• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Karater Bangsa Melalui Cerpen atau Novel

BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA Prima Gusti Yanti

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA

2) Membangun Karater Bangsa Melalui Cerpen atau Novel

Novel Kemarau karya A.A. Navis juga sangat kaya dengan pesan moral yang dapat membangun dan membentuk karakter. Sebagai orang Minangkabau, tentu kita semua sudah membaca karya sastra agung tersebut. Berikut ini beberapa nilai religiusitas yang ada di dalam novel tersebut yang sesungguhnya dapat mmbentuk dan membangun karakter peserta didik.

a) Mempercayai Takdir Tuhan

Pesan moral yang paling menonjol yang disampaikan Navis adalah percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan. Ketakwaan kepada Sang Pencipta dapat dibuktikan dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Manusia dapat berusaha secara maksimal, tetapi Tuhan lah yang mengatur dan menentukan segalanya. Takdir Tuhan itu tidak dapat ditentang. Apa pun yang digariskan Tuhan, manusia tidak dapat mengubahnya. Hal itu tampak pada kutipan berikut.

Sebagai petani kita telah mengerjakan sawah kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena hujan tidak turun, Tuhanlah yang punya kuasa. Kita sebagi umatnya lebih baik berserah diri dan mempercayai-Nya karena Dialah yang Rahman dan yang Rahim. Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Meskipun hujan diturunkan-Nya hingga sawah-sawah berhasil baik, tapi kalau Tuhan menghendaki sebaliknya, didatngakan-Nya tikus atau pianggang, maka hasilnya pun takkan ada juga. Kalau Tuhan punya kehendak, memang tak seorang pun yang kuasa menghalanginya. Itu adalah takdir-Nya (Navis, 1967: 23).

Kepercayaan pada takdir Tuhan yang disampaikan Navis itu tentu akan dapat membentuk dan membangun karakter tabah dan tawakal bagi peserta didik. Karakter tabah dan tawakal itu akan menempatkan dan menghindari peserta didik dari sifat sombong, angkuh, dan takabur. Dengan

demikian, peserta didik akan dapat menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus mempu menjalin hubungan dengan Sang Pencipta dan manusia. Dalam penerapannya, pesan-pesan ini terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa dapat me-numbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan optimisme.

b) Bertobat kepada Tuhan

Dalam ajaran islam, Tuhan adalah Maha Pengampun. Oleh karena itu, sebesar apa pun dosa yang diperbuat oleh manusia, Tuhan akan mengampuni dosa itu, asalkan manusia tidak mengulang dosa yang telah diperbuatnya itu. Bertobat kepada Tuhan dilukiskan Navis melalui percakapan antara tokoh utama, Sutan Duano, dengan kakak iparnya, Haji Tumbijo. Setelah ditinggal mati oleh istri yang sangat dicintainya, Sutan Duano mengalami goncangan hidup. Dia tidak tahan untuk hidup sendiri. Oleh karena itu, dia menikah lagi. Namun, pernikahan keduanya dan seterusnya tidak membuatnya bahagia. Kondisi tersebut menambah keruwetan dalam hidupnya. Akhirnya dia terjurumus ke tempat pelacuran dan terlibat dalam pembunuhan. Anak tunggalnya, Masri, juga pergi meninggalkannya. Sutan Duano merasa dosanya semakin besar karena telah menyia-nyiakan darah dagingnya sendiri. Meskipun terlambat, Sutan Duano akhirnya menyadari dosa-dosa yang telah diperbuatnya berkat nasihat kakak iparnya, Haji Tumbijo. Dia segera bertobat kepada Tuhan dan pergi ke sebuah desa. Di desa itulah dia mendapatkan kedamaian. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Carilah dia dalam hatimu seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahala-pahala dan kebaikan. Kalau kau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau telah menemui Tuhan, sudah menemui kebenaran. Dan di situlah Masri berada, katanya. Ucapannya itu menyadarkanku. Akupun tobat. Dan akhirnya aku terdampar di kampung ini hingga sekarang. Dan di sini aku telah menemui Tuhan, menemui kebenaran dan kedamaian (Navis, 1967: 102). Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut dapat membangun kesadaran peserta didik bahwa

