• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data

4.2 MEKANISME PERTAHANAN KONFLIK

4.2.3 Melawan Diri Sendiri

Mekanisme pertahanan dalam bentuk melawan diri sendiri adalah suatu bentuk penggantian paling khusus, dimana seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai target pengganti. Apa yang sering terjadi disini adalah dijadikannya diri sendiri sebagai target pengganti untuk melampiaskan rasa benci, marah dan keberingasan, ketimbang pelampiasan terhadap dorongan-dorongan positif (Boeree, 2004:48). Lebih lanjut, ego mencoba menyelaraskan antara realitas id dengan superego. Oleh karena, sistem pertahanan ini dapat menganiaya diri sendiri karena takut membahayakan diri jika melakukan proses perlawanan. Dalam novel Saman dapat ditemukan beberapa sistem pertahanan dengan cara melawan diri sendiri untuk mengatasi konflik batin yang dialami Saman sebagai tokoh utama.

Sistem pertahanan yang digunakan ego pada kutipan di bawah ini adalah dengan menyalahkan diri sendiri. Kemarahan dan kesakitan yang Saman rasakan akhirnya menyiksa dirinya dengan menelan ludah sendiri yang tidak sempat membantu kesakitan atas pemerkosaan yang dilakukan orang terhadap Upi. Saman mengalami penyesalan dan menyalahkan diri sendiri, sebab Saman merasa kesal pada dirinya yang tidak sanggup menjaga Upi, tidak bisa menjadi orang yang berada selalu di sisinya, dan tidak bisa menjadi orang yang berpengaruh disaat Upi mengalami bencana. Akhirnya Saman menyiksa dirinya sendiri dengan menggigit bibirnya dan menelan ludah sendiri sebagai rasa malu dan menyalahkan diri sendiri.

“Wis menelan ludah dan menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. “bagaimana keadaannya?” tanyanya sambil bergegas ke tempat perempuan muda itu, meninggalkan ibunya yang belum selesai cerita. Ia merasa lemas sebab tidak tahu harus berbuat apa, sebab barangkali si gadis malah menyukai pemerkosaan itu. Dan ia tak pernah tahu bagaimana menyelesaikan persoalan ini” .Upi baik-baik saja,” sahut Anson yang mengiringi. Wis memang menemukan gadis itu tertawa-tawa saja di dalam kandang, menyapa dengan riang melihat dia kembali. “bagaimana kalau dia hamil?” kata Wis dengan getir pada Anson kemudian (S, 2013:90).

4.2.4 Rasionalisasi

Menurut Hilgard, dalam Minderop (2011:35), rasionalisasi merupakan sistem pertahanan ego yang memiliki tujuan untuk mengurangi kekecewaan ketika gagal mencapai suatu tujuan dengan memberikan motif (alasan) yang dapat diterima atas perilakunya (sesuai kenyataan), dengan cara menyalahkan orang lain atau lingkungannya, rasa suka atau tidak suka, maupun demi kepentingan. Lebih lanjut, untuk mengatasi permasalahannya tersebut, seseorang harus mengganti motif nyata tersebut digantikan oleh motif pengganti dengan tujuan pembenaran. Dalam novel Saman dapat ditemukan beberapa sistem pertahanan dengan cara rasionalisasi untuk mengatasi konflik batin yang dialami Saman sebagai tokoh utama.

Sistem pertahanan ego yang dilakukan Saman untuk mengatasi konflik yang terjadi pada kutipan di bawah adalah dengan cara rasionalisasi. Saman merasa tidak menyukai respon Ibunya yang dipanggil Saman berulang-ulang ketika nyenyak dalam tidur. Saman waktu itu mengalami kejadian yang sangat berat dan sulit diterima bagi dirinya, sehingga rasa takut pun menghampirinya.

Untuk mengatasi rasa ketakutan tersebut, Saman memilih jalan menghampiri ayahnya untuk mengadu rasa kecemasannya. Id menuntut ego Saman untuk meredakan rasa kecemasannya. Namun, superego Saman menekan agar tidak boleh merasa bahwa bapaknya merupakan orang yang paling dihargai daripada ibunya. Jadi, untuk menyesuaikan antara id dengan superego, akhirnya ego melakukan jalan menghampiri bapaknya sebagai orang yang mampu meredakan kecemasannya.

“Setelah berulang-ulang memanggil tanpa dijawab, Wis beranjak ke luar kamar. Ibunya tetap tak terusik, seperti arca batu di sebuah candi yang purba. Wis menuruni tangga kayu yang tanpa penerang, mencari ayah di ruang bawah dengan cemas (S, 2013:54).

