• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

Mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA dapat diterangkan dengan 3 pendekatan, yaitu pendekatan organobiologik, psikodinamik dan psikososial. Ketiga pendekatan ini tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

a) Organobiologik

Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat/otak) mekanisme terjadinya adiksi (ketagihan) hingga depedensi (ketergantungan) NAPZA dikenal dengan 2 istilah, yaitu gangguan mental organic akibat NAPZA atau sindrom otakorganik akibat NAPZA: yaitu kegaduh gelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran), afektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku), yang disebabkan oleh efek langsung NAPZA terhadap susunan saraf pusat (otak). Apabila NAPZA dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup, dan melalui suntikan, maka NAPZA melalui peredaran darah sampai susunan saraf pusat (otak) yang menganggu sistem neuro-transmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada sistem neuro-transmitter itu terjadilah gangguan mental dan perilaku akibat NAPZA.

b) Psikodinamik

Hasil penelitian yang dilakukan Hawari D (1990) menyatakan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan NAPZA dan dapat sampai pada ketergantungan NAPZA, apabila pada seseorang itu sudah ada faktor predisposisi, yaitu faktor yang membuat seseorang cenderung menyalahgunakan NAPZA. Adanya faktor predisposisi ini saja belum cukup sehingga diperlukan faktor lain yang berperan serta pada penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA, yaitu faktor kontribusi. Bila faktor predisposisi

dan faktor kontribusi ini sudah ada, diperlukan satu faktor lagi yang mendorong terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA, yaitu faktor pencetus.

Dalam penelitian tersebut yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah gangguan kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (antisosial), kecemasan dan depresi. Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga, kesibukan orangtua dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan, yang termasuk faktor pencetus adalah pengaruh teman kelompok sebaya dan NAPZA-nya itu sendiri. Proses terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA adalah hasil dari interaksi antara faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus yang dapat diterangkan sebagai berikut:

1. Faktor Predisposisi

Seseorang dengan gangguan kepribadian (antisosial) mengalami gangguan kepribadian itu yang ditandai dengan perasaan tidak puas dengan dampak perilakunya terhadap orang lain. Selain itu, yang bersangkutan tidak mampu untuk berfungsi secara wajar dan efektif di rumah, sekolah, atau di tempat kerja dan dalam pergaulan sosialnya. Keluhan lain sebagai gambaran penyerta adalah gangguan kejiwaan berupa kecemasan dan atau depresi. Untuk mengatasi ketidakmampuan berfungsi secara wajar dan untuk menghilangkan kecemasan dan atau depresinya itu, maka orang cenderung menyalahgunakan NAPZA. Upaya ini dimaksudkan untuk mencoba mengobati dirinya sendiri (self medication) atau sebagai reaksi pelarian (escape reaction).

Penelitian yang dilakukan oleh Hawari D (1990) menyebutkan bahwa seseorang dengan gangguan kepribadian (antisosial) mempunyai resiko relatif

(estimated relative risk) 19,9 untuk terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA. Seseorang dengan gangguan kejiwaan kecemasan mempunyai risiko relatif 13,8 untuk terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA. Seseorang dengan gangguan kejiwaaan depresi mempunyai risiko relatif 18,8 untuk terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA.

2. Faktor Kontribusi

Seseorang yang berada dalam kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga) akan merasa tertekan dan ketertekanannya itu dapat merupakan faktor penyerta bagi dirinya terlibat dalam penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA. Kondisi keluarga yang tidak baik atau disfungsi keluarga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(a) Keluarga tidak utuh, misalnya salah satu dari orang tua meninggal, kedua orang tua bercerai atau berpisah.

(b) Kesibukan orang tua, misalnya kedua orang tua sibuk dengan pekerjaan atau aktifitas lain, sehingga waktu untuk anak kurang. Keberadaan orang tua di rumah juga mempunyai pengaruh, misalnya orang tua jarang di rumah menyebabkan komunikasi dan waktu bersama dan perhatian untuk anak juga kurang bahkan tidak ada sama sekali.

