• Tidak ada hasil yang ditemukan

TNI DALAM KERANGKA SISTEM DEMOKRASI

Dalam dokumen Tata Ulang Demokrasi dan TNI (Halaman 93-106)

Pada bagian ini, penulis ingin membahas secara spesifik tentang reformasi TNI dalam konteks politik demokrasi di Indonesia. Berhubung apa yang penulis paparkan pada bagian ini lebih pada langkah-langkah penataan yang praktis dan sedikit banyak konseptual, maka diperlukan penambahan analisis dari sudut pandang teoritis-ilmiah sehingga pada bagian awal penulis merasa perlu memasukkan analisis Sunardi dan Boni Hargens dari Universitas Indonesia secara utuh. Dua tulisan yang membuka bab ini, akan menjadi acuan teoretis untuk memahami kelanjutan analisis saya di bagian setelahnya.

Militer, Polit ik , dan Demokrasi dalam Amatan Teoritis. Oleh Sunardi45

Kalau ada sisi yang tak terusik dalam analisa teori sistem politik yang di kemukakan David Easton, barangkali itulah militer. Entah karena pengamatannya dikerangkakan dalam konteks tradisi politik Amerika bahwa militer adalah bagian dari birokrasi negara, atau entah karena ia terpukau dengan dalil bahwa setiap perbuatan atau tindakan yang merusak sistem politik adalah bersifat anti politik, yang jelas tampaknya bahwa ia bukan saja tidak membayangkan militer sebagai suatu kekuatan vital negara yang ke terkaitan peran sertanya di dalam negara bersifat longgar, tapi juga tidak memperkirakan kelompok profesional itu akan dan dapat menggerakkan aksi-aksi, termasuk revolusi, untuk mengancam kelangsungan sistem politik yang ada.

Padahal menurut catatan, Victor Hugo sudah sejak paruh kedua abad ke-19 mengguratkan perilaku militer dalam menjatuhkan monarki Francis 1851 dalam karya 'Napoleon si Kontet yang diterbitkan di London 4 Agus-tus 1852. Atau bahkan kata-kata: staatsstreich, colpo di Stato, golpe deestado, atau coup d'Etat, 45Dosen Senior di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

telah ada se-belum kata coup masuk dalam perbendaharaan kata Inggris. Kendati kata-kata itu pada abad pertengahan tidak lebih mengekspresif seperti kata revolusi, tapi kata-kata: sar-genfazo, cuartelazo, atau promuncia-miento, yang pada umumnya menunjuk pada pembelotan militer sudah dikenal jauh sebelum itu di negara-negara yang berbahasa Spanyol.

Kalaupun hal itu tak sempat diketahui, tentu bukanlah tak perlu diabaikan kalau kelompok akrab dan piawai dengan kekerasan itu bisa dan dapat buka toll ke kekuasaan, ke kekayaan, dan kekedudukan terpandang lainnya. Soalnya bukan legitimate atau illegitimate, tapi keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat memberikan rasionalitas dan justifikasi buat penaklukan dan penguasaan orang, masyarakat dan rakyat yang tak bersenjata. Kalaupun mungkin orang baru berbicara tentang militerisme di negeri Paman Sam itu beberapa waktu setelah Easton menerbitkan karyanya itu, tapi kajian tentang perbandingan politik, tentang negara-negara yang baru merdeka, bukan tak hiruk pikuk di dunia universitas mereka. Huntington sendiri mencoba membedah apa itu breakthrough

coup, abortive coup , dan veto coup untuk menunjukkan bagaimana militer suka

inelakukan intervensi ke dunia politik sipil.

Dalam hal yang paling funda mental yang dilupakannya adalah bahwa dalam konteks politik sebuah negara-bangsa, sebuah organisasi militer bukan saja diciptakan untuk mendukung sebuah cita-cita politik, tapi penguasaan terhadapnya juga merupakan standar buat keoperasionalan sebuah kekuasaan politik. Oleh karena itu sesungguhnya tak heran kalau militer lebih dari sekedar sebuah kelompok kepentingan yang mempunyai minat dengan pengambilan keputusan politik, tapi juga adalah suatu jaringan kultur ideologi yang memberi penampang sebagai suatu sistem sosial yang dengan kelengkapan instumen dan kemampuan manajerialnya secara riil atau potensial dapat membingkai suatu sistem politik yang mereka kehendaki. Oleh kare itu pula, kata Jano witz, adalah mustahil mengisolasi militer dari kehidupan politik domestik, termasuk mengesampingkannya dari pendidikan politik untuk membangun sistem politik untuk membangun komitmennya terhadap sistem demokrasi dan pemahaman bagaimana sistem itu bekerja.

