• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Pertahanan

8 Ibid, hal. 34

3. Mekanisme Pertahanan

Seperti yang telah digambarkan pada bab sebelumnya bahwa nafs yang merupakan sebentuk hasrat-hasrat yang kuat yang bila mendapat stimuli-stimuli baik dari dalam maupun dari luar diri manusia akan semakin kuat bahkan tak terkendalikan dalam memberikan komando bagi manusia untuk suatu perilaku tertentu. Karena itu, agar manusia tidak terjebak kepada kezaliman-kezaliman, manusia harus “melindungi dirinya” dengan membangun suatu mekanisme pertahanan yang dilakukan secara terus menerus.

Bersama dengan beberapa istilah kunci lainnya yang akan dijelaskan kemudian, “takwa” (dari kata Arab: taqwa)—sebuah istilah ekslusif—merupakan salah satu istilah kunci yang paling penting dalam struktur mekanisme pertahanan manusia.

ْمُه اَذِإَف اوُرَّكَذَت ِناَطْيَّشلا َنِم ٌفِئاَط ْمُهَّسَم اَذِإ اْوَقَّ تا َنيِذَّلا َّنِإ

َنوُرِصْبُم

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya (QS. al-A’raf/7: 201)

َأ ُعيِضُي َلَ ََّللَّا َّنِإَف ِْبِْصَيَو ِقَّتَ ي ْنَم

َيِنِسْحُمْلا َرْج

… Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". (QS. Yusuf/12: 90)

Ayat di atas menunjukkan betapa takwa melindungi seseorang dari godaan-godaan syahwat. Mereka segera dapat berada dalam “kesadaran religius” yang menyadarkan mereka akan kekeliruan yang akan menyebabkan menderita. Dengan demikian, ketaksadaran religius yang menimpa seorang manusia yang bertakwa berada dalam waktu yang relatif singkat. Itu sebabnya kreativitas yang muncul dari orang yang bertakwa yang bertanggungjawab dan dalam kerangka kewajiban, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat sosial adalah seperti beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. (QS. Al-Baqarah/2: 77).

Takwa biasanya dipahami dengan pengertian “takut kepada Allah” atau “kesalehan”. Tetapi pemahaman yang komprehensif terhadap makna takwa memberikan kesimpulan bahwa takwa adalah “berjaga-jaga atau melindungi diri dari perbuatan sendiri yang buruk dan jahat yang akan menghadapi siksa Allah, dengan cara menempatkan diri dalam perlindungan berupa iman dan kepatuhan yang sungguh sungguh”. Pengertian ini didasari atas akar kata takwa, wiqayah yang berarti berjaga-jaga atau melindungi diri yang juga dipakai oleh al-Qur’an dalam

beberapa ayatnya (QS. Al-Mukmin/40: 45; al-Insan/76: 11).22 Dari sini, maka struktur kata takwa dibangun dari dua unsur, yakni khawf23 sebagai ketakutan eskatologis dari ‘iqab (siksa Allah) dan ibadah sebagai perisai dari siksa Allah.24

Jadi takwa merupakan sebuah kondisi mental yang integral. Ini semacam stabilitas yang selalu menjaga tensi-tensi moral manusia sehingga membuatnya selalu berada dalam “batas-batas yang ditetapkan Tuhan”; tidak melanggar “batas-batas-Nya. Dalam kondisi integritas moral yang selalu terjaga, daya tarik kezaliman yang paling kuat sekali pun tak berarti apa-apa baginya; tak dapat mempengaruhi dan mengelabuinya. Terhadap pribadi yang seperti inilah Allah mengatakan kepada syaithan

22Berangkat dari penelitiannya tentang syair-syair Arab Jahiliah, Toshihiko Izutsu menyimpulkan kata takwa juga bermakna melindungi diri dari sesuatu yang membahayakan. Tetapi, berbeda dengan al-Qur’an—meskipun makna dasarnya sama—kata takwa hampir selalu muncul dalam konteks religius. Sebaliknya pada zaman jahiliah kata kerja tersebut hampir seluruhnya digunakan dalam pengertian fisik atau material. Paling-paling kata tersebut digunakan dalam pengertian moral, yakni suatu tingkatan yang lebih bersifat spritual. Toshihiko Izutsu, Relasi

Tuhan dan Manusia, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 263-265. 23Dalam al-Qur’an, kata khawf seringkali dikaitkan dengan kata takwa, seakan akan kata ini merupakan bagian dari struktur kata takwa

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa

(muttaqin). (Yaitu) orang-orang yang takut (yakhsyawna dari kata

khasyia) akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat (QS. Al-Anbiya’/22:

48-49).

24Banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan bahwa orang yang bertakwa adalah orang berbuat kebajikan dengan mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta kepada orang lain, memaafkan kesalahan orang lain. Lihat misalnya QS. Al-Baqarah/2: 3-4 dan Ali Imran, 134-135).

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya” (QS. al-Nahl/16: 99); “Sesungguhnya engkau tidak kuasa terhadap mereka, kecuali terhadap mereka-mereka yang sesat” (Q.S. al-Hijir/15: 42 lihat juga al-Isra’/17: 65). Tetapi sebaliknya tetap beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta mereka (QS. Al-Baqarah/2: 3-4); menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (QS. Ali Imran/3: 134-135)

Jadi takwa merupakan kunci pertahanan manusia dalam menjaga sifat mulia manusia—sifat sesungguhnya dari manusia. Ini disebabkan karena orang yang bertakwa memiliki “cahaya yang dapat menerangi jalan” sehingga tidak tergelincir pada perbuatan yang sia-sia dan buruk.

