• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca Novel dan Menerangkan Sifat Tokoh-tokohnya

Dalam dokumen smp9bhsind AsyiknyaBelajar Suci (Halaman 132-137)

Pelajaran 7: Lindungi Hutan Kami

C. Membaca Novel dan Menerangkan Sifat Tokoh-tokohnya

Hari masih teramat pagi saat Omabak beranjak keluar dari itore**, honae khusus kaum laki-laki Amungme. Kabut seolah enggan pergi. Omabak hanya dapat memandang sampai beberapa meter ke depan karena terhalang kabut. Tapi, Omabak bisa memastikan, di sekelilingnya adalah pegunungan yang membiru. Suku Amungme memang tinggal di bagian tengah gugusan Pegunungan Jayawijaya, daerah yang berketinggian sekitar dua ribu meter di atas permukaan laut.

Omabak sedikit menggigil. Tubuhnya belum beradaptasi sepenuhnya dengan udara sekitar. Dulu, ia hanya bertelanjang dada, seperti pemuda Amungme lainnya. Sekarang, ia tak sanggup lagi. Selain tentunya, ia mempunyai perasaan malu yang lebih banyak ketimbang dulu.

Omabak menggerakkan tubuh seperti gerakan senam, sekadar pemanasan. Dirapatkan jaket yang sedikit terbuka bagian depan. Omabak menggosok kedua telapak tangan sekadar menghangatkan diri. Menikmati hijaunya rumput dan pepohonan di dekatnya. Begitu menyejukkan mata. Berbeda dengan Yogya, yang di mana-mana berseliweran kendaraan roda dua dengan asap yang tak hentinya disemprotkan knalpot. Begitu terpolusinya hingga teman kuliahnya banyak yang mengenakan masker. Menutupi mulut dan hidung bia tengah berkendaraan.

Omabak tersenum sendiri mengingat Yogya. Yogyalah yang membuat ia menemukan jalan menuju kebenaran. Omabak menundukkan pandangan ke bawah. Jauh di sana, tampak jalan setapak keluar dari Opitawak. Jalan yang berliku dari lerengn tempatnya berdiri hingga menuju Lembah Waa.

Omabak tidak menyadari bahwa Impamai, ibunya, telah berada di belakang. Hanya berjarak sekitar satu meter.

“kau sudah bangun, Omabak?” impamai, wanita tua itu tak bisa menyembunyikan keheranan melihat Omabak yang sudah terbangun di pagi buta. Biasanya, anak tertuanya itu agak sulit untuk dibangunkan. Itu pun harus disertai amarah Omabak yang kesal karena tidurnya terganggu. Omabak membalikkan tubuh. Tersenyum hangat kepada Impamai. Gurat keriput di wajah ibunya terlihat semakin jelas. Lebih banyak dari delapan tahun yang lalu.

“Iya, Bu....” “Ibu rasa, kau....” “Apa, Bu?”

Impamai mengangkat bahu. Agak ragu. Tapi, demi dilihatnya Omabak yang jauh lebih santun sejak kepulangannya kemarin, Impamai memberanikan diri untuk mengatakannya.

Omabak sudah menduga. Itu yang akan diucapkan Impamai. Ia tak terkejut sedikit pun. Ia memang ingin menerangkan pada Impamai, tapi secara perlahan-lahan. Omabak yakin, ibunya akan mengerti. Impamai berbeda dengan wanita Amungme lainnya. Ia wanita yang pintar. Omabak ingat, saat malas bersekolah di Lembah Waa dulu, semasa kecil, Impamai tak segan memarahinya. Ia masih ingat kata-kata lantang Impamai waktu itu. “Kau harus sekolah! Biar kau tahu dunia lain di luar sana. Dunia di balik pegunungan kita ini!”

Impamai semakin heran menyaksikan Omabak yang bukannya gusar, malah tersenyum simpul.

“Apanya yang aneh, Bu?”

“Yah, kau berubah. Tidak seperti dulu....” “Maksud, Ibu?”

“Kau tidak pemarah lagi. Bahkan, sangat hormat terhadap ibu. Bicaramu juga tak kasar lagi. Kau benar-benar berubah....”

Impamai menurunkan tali noken *** yang bergantung di tengah kepalanya. Noken itu berisi sayur dan umbi-umbian yanghendak dijual ke pasar. Sudah pasti, noken itu terasa berat. Tapi, Impamai, seperti perempuan Amungme lainnya, sudah terbiasa membawanya.

Sedari kecil perempuan Amungme dididik untuk bekerja keras layaknya kaum laki-laki. Karena dalam keyakinan Amungme, sifat hidup dan hasil kerja seorang perempuan menentukan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakt sukunya.

“Tapi, Ibu lebih suka aku yang sekarang, atau yang dulu?” Omabak balik bertanya. Tak urung, Impamai jadi tersenyum sedikit.

“Ah, kau memang sudah pintar bicara sekarang.”

“Ibu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana, Bu?” balasnya.

Impamai menatap lekat-lekat bola mata hitam Omabak. Wajah anaknya itu terlihat jauh lebih bersih daripada dulu. Rambut Omabak tetap hitam dengan keriting kecil-kecil, khas rambut orang Papua. Begitu juga kulitnya, hitam legam.

Tapi, Impamai merasa yakin, wajah Omabak terlihat lebih cerah. Seoralah, sesuatu terpancar dari sana. Berseri-seri, mungkin itu kata yang paling tepat. Apa yang menyebabkannya, Impamai sama sekali tak mengerti. Atau, jangan-jangan itu hanya perasaannya karena sudah lama tak menatap wajah Omabak?