Tentang soal demokrasi itu, kendati disadari memiliki potensi untuk menjadi the center of hyper nationalistic movement, tapi Lucian W. Pye tak ragu untuk menaruh kepercayaan kepada kelompok yang dilihatnya sebagai the modernizers

itu sebagai the only effective entity, atau the critical group in the shaping the cause of nation building itu, karena standar modernitas dirinya mengacu pada luar negeri (nilai-nilai organisasi dan teknologi Barat), sehingga ia yakin bahwa sebagai lembaga yang lebih modern dibandingkan dengan masyarakatnya, militer akan menjadi tidak terlalu akrab dengan tindakan-tindakan kekerasan. Dengan keunggulan-keunggulan yang di milikinya militer akan lebih bersifat membimbing dalam banyak asprk kehidupan masyarakat sipilnya yang masih belum maju itu. Pendek nya ia percaya bahwa militer adalah the savior, seperti tindakan Jender.il Mac Arthur mengamankan pemerintahan Presiden Herbert Hoovri dengan pasukan berkuda, pasukan lapis baja, pasukan bersenjata mesin, dan pasukan berjalan kaki dalam menghadang para penuntut jasa di Washington DC tahun 1930 an, begitulah.

Entah digebui dengan semangat idenlogi perang dingin untuk menjadikan tentara negara-negara baru sebagai kuda tunggang untuk menghajar komunis di dalam negerinya masing-masing, entah disedak oleh kegembiraan melihat bahwa tentara-tentara di negara-negara baru memngagumi teknologi senjata Barat sehingga umumnya mereka netral dalam persaingan pengaruh global yang ada, yang pasti Pye tidak awas bahwa tentara umumnya bukan saja punya espirit de corps tradisi heroik, identifikasi profesional dan kehormatan, tapi angkatan darat

di mana pun juga senantiasai mengembangkan keahlian politik militer, apakah berkenan dengan kecabangan pemerintahan, perang, psikologis, atau intelejen strategis; yang kesemuanya justru telah tak memungkinkan sipil terlibat dalam kompleks organisasi militer. Artinya, pada tingkat manapun organisasinya, tentara kental dengan identifikasi the outsiders , selain opeirasi-operasi strategisnya juga memang diletakkan pada premis yang berstandar ganda (bukan hanya pada masa perang, tapi juga pada masa damai).

Begitupun dengan sistem indoktrinasi yang membentuk orientasi litiknya diamati lebih berpengaruh daripada pendidikan politik yang kemudian diterimanya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan memenuhi koperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal kenapa demikian. Pertama, karena kriteria perekrutan anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan latar belakang sosial (keluarga, daerah), dan ideologi (konservatisme) ketimbang semata

lebih berpengaruh dari pada pendidikan politik yang kemudian diterimannya. Menurut Janowitz adalah salah menganggap pendidikan politik akan memenuhi keperluan demokrasi politik pada tentara. Setidaknya ada dua hal kenapa perekrutan anggotanya dan pemilihan. Pertama, karena kriteria perekrutan anggotanya dan pemilihan perwiranya masih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan latar belakang sosial (keluarga, daerah), dan ideologi (konservatisme, daerah), ketimbang semata oleh kriteria akademik. Alasan pokok buat pendahuluan kriteria itu adalah karena latar belakang dan ideologi itu, tradisi militer dan kepahlawanan buka saja akan tetap terpelihara, tapi lingkungan organisasi militer juga bisa diperkuat dengan pola-pola kepercayaan itu. Kedua,

karena pendidikan militer lebih diorientasikan pada pelaksanaan teknis. Akibatnya, tradisi-tradisi, slogan-slogan, dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis masih tetap lebih menonjolkan ketimbang program pendidikan formalnya.

