• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Hidup Bertujuan dan Bermakna Positif Makna dan tujuan hidup telah menjadi bagian yang

penting dan menyibukkan para pemikir sejak masa lalu. Ini disebabkan tujuan dan makna hidup melandasi aktivitas, perilaku, dan cita-cita manusia. Tetapi, sebetulnya yang paling penting di sini bukan hanya sekedar tujuan dan makna hidup, tetapi adalah bagaimana memilih tujuan dan makna yang benar dan baik.

Dalam pandangan al-Qur’an, tujuan dan makna hidup dilandasi oleh iman. Artinya bahwa iman merupakan sebuah fondasi dalam membangun suatu pandangan terhadap kehidupan; tentang makna, tujuan hidup serta dunia yang dinikmati manusia. Akal pikiran semata tidak sepenuhnya mampu memahami makna dan tujuan hidup

manusia di bumi ini. Karena itu, iman menjadi sangat penting. Al-Qur’an menggambarkan keadaan ini:

َّلَِإ اَنُكِلْهُ ي اَمَو اَيَْنََو ُتوَُنَ اَيْ نُّدلا اَنُ تاَيَح َّلَِإ َيِه اَم اوُلاَقَو

َّلَِإ ْمُه ْنِإ ٍمْلِع ْنِم َكِلَذِب ْمَُلَ اَمَو ُرْهَّدلا

َنوُّنُظَي

Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al-Jatsiyah/45: 24)

Ayat ini menggambarkan suasana yang mendasari Welstanchauung (pandangan dunia) orang-orang Arab pra Islam yang dikatakan oleh Toshihiko Izutsu sebagai suasana pesimistik dan gelap yang mendorong mereka, terutama yang memiliki pikiran yang lebih reflektif ke kehidupan yang terkenal kacau dan jahat.3 Kehidupan yang dijalani manusia di dunia adalah proses yang natural dari waktu; manusia hidup, mati, kemudian selesai.4 Tentu saja--seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas--pandangan ini bersumber dari zhann, bukan dari ‘ilm. Al-Qur’an seringkali membedakan antara zhann dengan ‘ilm ini. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa landasan atau sumber zhann adalah hawa—dalam istilah al-Qur’an ittiba’ al-ahwa--yakni kecenderungan naluriah yang bersifat impulsif dan jahat pada jiwa manusia yang pada hakikatnya membabi buta. Sedangkan ‘ilm adalah pengetahuan yang bersal dari sumber yang mutlak dapat dipercaya, yang tidak lain adalah wahyu

3Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan

Semantik Terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 60 4Pandangan ini disebut-sebut pandangan dari kaum Dahriyyun, yang arti harfiahnya “Kaum (Pemuja) Zaman”, sebab memutlakkan zaman atau masa.

Ilahi. Dari sini maka ‘ilm jelas sekali mengandung makna iman, yakni iman yang ditimbulkan oleh rasa kepastian yang bersumber dari wahyu Ilahi. Karena itu ketika al-Qur’an mengatakan bahwa persepsi mereka tanpa dilandasi ‘ilm, maknanya adalah persepsi mereka tanpa dilandasi iman yang ditimbulkan oleh rasa kepastian yang bersumber dari wahyu Ilahi.

Pandangan seperti ini, baik yang optimis5 maupun yang pesimis6 jelas bersifat terrestrial, duniawi, karena lepas dari pertimbangan “rasa makna kosmis yang meliputi seluruh jagad raya” (meminjam istilah Nurcholish). Al-Qur’an menjelaskan bahwa keimanan akan memberikan makna dan tujuan hidup:

َناَك ْنَمَف ٌدِحاَو ٌهَلِإ ْمُكَُلَِإ اََّنََأ ََّلَِإ ىَحوُي ْمُكُلْ ثِم ٌرَشَب َنََأ اََّنَِإ ْلُق

5Terlepas dari pandangan apakah kehidupan berakhir ketika manusia mati atau berlanjut, pandangan yang optimis adalah pandangan bahwa hidup bertujuan dan bermakna. Hidup jelas sekali bukanlah penderitaan, dan karenanya kehidupan lebih baik dari kematian. Inilah pandangan umum yang ditemui.