“Bu?” Omabak masih menunggu jawaban Impamai.

Impamai terbatuk beberapa kali. Tubuh wanita tua yang agak besar itu bergoyang-goyang.

“Ibu sakit?” Omabak bertanya dengan nada agak cemas. Sejak kecil, jarang sekali ia mendapati Impamai sakit. Impamai selalu tampak sehat. Betapapun letihnya wanita itu. Impamai mengibaskan tangan. Tanda ia tak apa-apa.

“Kalau Ibu sakit, biar Omabak saja yang ke Pasar Tembagapura.”

Impamai terkejut untuk kedua kalinya. Tak menyangka kalau Omabak akan berkata seperti itu. Biasanya, urusan berjualan di pasar adalah urusan kaum perempuan.

“Kau….kau tidak malu?” Impamai bertanya dengan kalimat terpatah-patah. Omabakmengangguk mantap. Tak ada kata malu dalam kepalanya. Demi ibunya,

wanita yang telah melahirkan danmendidiknya hinga ia bisa seperti ini. Impamai menggeleng.

“Tak usah. Ibu masih bisa. Ibu sudah bilang tadi, Ibu tak apa-apa.” “Tapi, Bu....”

“Ini pekerjaan Ibu dari dulu. Ibu hanya sedikit batuk.” Omabak tak berani memaksakan kemauannya. Ia paham benar dengan Impamai. Wanita yang tak pernah mengeluh, seberapa pun kerasnya ia musti bekerja. Apalagi, sejak Paiderow, ayah Omabak menikah lagi dengan wanita lain. Impamai tetap bvekerja keras, bahkan lebih gigih lagi. Impamai menaikkan tali noken ke atas kepalanya.

“Ibu pergi dulu….”

Impamai melangkah pergi. Tapi, ia sempat menoleh ke arah Omabak. “Ibu senang kau seperti ini.”

Omabak menarik nafas lega. Setidaknya, ia bisa melihat penerimaan Impamai terhadap perubahan dirinya yang jelas-jelas aneh. Omabak berharap, ia bias segera menjelaskan kepada Impamai, apa yang menyebabkan ia berubah seperti ini. Omabak juga sangat berharap, Impamai bias menerima pemikiran dan tentunya yang paling sangat diharapkan Omabak, Impamai juga akan menjadi seperti dirinya. Omabak hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan.

Dikutip dari Amungme, karya Peringga Ancala. )*Honae: rumah asli suku-suku pegunungan Papua, berbentuk silinderdengan satu pintu dan tanpa jendela, hanya ada

satu celah kecil sebagai lubang udara

)**itorei: rumah khusus kaum lelaki Amungme, berjari-jari sekitar 3 meter. )***noken: sejenis kantung/tas anyaman

Bagaimana, menarik bukan kutipan novel yang barusan kamu baca? Bacalah sekali lagi supaya kamu mendapatkan informasi yang jelas. Kali ini utamakan perhatianmu pada tokoh-tokoh cerita yang ada di dalamnya.

Dalam kutipan novel tersebut dapat ditemukan beberapa tokoh yang disebutkan dengan jelas. Tokoh adalah orang atau sesuatu yang mengalami berbagai kejadian atau peristiwa dalam cerita. Setiap tokoh mempunyai karakter atau sifat-sifat tertentu. Bagaimana cara menentukan sifat-sifat tokoh cerita? Sebenarnya tidak terlalu sulit, namun kita memerlukan kejelian dalam menemukan sifat-sifat tokoh tersebut.

Sifat-sifat tokoh diungkapkan dalam kata sifat, seperti baik hati, malas, jahat, pandai, rajin, pelit, teliti, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut dapat diungkapkan langsung oleh penulis (pencerita) atau melalui perkataan tokoh-tokoh lain. Bila kita tidak menemukan sifat tokoh yang dinyatakan melalui perkataan pencerita atau tokoh-tokoh lain, sifat tokoh dapat juga ditentukan dari tindakan-tindakan tokoh tersebut dalam cerita.

1. Bacalah kembali kutipan novel Amungme! tadi dengan lebih teliti! 2. Menurutmu, apakah tema novel tersebut?

3. sebutkanlah tokoh-tokoh pada kutipan novel tersebut serta bagaimanakah sifat-sifat tokoh tersebut?

Ayo membaca novel! Carilah novel Indonesia di perpustakaan sekolah atau di toko buku. Bacalah novel tersebut sampai tuntas, kemudian lakukanlah latihan berikut!

1. Pilihlah satu bagian (satu bab) novel yang kamu baca!

2. Dari bagian novel yang kamu pilih, sebutkanlah tokoh-tokohnya serta sifat (karakter tokoh yang kamu temukan dengan cermat!

3. Kemukakanlah hasil pekerjaanmu di depan kelas

Novel, cerpen atau dongeng yang pernah kamu baca adalah contoh-contoh karangan yang bersifat fiksi. Peristiwa dan tokoh-tokohnya tidak ada dalam dunia nyata. Karya-karya tersebut disebut karangan fiksi.

Selain karangan yang bersifat fiktif (rekaan) tersebut, ada juga yang disebut karya ilmiah. Karangan jenis ini adalah kebalikan dari karya fiksi. Karya ilmiah adalah tulisan atau karangan yang bersifat ilmiah. Artinya karya ilmiah harus didukung oleh data dan

Tujuan:

Setelah pembelajaran ini diharapkan Kalian dapat menulis karya ilmiah sederhana dengan menggunakan berbagai sumber.

Dalam dokumen smp9bhsind AsyiknyaBelajar Suci (Halaman 132-137)

Dokumen terkait