• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKSI PUITIS KUMPULAN CERPEN MENGAKAR KE BUMI MENGGAPAI KE LANGIT JILID 3 KARYA TAUFIQ ISMAIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIKSI PUITIS KUMPULAN CERPEN MENGAKAR KE BUMI MENGGAPAI KE LANGIT JILID 3 KARYA TAUFIQ ISMAIL"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Taufiq Ismail (TI) dikenal sebagai seorang penyair Angkatan ‘66. Puisi-puisinya bernapaskan perjuangan menumbangkan Orde Lama seiring dengan pergerakan-pergerakan heroik mahasiswa. Hal ini terlihat pada sajak-sajaknya seperti Kita

Pemilik Sah Republik Ini, Salemba, Karangan Bunga,

dan Sebuah Jaket Berlumur Darah. Selain menulis mengenai gerakan mahasiswa, Taufik Ismail (TI) juga melakukan kritik sosial lewat puisi-puisinya yang satir, seperti pada puisi Tuhan Sembilan Senti,

Malu (Aku) Jari Orang Indonesia, dan Miskin Desa, Miskin Kota.

Kepenyairan Taufik Ismail (TI) juga telah mendapatkan banyak pengakuan dengan meraih berbagai penghargaan seperti Anugrah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari pemerintah Australia (1977), SEA Write Award dari

kerajaan Thailand (1994). Untuk meneguhkan kepenyairannya itu, ia juga menerbitkan himpunan puisinya dari mulai ia menulis puisi sampai pada puisi mutakhirnya yang terangkum Mengakar ke

Bumi Menggapai ke Langit Jilid I yang tebalnya

mencapai 1076 halaman. Kumpulan puisinya ini diterbitkan pada tahun 2008.

Sebagai seorang penyair, tentu saja kepenyairannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Terlebih lagi, telah banyak telaah terhadap puisi-puisinya itu. Namun bagaimana dengan cerpen-cerpennya? Taufik Ismail (TI) lebih dikenal sebagai seorang penyair dan pemerhati sastra melalui esai-esainya dari pada sebagai seorang penulis cerpen. Produktifitas Taufik Ismail (TI) dalam cerpen sangat minim dan jauh sekali bila dibandingkan produktifitasnya dalam menulis puisi

DIKSI PUITIS KUMPULAN CERPEN “MENGAKAR KE

BUMI MENGGAPAI KE LANGIT JILID 3”

KARYA TAUFIQ ISMAIL

Nani Solihati

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Jakarta

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diksi puitis yang terdapat dalam cerita pendek karya Taufiq Ismail dengan indikatornya adalah penggunaan majas dalam cerpen-cerpenya tersebut. Metode yang digunakan untuk mengkaji cerpen adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit”

Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Taufiq Ismail menggunakan berbagai

bentuk majas secara variatif untuk membangun karya cerpen yang utuh. Kata kunci: Diksi Puitis, Majas, Cerpen

Abstract: This research aims at finding poetic dictions which are applied short stories of Taufiq Ismail. The indicators used in analyzing the short stories in the linguistic styles found on it. This research uses analytical descriptive method with the factual data. The data are gotten by analyzing four short stories in “Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit” episode 3. The result shows that Taufiq Ismail short stories use many various linguistic styles to make the complete and meaningful stories.

(2)

maupun esai. Publikasi cerpen-cerpen Taufik Ismail (TI) sudah sangat lampau, yakni dalam rentang waktu 1961-1968 sehingga menyulitkan para peneliti menelaah secara lebih mendalam karena kesulitan dalam hal mencari arsip tersebut. Kini cerpen-cerpen Taufik Ismail (TI) dapat dinikmati dalam himpunan tulisan Mengakar ke Bumi Menggapai

ke Langit Jilid 3. Buku ini memuat berbagai tulisan

Taufik Ismail (TI), termasuk di dalamnya cerpen dan drama yang pernah ditulisnya. Adapun empat cerpen tersebut berjudul Danau Michigan Musim

Bunga, Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba.

Untuk itu menarik sekali bila menelaah dengan mendalam cerpen-cerpen yang dibuat oleh Taufik Ismail (TI) ini, terlebih bila menilik dari sudut pandang kajian ektrinsik jika unsur-unsur di luar teks disandingkan dengan teks. TI sebagai seorang penyair tentu saja memiliki kecenderungan-kecenderungan estetik dalam memilih kata untuk menyusun prosanya tersebut. Bila hal ini benar terjadi, maka apa yang dilakukan Taufik Ismail (TI ) dalam cerpennya bisa jadi merupakan usaha memperoleh diksi puitis yang disebut Barfield dalam Pradopo sebagai kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik (1993:54).

Untuk membangun dimensi imajinasi estetik ini tentu saja hanya akan didapat dengan menggunakan teks yang sifatnya tidak denotatif, tetapi lebih kepada pemberdayaan teks konotatif dan itulah yang disimpulkan Wellek dan Warren mengenai bahasa sastra (1993:5).

Adapun teks konotatif lebih dikenal sebagai majas seperti yang diungkapkan oleh Abrams dalam Supriyanto yang menyatakan, majas merupakan penyimpangan dari bahasa sehari-hari yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (2009:17).

Pendapat mengenai majas yang digunakan untuk memperoleh efek tertentu ini senada dengan yang diungkapkan oleh Pradopo yang menyatakan bahwa, majas juga bertujuan untuk menghidupkan

kalimat dan memberi gerak pada kalimat serta menimbulkan reaksi tertentu dan atau tanggapan pikiran kepada pembaca (1993:93). Dalam kata lain, dengan produk kata yang estetis ini, akan melahirkan imaji-imaji yang melimpah dan bahkan mampu membuat pembaca dapat menafsirkan karya sastra dengan berbagai asosiasinya dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, untuk menilai penggunaan diksi puitis dalam cerpen TI maka indikator yang dicari adalah sejauh mana TI menggunakan majas dalam cerpen-cerpennya. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan majas pada cerpen dalam himpunan tulisan

Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3 karya

Taufiq Ismail yang memuat keempat cerpen TI yang berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah

Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman konsep mengenai majas dan gaya bahasa yang seringkali keduanya disinonimkan. Maka perlu dijabarkan di sini bila kedua konsep tersebut berbeda. Bila menilik pendapat Moeliono dalam Sugono maka majas merupakan bagian dari gaya bahasa itu. Hal ini berumula dari penerjemahan gaya bahasa yang secara keliru menerjemahkan kata Belanda stylfiguur. Di dalam kata stylfiguur terdapat styl yang memang berarti gaya bahasa, tetapi figuur lalu terlupakan diterjemahkan. Oleh karena itu stylfiguur atau figure

of speech ini sekarang dinamakan majas dan figurative language kita sebut bahasa majasi atau bahasa yang

bermajas (2009:174).

Senada dengan Moeliono, Sudjiman menyatakan bahwa majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Hal ini terlihat lewat pernyataannya yang menyatakan bahwa gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (1993:13). Keraf pun berpendapat demikian dengan membagi gaya bahasa berdasarkan penggunaannya ke dalam 4 jenis yakni, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna (1987:116). Bentuk-bentuk majas merupakan bagian dari gaya

(3)

bahasa yang ditinjau dari langsung tidaknya makna. Dalam banyak literatur, kata majas sering bersinonim dengan gaya bahasa (Keraf) dan bahasa kias (Pradopo), meskipun maksud yang disampaikannya itu merujuk pada bentuk khas dari majas.

Adapun majas menurut Sugono adalah bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata yang khas atau karena pemakaian bahasa yang menyimpang dari kelaziman ataupun karena rumusannya yang jelas (2009:174). Tak jauh berbeda dengan Sugono, Nurgiyantoro menyatakan bahwa, permajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasa yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat (1987: 297).

Pendapat sedikit berbeda diungkapkan oleh Dale dkk. dalam Tarigan yang menyatakan bahwa, majas atau figure of speech adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (1990: 112).

Dari sini, dapat diambil simpulan bahwa majas dapat berarti bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim karena maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat sehingga membuat bahasa menjadi indah dan digunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dalam berbahasa.

Pada dasarnya majas menurut Tarigan dapat dibagi menjadi empat jenis yakni, Majas perbandingan, majas pertentangan, majas penegasan, dan majas perulangan. Majas perbandingan terdiri dari perumpamaan, kiasan, penginsanan, alegori, dan antitesis. Majas pertentangan terdiri dari hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, dan zeugma. Majas penegasan terdiri dari metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, inversi, dan gradasi. Majas perulangan terdiri dari aliterasi, antanaklasis, kiasmus, dan repetisi (1990: 117).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan bentuk kumpulan data secara faktual yang terdapat dalam keempat cerpen yang ada dalam himpunan tulisan “ Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail dengan objek penelitian adalah pengunaan majas dalam buku tersebut. Adapun fokus penelitian ini adalah penggunaan majas yang terdapat dalam cerpen-cerpen Taufiq Ismail berjudul Danau Michigan Musim Bunga, Kuliah Pagi

di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba

yang terdapat pada halaman 507-556 dalam himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke

Langit” Jilid 3.

Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu tabel kerja analisis penggunaan majas pada himpunan tulisan “Mengakar ke Bumi Menggapai ke

Langit” Jilid 3 karya Taufiq Ismail. Adapun tabel

kerja analisis itu sebagai berikut.

Sebagai keterangan untuk kolom cerpen, dari kolom satu sampai empat merupakan perurutan cerpen dari yang lebih awal sampai pada yang terakhir. Dengan demikian perurutannya sebagai berikut, Danau Michigan Musim Bunga,

Kuliah Pagi di Bulan April, Garong-garong, dan Kembali ke Salemba.

Untuk teknik pengumpulan data, penelitian ini didahuli dengan membaca cerpen-cerpen Taufiq Ismail dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit

Jilid 3, untuk kemudian mencari kata-kata yang

mengandung majas dan selanjutnya mencatatnya dalam kartu analisis berdasarkan masing-masing cerpen.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut, pertama, membaca dengan cermat cerpen-cerpen Taufiq Ismail yang terdapat dalam Mengakar

ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3 untuk

mendapatkan kata-kata yang mengandung majas sebagai data. Kedua, menandai kata-kata yang

(4)

mengandung majas. Ketiga, menyalin kata-kata yang telah ditandai ke dalam kartu data. Keempat, setelah semua kata tercatat dalam kartu-kartu data, penelitian ini beranjak kepada proses menganalisis kata-kata itu sesuai dengan bentuk majas serta maknanya. Kelima, Setelah data didapat, klasifikasi pun dilakukan dengan memilah bentuk-bentuk majas sesuai dengan bentuknya masing-masing.

Keenam, menyusun analisis deskriptif berdasarkan

cerpen dan bentuk-bentuk majas di dalamnya.

Ketujuh, membuat simpulan dari hasil analisis

berdasarkan data yang telah diperoleh berupa tabel kerja analisis. Ketujuh teknik analisis data ini dilakukan dengan cermat dengan memperhatikan unsur teks cerpen dengan intensif dan teliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Setelah melakukan penelitian, hasil yang didapat adalah bahwa Taufiq Ismail menggunakan majas dalam membangun diksi puitisnya. Hal tersebut terdapat dalam dalam 4 cerpen yang terdapat pada himpunan tulisan Mengakar ke Bumi

Menggapai ke Langit Jilid 3.

Adapun sebaran penggunaan majas dalam cerpen-cerpen tersebut sangat variatif. Dalam cerpen Danau Michigan Musim Bunga terdapat 41 majas, Kuliah Pagi di Bulan April terdapat 40 majas ,

Garong-garong terdapat 59 majas, dan Kembali ke Salemba terdapat 16 majas. Untuk lebih jelasnya,

dapat dilihat tabel. Rekapitulasi Penggunaan Majas

(5)

Pembahasan

Nilai keindahan (estetis) merupakan bagian esensial dari sebuah karya sastra selain tentu saja keindahan dan kejujuran yang tertuang di dalamnya seperti yang disampaikan Sugono (2009: 159). Keindahan tersebut dapat dicapai dengan memaksimalkan diksi secara efektif untuk menyampaikan gagasan. Karya sastra tentu saja berbeda bentuknya dengan karya ilmiah. Oleh karena itu pencapaian gagasan akan lebih baik bila dituangkan dengan teks konotatif. Teks konotatif inilah yang kemudian disebut sebagai diksi puitis. Adapun diksi puitis dibangun dengan menggunakan majas.

Diksi Puitis dalam Cerpen Danau Michigan

Musim Bunga

Dalam cerpen ini, terdapat 41 pernyataan yang mengandung diksi puitis. Dalam 41 pernyataan tersebut, diksi puitis dibangun oleh 9 majas perumpamaan, 2 majas kiasan, 8 majas penginsanan, 3 majas hiperbola, 1 majas litotes, 4 majas sinekdoke, 3 majas alusi, 6 majas elipsis, 2 majas inversi dan 3 majas repetisi.

Diksi puitis ini digunakan untuk memperkuat penokohan, maupun penggambaran latar dalam cerpen tersebut. Untuk memperkuat penokohan, Taufik Ismail (TI) menggunakan majas perumpamaan dengan mengumpamakan tokoh dalam cerpen tersebut sebagai klarinet, “Aku memilih yang seperti klarinet!” (hlm. 510) atau Tengkuknya melandai seperti lembah (hlm. 514).

Penokohan juga digambarkan untuk mengungkapkan perasaan dengan menggunakan majas hiperbola, Aku cemburu setengah mati (hlm. 503). Selain itu, Taufik Ismail (TI) juga menyampaikan penokohan dengan menyebut ciri-ciri tokoh tersebut tanpa memperkenalkan namanya, Aku hampir memilih yang blonda dan

bergaun biru, tapi tiba-tiba aku menjawab lain (hlm.

510). Hal ini berarti Taufik Ismail (TI) menggunakan majas sinekdoke.

Dalam kasus lain, Taufik Ismail (TI) berusaha menampilkan cerpennya secara singkat dengan mehilangkan predikat dan subjek suatu kalimat. Seperti pada pernyataan berikut,

“Dan begitu jeli,” ujar Martin menghela napas. “Kau lihat pinggangnya?”

Langsing (hlm. 511).

Dalam menggambarkan latar, Taufik Ismail (TI) juga seringkali mengeksplorasi kepenyairannya dengan perumpamaan-perumpamaan yang estetik. Seperti pada pernyataan berikut yang menggambarkan gelapnya malam dengan angin yang berhembus seperti seekor naga,

Di sepanjang pantai daun kegelapan merayap

seperti seekor naga, dengusannya dingin dan

berdebur-debur (hlm. 512).

Menggunakan kata jarum-jarum cahaya untuk menggambarkan cahaya lampu yang dipantulkan oleh muka kuala seperti tampak pada pernyataan di halaman 513. Citraan estetik juga tampak pada pernyataan berikut,

Hanya lampu-lampu jalan yang memberi cahaya buram dan mengabut di telan suara dan sosok ombak yang mengempas ngilu ke pantai danau (hlm. 507).

Dalam pernyataan ini, hempasan ombak memiliki sifat manusia yakni ngilu. Tentu saja hal ini untuk menimbulkan latar yang kuat untuk membangun suatu cerpen yang dapat meninggalkan kesan dan pesan di hati pembaca.

Diksi Puitis dalam Cerpen Kuliah Pagi di Bulan April

Kuliah Pagi di Bulan April menghadirkan 40

pernyataan yang mengandung diksi puitis. Dalam 40 pertnyataan tersebut, majas yang paling banyak digunakan untuk membangun diksi puitis adalah majas elipsis, untuk kemudian selanjutnya disusul oleh majas perumpamaan, kiasan, dan inversi yang masing-masing digunakan dalam 4 pernyataan, kemudian sinekdoke dan repetisi masing-masing sebanyak 3 pernyataan, lalu selanjutnya eufimisme serta hiperbola masing-masing sebanyak 2 pernyataan, dan terakhir metonimia yang hanya terdapat dalam 1 pernyataan.

Pada cerpen ini Taufik Ismail (TI) lebih banyak menggunakan diksi puitis dalam membangun penokohan. Seperti pada pernyataan berikut ini, Kau seperti orang yang punya pemburu yang tajam, tapi

takut masuk ke hutan (hlm. 517). Pernyataan ini

berusaha untuk menegaskan penokohan dengan cara mengumpamakan rasa takut terhadap seseorang dengan perumpamaan orang yang masuk ke dalam hutan yang penuh dengan binatang

(6)

buasnya padahal ia bersama seorang pemburu yang mahir. Tanpa pernyataan ini, penggambaran mengenai sikap tokoh menjadi tidak kuat

Taufik Ismail (TI) juga membangun penokohan dengan menggunakan majas kiasan dengan penggunaan kata bandot untuk mengejek seseorang. Bandot tentu saja bukan dalam arti sebenarnya melainkan sifatnya yang menyerupai bandot. Dalam hal ini tentu play boy. Adapun fungsinya adalah untuk memperkuat penokohan (hlm. 516).

