pada ketentuan :

2. hukum acara pidana yang juga terdapat dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang

29

(53)

No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaiman yang ditentukan dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

Tenggang waktu Pemeriksaan terdakwa dipengadilan Tindak Pidana Korupsi dibatasi, yaitu :

a. untuk tingkat pertama, dibatasi paling lama 120 ( seratus dua puluh ) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum dari komisi pemberantasan korupsi ke pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

b. untuk tingkat banding, dibatasi paling lama 60 ( enam puluh ) hari kerja terhitung sejak terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding dengan akte banding; dan

c. untuk tingkat kasasi, dibatasi paling lama 120 ( seratus dua puluh ) hari kerja terhitung sejak terdakwa atau penuntut umum menyatakan kasasi dengan akte kasasi.30

Maka dengan berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dinyatakan tidak berlaku lagi.

D. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Mengadili

Tindak Pidana Korupsi.

30

(54)

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi merupakan sati-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam Pasal 6 juga di jelaskan bahwa selain hal-hal yang diatur dalam Pasal 5 diatas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili, memutus perkara :

a. Tindak pidana korusi

b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Selain Pengadilan Tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang sering disebut dengan KPK juga sangat berperan dalam membantu tugas dan peranan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan oranglain yang ada kaitannya dengan tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan

(55)

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :

1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

2. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

3. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

5. proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggungjawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan : 31

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

31

(56)

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara ( Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).

Berdasarkan tugas-tugas yang dimiliki oleh KPK seperti tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa KPK bukanlah suatu lembaga yang hanya bertugas untuk melakukan penyelidiikan, penyidikan maupun penuntutan tindak pidana korupsi di Indonesia saja, melainkan Komisi Pemberantasan Korupsi juga bertugas melakukan koordinasi, suvervisi, melakukan tindakan pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf ( a ), maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat :32

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada

instansi yang terkait.

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

32

(57)

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi ( Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 )

f. Wewenang lain bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002

2. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan didaerah provinsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas :

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korusi.

b. Tim penasehat yang terdiri atas empat anggota;

c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas ( Pasal 21 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

Referensi

Dokumen terkait

maka siswa akan termotivasi untuk belajar dengan baik. Namun kenyataan menunjukkan, seringkali sifat kepribadian guru dalam proses pembelajaran kurang membangun motivasi

yang tidak diperbolehkan ketika di kamar mandi adalah ..... allah menyukai anak-anak

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Dalam kurikulum Sekolah Dasar tahun 2004 dikemukakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan suatu mata pelajaran yang mengkaji serangkaian peristiwa, fakta, konsep, dan

Hasil penjajaran urutan asam amino penyusun sitrat sintase antar spesies Pseudomonas menunjukkan adanya kemiripan yang tinggi satu dengan lainnya.. Namun, urutan asam

Ilmu Komunikasi, seperti membuat script yang pada dasarnya telah diajarkan dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik.Selian itu, dalam membuat script juga harus