(c) Hubungan interpersonal yang tidak baik, yaitu hubungan antara anak dengan orangtuanya, anak dengan sesama saudaranya, dan hubungan

antara ayah dan ibu yang ditandai dengan bertengkar, dingin masing- masing acuh tak acuh dan lain sebagainya, sehingga suasana rumah menjadi tegang dan kurang kehangatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hawari D (1990) menyatakan bahwa seseorang yang ada dalam lingkungan keluarga yang tidak baik seperti yang dijabarkan di atas mempunyai risiko relatif 7,9 untuk terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA

3. Faktor Pencetus

Penelitian yang dilakukan oleh Hawari D (1990) menyebutkan bahwa pengaruh teman kelompok sebaya mempunyai andil 81,3% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Sedangkan tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh (easy availability) mempunyai andil 88% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

Interaksi antara ketiga faktor di atas yaitu faktor predisposisi, dengan kontribusi dan dengan pencetus mengakibatkan seseorang mempunyai resiko jauh lebih besar terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dibandingkan dengan satu atau dua faktor saja.

c) Psikososial

Penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA adalah salah satu bentuk perilaku penyimpang dari sudut padang psikososial perilaku menyimpang ini terjadi akibat negatif dari interaksi tiga kutub sosial yang tidak kondusif (tidak mendukung ke arah positif); yaitu kutub keluarga, kutub sekolah atau kampus, dan kutub masyarakat.

Secara skematis terjadinya perilaku menyimpang yang berakibat pada penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA sebagai berikut

Remaja Masyar akat Sekolah Keluarga Perilaku menyimpang (Penyalahgunaan NAPZA)

Gambar 2.1. Skema Perilaku Menyimpang (Penyalahgunaan NAPZA) Anak atau remaja dalam kehidupan sehari-hari hidup dalam tiga kutub yaitu keluarga (rumah tangga), kutub sekolah atau kampus, dan kutub lingkungan sosial atau masyarakat. Bila kutub keluarga atau sekolah/kampus dan kutub masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutub tersebut saling mempengaruhi kehidupan anak/remaja, maka sebagai hasil interaksi ketiga kutub tersebut (resultante) risiko perilaku menyimpang menjadi lebih besar yang pada gilirannya berakibat pada penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

a. Kutub keluarga

Suasana kehidupan rumah tangga yang tidak kondusif bagi perkembangan jiwa anak adalah:

1. Hubungan buruk/dingin antara ayah dan ibu.

2. Terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga.

3. Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orangtua atau oleh kakek/nenek.

4. Sikap orangtua yang dingin atau acuh tak acuh terhadap anak. 5. Sikap orangtua yang kasar dan keras (otoriter) terhadap anak.

6. Campur tangan atau perhatian yang berlebih orangtua terhadap anak (intervensi, proteksi dan kemanjaan yang berlebihan).

7. Orangtua jarang di rumah, terdapatnya istri lain atau perselingkuhan. 8. Sikap atau kontrol yang tidak cukup dan tidak konsisten (berubah-ubah).

9. Kurang stimulasi kognitif dan atau sosial yang berakibat pada kurang berkembangnya kematangan mental/kepribadian.

10.Dan lain-lain, misalnya menjadi anak angkat, kehilangan orangtua dan sebagainya.

b. Kutub sekolah

Keadaan sekolah yang tidak kondusif dapat menganggu proses belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan “peluang” pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Keadaan sekolah yang tidak kondusif tersebut antara lain: 1. Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai.

3. Kesejahteraan guru yang tidak memadai.

4. Kurikulum sekolah yang sering berganti-ganti, jumlah mata pelajaran yang berlebihan.

5. Pendidikan agama dan budi pekerti kurang memadai.

6. Lokasi sekolah di daerah yang tidak sesuai dengan suasana belajar mengajar, misalnya di daerah rawan, di pusat perbelanjaan, hiburan dan sejenisnya.

Dari pengamatan ternyata anak-anak yang kondisi sekolahnya tidak baik tersebut dan terutama muatan pendidikan agama dan budi pekerti yang amat minimal, jumlah anak didik (murid) yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA jauh lebih banyak dibandingkan dengan keadaan sekolah yang kondusif dimana muatan pendidikan agama dan budi pekertinya seimbang dengan mata pelajaran lain. Atau dengan kata lain muatan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) seimbang dengan muatan IMTAQ (iman dan taqwa).

c. Kutub Masyarakat

Kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau “rawan”, dapat menjadi faktor terganggunya perkembangan jiwa/kepribadian anak kearah perilaku yang menyimpang yang pada gilirannya terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Lingkungan sosial yang rawan tersebut antara lain :

1. Semakin banyaknya pengangguran, anak putus sekolah, dan anak jalanan. 2. Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan sampai dini hari

3. Banyaknya penerbitan, tontonan, TV dan sejenisnya yang bersifat pornografis dan kekerasan.

4. Kesenjangan sosial

5. Sering terjadi tawuran antar warga maupun antar sekolah 6. Kebut-kebutan, coret-coret, pengrusakan tempat-tempat umum

7. Tempat-tempat transaksi NAPZA baik secara terang-terangan maupun

sembunyi-sembunyi.

Bila anak berada di lingkungan sosial seperti yang di kategorikan di atas amat berisiko untuk berperilaku menyimpang serta terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA (Hawari D, 2006).

Dokumen terkait