Pernyataan lain untuk mematangkan penokohan dengan menggunakan majas Sinekdoke dengan bentuk pars prototo yang menyebut bagian dari organ tubuh manusia yakni telinga, tentu saja telinga dalam pernyataan ini tidak berarti hanya telinga saja melainkan pula organ tubuh secara keseluruhan dalam wujud manusia. Berikut pernyataannya, “Begitulah yang kudengar. Dengan telingaku sendiri (sambil menunjuk telinganya). Bukan melalui telinga orang lain.” (hlm. 519).

Lain lagi pada pernyataan di halaman 521. Dalam pernyataan ini, TI berusaha membangun alur dengan percakapan tokoh. Majas yang digunakan adalah majas elipsis. Tokoh dalam cerpen tersebut, hanya berkata, “Persija?” Pernyataan ini tentu saja jika terlepas dari konteks percakapan maka tidak jelas siapa objek dalam kalimat ini. Akan tetapi, pilihan Taufik Ismail (TI) dengan menggunakan majas elipsis ini justru membuat cerpennya menjadi lebih utuh.

Diksi Puitis dalam Cerpen Garong-garong Bila dibandingkan dengan cerpen lain, kemampuan TI membangun diksi puitis dengan memberdayakan penggunaan majas ini lebih maksimal. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya, penggunaan majas di dalamnya yakni sebanyak 59 pernyataan. Majas-majas yang digunakan antara lain perumpamaan sebanyak 7 pernyataan, kiasan sebanyak 3 pernyataan, penginsanan sebanyak 9 pernyataan, repetisi sebanyak 20 pernyataan, hiperbola sebanyak 6 pernyataan, ironi sebanyak 7 pernyataan, sinekdoke sebanyak 1 pernyataan, eufisme sebanyak 3 pernyataan, elipsis sebanyak 7 pernyataan, dan inversi sebanyak 1 pernyataan.

Untuk membangun nuansa estetik dalam cerpen ini. TI berusaha mengeksplosi majas-majas personifikasi maupun kiasan baik ketika membangun latar, alur, maupun penokohan dalam cerita ini. Seperti pada pernyataan berikut,

Nyeri terasa seperti seribu mata gergaji

digesek-gesekkan ke tulang-tulang dadanya (hlm. 545).

Dalam pernyataan tersebut, rasa nyeri akibat ditembak yang dialami tokoh dalam cerita ini diumpamakan dengan mata gergaji yang seakan hendak memotong tulang-tulangnya. Penggunaan majas perumpamaan untuk menggambarkan rasa nyeri seperti itu membuat rasa sakit tokoh tersebut tergambarkan dengan jelas dan sangat terkesan estetik dan puitik.

Penokohan juga dibangun dengan hiperbola yang juga tak kalah puitik. Perhatikan pernyataan berikut,

Seribu kunang-kunang mengerjap dalam kelam,

berubah jadi api memancar-mancar (hlm. 536). Untuk menyatakan rasa pening, lampu dianggap telah berubah jadi seribu kunang-kunang. Tentu kata seribu yang ditulis pada pernyataan tersebut adalah berlebihan. Penggunaan pernyataan tersebut tentu saja lebih bermakna pada rasa pusing yang luar biasa yang dialami oleh tokoh dalam cerita ini.

Adapun untuk menggambarkan latar, TI menggunakan majas kiasan. Dalam hal ini ketika menggambarkan cuaca yang cerah, perhatikan penyataan berikut,

Langit dipasangi sobekan-sobekan bulu domba dan

garis-garis angin yang tipis (hlm. 547).

Dalam pernyataan tersebut Taufik Ismail (TI), mengiaskan awan-awan yang bertebaran di langit adalah sobekan bulu domba dan angin yang sepoi-sepoi dikiaskan memiliki garis tetapi tipis. Pemilihan kata ini bukan saja membangun citraan visual pada pembaca, tetapi juga citraan estetik.

Tak berhenti sampai di situ, Taufik Ismail (TI) juga menggunakan majas penginsanan dengan menyatakan bahwa angin pingsan (hlm. 530). Tentu saja tak ada angin yang pingsan. Pemilihan kata ini merupakan upaya Taufik Ismail (TI) untuk menggambarkan keadaan latar yang tiba-tiba berhenti dan sunyi yang bahkan tanpa ada angin sedikit pun, pengarang menggunakan kata pingsan untuk angin yang lazim untuk menggambarkan

(7)

keadaan manusia yang tidak sadar, tetapi dapat disadarkan kembali. Tentu pemilihan kata pingsan dianggap lebih tepat dibanding kata mati karena penulis hendak menuliskan kembali bahwa angin dalam cerita ini selanjutnya pun akan memperkuat latar. Oleh karena itu, fungsi majas dalam kalimat ini adalah memperkuat latar.

Taufik Ismail (TI) juga menggunakan majas elipsis untuk membangun suasana dalam latar ceritanya tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini,

Semua jam kantong hilang.

Jam meja. Jam dinding.

Jam di menara kota sirna. (hlm. 530)

Dalam pernyataan ini, terdiri dari paragraf-paragraf pendek. Pada paragaraf pertama dan keempat terdapat predikatnya yakni hilang dan sirna sedang untuk paragraf kedua dan ketiga, hal tersebut tidak ada. Semestinya dua paragraf itu pun memiliki predikat yang menyatakan bahwa kedua benda itu telah dicuri, bisa menggunakan kata raib, hilang, atau sirna. Meski demikian, justru membuat alur cerita menjadi menarik dan unik sehingga terjadi semacam penekanan bahwa hilangnya predikat sebagai implikasi dari penggambaran cerita yang memang menceritakan suatu kehilangan.

Pada pernyataan lain, dalam menyampaikan latar dalam cerita ini, Taufik Ismail (TI) berusaha mengeksplorasi majas repetisi. Hal itu tidak sekali-dua kali dilakukan TI. Sebagai contoh, perhatikan contoh penyataan berikut,

Suara gendering berderam-deram berirama dengan langkah rrrp, rrrp, rp, rp. (hlm. 527)

Pengulangan rrrp, rrrp, rp, rp dalam kalimat ini adalah bentuk dari peniruan bunyi atau onomatope yang menirukan langkah bunyi sepatu ketika menapak ke jalan sehingga seakan-akan menghasilkan bunyi rrp. Pengulangan kata tersebut menghasilkan keriuhan yang terjadi dalam cerita tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian adalah, latar cerita menjadi kuat dan membuat pembaca seakan tengah berada dalam kegaduhan tersebut. Diksi Puitis dalam Cerpen Kembali ke Salemba

Cerpen ini merupakan cerpen terakhir. Tak jauh berbeda dari cerpen-cerpen yang telah dibahas.

Diksi puitis timbul ditengah tengah cerita berupa pernyataan-pernyataan yang berbentuk majas. Ada 16 majas yang digunakan TI untuk membangun cerpennya itu, majas-majas itu antara lain, kiasan sebanyak 6 majas, penginsanan sebanyak 1 majas, metonimia sebanyak 1 majas, alusi sebanyak 1 majas, elipsis sebanyak 5 majas, inversi sebanyak 1 majas, dan repetisi sebanyak 1 majas.

Majas-majas tersebut digunakan Taufik Ismail (TI) untuk membangun latar dalam cerita ini. Untuk latar, Taufik Ismail (TI) menggunakan majas perumpamaan seperti pada penyataan berikut,

Waskito menekannya puntung rokok ke atas meja. Bunga api menyebar. Bram memandang mereka semua. (hlm. 554)

Bunga api dalam pernyataan ini adalah untuk

mengiaskan percikan api yang terurai dari puntung rokok yang sedang berasap. Pernyataan bunga api tentu termasuk ke dalam diksi puitik karena tentu pernyataan itu tidak lazim untuk menyatakan bara dari asep rokok. TI juga menggambarkan latar dengan menggunakan majas penginsanan seperti tampak pada pernyataan berikut,

Angin mati di luar, berjuntaian di pepohonan.

