• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN SISTEM KENEGARAAN YANG DEMOKRATIS Penyikapan terhadap Pengaruh Asing

Dalam dokumen Tata Ulang Demokrasi dan TNI (Halaman 45-61)

Sebagai anggota masyarakat dunia tidaklah mungkin kita akan steril terhadap pengaruh lingkungan global dan juga kepentingan negaranegara sahabat. Oleh karenanya yang terpenting bagi bangsa ini adalah bagaimana menyikapi keadaan tersebut agar kepentingan nasional kita tidak dirugikan. Persis dalam hal ini diperlukan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia yang menjadi acuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan global dan dalam mengembangkan pola pembangunan bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai dasar masyarakat kita. Maka benarlah apa yang ditulis Frans Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat Kebudayaan

Politik bahwa “Pancasila hanya menjadi acuan etis kehidupan bangsa indonesia

dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apabila cita-citanya senantiasa diaktualkan sebagai pacuan pem bangunan kehidupan bangsa ke masa depan. Pancasila, baik dalam keseluruhanya, maupun dalam lima silanya, secara nyata harus

menjadi landasan pembangunan”28.

Hal itu, menurut Magnis, tidak berarti bahwa pancasila perlu langsung diopersionalisasikan, atau diberi tafsiran operasional [ misalnya mengoperasionalisasikan sila keempat pola yuridis-kongret tertentu demokrasi]. Operasionalisasi itu adalah tugas undang-undang dasar [jangka panjang, landasan perspektif jauh] dan undang-undang /kebijakan politik biasa yang masing-masing mempunyai stablitas maupun kemungkinan perubahan yang sesuai [yang juga ditentukan dalam UUD/UU itu sendiri]. Operasionalisasinya, asal sesuai cita-cita asli, adalah tugas negara dan tidak bersifat mutlak, melainkan justru relatif fleksibel sesuai dengan tantangan nyata yang dihadapi bangsa indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, Pancasila jangan dilihat sebagai rel yang tinggal diikuti saja [sehingga tafsiranya menjadi amat penting dan pancasila akan menjadi idiologi tertutup], melainkan, sesuai dengan hakekat etisnya, sebagai tantangaan ideal untuk terus-menerus mempertanyakan: sesuaikah realitas, tindakan, undang-undang, mekanisme, sruktur kekuasaan sekarang ini dengan Pancasila, dasar negara kita? Sesuaikah situasi agama-agama dengan Ketuhanan Yang Mahaesa? Beradab dan adilkah cara masyarakat sederhana diperlakukan dalam pelaksanaan pembangunan? Apakah kebijkan itu menunjang persatuan nasional? Apakah “demokrasi pancasila” kita sekarang sudah memenuhi cita-cita kerakyatan pancasila? Apakah pembangunan betul-betul mengarah ke perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?29.

Dalam pelaksanaanya, Pancasila pun perlu menyesuaikan diri dengan perubahan global. Dalam hal pengaturan HAM misalnya cepat atau lambat niscaya kita akan menyesuaikan diri dengan tuntutan global. Makin cepat kita menyesuaikan, makin cepat pula kepenting an nasional diuntungkan, dan sebaliknya kalau kita terus memperlambat dalam menyesuaikan tuntutan global, maka makin lambat pula kepentingan nasional kita diuntungkan oleh global. Hasil Amandemen UUD 1945 dan juga dalam Ketetapan MPR dan kemudian dielaborasi dalam Undang-Undang yang mengatur HAM, sesungguhnya mempunyai kesamaan latar belakang yaitu persoalan supremasi hukum. Yang terjadi fungsi yudikatif kemudian dicampuri oleh DPR, 28 Frans Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal 110. Keseluruhan isi buku ini sangatlah perlu dipahami dengan cermat dalam rangka mendalami apa hakikat budaya politik kita sebagai bangsa. Magnis dalam buku ini memperlihatkan bahwa ternyata bangsa Indonesia memiliki kebudayaan politik yang khas namun kurang begitu disadari sehingga diperlukan penyegaran kembali tentang filsafat bangsa Indonesia di tengah perkembangan dan perubahan global yang terus menawarkan berbagai cara pandang dan pola hidup.

sebagai mana diatur dalam Tap MPR NO: XVII / MPR / 1998 dan Undang-undang No:39 tahun 1999 masing masing tentang HAM. Lantas bagaimana proses penegakan HAM khususnya terhadap pelanggaran HAM dimasa lalu bisa diselesaikan dengan efektif dan efisien, kalau mekanisme yang mengatur justru menjadikan kasus HAM sebagai komoditas politik.