manusia itu pernah berbuat salah. Ketika hal itu terjadi, Tuhan masih membuka pintu tobat bagi umatnya. Dalam penerapannya, pesan tersebut berkaitan dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, kejujuran, dan optimisme. Selain itu, pesan tersebut juga berhubungan dengan keilmuan (menakar yang baik dan buruk) yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, kepenasaran intelektual (intelelectual

curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah

atau emosi.

c) Berbagi sesama Manusia

Rezki yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak harus dipnikmati sendiri. Manusia wajib membaginya dengan manusia lain. Dalam ajaran islam hal tersebut dapat dilakukan dengan mengeluarkan zakat. Pembaharuan yang dilakukan Sutan Duano mengenai orang yag berhak menerima zakat dapat dilihat pada kutipan berikut.

Dulu zakat diberikan orang kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang, zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga dengan zakat itu dia dapat memodali hidupnya agar lebih baik. Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya, kata yang berkarib (Navis, 1967: 41)

.

Pesan moral yang disampaikan Navis tersebut memperlihatkan bahwa manusia harus membagi rezki yang dititipkan Tuhan kepadanya. Hal itu menujukkan hubungan manusia dengan manusia yang harus terjalin. Dalam penerapannya, pesan moral ini dituangkan dalam konsep pendidikan karakter yang terkait dengan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, yaitu sifat religius, toleransi, kerja keras, bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial.

d) Menyampaikan Kebenaran

Kebenaran itu harus disampaikan meskipun sangat sulit dan penuh tantangan. Pesan moral itu diperlihatkan Navis melalui sikap Sutan Duano yang selalu menyampaikan kebenaran meskipun hal itu sangat menykitkan dan menimbulkan pertengkaran. Hal itu terungakp melalui dialog yang

sengit antara Sutan Duano dengan Iyah, mantan istrinya, sewaktu ia mengetahui bahwa anak mereka, Arni dan Masri, terjebak dalam perkawinan inses, yaitu perkawinan tali darah.

Tak sanggup aku membiarkannya, Iyah. Tak sanggup? Aku tak sanggup menentang kutukan Tuhan, Iyah. Cih, baru sekarang kau pandai mengatakan itu. Kenapa baru sekarang,. Kenapa setelah segala-galanya kau rusak, baru kau katakan kau tak sanggup menentang kutukan Tuhan? Walau apa katamu padaku, kau hina, kau cai, kau kutuki, aku terima. Tapi untuk membiarkan Masri dan Arni hidup sebagai suami istri pada hal Tuhan telah melarangnya, aku tidak akan membiarkannya. Walau kau telah berbuat sesuatu yang benar, telah membesarkannya,. Tapi ada lagi kebenarn yang lebih mutlak, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, Iyah, yakni kebenaran yang dikatakan Tuhan dalam kitab-Nya (Navis, 1967: 169—170).

Pesan moral yang disampaikan Navis pemahaman tentang keilmuan, khususnya perceraian. Sikap hidup Sutan Duano yang menyatakan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang menyakitkan, tetapi lebih menyakitkan lagi hidup di jalan yang dimurkai Tuhan, seperti menikah dengan saudara seayah yang terjadi antara Arni dan Masri. Menurut Sutan Duano, apalah artinya hidup bahagia jika dimurkai Tuhan dan kebenaran dari Tuhan harus disampaikan walaupun sangat menyakitkan. Dalam penerapannya, pesan moral tersebut tentu terkait dengan sifat religius, jujur, bertanggung jawab. Selain itu, pesan tersebut juga dapat menumbuhkan karakter keilmuan (menakar yang baik dan buruk) yang dapat membangun budaya rasa ingin tahu, kepenasaran intelektual (intelelectual curiosity), rasionalitas lebih tinggi daripada marah atau emosi.