(hlm. 554)

Penggunaan majas penginsanan terdapat pada kata angin yang mati dan dapat berjuntaian. Tentu saja angin tak akan mati layaknya mahkluk hidup. Angin barangkali memang berhenti sejenak karena ia akan terus berhembus, tapi angin tak pernah mati. Demikian juga berjuntaian, karena yang berjuntaian selain kelelawar juga monyet yang masing-masing memiliki tangan atau kaki yang membantu, sedang angin tak mempunyainya. Penggunaan majas penginsanan dalam kalimat ini berfungsi untuk memperkuat latar dengan menggambarkan kesunyiaan yang diisyaratkan dengan angin yang tak berhembus. Kalimat sederhana sebetulnya dapat ditulis dengan, tak ada angin di luar. Akan tetapi, tentu nuansanya lebih kuat kalimat utama ketimbang alternatif karena memiliki nuansa estetik yang lebih kuat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Diksi puitis yang dibangun Taufik Ismail (TI) dalam empat cerpennya berupa penggunaan majas. Dari 4 cerpen tersebut, Taufik Ismail (TI)

(8)

menggunakan majas perumpamaan yang terdiri dari majas perumpamaan sebanyak 20 atau 12, 82%, majas kiasan sebanyak 15 atau 9,62%, majas penginsanan sebanyak18 atau 11, 54%, dan majas alegori sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk majas pertentangan terdiri dari majas hiperbola sebanyak 11 atau 7,05%, majas litotes sebanyak 1 atau 0,64%, dan majas ironi sebanyak 1 atau 0,64%. Untuk majas penegasan terdiri dari majas metonimia sebanyak 2 atau 1,28%, majas sinekdoke sebanyak 8 atau 5,13%, majas alusi sebanyak 4 atau 2,56%, majas eufemisme sebanyak 5 atau 3,21%, majas elipsis 35 atau 22,44%, dan majas inversi sebanyak 8 atau 5,13%. Untuk majas perulangan hanya terdapat majas repetisi saja sebanyak 27 atau 17,31%.

Adapun 9 majas lainnya, yakni majas antitesis, oksimoron, paranomasia, paralipsis, zeugma, gradasi, aliterasi, antanaklasis, dan kiasmus tidak digunakan TI dalam membangun cerpen-cerpennya yang terdapat pada himpunan tulisan

Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit Jilid 3. Di

antara macam-macam majas tersebut, majas yang paling mendominasi adalah majas elipsis dengan jumlah 35 atau 22,44%.

Saran

Penggunaan diksi puitis dalam cerpen membuat sebuah cerpen memiliki nilai lebih, terutama berkaitan erat dengan nuansa estetik. Oleh karena itu, pemberdayaan perangkat bahasa dalam hal ini majas menjadi hal penting dalam karya sastra,

mengingat salah satu indikator baik tidaknya sebuah karya sastra berdasarkan indah atau tidaknya. Maka, sudah semestinya para cerpenis Indonesia mulai memperhatikan hal ini. Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA, cerpen-cerpen dalam Himpunan Tulisan Mengakar ke Bumi

Menggapai ke Langit jilid 3 karya Taufiq Ismail ini

dapat dijadikan sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang menarik dalam mempelajari majas dan tentu saja nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sebagai sebuah bagian dari karya sastra. DAFTAR PUSTAKA

Burhan Nurgiyantoro. 1987. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Keraf , Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:

Gramedia.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajain Puisi:

Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sugono, Dendy (ed.). 2009. Buku Praktis Bahasa

Indonesia 1. Jakarta: Depdiknas.

Supriyanto, Teguh. 2009. Penelitian Stilistika dalam

Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Austin Warren (terj. Melani Budianta). 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

(9)

LATAR BELAKANG

Konflik di Aceh muncul dalam pergolakan yang akut. Di mana usaha untuk memisahkan diri dari NKRI mengemuka setelah muncul ke-kecewaan terhadap pemerintah pusat dengan mengedepankan pemerintahan yang sentralistik. Namun demikian, pemberitaan yang tidak berimbang memunculkan spekulasi yang berbeda antara pandangan jurnalistik yang dimonitor pemerintah dengan pandangan masyarakat Aceh. Informasi dikeberi untuk memberikan pencitraan positif atas langkah pemerintah,

Pola represif yang dilakukan pemerintah dianggap jalan benar untuk menghadapi pem-berontakan. Tentara dikirim ke Aceh dengan jumlah yang sedikit memunculkan polemik baru dalam kehidupan masyarakat Aceh. Masyarakat menjadi ketakutan dan dikepung oleh dua pihak yang tidak dikehendaki mereka, Tentara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dibentuk Hasan Di Tiro 4 Desember 1976, hal ini yang pada akhirnya masyarakat Aceh yang netral harus memilih, menjadi nasionalis atau menyebrang menuju GAM. Namun demikian,

upaya teror yang dilakukan tentara, memunculkan instink pilihan. Menurut Robinson (2014) penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung.

Polemik inilah yang mengemuka dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Sebagai sebuah karya sastra, ia berusaha menyampaikan narasi empiris dengan sajian yang fiktif. Meski demikian, tidak melunturkan unsur mimetik dari peristiwa sosial yang terekam dalam pikiran pengarangnya.

Hal ini tentu saja dimungkinkan, karena karya sastra merupakan fenomena kebudayaan, kebudayaan selalu lahir dan berangkat dari dinamika sosial. Sehingga pada dasarnya sastra dapat dikaji melalui pintu sosiologi. Sosiologi menurut Bertand dalam Rifa’i (2011: 21) adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship).

REPRESENTASI KONFLIK DI ACEH DALAM NOVEL

LAMPUKI KARYA ARAFAAT NUR

Ade Hikmat

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi konflik di Aceh terbagi menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga konflik horisontal antara masyarakat dengan pemberontak. Kata Kunci: Konflik vertikal, konflik horisontal, sosiologi sastra.

Abstract: This study aims to determine the representation of conflict in Aceh in the novel Lampuki Arafat Nur works. To determine this, the research uses descriptive qualitative method. The results of this study indicate that the representation of conflict in Aceh is divided into two. Namely vertical conflict, between the community and the military (government), as well as horizontal conflicts between people with rebels.

(10)

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimanakah representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur?”

TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur.

KAJIAN TEORI Novel

Menurut Semi (1993: 32) novel merupakan konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Di sini pandang Semi lebih mengemukakan bagaimana ketegangan menjadi bagian yang harus ada dalam novel. Namun, Esten (2000: 12)lebih longgar menyampaikan tentang pengertian novel. Menurutnya, novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya.

Tak jauh berbeda dengan Esten, H.B.Jassin (1991: 78) mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu yang bersifat cerita, bukan semacam lukisan. Novel juga menceritakan sesuatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Kedua pendapat tersebut menekankan bagaimana pentingnya konflik.

Konflik ini kemudian dibangun dengan dua unsur. Menurut Tjahyono(1988: 44) kedua unsur itu terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah hal-hal yang membangun karya sastra dari dalam, sedangkan ekstrinsik adalah hal-hal yang berada di luar struktur karya sastra yang mempengaruhi karya sastra tersebut.Unsur intrinsik novel antara lain adalah tema, alur, latar, sudut pandang, amanat, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi, agama, politik, ekonomi, budaya, nilai moral dan nilai pendidikan. Adapun jenis novel terdiri dari tiga golongan, menurut Sumardjo dan Saini K. M. (1988: 29)

bahwa tiga golongan tersebut terdiri dari novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi. Namun demikian, penggolongan tersebut bukan sesuatu yang ajeg. Artinya, jenis novel ini terus berkembang bahkan muncul jenis yang lain seperti detektif maupun misteri. Hal inilah yang diungkapkan oleh Klare (2004: 11-12)yang terdiri dari picaresque,The Bildungsroman, epistolary novel,

historical novel, satirical novel, gothic novel, dan detective novel.Novel picaresque merupakan genre novel yang

mencoba untuk meletakkan ketidakadilan sosial yang terlihat dengan cara yang satir. Novel seperti ini kita dapat rasakan pada karya Andrea Hirata dalam trilogi Laskar Pelangi.

Selanjutnya, TheBildungsromanatau novel pendidikan, kata Bildungsromandiambil dari bahasa Jerman untuk menyebut genre novel yang menjelaskan perkembanganprotagonisdarimasa kanak-kanakhingga dewasa.Genre lainnya adalah

epistolary novel.Genre ini lebih memandang pada

sudut pandang saja.Yakni sudut pandang orang pertama.

Adapun genre Historical novel atau novel sejarah merupakan novel yang berangkat dari fakta sejarah untuk kemudian dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk mencapai efek-efek tertentu.Kini genre novel seperti ini cukup populer.

Untuk genre selanjutnya adalah satirical novel. Genre ini memvisualisasikan kesenjangan hidup dengan cara yang kritis. Adapun dua genre selanjutnya, jarang diangkat oleh novelis Indonesia terkini, untuk gothic novel, hanya novel Cantik Itu

Luka dan Lelaki Harimau karya Eka Kurniawanyang

agak lebih menonjol dibanding novel Hantu Pondok

Indah dan yang lainnya yang ditransformasi dari

film.Adapun detective novel, genre ini sepertinya jarang muncul dalam sastra Indonesia.Namun bukan berarti, pembaca Indonesia tidak menyukai novel dengan genre semacam ini.Justru, tidak sedikit di toko buku, novel-novel terjemahan genre ini dipajang, seperti serial Sherlock Holmes.