Sistem pertahanan ego yang dilakukan Saman pada kutipan di bawah adalah sistem rasionalisasi. Saman tidak tega melihat kejadian yang dialami oleh warga Desa Lubukrantau. Kehidupan dalam bentuk kesusahan dan kemiskinan menjadikan hati Saman menjadi iba. Atas dasar tersebut, id Saman menuntut ego untuk segera melakukan cara bagaimana agar Saman diberi izin untuk tinggal lebih lama di Desa Lubukrantau. Namun, di satu sisi, superego menekan ego untuk tidak melakukan cara yang merugikan pihak Gereja. Sebab Saman adalah seorang pastor yang memiliki kewajiban untuk mengembangkan agama Katolik di Kota Perabumulih. Oleh karena, Saman memilih menyalahkan diri sendiri dengan merasa berdosa apabila hanya berbaring di kasur yang nyaman serta makan rantangan lezat dibandingkan keluarga Mak Argani yang hanya makan sayuran dan nasi aking saja. Oleh karena, untuk menyesuaikan antara id dengan superego, ego Saman memutuskan dengan menceritakan alasan yang sebenarnya, bahwa

hidup ini selain berdoa dan beribadah, tetapi juga membantu dan bekerja antara sesama manusia.

“Saya tahu, kamu punya rencana-rencana untuk memperbaiki keadaan petani di sana. Itu baik. Tetapi melayani dan memelihara iman umat di sini juga bukan panggilan yang remeh. Wis terdiam. Lalu ia meminta maaf.“saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang di masak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia dapat diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon diberi kesempatan melakukan itu (S, 2013:84).

Untuk mengatasi konflik batin yang dialami Saman pada kutipan novel di bawah, maka Saman menggunakan sistem pertahanan rasionalitas. Saman merasa tidak senang atas ucapan Anson yang menjelek-jelekkan orang Cina sebagai orang yang ada dibalik permasalahan konflik warga Lubukrantau dengan pihak perusahaan perkebunan ALM. Tetapi, id Saman menekan ego untuk dapat memenuhi keinginannya yang mengatakan bahwa dibalik semua kejadian ini tidak hanya dilakukan oleh orang Cina saja, melainkan orang pribumi, Jawa, dan Batak. Namun, disatu sisi superego juga menuntut agar Saman tidak mengucapkan kata-kata dan berbuat suatu hal yang dapat merugikan diri Saman. Bahkan kata-kata-kata-kata yang dapat menurunkan semangat dan kekuatan besar mereka untuk melawan perkebunan ALM. Hal itu bukan tanpa bukti, sebab hampir seluruh bahan material yang didapat mereka untuk mendirikan rumah asap diperoleh dari pedagang Cina dengan harga sangat murah. Hingga akhirnya Saman menyalahkan Anson untuk mengklarifikasi ucapannya yang memang tidak seutuhnya benar. Jadi, cara yang

dilakukan untuk menyeimbangkan antara id dengan superego adalah dengan mengatakan yang sesungguhnya walaupun dengan cara yang salah.

“Wis merasa terpaksa menyela. Tolong Anson! ia mengacungkan tangan. “saya cuma mau mengingatkan bahwa material untuk rumah asap ini kita dapat dengan harga murah sekali dari pedagang Cina dari Perabumulih. Sebagian malah gratis. Kedua, saham-saham Anugerah Lahan Makmur tidak cuma dimiliki orang Cina satu itu, tapi juga kongsi dengan orang Jawa dan satu raja kebun Batak. Ketiga, bos-bos perusahaan sawit juga membayar penjaga orang-orang pribumi, orang-orang hitam seperti kita, untuk mendesak kita. Merusak, mencari, memperkosa. Mereka anjing pribumi! Babi hutan lokal! Ia terdiam sebentar menyadari bahwa suaranya juga dikuasai amarah (S, 2013:97).

Selanjutnya, sistem pertahanan yang dilakukan Saman untuk mengatasi konflik batinnya yaitu dengan mengorbankan kebun milik warga Desa Lubukrantau yang semula ia perjuangkan bersama warga Lubukrantau. Dalam hal ini, id Saman menuntut ego agar Saman merasa nyaman walaupun tetap berada di daerah Desa Lubukrantau. Namun, di satu sisi superego juga menekan Saman agar cara yang dilakukannya untuk mengatasi masalah tersebut tidak merugikan pihak manapun. Tetapi, melakukan suatu solusi agar hatinya merasa senang dan tetap merasa nyaman tanpa mengurangi sedikit rasa sakit apapun atas penderitaan yang dialaminya di Lubukrantau. Namun Saman memilih untuk tidak peduli. Sebab, ego Saman mengatakan bahwa belum tentu warga Lubukrantau juga membantunya apabila kelak kasus itu juga menyeret namanya. Jadi, untuk menyeimbangkan antara id dengan superego hingga akhirnya ego memilih cari jalan aman. Jadi, sangat rasionalisasi jika Saman lebih hidup nyaman di Pastoran (gereja) daripada hidup di Lubukrantau bersama warga yang mengalami