Dengan konsep politik yang demikian itu sangatlah tidak mungkin proses penyelesaian pelanggaran HAM tanpa tarik-menarik kepentingan politik sehingga akan terus berlarut. Dan ketika masyarakat dunia menempatkan persoalan penegakan HAM sebagai persyaratan pergaulan internasional khususnya untuk bidang-bidang tertentu utamanya dalam kerjasama Militer, banyak pihak menjustifikasi bahwa pihak asing menekan bangsa kita dengan isu HAM. Belum dicabutnya embargo persenjataan dan tersendatnya kerjasama kemanusiaan bahkan ekonomi dan sejumlah negara dengan persyaratan penyelesaian kasus HAM, kemudian ditempatkan sebagai bentuk tekanan asing terhadap bangsa kita. Padahal makna terdalam dari persoalan penyelesaian pelanggaran HAM adalah bukti komitmen bangsa ini telah berhasil mereformasi TNI, yang diindikasikan dalam bentuk "Military Under The Law". Hal yang demikian itu tidak lepas dari trend dunia yang menempatkan "supremasi sipil" sebagai parameter demokrasi. Dan salah satu indikatornya adalah militer tunduk kepada hukum sebagaimana yang diamanat Sumpah Prajurit TNI. Jadi persoalannya sama sekali bukanlah masalah balas dendam terhadap TNI dari rakyat kita dan atau warga negara Tim-Tim yang terlanjur menjadi korban atau kehilangan sanak keluarganya akibat penampilan TNI dimasa lalu. Padahal untuk menyelesaikan persoalan tersebut sesungguhnya sangatlah mudah, simple dan bukan pekerjaan yang ruwet, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak khususnya prajurit TNI yang hanya melaksanakan tugas negara.

Di negara kita kemelut ini menjadi bertambah kompleks ketika asing kemudian terlibat dalam proses perubahan politik termasuk dalam proses amandemen UUD 1945 dan juga Pemilu dan proses demokrasi lainnya. Yang belum dipahami oleh banyak pihak atas keikutsertaan pihak asing baik langsung dengan bantuannya ataupun melalui NGO adalah sebuah fakta dan realitas pergaulan internasional kontemporer yang tidak hanya terhadap Indonesia tapi juga terhadap semua bangsa dan negara dibelahan benua manapun. Tidak ada satupun proses perubahan politik dalam sebuah negara akan bebas dari persoalan pengaruh asing, tak kecuali dilingkungan negara atau bekas negara Komunis termasuk Cina, Rusia, dan

lain--lainnya, dan juga kita Indonesia. Karenanya yang harus kita sikapi bukanlah mempermasalahkan persoalan yang nyata-nyata sudah jadi realita pergaulan internasional, tapi bagaimana dan dimana kita harus memposisikan diri. Akankah kita mengambil sikap sebagaimana negara-negara Afrika seperti Etophia, dan Somalia umpama- nya, ataukah kita akan mengambil sikap seperti Cina, Rusia, dan sejumlah Negara Komunis lainnya, atau bahkan kita akan meniru sejumlah negara Islam seperti Pakistan, Saudi Arabia dan tetangga kita Malaysia, dan lain-lainnya.

Dengan alur pikir yang demikian, niscaya kita tidak kehilangan banyak tenaga untuk terus melawan arus global. Tanpa kejelasan orientasi sehingga ke- pentingan nasional kita terus dirugikan. Ataukah kita kembali mencari kambing hitam, padahal yang salah adalah diri kita sendiri yang tidak mampu memposisi- kan diri secara tepat dalam pergaulan internasional. Bagaimana mungkin kita harus mengambil sikap "melawan arus" terhadap tuntutan global dalam hal pemberantasan terorisme umpamanya dengan mencampuradukan antara Islam dan Terorisme. Sehingga mengejar terorisme dilingkungan Pondok Pesantren kemudian diidentikan mengintervensi Islam. Bukankah Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Malaysia dan sejumlah negara Islam lainnya justru sangat antusias dalam perang melawan Terorisme.