Kajian Sosiologi Sastra

Sosiologi menurut Bertand dalam Rifa’i (2011: 21) adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship).Pengertian tersebut paling tidak menerangkan titik temu antara sastra dengan sosiologi. Sastra pada dasarnya merupakan upaya

(11)

merefleksikan kehidupan kedua yang kemudian memunculkan teori mimetik (tiruan kenyataan). Sehingga mengkaji sastra dari sudut sosiologi merupakan suatu kemungkinan. Hal ini senada dengan pendapat Endraswara dalam Kurniawan (2009: 105)yang menjelaskan bahwa, “Sosiologi adalah ilmu yang objek studinya adalah manusia, sedangkan sastra juga demikian, merupakan hasil ekspresi kehidupan manusia yang tidak akan lepas dari akar masyarakatnya.”

Tak jauh berbeda dengan Endraswara, Semi menyatakan bahwa,

Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.Bahkan masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.

Pendapat Semi tersebut telah menegaskan kembali hubungan kausal antara masyarakat dengan karya sastra. Sehingga bisa ditarik benang merah, bahwa tidak mungkin ada karya sastra tanpa ada masyarakat. Sastra Klasik Indonesiahubungan kausal tersebut, bagaimana aturan adat disampaikan dalam hikayat maupun fabel. Bahkan kemudian cikal bakal kesastraan Indonesia pun terepresentasi dalam bentuk undang-undang.

Sosiologis sastra menurut Rahwana (2014) memiliki dua kecenderungan pokok. Kecendrungan itu terdiri dari(1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. (2) Pendekatan yang beranggapan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.

Pendapat tersebut menekankan kecendrungan pada penelaahan sosiologi sastra. Keduanya sah-sah saja untuk kemudian dijadikan sebagai upaya mengetahui bagaimana peristiwa sosial terjadi dalam teks sastra.

Berdasarkan coraknya, menurut Junus dalam Suwardi (2011: 3) terdapat dua corak, yaitu (1)

sociology of literature dan (2) literary sociology. Corak

pertama lebih melihat aspek sosial yang menghasilkan karya sastra, sementara yang kedua lebih menekan faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra. Pada penelitian ini, maka arah penelitiannya lebih pada faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra.

Berdasarkan klasifikasinya, Damono (2004: 3-4) menjelaskan sosiologi sastra terbagi ke dalam tiga bagian.Ada yang disebut dengan sosiologi pengarang, yakni aspek yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kemudian sosiologi karya sastra yang me-masalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya, dan yang terakhir adalah sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Sedikit berbeda dari Damono,Setiadi dan Kolip (2011: 948-949) mengklasifikasikan sosiologi sastra berdasarkan objek kajiannya yang dibagi menjadi delapan yaitu,

(1) Masalah kemiskinan, dimana suatu keadaan seseorang atau sekelompok orang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sesuai dengan standar kehidupan kelompoknya, dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok ini, (2) Masalah kejahatan, yaitu suatu gejala seseorang atau sekelompok orang menyakiti atau melanggar hak-hak dan merampas hak-hak orang lain,

(3) Disorganisasi keluarga, yaitu suatu perpecahan dalam keluarga sebagai unit, oleh karena anggota keluarga ini gagal memenuhi kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya,

(4) Masalah generasi muda, yaitu semakin bertambahnya usia kerja tentunya akan

(12)

menimbulkan masalah lain seperti penyediaan lapangan pekerjaan dan sarana-sarana pendidikan dan keterampilan agar memiliki daya guna bagi kehidupan masyarakatnya, (5) Peperangan, yaitu menyangkut sebab-sebab

sekelompok orang atau bangsa menyerang kelompok orang atau bangsa lain,

(6) Pelanggaran terhadap norma masyarakat, dimana dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat kecendrungan dari seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan penyimpangan atas norma dan tata aturan yang berlaku di dalam kelompoknya,

(7) Masalah kependudukan, yang erat kaitannya dengan jumlah produksi yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab persoalan ini jika tidak tertangani akan menimbulkan berbagai sebab di antaranya penyakit sosial (social patalogy),

(8) Masalah lingkungan, yaitu permasalahan konservasi lingkungan dan pencemarannya sebagai akibat perilaku manusia yang terkait dengan pemenuhan akan kebutuhan hidupnya.

Pendapat tersebut sejenak memang berpijak pada aspek empiris kehidupan manusia sehari-hari yang tidak terlepas dari delapan aspek tersebut. Hal ini yang memang diangkat dalam beberapa karya di antara Belenggu karya Armijn Pane yang membahas tentang disorganisasi keluarga atau novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka yang membahas tentang pelanggaran terhadap norma masyarakat. Jika memandang novel Lampuki, maka novel ini mengangkat bagian peperangan. Hal ini karena alur cerita novel tersebut berpusat pada pertikaian GAM dan TNI.

Teori Konflik

Menurut Wirawan (2010: 1-2) konflik merupakan perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi. Pendapat ini secara tegas mengungkapkan karakteristik konflik. Bahwa konflik tidak akan terjadi jika tidak ada perbedaan. Perbedaan yang memicu konflik lebih pada perebutan kepentingan. Hal ini yang terjadi pada beberapa konflik, baik

dalam lingkungan masyarakat terkecil yakni keluarga maupun dalam konteks yang lebih besar, organisasi maupun suatu daerah.

Berdasarkan tipenya, Kartikasari (2001: 6) membedakan menjadi empat macam, yaknitanpa konflik, konflik laten, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. Tanpa konflik berarti setiap kelompok atau masyarakat yang hidupdamai itu lebih baik, jika mereka ingin agar keadaan ini terusberlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Untuk konflik laten merupakan konflik yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Adapun konflik terbuka, merupakan konflik yang berakar dari semangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.Selanjutnya, konflik di permukaan, konflik ini memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada sebabnya. Menurut Wiese dan Becker dalam Soekamto (2006: 91) sebab yang melatarbelakangi adanya konflik atau pertentangan ialah perbedaan antara individu-individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan antara individu-individu berarti ketidaksamaan visi antar satu pihak dengan pihak lain bisa memunculkan konflik. Biasanya perbedaan antar individu ini dapat meluas menjadi perbedaan antar daerah. Seperti beberapa konflik yang terjadi di daerah, karena salah seorang memukul warga suatu desa, maka desa yang bersangkutan akan bertindak kepada seluruh warga yang merupakan bagian dari pemukul tersebut atau dalam kata lain, konflik sederhana dapat membesar. Selanjutnya konflik yang diakibatkan perbedaan kebudayaan. Konflik semacam ini memang lazim terjadi, terlebih di Indonesia yang memiliki latar kebudayaan yang sangat variatif sehingga sering terjadi gesekan antar kebudayaan yang beragam tersebut. Adapun perbedaan kepentingan, biasanya sering terjadi dalam ranah politik dan ekonomi. Sengketa lahan maupun perebutan kekuasaan akan selalu memunculkan konflik yang bisa berakhir pada

(13)

konflik anarkis. Terakhir, perbedaan sosial. Kecemburuan sosial sering memunculkan konflik utamanya berkaitan dengan dikotomi antara kaum bangsawan dengan kaum miskin. Konflik seperti ini biasanya dimenangkan kaum bangasawan sebagai pemilik modal.

Keempat pemicu konflik tersebut tentu saja selalu melahirkan akibat. Namun ternyata tidak semua akibatnya itu buruk, ada juga akibat baiknya. Wirawan (2010: 106-109) menyebut beberapa akibat tersebut yaknibertambahnya solidaritas/ ingroup, hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, adanya perubahan kepribadian individu, hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia, dan akomodasi, dominasi, dan takluknya suatu pihak. Akibat pertama memunculkan solidaritas merupakan aspek positif, solidaritas di sini tercipta sebagai akibat dari tekanan yang sama yang dirasakan oleh korban konflik. Misalnya solidaritas yang terjadi di Palestina atau di Aceh yang semula tidak mendukung GAM pada akhirnya melakukan perjuangan yang serupa.

Konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi pelaku konflik yang berkonflik, yaitu (Wirawan, 2010: 116) 1) Konflik vertikalKonflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. 2) Konflik horizontal: Konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan relative sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dan rendah.

TENTANG NOVEL LAMPUKI

Lampuki ditulis oleh Arafat Nur. Meski bukan

kelahiran Aceh –dia lahir di Lubuk Pakam, Sumatra Utara, 22 Desember 1974- namun semasa hidupnya di habiskan di Aceh, mulai SD sampai SMA. Dia kini dipercaya sebagai Ketua Devisi Sastra pada Yayasan Ranub Aceh (KRA).