Oleh karena itulah, kendati civic missions yang dilancarkan tentara diangap banyak bermanfaat bagi masyarakat atau negara, karena " the military can accomplish projects faster, hi'll,-i mid cheaper " tapi missi itu juga selain

sesungguhnya untuk memperluas jangkauan kemampuannya dan untuk merentangkan basis dukungan klientelistiknya, pun pada esensinya terkerangka dalam diktum Sun Tzu, "kenali medan untuk memenangkan pertempuran". Meski begitu, yang kerap tergambarkan adalah bahwa militer lebih punya dedikasi untuk mengabdi kepada bangsa, dan dianggap lebih siap un tuk mengorbankan kepentingannya demi tujuan nasional, atau untuk meraih kekuatan bangsa dan negara. Bayangan dan anggapan itu sendiri kemudian diidentifikasikan dengan dirinya, baik untuk keperluan pemupukan tradisi heroismenya, maupun untuk kepentingan politik memperkuat dan memanlapkan citranya melalui penciptaan kondisi-kondisi politik yang chaotik untuk mengekspresikan kehingar bingaran demokrasi dan ketidak berdayaan politk sipil.

Sistem politik sebagai suatu perbendaharaan kata perbandingan politik yang diintrodusir sebagai pengganti gambaran tentang pemerintah, bangsa, Jan negara, secara konseptual tampaknya lebih melihat masalah-masalah birokratisasi, sen-tralisasi, dan militerisasi sebagai masalah yang mempengaruhi ke-mampuan sistem untuk mengembangkan dirinya. Dan karena thesis utamanya adalah keseimbangan dan kestabilan, maka tak heran kalau norma utama yang diletakkannya adalah "law and order can be main tained" ...if an organized army

or police force is available". Atau dengan kata lain, sistem politik sesungguhnya bertali-temali dengan penggunaan kekerasan fisik, atau "authoritative al location of values", kata Easton, atau "severe deprivation" kata Harold Laswell. Artinya, kendati mungkin sistem politik tidak selalu terkait dengan senjata, penguasaan, dan penindasan, tapi ia bukan sama sekali lepas dengan penekanan dan pemaksaan.

Meski begitu tidaklah jelas apakah karena esensi itu Easton berupaya untuk tidak lebih menampilkan negara ketimbang sistem politik yang jelas, dua dasawarsa setelah karya tentang teori sistem politiknya terbit, ia mengomentari gerakan untuk meninjau kembali soal negara yang dilakukan Evans, Rueschemeyer, dan Skocpol yang mengetengahkan asumsi bahwa pada galibnya negara dibentuk oleh klas atau melalui perjuangan kelas dan berfungsi untuk melindungi dan memperluas cara-cara produksi, sebagai munculnya “ a contemporary revival of Marxism”. Kenapa mungkinkah karena preposisi

struktral fungsional yang digelarnya yang mengesampingkan society centered assumptions, telah macet atau karena telah terobeknya negara sebagai a po litical strategy yang kekuatan alam kekuasaannya lebih tumbuh dari ke kerasan yang membekalinya, atau karena pendapat Marx mengenai hubungan masyarakat negara bahwa pilihan apakah negara menguasai atau dikuasai masyarakat sepenuhnya menjadi hak yang terakhir, bukan diciptakan oleh kekuasaan dan tidak dikonsolidasikan oleh negara.

Yang jelas penggambaran teori sistem politik yang mengabaikan hubungan-hubungan antara politik ekonomi dan militer tampaknya tak mampu memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan. Atau intinya, mengesampingkan realita bahwa militer dibekali dengan senjata, memiliki monopoli persenjataan, telah menyebabkan tak terperkirakannya pemonopolian kekuasaan negara oleh militer, kata lain militer tak terimbangkan sebagai suatu negara. Militer tak sempat diperhitungkan sebagai suatu kekuatan yang dapat membangun jaringan administrasi, birokrasi, dan sub-struktur ekonomi. Bendix dan Shils memang bicara akan perlu adanya suatu organisasi negara yang bersifat terpusat birokratik, kuat dan efektif buat sistem politik untuk dapat menggelindingkan pembangunan ekonomi, tapi tampaknya mereka juga tak membayangkan kalau dalam proses pergerakanya aparatur negara itu juga terus berhubungan dengan kekuatan kekuatan masyarakat lain yang ada untuk dapat menentukan tingkat dan jenis