Dan begitu pula terhadap tuntutan global lainnya seperti demokratisasi, "clean

governance", "transpa ransi", perdagangan bebas, "money loundry", dan lain-lainnya

tidaklah seharusnya akan ditempatkan sebagai tekanan global terhadap bangsa kita. Bukankan akan lebih baik kalau kita bersikap sebaliknya, dengan menjadikan hal tersebut sebagai kebutuhan sekaligus sebagai misi bersama. Untuk itu dalam penyusunan konsep demokrasi hal-hal yang demikian menjadi mendasar untuk diakomodasikan.

Bebas tirani dan jaminan kesetaraan

Konstitusi yang baik didalamnya akan berisi sejumlah aturan dasar dalam bernegara yang menjamin lahirnya sebuah rasa keadilan bagi segenap warga bangsanya tanpa kecuali. Oleh karena itu konstitusi haruslah membebaskan negara dari tirani baik yang berlatar belakang paham, ideologi ataupun pendekatan dan program dalam pengelolaan Negara dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini otomatis segala bentuk konflik kepentingan, perbedaan pendapat yang bersumber pada paham, ideologi, pendekatan, dan atau program dan bahkan

agama ditempatkan pada tataran operasional yang menjadi tanggung jawab pemerintahan yang berkuasa yang diatur dalam siklus pergantian melalui siklus Pemilu. Model ini akan membuat dinamika apapun yang terjadi dalam tubuh bangsa termasuk pergolakan bersenjata sekalipun tidak akan lagi menyentuh eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara. Selain itu model ini akan menyelamatkan kita dari konsekuensi penerapan ekonomi-pasar yang berciri kapitalis selama ini sebab menurut Robert A Dahl, kesetaraan politik sulit tercipta dalam masyarakat yang menganut ekonomi-kapitalis. Dan kalau mau jujur, Indonesia sudah menganut model ekonomi-pasar kapitalis sehingga sangat mungkin bahwa kesetaraan politik tidak tercipta seperti halnya kesetaraan ekonomi yang sulit terwujud.

Karena menurut Dahl, perkembangan keyakinan demokrasi dan sebuah kebudayaan demokrasi erat kaitannya denngan apa yang secara kasar disebut ekonomi pasar. “Lebih khusus lagi, kondisi yang sangat mendukung lembaga-lembaga demokrasi adalah sebuah ekonomi pasar yang perusahaan-perusahaan ekonominya sebagian besar dimiliki oleh swasta dan bukan oleh negara, yaitu sebuah ekonomi kapitalis, bukan sosialis atau statis. Namun, hubungan erat antara demokrasi dan kapitalisme-pasar tersebut menyembunyikan sebuah pradoks: suatu ekonomi kapitalis-pasar tak pelak menghasilkan ketimpangan dalam sumber-sumber politik yang bisa dingunakan oleh warga negara. Jadi suatu ekonomi kapitalis-pasar benar-benar melemahkan persamaan politik: warga negara yang tidak sama secara ekonomi, secara politik tidak mungkin sama pula. Tampaknya disebuah negara dengan ekonomi kapitalis-pasar, persamaan politik tidak mungkin tercapai. Akibatnya, ada suatu ketegangan yang tetap sifatnnya antara demokrasi dan sebuah ekonomi kapitalis-pasar. Apakah ada sebuah alternatif yang layak bagi kapitalisme-pasar yang tidak terlalu membahayakan persamaan politik?”30 Itu pertanyaan Dahl yang sekaligus juga menjadi pertanyaan kita di sini.