ََّللَّا اوُقَّ تا اوُنَماَء َنيِذَّلا اَهُّ يَأَيَ

ْنِم ِْيَلْفِك ْمُكِتْؤُ ي ِهِلوُسَرِب اوُنِماَءَو

ٌميِحَر ٌروُفَغ َُّللَّاَو ْمُكَل ْرِفْغَ يَو ِهِب َنوُشَْتَ ااروُن ْمُكَل ْلَعَْيََو ِهِتَْحَْر

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. Al-Hadid/ : 28)

Frase “cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan” inilah yang mungkin disebut Fazlur Rahman dengan “api sprituail yang harus dinyalakan di dalam diri manusia sendiri agar ia dapat membedakan kebenaran dan kepalsuan, hal-hal yang ril dari hal-hal yang khayal, hal-hal

yang abadi dari hal-hal yang bersifat sementara”. Begitu seorang manusia menyalakan api spritual itu—dan takwa sudah tentu dapat mengalami penyempurnaan—maka ia dapat mengenal jejak syaitan dan tidak tergoda untuk mengikuti jejaknya.25 Tekanan psikologis yang dihadapi seorang yang bertakwa tidak mudah membawanya bertindak nekat atau mencampakkan dirinya dalam perbuatan-perbuatan zalim. Bahkan lebih jauh takwa tidak hanya sebagai benteng pertahanan tetapi juga akan merubah ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya sebagai mesin yang bermanfaat, sebagai pelawan bagi perangkat yang berbahaya, pengumbar nafsu.

Akan tetapi, jelas sekali bahwa takwa mesti diusahakan. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan menyerap semua unsur-unsur positif dari pelajaran dan latihan-latihan yang diberikan Tuhan.

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2: 179)

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 63)

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 183)

Sabar, adalah istilah kunci lainnya yang paling penting dalam al-Qur’an. Beberapa ayat di bawah ini

25Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1983, hal. 187-188.

menunjukkan sabar sebagai bagian dari konstruksi konstelasi pertahanan manusia.

َنوُمَلْعَ ي َفْوَسَو اَهْ يَلَع َنَْرَ بَص ْنَأ َلَْوَل اَنِتَِلَاَء ْنَع اَنُّلِضُيَل َداَك ْنِإ

الًيِبَس ُّلَضَأ ْنَم َباَذَعْلا َنْوَرَ ي َيِح

Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah) nya" Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya. (QS. Furqan/25: 42)

Ayat di atas menunjukkan betapa sabar menjadi kunci pertahanan paling penting, sehingga ketiadaannya akan menyebabkan orang kepada kesesatan. Tetapi, jelas sekali pula bahwa sabar yang ditunjukkan di sini adalah sabar dalam maknanya yang aktif. Frase “shabarna ‘alaiha” dalam ayat di atas yang ditafsirkan oleh para mufasir sebagai kesabaran mereka untuk terus menerus berada dalam kepatuhan (‘ala ‘ibadatiha), menunjukan sikap keteguhan (istiqamah) serta daya rujuk yang kuat terhadap nilai-nilai positif.

Sabar dalam maknanya yang aktif seperti inilah yang menjadi kekuatan yang dahsyat dan daya tangkal yang hebat terhadap perbuatan zalim. Kekuatan sabar ini terletak pada keteguhan sikap dalam kondisi dan situasi apapun. Itu sebabnya al-Qur’an ketika perang Badar Allah mengingatkan Rasul tentang sabar ini: bahwa kekuatan angkatan perang tidak sepenuhnya ditentukan oleh jumlah prajurit, tetapi juga ditentukan oleh tingkat kesabaran.

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka

dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (QS. al-Anfal/7: 65).

Dengan demikian, sabar bukanlah sikap pasif, atau kelemahan diri, atau keputusasaan. Tetapi adalah sikap aktif secara terus menerus merujuk kepada nilai-nilai positif. Ayat di bawah ini akan menunjukkan secara lebih jelas.

اَِّمِ اوُقَفْ نَأَو َة َلًَّصلا اوُماَقَأَو ْمِِِبَّر ِهْجَو َءاَغِتْبا اوُرَ بَص َنيِذَّلاَو

َعَو اًّرِس ْمُهاَنْ قَزَر

َبَْقُع ْمَُلَ َكِئَلوُأ َةَئِِيَّسلا ِةَنَسَْلِِبِ َنوُءَرْدَيَو اةَيِن َلً

ِراَّدلا

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (Q.S. al-Ra’d/ : 22)

Sikap aktif merujuk nilai-nilai positif secara terus menerus ini tidak saja dalam keadaan suka tetapi juga dalam keadaan ditimpa musibah; ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kematian keluarga dan tingginya harga komoditas (QS. al-Baqarah/2: 155). Karena itu, sikap atau penyelesaian terhadap musibah dilakukan dengan cara yang baik sambil menyerahkan diri (tawakkal) kepada Allah— tidak dengan melemparkan diri dalam perbuatan-perbuatan zalim. Ini terlihat dari ungkapan al-Qur’an tentang pikiran mereka ketika ditimpa musibah: “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah) (QS. al-Baqarah/2: 156).