pembangunan yang dioperasikannya

Sebab persoalannya, menurut Horowitz, memang tak ada “ The third way”, bahkan "the possibility vftlunl ness per se" buat mereka dan Dunia Ketiga

umumnya untuk memilih antara 'modernisasi' dan 'indus-trialisasi' tanpa merusak prinsip-prinsip pembangunan itu sendiri: antara produksi kebendaan yang mengesampingkan hak demokratik rakyat dengan transformasi kultural, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang merangsang pertumbuhan masyarakat yang menghasilkan kebebasan individual. Latar belakang historik, politik, dan ideologik memang telah menggerakkan mereka diluar pilihan antara kapitalisme dan komunisme. Mereka berupaya dan mencanangkan strategi pembangunan yang dengan derajat tertentu membuka praktek demokrasi seraya pada saat yang sama juga memperkuat dan mengembangkan nilai-nilai tradisi. Meski begitu, strategi itu tampaknya sangat rentan terhadap aplikasi kekuasaa yang berkarakter fasis atau diktatoral.

Kecenderungan itu sen diri tampaknya bukan tak punya korelasi dengan thesis necessetarianist-liberal tarisnist ataupun demagogis pembahasan nasional anti kolonial di Timur yang mengklaim bahwa antara demokrasi politik dan pembangunan ekonomi terdapat yang harus diprioritaskan. Kalau ekonomi mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih penting dari pada semarak politik, sosiolog berpendapat bahwa. karena terdapat disparitas antara pembangunan dan demokrasi, maka memajukan demokrasi lebih penting daripada menggerakkan pembangunan ekonomi adalah asumsi yang tidak rasional, entah karena alasan kedaulatan atau karena biaya yang diperlukan diluar kemampuan. Sedang penganjur masyarakat sosialis berkeyakinan bahwa pembebasan nasional adalah tahap rite de passage atau jalan sejarah yang harus ditempuh untuk mencapai sosialisme. Adapun model yang kemudian diintroduksikan, yang jelas kekerasan mengambil porsi yang tak terperkirakan.

Kekerasan politik sebagai karakter dasar teori negaranya Lenin dan kekerasan fisik sebagai elemen yang terkait langsung dengan dominasi militer mengambil bentuknya manakala tuntutan stabilitas politik sebuah rezim dianggap perlu dan mutlak untuk menghasilkan sebuah pembangunan ekonomi yang tinggi dan luas. Tuntutan itu biasanya muncul tatkala pimpinan yang berkarakter populis meniada, dan ketika birokrasi dan negara tidak berdaya dan belum lagi memiliki orientasi tugas yang seia-sekata. Dalam keadaan itu, militer adalah kelompok yang terkuat,

kendati kelemahannya sipil juga bukan tidak merupakan produk delegitimasi yang dilakukan militer. Gerak cepat yang dilakukan militer melalui perubahan haluan pengelolaan ekonomi dari modernisasi ke industrialisasi yang kemudian mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak sabar lainnya baik dari kelompok nasionalis maupun revolusionis tampaknya telah mengukuhkan pandangan bahwa militer lebih punya kemampuan untuk menciptakan stabilitas buat pembangunan ekonomi.

Kendati dicatat ada korelasi fungsional antara mekanisme kekerasan keotoriteran, atau kekuasaan militer dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi sebagaimana awal pengalaman Pye yang kemudian di konfirmasikan eric A. Nordlinger dan dipresisikan R.C McKinley dan Cohan, militer bukan saja tidak terbatas sumbangannya pada pembangunan nasional, tapi sesungguhnya nasional, tapi sesungguhnya mereka juga kurang menaruh perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi kecuali untuk prestasi ekonomi rejim mereka juga tidak lebih baik dibandingkan dengan yang dapat diraih rejim sipil. Tonjolan mereka dicatat hanya dalam formula peningkatan pendapatan nasional kotor yang hampir tidak menyentuh 'the quality of life of the nation . Kepentingan ekonominya lebih terkait dengan hak-hak korporatenya. Tak heran kalau sikap konservatifnya terangsang manakala kepentingan (ekonomi dan bisnisnya) bergabung dengan kelompok pemilik modal, yang semakin menahun dalam kaitannya dengan kepentingannya kapitalis internasional.