Mereka yang berhasil membuktikan bahwa paham dan atau programnya dalam mengelola negara berhasil dan mampu membangun peradaban dengan lebih baik, niscaya akan dipercaya oleh rakyat dalam Pemilu. Dan sebaliknya mereka yang tidak mampu mayakinkan dan apalagi gagal membuktikan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan niscaya sulit untuk mendapat kesempatan keluar sebagai pemenang dalam Pemilu berikutnya. Konsekwensi logis dari model ini, maka 30 Robert A Dahl, 1999, Perihal Demokrasi, Menjelajah Teori dan praktek secara singkat, terjemahan A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Obor, 2001), hal. 216

fungsi dan peran serta penampilan partai-partai politik termasuk mekanisme dan fatsun politiknya haruslah dibenahi sebagaimana yang seharusnya dalam tatanan negara demokrasi dengan pilihan sistem yang jelas mau presidensial ataukan parlementer. Kedepan tidak boleh terjadi, dalam konstitusi untuk pengelolaan bidang tertentu, ekonomi umpamanya diamanatkan menggunakan pendekatan kerakyatan. Namun dalam praktek penyelenggaraan justru menggunakan model kapitalisme. Yang terjadi kepentingan rakyat tetap terabaikan, dan kapitalisme yang berkembangpun menjadi tanpa etik moral. Begitu pula dalam hal pilihan model demokrasi, sesungguhnya kedua model demokrasi mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, tapi yang pasti kalau keduanya dicampur-adukkan yang terjadi akan muncul kerancuan yang fatal seperti yang terjadi dalam UUD-45 hasil amandemen.

Konstitusi juga harus menjamin kesetaraan perlakuan negara terhadap segenap warga bangsa tanpa kecuali. Dengan demikian ukuran rasa ke Indonesia an tidak lagi didasarkan pada asli atau tidak asli, pribumi atau bukan pribumi, dan bukan pula karena latar belakang agama dan etnis yang mayoritas atau minoritas, juga bukan pula karena faktor kedaerahan. Tapi semata-mata karena kepatuhan seseorang terhadap hukum dalam menjalankan hak dan kwajibannya sebagai warga negara.

Konsistensi terhadap Prinsip Dasar Demokrasi

Dengan menemu-kenali sejumlah masalah serius yang terdapat dalam sistem demokrasi yang kita laksanakan selama ini, maka keharusan yang utama bagi bangsa ini adalah segera membuat rancang bangun kembali atas sistem kenegaraannya. Hanya dengan berangkat dari konsep sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis maka tatanan kehidupan sosial, kebangsaan dan kenegaraan, serta peradaban kita bisa dibangun dengan baik dan pembangunan berjalan dengan lancar. Paling tidak ada yang diharapkan Amartya Zen menjadi nyata bahwa pembangunan diukur dari seberapa tinggi tingkat kebebasan manusia di dalamnya. Amartya Zen, melalui tesis cemerlangnya development as freedom, menegaskan bahwa pembangunan tidak hanya ditakar melalui pendapatan per kapita yang dicapai orang per orang dalam suatu negara, tetapi juga diukur melalui kadar kebebasan orang-orang di dalamnya. Maksudnya bahwa semakin maju suatu pembangunan nasional, semakin bebas warga negaranya31. Lebih jauh, pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara 31 Amartya Zen, Development as Freedom, (New York: Alfred A Kopf, 1999)

berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional yang dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya. Kondisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks serta bersifat multidimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan bersungguh-sungguh32.

Hal yang demikian itu menjadi lebih mendasar manakala kita memahami sebagai bangsa kita memang belum pernah mengukir peradaban dalam kerangka Indonesia sebagaimana peradaban Cina, Thailand, India, dan sejumlah negara lainnya yang dari awalnya memang sudah mengikat diri dalam sebuah kerajaan. Disanalah maka dalam masa transisi yang dilingkupi dengan kerusakan kejiwaan kebangsaan seperti yang kita hadapi saat ini diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal cara pandang kita. Kedepan janganlah terus melanjutkan pendirian yang menempatkan demokrasi sebagai "barat", karena nilai-nilai yang kerkembang didalamnya sudah tidak lagi identik "barat". Maka persoalan yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan azas obyektifitas dan rasionalitas sehingga persoalan kephobian tertentu tidak mengalahkan kebenaran. Apalagi nilai-nilai yang dikandung kebenarannya telah teruji tidak hanya dilingkungan negar-negara barat saja, tapi hampir diseluruh belahan bumi manapun termasuk di Asia seperti Jepang, Korea, India, Thailand, Philipina, dan bahkan sekarang Cina, serta negara-negara lainnya. Dengan kata lain nilai-nilai yang terkandung dalam paham demokrasi sesungguhnya untuk saat ini sudah menjadi nilai universal berlaku dimana dan bagi siapa saja, dan niscaya juga berlaku bagi bangsa dan negara kita juga.