“Lihatlah, aku tak akan kekurangan apa-apa sekalipun kebun ini dimusnahkan. Aku bisa kembali ke gereja di mana ibu-ibu paroki merawatku dengan aten untuk mengkhotbahi mereka dan memberi sakramen. Atau membimbing retret dan rekoleksi di sekolah-sekolah Katolik di kota, dimana murid-murid perempuan kerap menggemariku dan mengirimi surat serta puisi ( S, 2013:99).

4.2.5 Proyeksi (menutupi kesalahannya kepada orang lain)

Terkadang sesuatu yang tidak kita inginkan dan tidak kita terima sering melimpahkan masalah itu kepada orang lain. Misalnya, seseorang harus bersifat kritis dan bersikap kasar kepada orang lain. Hal itu dilakukan dengan disadari bahwa sikap ini tidak pantas dilakukan, namun sikap tersebut beralasan bahwa orang tersebut memang pantas menerimanya. Hal ini dilakukan agar seseorang yang mengalami konflik terlihat baik dan mampu melindungi seseorang dari pengakuan terhadap kondisi tersebut. Namun, pada novel Saman tidak dapat ditemukan sistem pertahanan proyeksi yang dilakukan Saman sebagai tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya.

4.2.6 Regresi (sifat primitip)

Ketika kita menghadapi kesulitan dan ketakutan, seringkali kita rasakan bahwa hal tersebut membawa kita pada perilaku kekanak-kanakkan atau primitif. Menurut Boeree (2004:53), regresi adalah salah satu mekanisme pertahanan ego dimana individu akan kembali ke masa-masa di mana dia mengalami tekanan psikologis. Kegelisahan yang teramat sangat akan memberikan tekanan psikologis pada diri, dampaknya adalah kita menjadi berperilaku primitif ataupun

kekanak-kanakan, yang semuanya di luar kendali pikiran kita. Lebih lanjut, Hilgard dalam Minderop (2011:38) mengatakan bahwa ada dua macam regresi. Pertama, perilaku yang mirip anak kecil, seperti menangis dan manja untuk mendapat perhatian dari orang lain. Kedua, seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol, sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi. Dalam novel Saman dapat ditemukan beberapa sistem pertahanan dengan cara regresi untuk mengatasi konflik batin yang dialami Saman sebagai tokoh utama.

Saman mengalami kesulitan mengontrol emosinya dikarenakan situasi yang menyudutkan dirinya, dan menyebabkan Saman mengalami konflik batin yang memicunya berperilaku primitif, yaitu amarah yang tidak terkontrol lagi. Saman kehilangan kendali untuk menguasai emosinya ketika dia diperlakukan tidak adil akan keputusan Pater yang menyuruhnya untuk mengaku ke kantor polisi atau keluar dari pastoran atas kasus yang menimpanya. Hal ini karena Saman merasa bahwa pihak pastoran tidak bertanggungjawab dengan masalah yang dihadapinya dan terkesan tidak tahu. Ego lebih didominasi oleh id karena ego lebih cenderung melepaskan segala amarah dan ketegangan dengan perilaku primitif, yaitu emosi yang tidak bisa dibendung lagi. superego tidak bisa lagi mendominasi id, yang menginginkan bahwa hidup adalah kesabaran, betapa pun beratnya permasalahan kita harus mampu mengatasinya dengan segala kesabaran. Peristiwa bersama Pater semakin menguatkan pernyataan dalam hidup Saman bahwa Pater merupakan sosok yang begitu keras kepala dibandingkan Anson dan

“Pater Westenberg menghela nafas, seperti berat ia menjawab: jika tim yakin kamu memang tidak bersalah, kamu harus memenuhi panggilan polisi. Jika kamu merasa bersalah, saya kira kamu harus mengundurkan diri dari tugas pastoral. Selanjutnya, menjadi tanggungjawabmu sendiri untuk menyerahkan diri atau tidak.”...”Itu tidak adil, Pater. Kedua-duanya adalah hukuman buat saya.“ tapi lehernya mengejang sebelum ia selesai bicara dalam suaranya yang tegang. Kini, sedikit emosi saja membuat tubuhnya mengejut (S, 2013:116).

Dokumen terkait