Novel Lampuki merupakan novel pemenang lomba menulis novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2011. Berkat novel ini ia

diundang menjadi pembicara dalam Ubud Writers

& Readers Festival, sebuah ajang sastra internasional

di Bali yang diikuti 17 negara. Selain itu, berkat novel ini juga ia diundang menjadi pembicara dalam

Asean Literary Festival yang diselenggarakan di

Jakarta.

Novel ini bercerita tentang Teungku Muhammad yang merupakan guru ngaji dari anak-anak kecil yang berada di daerah Lampuki. Suatu malam dia didatangi Ahmadi, tokoh berandal yang kini menjadi pemberontak. Disebut juga sebagai Si Kumis Tebal lantaran memiliki ciri khas tersebut. Dia sengaja datang dengan maksud untuk membujuk dan memperdaya murid-murid Teungku Muhammad untuk bergabung dengannya bahkan ia melarang mereka untuk pergi ke sekolah. Namun, hasutan itu tidak lantas digubris oleh mereka, lantaran mereka tahu bahwa memberontak sama saja menyerahkan nyawa. Mereka orang-orang Lampuki sudah banyak mengalami kehilangan lantaran perang yang berkepanjangan.

Hadirnya Ahmadi dengan pasukan pem-berontaknya membuat resah. Ia terus berusaha membujuk, namun tak banyak yang turut bergabung. Hingga akhirnya ia melakukan pengeboman yang mengundang tentara untuk mencari pelakunya.

Situasi pun menjadi genting. Tentara yang berusaha mencari pelaku melakukan tindakan-tindakan yang membabi buta sehingga timbul korban, sementara pelakunya dapat melenggang bebas di jalanan tanpa mereka ketahui.

Kehadiran tentara juga memunculkan cerita-cerita unik, mulai kecemburuan sampai pada larangan berkumis. Semua disajikan secara satir dan humoris meski sesekali dimunculkan adegan berdarah-darah. Kisah pemberontakan terus berlanjut dengan persembunyiaan yang akhirnya memunculkan keputusasaan yang pada akhirnya mereka mati di mata senapan tentara.

METODE PENELITIAN

Dalam upaya mengkaji konflik dalam sebuah karya sastra, maka sebagai sebuah fenomena sosial, untuk mengkajinya menurut Verlag dan Hamburg (2011: 12) adalah dengan menggunakan metode kualitatif.

(14)

Selanjutnya, untuk mengetahui nilai tersebut tentu tidak dengan angka-angka melainkan kata-kata. Maka dalam penelitian ini, metode yang sesuai adalah deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode deskriptif kualitatif menurut Semi (2012: 13) merupakan metode yang menguraikan data dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka.

PEMBAHASAN

Penelitian ini akan membahas mengenai representasi konflik di Aceh dalam novel Lampuki karya Arafat Nur. Novel ini akan dikaji berdasarkan posisi pelaku konflik yang berkonflik. Dalam hal ini terdiri dari dua aspek, konflik vertikal dan konflik horizontal.

Representasi Konflik Vertikal

Aceh merupakan daerah yang cukup rawan karena memiliki potensi ekonomi yang lumayan menggiurkan. Sebuah hipotesis dikemukakan oleh Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:

 Obat terlarang: Pasukan keamanan

mendorong petani lokal Aceh untuk menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja.

 Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada

tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personil militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personil militer

utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.

 Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi

disuap oleh perusahaan penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.

 Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia

mengelola “usaha perlindungan” liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personilnya untuk “mengamankan” properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.

 Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk

menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.

 Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi

dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.

Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konflik di Aceh memang merupakan konflik perebutan kepentingan selain juga konflik ketidak percayaan terhadap pemerintah.

Dalam novel Lampuki ini, represi dari tentara menjadi bagian dari konflik vertikal, karena tentara sebagai perwujudan pemerintah melakukan

(15)

tindakan yang merugikan masyarakat Aceh. Meski konflik dalam novel ini tidak digambarkan pada perebutan nilai ekonomis, namun kekerasan yang ditujukan pemerintah memberikan ketakutan pada masyarakat bahkan kepada orang yang tak bersalah, seperti petikan berikut ini,

Nahas betul nasibnya, sebelum cita-citanya tercapai dia mati di ujung senapan. Tubuh kurusnya bolong-bolong dicabik puluhan logam peluru di kebun pisang belakang rumah. Entah ketika itu dia hendak buang hajat atau memang mau pergi minggat lagi. Kala jasadnya dimandikan, selangkangannya penuh kotoran, sampai salah seorang yang memandikannya muntah-muntah. (Nur, 2011:291)

Lelaki yang ditembak ini bernama Anwar, meski tidak bersalah yang dipertegas oleh pernyataan tokoh aku (Nur,2011: 290) dalam cerita ini, tetap saja Si Komandan Pos tidak percaya karena menganggap mereka telah bersekongkol. Sehingga pada akhirnya memunculkan kekhawatiran berlebihan terhadap tentara.

Perilaku semena-mena tersebut kembali terjadi, ketika orang tak bersalah kali ini Majid yang hanya karena berkumis harus kena pukulan dari tentara. Tindakan ini memang muncul lantaran keputusasaan tentara memburu pemberontak yakni Ahmadi yang berhasil membunuh pasukan tentara yang sedang berpawai. Ahmadi yang berkumis ini kemudian menjadi sasaran sehingga semua orang diperintahkan untuk mencukur kumisnya. Majid yang baru kembali dari perantauan tidak tahu hal itu sehingga meski membela, ia harus menerima popor senapan di wajahnya. Seperti tercermin pada kutipan berikut ini,

Paijo mengabaikan berbagai penjelasan dan pembelaan Majid yang terucap dari mulutnya yang gagap gemetar. Pembelaannya justru semakin menimbulkan kemarahan, kian memunculkan kecurigaan, tak ubahnya seorang lihai yang sedang bermuslihat, mengecoh degan kecakapan bersilat lidah –lidahnya seolah-olah sedang bersiasat untuk menciptakan dalih dusta guna mengelabui mereka. Maka Paijo pun memukul lidahnya, tetapi yang kena hantam malah mulut dan mukanya.

Hal inilah yang membuat masyarakat tidak bergabung untuk turut memberontak, seperti yang disampaikan dalam novel ini,

Alasan keengganan orang-orang adalah mereka tidak ingin mencari-cari penyakit dengan tentara. Jera sudah tubuh dan jiwa mereka atas azab yang mereka tanggung sebelumnya semasa Tahun-tahun Pembantaian berlangsung. (Nur, 2011: 49). Representasi Konflik Horisontal

Selain konflik vertikal, konflik yang lalu muncul juga adalah konflik vertikal. Konflik ini wajar terjadi karena didasari oleh ketidaksenangan akan adanya pertikaian. Saparatis dianggap sebagai biang keladi terhadap kehancuran yang terjadi. Menghancurkan rasa aman dan ketentraman. Hal ini wajar terjadi dalam setiap konflik seperti yang disinggung bahwa konflik seperti yang disampaikan Wirawan di awal pembahasan ini (2010: 106-109). Dalam novel ini, representasi konflik horisontal ini terlihat pada penggalan berikut ini, Pemimpin-pemimpin kami di sini, sejak dari masa kejayaan kesultanan sampai pada keruntuhan, terkenal paling suka bersitegang, berkelahi, membunuh, dan memelihara pertikaian abadi sehingga pada akhirnya kami semua terpuruk, tersuruk-suruk dalam kesengsaraan, hina, papa, dan binasa. Dan, mereka yang tersisah adalah bandit-bandit yang selamanya akan menjadi penyakit bagi kami semua. Mereka sangat senang begitu menyaksikan saudara yang sama jabatan atau yang lebih tinggi dari dirinya, jatuh terpuruk atau celaka. Tak ada orang lain yang boleh lebih hebat dan hidu senang di negeri ini. (Nur, 2011: 42)

Pada kutipan tersebut, terlihat bagaimana konflik horisontal seperti sengaja dipelihara sebagai upaya untuk mendapatkan jabatan atau dalam novel ini lebih menekankan pada upaua superioritas yang diusahakan oleh kelompok tertentu untuk menindas kelompok minoritas yakni masyarakat.

Ketidaksenangan juga terlihat pada seperatis yang juga bertindak semena-mena, misalnya dengan melarang masuk sekolah seperti kutipan berikut ini, Namun, aku melihat larangan sekolah itu lebih pada kepentingan lain yang merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap bertambahnya jumlah musuh kumisnya dari golongan kaumnya sendiri –yang kumaksud tentu saja bukan kaum kumis- yang kelak akan menyerang dan mengancam kumisnya... (Nur, 2011: 46)

(16)

Ketidaksenangan semacam itu tentu saja wajar. Hal ini karena larangan itu bersifat spekulatif untuk meneguhkan kepentingan kelompok tertentu. Ini yang kemudian disadari oleh masyarakat dalam novel ini sehingga pada akhirnya tidak menggubris larangan sekolah tersebut.