Untuk itu dalam penataan ulang rancang bangun politik nasional kita kedepan, persoalan konsistensi dalam menerapkan prinsip dasar demokrasi dengan pilihan model sistem presidensial menjadi sangat mendasar.

Oleh karena itu konstitusi kita kedepan haruslah memuat sejumlah kaidah demokrasi, antara lain:

Kedaulatan berada di Tangan Rakyat33

32 Departemen Dalam Negeri, Panduan Pembangunan Etika Politik, jakarta: 2004

33 Agaknya sudah bukan rahasia lagi kedaulatan rakyat sudah hilang dari tangan rakyat ketika anggota DPR dan siapa saja yang memerintah atas nama rakyat menjalankan kekuasaan tidak lagi sesuai dengan kehendak rakyat dan tidak lagi untuk kepentingan rakyat. lebih sering sekarang para pemimpin

berkuasa untuk diri sendiri dan untuk kelompok politiknya. Tentang hal ini kita bisa pahami dengan baik kalau mengetahui pandangan pakar demokrasi Joseph Schumpeter dalam bukunya Socialism,

Hal yang mendasar dari prinsip ini bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam Pemilu tidak pernah memberikan, menguasakan atau menyalurkan kedaulatannya kepada pihak lain kecuali dengan Presiden dalam bentuk kontrak sosial yaitu segala janji tentang yang akan dijadikan program kerjanya, dan dengan anggota DPR khusus dalam hal dukungan kelegislasian dan pengawasan terhadap Presiden. Persoalan konsistensi terhadap prinsip dasar ini sangatlah penting, karena justru disanalah letak obyektifitas dan rasionalitas penggunaan kedaulatan rakyat. Janganlah atas nama rakyat kemudian begitu saja memberi wewenang diluar "mandat" yang diberikan oleh rakyat itu sendiri. Tanpa kesadaran ini “kekuatan” yang dipunyai dalam sistem presidensial akan “dihabisi” oleh peran DPR dan Partai sebagaimana layaknya dalam sistem parlementer. Sementara itu DPR dan Partai akan berpenampilan sebagaimana layaknya dalam sistem parlemeter, namun kinerja DPR dan Partai tidaklah mungkin optimal sebagaimana mestinya dalam sistem parlementer. Maka yang terjadi sistem yang dibangun bukanlah sistem presidensial, tapi tidak juga sistem parlementer.

Chek and Balance

Chek and balance dalam sistem presidensial hanya muncul manakala kedudukan Presiden dan Anggota Legislatif sama-sama sebagai konstanta. Dengan demikian stabilitas yang akan diciptakan bukan lagi model Orde Baru dimana besar kecilnya dukungan DPR kepada pemerintah sebagai parameter. Karena pilihan kita adalah sistem presidensial, maka legitimasi baik pada Presiden maupun pada anggota DPR datangnya langsung dari rakyat. Ketidak-taatan terhadap prinsip dasar ini akan melahirkan kegamangan dan potensi keragu-raguan baik pada diri presiden maupun para anggota DPR akibat resiko yang mengancamnya, karena setiap saat bisa terancam “jatuh” (untuk Presiden) atau direcal (untuk anggota DPR).

Supremasi sipil

Supremasi sipil adalah tuntutan global yang tidak bisa dielakkan oleh negara manapun. Kata sipil disini yang dimaksud bukanlah penduduk, warga negara, atau rakyat diluar militer. Sipil yang dimaksudkan disini adalah keberadaban. Jadi persoalan supremasi sipil bukanlah berarti menempatkan tentara dibawah orang sipil. Akan tetapi sebuah sistem politik yang diatur berdasarkan cara-cara yang beradab, yang cirinya adalah buttom up, kebebasan, kemerdekaan, perbedaan pendapat, dan ketaatan terhadap hukum. Dalam prakteknya sistem yang tidak menjujung

tinggi azas supremasi sipil, maka peran militer menjadi sangat menonjol.