Oleh karena itu barangkali tak berlebihan kalau militer kerap dipandang sebagai alat kapitalisme internasional, atau setidaknya agen jaringan industri militer Barat, bukan saja dalam mengamankan arus barang dan jasa mereka, tapi juga sebagai alat efektif untuk melancarkan perang ideologi internasional di arena politik dalam negeri. Dukungan keuangan, peralatan, latihan, dan pendidikan dari yang sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan tampaknya bukan hanya dianggap perlu tapi juga diproyeksikan oleh Barat didalam kerangka hegemoni politik, ekonomi dan strategi pertahanan mereka. Untuk itu, tidak sedikit perangkat intelektual di sediakan. Karya Coup d'Etat-nya. Luttwak dan The Man on Horseback -nya Finer konon bukan hanya merupakan buku pedoman, tapi jugu

merupakan sumber inspirasional untuk itu.

Soal apakah sebuah kekuatan militer Dunia Ketiga akan berwujud sebagai suatu rejim fasis atau kleptokrasis terang tak pernah ingin dibayangkan oleh

barat.. Alasannya sendiri kuat, bukan saja tak hendak mencampuri urusan dalam negeri sahabat, juga menjunjung dan menghormati kedaulatan nasional negeri yang bersangkutan. Elok nian memang. Oleh karena itu soal penjagoan' militer oleh mereka akan dianggap sebagai tidak berkaitan dengan soal kebodohan, demoralisasi, dan keterbenaman politik masyarakat Dunia Ketiga. Soal pengamanan kepentingan buat mereka bukanlah “eticsh politiek” tapi adalah soal eksploitasi siapa memanfaatkan siapa. Atau, "who gets, what, when, and how", kata Laswell. Dengan kata lain, militer Dunia Ketiga tampaknya telah dijadikan sebagai alat domestik untuk menaklukkan politik dan rakyat sebuah negeri atas nama kepentingan ekonomi, politik, dan strategi pertahanan negara Barat.

Kalau demikian, klarifikasi militer atas kepentingannya yang kerap diidentifikasi secara berlebihan sama dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara umumnya perlu ditinjau kembali? Bahwa militer memang bukan hanya menyamakan antara bangsa dan negara, dan negara dan militer, tapi juga mengidentikkan kepentingan korporatenya dengan kepentingan nasional. Padahal kata Anderson, “ The nation is essentially an image and there is no such

thing as a unitary national intertest”. Kendati indentifikasi itu lahir dari ideologi

klientilisme, dari latihan dan pengalaman di lapangan, tapi adventurisme politik yang bersumber pada ambisi pribadi pemimpinya kerap diamati dominan dalam motivasi hal itu. Diawali dengan tuntutan akan perlakuan yang adil terhadap sikap, reputasi, kelayakan, dan tanggung jawab profesional yang diembannya, milliter akan dibawah oleh pemimpinnya untuk menampilkan “ the military way”

untuk dalih mempertahankan negara secara optimal. Padahal dibalik motif itu konon sesungguhnya terselip kecemburuan terhadap hak-hak sipil yang perolehannya dipandang tidak sebanding dengan kewajibannya.

Jadi persoalannya tampak tidak terletak an sich pada tuntutan profesional militer baik sebagai organisasi atau sebagai anggota (induvidu) seperti kerap dikemukakan banyak pakar bahwa "intervensi militer dalam politik umumnya dilakukan oleh perwira-perwira yang tergolong sangat profesional", kata Finer, atau bahwa "intervensi militer dalam politik adalah upaya dalam rangka memelihara keprofesionalannya", kata Huntington, tapi adalah karena dibandingkan dengan kelompok-kelompok (kekuatan politik) lain, militer relatif lebih memiliki kebebasan bermain di arena politik, atau bahwa sebagai lembaga

negara, militer bukan hanya bisa mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah yang ada, tapi juga dengan asosiasi itu telah memungkinkannya untuk membayangkan dirinya sebagai representasi masyarakat umum yang ada. Oleh karena itulah buat militer, kekuatan tampaknya bukan hanya diupayakan untuk menghajar musuh luarnya, tapi juga untuk mengkonsolidasikan dan mengamankan nilai-nilai korporatenya, sub korporatenya, dan trans korporatenya, atau kepentingan-kepentingan karirnya, penghasilannya, dan keterpeliharaan kelompok acuan sosialnya.