Konflik horizontal juga terjadi ketika masyarakat lebih menginginkan perdamaian dibandingkan dengan pemberontakan. Namun konflik dalam bentuk penolakan yang tidak dilanjutkan dalam upaya pencegahan lantaran ketidakkuasaan melakukan hal tersebut. Hal ini seperti terlihat pada kutipan berikut ini,

Maka, ketenangan yang sejenak hadir, tidak berlangsung panjang begitu lelaki itu muncul bersama kawan-kawan muda, menggelar tikar di beranda rumah mertuanya, lantas menghamburkan potongan-potongan senjata, megasin, laras AK-47 yang msih terpisah, beserta ratusan peluru sambil tergelak kegirangan... (Nur, 2011: 76)

Pernyataan tersebut menunjukkan ketenangan yang didapat kemudian diganggu lantaran adanya upaya untuk melakukan pemberontakan. Kegiatan tersebut yang lalu membuat orang-orang gelisah seperti yang ditulis pengarang novel ini,

Dia tidak menyadari wabah ketakutan dan ngeri di wajah mertua dan semua orang Lampuki yang begitu cepat menyebar dan menggentarkan tubuh. Celakanya, Ahmadi mengira sekalian orang turut menyambut dan mendukung tindakan bodohnya. (Nur, 2011: 77)

Konflik ini bisa jadi ditimbulkan dari upaya untuk memilih berdamai dibandingkan berada di tengah kekacauan. Pembantaian yang terjadi tentu menyisakan luka dan kesedihan yang mendelam, sehingga tak seorang pun hendak merasakan yang kedua kalinya.

KESIMPULAN

Aceh sebagai wilayah yang penuh konflik ternyata menyajikan sudut pandang cerita yang lain. Jika ditilik melalui novel Lampuki karya Arafat Nur ini, maka representasi konflik di Aceh terbagi menjadi dua. Yakni konflik vertikal, antara masyarakat dengan tentara (pemerintah), dan juga konflik horisontal antara masyarakat dengan pemberontak.

Kedua jenis konflik ini sebetulnya merupakan sesuatu yang tidak diharapkan karena kedua konflik yang terjadi telah merugikan banyak pihak yang tidak bersalah, tidak hanya harta, namun juga nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

Jassin, H. B. 1991.Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: CV Haji Masagung.

Esten, Mursal. 2000.Kesusastraan, Pengantar Teori dan

Sejarah. Bandung : Angkasa.

Klare, Mario. 2004. An Introduction to Literary Studies:

Second edition. London: Routladge.

Kurniawan,Heru.2009. Sastra Anak dalam Kajian

Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nur, Arafat. 2011. Lampuki. Bandung: Serambi Ilmu Semesta.

Rahwana. 2014. Teori Kritik Sastra Akademik Periode. http://rahwana-gosaki.blogspot.com. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sapardi Djoko Damono. 2002.Pedoman Penelitian

Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa

Depdiknas.

Semi, Atar.2012. Metode Penelitian Sastra.Bandung: CV ANGKASA.

____. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988.Apresiasi

kesusastraan,Jakarta : Gramedia.

Suwardi. 2011. Diktat Sosiologi Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.

Tjahyono, Liberatus Tengsoe. 1988.Sastra Indonesia

Pengantar Teori dan Apresiasi, Jakarta : Nusa

Indah.

Verlag,Rowohlt Taschenbuch dan Reinbek bei Hamburg.2011. An Introduction to Qualitative. London: Sage Publication.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori,

Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba

Humanika.

h t t p : / / i d . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / Pemberontakan_di_Aceh

(17)

PENDAHULUAN

Komunikasi dapat dianggap sebagai fungsi yang paling umum bukan hanya terjadi bagi pengguna bahasa. Komunikasi bukan hanya terjadi pada pemakaian bahasa tetapi memang bahasa merupakan sarana yang paling terperinci dan efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi dapat berjalan dengan lancar antara pembicara dan pendengar harus saling mengenal bahasa yang digunakannya.

Komunikasi yang wajar dapat diasumsikan seorang penutur mengartikulasi ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada petuturnya dan berharap petuturnya memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturan relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (straight

forward), sehingga tidak menghabiskan waktu

petuturnya.

Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi, yang dapat berupa gagasan, pikiran, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses komunikasi ini terjadi apa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur.

Tindak tutur biasa terjadi dalam komunikasi sehari-hari. Seperti dalam percakapan, dialog, diskusi, tanya jawab, wawancara, dan debat. Tindak tutur juga terdapat dalam drama, karena dalam drama tindak tutur yang terjadi didukung oleh faktor-faktor nonbahasa, seperti gerak-gerik, mimik, intonasi, irama, dan jeda.

Dalam film juga terdapat tindak tutur karena terjadi percakapan antara penutur dengan petutur. Misalnya saja dalam film Laskar Pelangi, yang mampu mengkomunikasikan gagasan penutur kepada petutur melalui dialog.

Film Laskar Pelangi menarik untuk diteliti karena mengandung tindak tutur direktif. Hal ini terlihat dari percakapan para tokoh yang terdapat dalam film tersebut.

KAJIAN TEORI 1. Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan suatu tindakan yang diungkapkan melalui bahasa yang disertai dengan gerak dan sikap anggota badan untuk mendukung pencapaian maksud pembicara. Leech (1983: 19 – 20) berpendapat bahwa tindak tutur ditentukan adanya beberapa aspek situasi ujar, antara lain (1) yang menyapa (penyapa, penutur) dan yang disapa

TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM PERCAKAPAN

PARA TOKOH FILM LASKAR PELANGI

Nur Aini Puspitasari

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-UHAMKA

Abstract: Based on the results of a study of narrative film Laskar Pelangi figures it can be concluded that the use of directive speech acts associated with the speakers intent to ask the hearer to do something. Directive speech act can be viewed from various aspects, as proposed by Bach and Harnish are divided into subcategories six directive speech acts, namely (1) requestives directive speech act, (2) questions directive speech acts, (3) requirements directive speech acts; (4) directive speech acts prohibitive; (5) permissives directive speech acts; (6) directive speech acts advisories. The sixth subcategory directive speech acts can be found in this thesis. Questions directive speech acts are directive speech acts that are mostly foundin this study.

(18)

(petutur); (2) konteks sebuah tuturan (latar belakang); (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk sebuah tindak kegiatan; (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

Austin (1962: 108) mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena pada umumnya ujaran yang merupakan tindak tutur mempunyai kekuatan-kekuatan. Berdasarkan hal tersebut Austin membedakan atau meng-kalisfikasikan tindak tutur menjadi tiga aspek. Ketiga aspek tersebut yaitu tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak mengucapkan kata atau kata-kata yang menurut tata bahasa dapat dimengerti dalam bahasa tertentu. Tindak ini kurang lebih dapat disamakan dengan menuturkan tuturan dengan makna dan acuan tertentu. Tindak ilokusi adalah tindak yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu. Tindak perlokusi adalah tindak yang mengacu kepada dampak atau efek yang ditimbulkan dengan menyatakan sesuatu.

Searle membedakan tindak ilokusi dan perlokusi. Menurut Searle tindak ilokusi ialah pesan yang dikonvensionalisasi yang dimaksudkan untuk dipahami petutur jika dia menganggap ujaran penutur sahih. Searle menegaskan bahwa penutur melakukan tindak ilokusi dengan memgungkapkan maksudnya untuk menjanjikan sesuatu, meminta seseorang melakukan sesuatu, menegaskan sesuatu, dan sebagainya. Dengan cara seperti itu, petutur dapat mengenali maksud penutur. Pada sisi lain, tindak perlokusi merupakan tindak yang tidak dikonvensionalisasi. Apakah penutur terhina, terbujuk, percaya, dan sebagainya tidak dapat dikenali hanya dari tindakan percaya atas pemahaman petutur. “Keberhasilan” dalam tindak perlokusi tidak dapat diprediksi dengan cara yang sama dalam tindak ilokusi. (Searle, 1969: 23-24)

Daya ilokusi tuturan pada dasarnya sesuatu yang dimaksudkan untuk dipahami. Keberhasilan dalam komunikasi terjadi manakala petutur dapat menangkap maksud penutur tersebut. Mereka memandang komunikasi sebagai proses inferensial. Penutur dengan apa yang dikatakannya memberi dasar bagi petutur untuk menginferensi maksud penutur.