Dalam sistem yang tidak mendasarkan secara kuat pada azas ini akan berakibat lahirnya pemerintahan otoriter yang dampak ikutannya berupa intervensi hak-hak sipil oleh alat kelengkapan negara utamanya oleh militer. Dwi Fungsi ABRI adalah salah satu model dimana supremasi sipil diabaikan. Untuk itu yang paling mudah dalam mewujudkan azas supremasi sipil adalah menempatkan militer di luar domain sipil sehingga militer tidak terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis. Dengan demikian timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan individu dan kelompok warga negara bisa dihindari karena jaminan dari sistem. Ciri untuk mengenali yang paling mudah, manakala pimpinan militer tidak duduk sebagai anggota cabinet ditingkat pusat dan anggota Muspida untuk tingkat daerah.

Transparansi

Keterbukaan adalah prinsip dasar yang penting dalam sistem demokrasi. Dengan keterbukaan akan terjadi kontrol sosial yang efektif sebagai "feed back" bagi sistem untuk mengadakan dinamika internal. Keterbukaan juga akan membuat sistem demokrasi bisa merespond aspirasi rakyat dan pengaruh lingkungan sedini mungkin. Dalam hal rekruitmen kader umpamanya, dengan keterbukaan akan dihindari kerusakan sejak dari awal, dengan demikian maka resistensi dan penolakan yang datang dari dalam sistem dapat dihindari dari awal pula34. Yang jelas dengan sistem yang terbuka akan lahir kader-kader berkualitas, dan mereka yang tidak berintegritas akan jatuh sejak dari awal saat kader tersebut masih berada di strata bawah. Untuk menunjang agar sistem benar-benar terbuka terlebih dalam pengelolaan sumber daya, maka perlu didukung dengan Undang-undang Hak Untuk Mengetahui. Hak ini sesungguhnya juga bersumber dari prinsip dasar kedaulatan ditangan rakyat. Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan membuat suburnya KKN sebagaimana yang terjadi selama Orde Baru.

Kejujuran dan Keadilan

Persoalan kejujuran dalam sebuah sistem demokrasi janganlah diserahkan kepada orang perorang, tapi haruslah dijamin oleh sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka negara haruslah memberi akses yang sama (adil/"fairness") terhadap segenap warga negara dalam pengelolaan sumber daya ataupun kesempatan berusaha serta pemanfaatan fasilitas yang disiapkan oleh negara. Untuk itu peran negara haruslah 34 Lihat juga penjelasan dalam Robert A Dahl, Ibid

diposisikan lebih sebagai regulator dan fasilisator bukan sebagai pemberi "kueh" pembangunan seperti yang terjadi selama ini. Disinilah maka Negara tidak boleh mengambil keuntungan (frofit) dari rakyat dengan dalih apapun, dan untuk membiayai roda pemerintahan hanya ditempuh dengan memungut pajak. Untuk mendukung prinsip dasar ini maka paham bahwa negara kita adalah negara hukum menjadi sangat penting. Karenanya ukuran yang digunakan oleh pemerintah dalam memutuskan kebijakan hanyalah berdasarkan hukum. Maka setiap lembaga negara harus melengkapi diri dengan mekanisme baku yang mengatur hak dan kwajiban dan tata cara pelibatannya. Dengan demikian semua kebijakan negara dapat terukur. Dan segala perbuatan oleh alat kelengkapan negara diluar aturan main yang telah dibakukan haruslah diasumsikan sebagai tindakan yang mengandung unsur KKN. Untuk mendukung prinsip dasar ini maka back up supremasi hukum menjadi sangat penting.

Pengabaian terhadap prinsip dasar ini akan berakibat munculnya perilaku birokrasi yang KKN dan muaranya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang menganga serta sulitnya mendapat rasa keadilan. Saya tertarik dengan apa yang ditulis Prof Dr T Jacob dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis bahwa bangsa ini menjadi terbelakang dan miskin karena tidak ada pengaturan yang serius dari negara dalam hal pembangunan manusia. Bahkan Jacob menuduh keterbelakangan dna kemiskinan di Indonesia karena tidak adanya kecukupan nutrisi yang merata di tengah anak-anak bangsa akibat ketidakadilan dalam hal pembangunan.35

Tentang bagaimana ketidakadilan diatasi, Frans Magnis Suseno mengatakan

Dalam dokumen Tata Ulang Demokrasi dan TNI (Halaman 45-61)