6Dalam dunia modern, walaupun oleh sebagian kecil orang, kehidupan masih dipersepsi oleh sebagian pemikir dengan ketiadaan tujuan dan makna, seperti Tolstoy melihat hidup sebagai “tipuan dungu” (stupid fraud) atau Darrow dengan pernyataannya bahwa hidup adalah “guyon yang mengerikan” (awful joke). Bahkan menurut Nurcholish Madjid, kesimpulan-kesimpulan ini ditarik dari pengalaman keseluruhan manusia. Schopenhaur misalnya, mengawali pandangan tertentu dari kematian. Setiap kematian adalah peristiwa tragis dan amat menyedihkan. Semua orang takut mati. Ini berarti bahwa hidup bagi semua orang adalah lebih baik dari pada mati. Tapi justru kematian itu salah satu dari sedikit kejadian yang mutlak dan tak terelakkan oleh siapa pun. Ini berarti bahwa hidup hanyalah proses pasti menuju tragedi. Jadi hidup adalah kesengsaraan. Bila hidup adalah kesengsaraan, maka jelas kebahagiaan dapat dikatakan tak ada, hanya angan-angan. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000, hal. 20.

َص الًَمَع ْلَمْعَ يْلَ ف ِهِِبَر َءاَقِل اوُجْرَ ي

اادَحَأ ِهِِبَر ِةَداَبِعِب ْكِرْشُي َلََو ااِلِا

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya". Di sini al-Qur’an menggambarkan bahwa tujuan hidup manusia ialah “bertemu” (liqa’) dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam ridha-Nya. Sedangkan makna hidup kesungguhan (mujahadah) mencapai tujuan hidup melalui iman kepada Allah dan beramal kebajikan. Dengan demikian jelas bahwa tujuan dan makna hidup—seperti yang diungkapkan Nurholish—berdimensi kosmis, berdasarkan pandangan dan kesadaran rancangan bahwa hidup ini terjadi sebagian dari rancangan atau design kosmis yang serba meliputi.7

Jika Allah yang menjadi tujuan hidup manusia, maka sesungguhnya manusia telah memebebaskan dirinya dari belenggu yang menjadi sumber penolakan atas kebenaran, dan kebaikan, kesombongan, tiranik, yang dikenal dengan sebutan “hawa nafsu” (dari bahasa Arab, hawa al-nafsu, yang secara harfiah berarti “keinginan diri sendiri”). Al-Qur’an seringkali memperingatkan manusia untuk melepaskan diri dan tidak mengikuti hawa nafsu. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka

mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. Jatsiyah/45: 23; lihat juga Nisa’/4: 135; Shad/38: 35; al-Nazi’at/79: 40).

Di sisi lain, Allah sebagai tujuan hidup akan menumbuhkan energi untuk selalu mencari dan mengejar ridha Allah. Karena itu segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia yang sadar akan Tuhan sebagai tujuan hidup, termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari selalu sebagai aktivitas atau tindakan yang bermoral dan baik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Inilah maksud dari firman Allah bahwa manusia dan jin diciptakan adalah untuk mengabdi kepada-Nya (QS. al-Dzariyyat/51: 56). Dengan kata lain, meminjam pernyataan terkenal di kalangan kaum sufi, “Berakhlaklah dengan akhlak Tuhan” dan “Bersifatlah dengan sifat Tuhan”. Artinya bahwa manusia harus memiliki sebagian kualitas-kualitas Ilahi yang terkandung dalam al-asma al-husna (nama-nama indah)-Nya. seperti Maha Pengasih-Penyayang, Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Baik.

Menarik untuk dikutip pernyataan Nurcholish Madjid tentang hidup bertujuan bermakna positif:

Menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidup, dalam gambaran grafisnya lagi seperti diberikan ajaran agama berarti menempuh hidup mengikuti “jalan lurus” (al-shirath al-mustaqim) yang membentang antara dirinya sebagai das sein dan Tuhan sebagai das sollen. Dalam realita kesehariannya, berarti manusia harus selalu berjuang untuk hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani (nurani, bersifat cahaya, jadi suci dan baik, dan hanya menghendaki kesucian dan kebaikan).8