Realitanya sendiri memang me nunjukkan bahwa ketika militer tampil memegang kendali kekuasaan, semangat "koreksi" terhadap masalah-masalah kenegaraan dan kenasionalan nyaris terhimpit de ngan desakan dan tuntutan prioritas mengamankan kepentingan dirinya. Bahkan secara sistematik mereka berupaya untuk membangun dan mengembangkan kelompoknya sebagai suatu klas, "asurrogate class” , atau sebagai " a dominant interest group " yang beraliansi dengan “ the big business” untuk menguasai lembaga-lembaga sosial masyarakatnya secara internal adalah berpangkal pada prinsip military vs civil,

tapi negara secara eksternal perjuangan itu merujuk pada doktrin" the state vs the society". Di situ berlaku aturan bahwa kekuatan untuk yang satu adalah kelemahan buat yang lain. Bahwa untuk memperkuat negara adalah memperlemah masya rakat. Rezim-rezim militer dan totaliter tercatat telah dengan baik menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk menguatkan kekuasaannya.

"The state of Its own", atau praktek pengatasnamaan negara untuk kepentingannya adalah umum dijalankan oleh pemerintah-pemerintah yang kekuasaannya didominasi militer. Sejak militer tak lagi memiliki musuh luar yang harus dihadapi, maka energinya akan tertumpah ke dalam negeri. Oleh karena itu kata Weil, seperti yang dikutip Ward, adalah salah mempertimbang kan soal perang sebagai suatu episode dalam politik luar negeri, sebab sesungguhnya ia adalah tindakan paling kejam politik dalam negeri. Dengan monopoli senjata yang dimilikinya, militer dapat menggunakan negara sebagai alat untuk melakukan perang atau ancaman perang terhadap penduduknya. Upaya rejim militer untuk memelihara stabilitas sosial dan politik, serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebagai dua hal yang pada esensinya kontradiktif telah tak memberikan pilihan kepadanya untuk mengembangkan standar operasi politik yang dalam praktik kerap tak dapat menghindari tindakan represif, efek destruktif, dan juga

kecenderungan-kecenderungan inaktif lainnya baik secara situasional atau kondisional pada kelompok-kelompok yang secara potensial atau riil dipandang sebagai out groupnya.

Kategori itu sendiri kemudian diperlonggar manakala posisinya sebagai suatu kelompok sosial dirasakan telah cukup kuat dan mantap. Dari sana biasanya keperluan untuk membagi kesejahteraan sosial secara lebih luas melalui pendistribusian sumber-sumber yang ada dimunculkan. Walau secara ide kebijakan itu lahir dari kehendak untuk menciptakan pemerataan dalam masyarakat, tapi rancangan strategi untuk mengontrol stabilitas sosial dan politik itu tampaknya lebih rendah terarah untuk pencarian legitimasi baru terhadap posisinya yang relatif telah menguat, baik dalam jaringan administrasi dan birokrasi, maupun dalam sub struktur ekonomi, daripada menciptakan prakondisi buat demokratisasi kehidupan politik kenegaraan. Sebab memang redistribusi sumber-sumber untuk keperluan pemerataan guna menciptakan stabilitas sosial-politik tidaklah identik dengan demokrasi suatu bentuk sistem sosial-politik yang esensinya mempromosikan liberte, egalite, on droit de I'homme en general.

Artinya, demokrasi standar mi liter menyelenggarakan pemilihan umum secara reguler yang dilengkapi dengan intimidasi dan manipulasi bukanlah merupakan praktek demokrasi politik meski dalam standar minimal sekalipun. Dari literatur yang ada terungkap bahwa ketidak cocok an militer dengan demokrasi bukan semata karena disiplin dan hirarki organisasinya, tapi catatan sejarah kelerlibatan politik militer dalam berbagai masalah negara juga jelas menunjukkannya. Menurut Edmonds, manakala ideologi-politik militer merebak di suatu negara , maka bukan saja penindasan di dalam negeri akan meluas, tapi

Dalam dokumen Tata Ulang Demokrasi dan TNI (Halaman 93-106)