Dalam sebuah tuturan konteks juga sangat berpengaruh dalam pemahaman tindak tutur. Konteks tuturan sangat mempengaruhi interpretasi tindak tutur oleh penutur maupun lawan tuturnya. 2. Taksonomi Tindak Tutur

Klasifikasi taksonomi tindak tutur yang dikemukakan para ahli mempunyai beberapa perbedaan (Cruse, 2004: 356). Perbedaan pengklasifikasian tersebut terjadi karena perbedaan sudut pandang dari para ahli, ada yang melihatnya dari sudut pandang filosofis, linguistik, dan relasi personal, seperti pada tabel berikut.

Tabel 1

Taksonomi Tindak Tutur Berbagai Ahli

Fraser dalam Nadar (2009: 16-17) juga membuat taksonomi tindak ilokusi menjadi delapan macam lengkap dengan contoh-contoh kata kerjanya sebagai berikut.

a. Acts of Asserting, contohnya accuse, acknowledge, add, admit, advocate, affirm, agree, allege, announce, apprise, argue, assent, assert, attest, aver, claim, comment, concede, conclude, concur, confess, confirm, conjecture, declare, deduce, denounce, deny, disagree, dispute, emphasize, grant, hold, inform, maintain, mention, note, notify, observe, point out, postulate, predict, proclaim, profess, protest, reaffirm, recognize, refuse, remark, remind, repeat, reply, respond, retort, say, state, submit, suggest, swear, tell, very, warn.

b. Acts of Evaluating, contohnya adjudge, analyse, appraise, assess, calculate, call, certify, characterize, choose, cite, classify, conclude, date, declare, describe, diagnose, estimate, figure, formulate, evaluate, find, grade, guess, hold, hypothesize, insist, interpret, judge, locate, make, measure, picture, place, portray, postulate,

(19)

put, rank, read, reckon, regard, rule, speculate, take, theorise, value.

c. Acts of Reflecting Speaker Attitude, contohnya accept, apology, acclaim, admonish, agree, apologize, applaud, approve of, blame, commend, commiserate, complain, compliment, congratulate, condemn, credit, curse, denounce, deplore, disagree, endorse, excuse, favor, object to, oppose, praise, protect, question, recognize, regret, salute, sympathise, thank, wish. d. Acts of Stipulating, contohnya abbreviate, begin,

call, characterize, choose, class, classify, code, declare, describe, define, denote, designate, distinguish, dub, identify, nominate, parse, recast, rule, select, specify, stipulate, term.

e. Acts of Requesting, contohnya appeal, ask, beg, bid, call on, command, demand, direct, enjoin, forbid, implore, insist, inquire, instruct, invite, order, petition, plead, pray, prohibit, restrict, request, require, solicit. f. Acts of Suggesting, contohnya admonish, advance, advise, advocate, caution, counsel, exhort, propose, recommend, suggest, urge, warn.

g. Acts of Exercising Authority, contohnya abolish, abrogate, accept, adopt, agree to, allow, apply for, appoint, approve, authorize, bless, cancel, choose, close, condemn, consent, countermand, credit, declare, decree, deny, dismiss, disown, dissolve, downgrade, excuse, exempt, fine, forbid, forgive, grant, greet, invoke, nullify, permit, present, prohibit, renounce, repudiate, reject, restrict, take back, tender, withdraw.

h. Acts of Commiting, contohnya accept, assume, assure, commit, dedicate, obligate, offer, pledge, promise, undertake, swear, volunteer, vow.

Penelitian ini menggunakan taksonomi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle yaitu asertif/ representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Pembagian Searle didasarkan pada jenis dan hakikat tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Allan, kelima tindak tutur yang diajukan Searle merupakan tindakan antarpribadi yang biasanya ditunjukan pada individu-individu. Oleh karena itu, jenis tindak tutur Searle ini dipilih sebagai dasar kajian kerena lebih menekankan hubungan komunikasi antarpersonal.

Berikut uraian kelima tindak tutur Searle (1962: 34-37)

a. Tindak tutur representatif megandung nilai kebenaran atau ketidakbenaran. Tindak tutur ini harus memiliki arah kecocokan dari kata

ke dunia. Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan, mengusulkan, membuat, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan.

b. Tindak tutur direktif mewujudkan usaha pada pihak penutur agar petutur melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan tindak representatif, tindak tutur ini memliki arah kecocokan dari dunia ke kata; dunia disesuaikan dengan kata yang terujar. Dalam tindak direktif ini, muncul kewajiban petutur yang harus dilakukan. Misalnya tindak direktif adalah memerintah, memohon, menuntut, dan sebagainya.

c. Tindak tutur komisif menjalankan pengu-bahan di dunia dengan cara menciptakan kewajiban; penutur berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini memilki arah kecocokan dari dunia ke kata. Perbedaannya dengan tindak tutur direktif adalah bahwa dalam tindak tutur komisif kewajiban terletak pada diri penutur, bukan pada diri petutur. Jadi pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan pada masa mendatang, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul, dan sebagainya. d. Tindak tutur ekspresif mengungkapkan

keadaan psikologis penutur dan tidak memiliki arah kecocokan antara kata dan dunia. Contoh tindak ini adalah berterima kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, memuji, dan sebagainya.

e. Tindak tutur deklarasi merupakan pernyataan yang mengubah perikeadaan di dunia, misalnya dari sekadar sepasang manusia menjadi suami-isteri. Tindak ini memiliki arah kecocokan dari kata ke dunia dan dari dunia ke kata. Berhasilnya ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya membaptis, memecat, member nama, menjatuhkan hukuman, mengangkat pegawai, dan sebaginya. Tindak deklarasi merupakan kategori tindak tutur yang sangat khusus karena melibatkan seseorang yang dalam sebuah lembaga diberi wewenang untuk melakukannya.

(20)

Tabel 2

Lima Fungsi Umum Dalam Tindak Tutur

3. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu (Gunarwan, 1992: 11). Tindak tutur direktif dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek

melalui tindakan sang penyimak (Levinson, 1983: 240). Tuturan-tuturan memaksa, mengajak,

meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberi aba-aba, menentang

termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif (Rustono, 1999: 33).

Tindak tutur direktif dapat mengungkapkan maksud penutur (keinginan dan harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diungkapkan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh petutur. Menurut Bach dan Harnish (1977: 47-49), ada enam subkategori utama tindak direktif, yakni requestives (memohon), questions (pertanyaan), requirements (perintah), prohibitives (larangan), permisivves (pemberian izin), dan advisories.

Requestives mengungkapkan keinginan penutur

sehingga petutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengungkapkan maksud penutur (atau jika jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengungkapkan keinginan

atau harapan penutur) sehingga petutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Verba

requestives ini mempunyai konotasi yang bervariasi

dalam kekuatan sikap yang diungkapkan, sebagaimana yang ada dalam mengundang, mendorong, dan meminta. Di samping itu, ada verba yang lebih kuat, yang mengandung pengertian kepentingan, seperti mendesak dan memohon. Sebagian verba

requestives memiliki cakupan yang lebih spesifik,

misalnya memanggil atau mengundang mengacu kepada permohonan terhadap permintaan agar petutur datang.

Questions (pertanyaan) merupakan request

dalam kasus yang khusus, yakni yang dimohon ialah petutur memberikan informasi tertentu kepada penutur. Terdapat perbedaan di antara berbagai jenis pertanyaan, tetapi tidak semuanya penting untuk taksonomi ilokusi. Menurut Bach dan Harnish, pertanyaan yang tidak terlalu cocok untuk analisis tindak tutur ialah antara lain pertanyaan ujian, pertanyaan retoris, interogasi, pertanyaan menguji (quiz), dan menyelidik (query).

Requirements (perintah) seperti menyuruh dan

mendikte jangan sampai dikacaukan dengan memohon (request), meskipun permohonan dalam pengertian yang kuat. Ada perbedaan penting di antara keduanya, yakni permintaan dan permohonan. Dalam requestives penutur mengungkapkan maksudnya sehingga petutur menyikapi keinginan yang diungkapkan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak. Dengan begitu, ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Akibatnya, perintah tidak mesti melibatkan ungkapan keinginan penutur supaya petutur bertindak dengan cara tertentu. Dalam mengungkapkan kepercayaan dan maksud yang sesuai, penutur mempraanggapkan bahwa dia memilki kewenangan yang lebih tinggi daripada petutur, misalnya otoritas fisik, psikologis, dan institusional, yang memberikan bobot ujarannya.

Prohibitives (larangan) seperti melarang atau

membatasi, pada dasarnya merupakan perintah agar petutur tidak mengerjakan sesuatu. Melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. Prohibitives dipisahkan dari requirements

Gambar

Table 1: Matrix of  Bloom’s Taxonomy
Table 2: Cognitive Domain

Referensi

Dokumen terkait