PENUTUP

Pendidikan karakter sesungguhnya dapat dikembangkan melalui tahap pengetahuan (konowing), pelaksanaan (acting), dan dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki siswa. Siswa yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu bertindak baik sesuai dengan pengetahuaannya jika

ia tidak terlatih dan terbiasa melakukan kebaikan itu dalam kesehariannya.

Pendidikan Abad XXI yang penuh tantangan dengan pengaruh globalisasi menyadarkan kita akan pentingnya merevitalisasi pendidikan karakter. Kesadaran untuk kembali ke prinsip pendidikan yang seimbang antara hati (heart), otak (head), dan tangan (hand). Pembelajaran sastra dapat menggiring kita kembali ke prinsip dasar pendidikan, yaitu memanusiakan manusia (humanizing human being). Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekontruksi sikap dan kepribadian mereka. Karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter juga akan merangsang imajinasi kreativitas anak untuk berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan di dunia pendidikan.

Karakter bangsa dapat dibangun dan dibentuk melalui pembelajaran sastra karena di dalam karya sastra termaktub nilai-nilai moral yang akan menuntun peserta didik menuju karakter-karakter yang baik. Oleh karena itu, guru harus mampu menemukan metode yang tepat. Metode yang patut kita coba agar pembelajaran sastra dapat membangun dan membentuk karakter adalah dengan menyemai benih kerinduan terhadap sastra. Jika cara ini dapat dilakukan guru, tentu kita tidak menemukan lagi siswa yang merasa bosan, bahkan tidak masuk, ketika pembelajaran sastra/bahasa berlangsung. Masing-masing guru tentu punya kiat tersendiri untuk menyemai benih kerinduan terhadap sastra ini. Semoga....

DAFTAR PUSTAKA

Bandel, Katrin. 2006. Sastra Perempuan Seks. Jakarta: Jalasutra.

Damono, Sapardi Djoko.1994. “Sastra, Politik, dan Ideologi”. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar. Jakarta: Universitas Indonesia.

Delors, Jacque. 2002. Pendidikan untk Abad XXI:

Pokok Persoalan dan Harapan. Jakarta:

Dryden, Gordon and Jeannette Vos. 1999. The Learning Revolution: to Chance the Way the World Learns. Canada: The Learning Web. Freire, P. 2001. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta:

Pustaka Karya.

Halliday, M.A.K. and Hasan 1965. Language: Context

and Text. Burwood: Vic. Deaken University.

Knapp, Peter and Megan Watkins, 2005. Genre, Teks,

Grammar. Sidney: University of new South

Wales Press Ltd.

Latief, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa:Budaya

Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiusitas. Yogyakarta: Kanisius

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPEE.

Syah, Sirkit dan Martadi (Ed.), 2011. Bunga Rampai

Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Generasi Masa Depan. Surabaya:Unisa University Press.

Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan:

Mempertimbangkan

Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo.

PENDAHULUAN

Guru harus selalu digugu dan ditiru. Itulah pribahasa yang sampai sekarang masih melekat dan disandang oleh guru. Terlebih lagi guru-guru sd yang mengawali proses pendidikan formal bagi anak didik. Perkataan, perbuatan maupun prilaku

sehari-hari akan senantiasa menjadi tokok ukur dan panutan bagi para siswanya. Demikian pula halnya, dalam keterampilan menulis, jika guru saja salah dalam mengajarkan keterampilan menulis kepada peserta didik, maka akan selamanya siswa itu juga akan salah. Bahasa yang sering muncul, ketika

KAJIAN KATA BAKU DAN EFEKTIVITAS KALIMAT

BAHASA INDONESIA GURU SDN SEKECAMATAN

CIKALONG TASIKMALAYA JAWA BARAT

Dokumen terkait