• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Ulang Demokrasi dan TNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tata Ulang Demokrasi dan TNI"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bab Pertama

PENDAHULUAN

S

udah menjadi fakta sejarah bahwa dalam kurun waktu lebih dari enam dasawarsa dengan enam Presiden, sebagai bangsa dan negara kita terus jatuh-bangun1. Korban yang membarenginya akibat pertikaian sesama anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil juga terus berjatuhan. Saat memasuki tahun kedelapan pasca Orde Baru, penduduk miskin semakin besar jumlahnya, dan tingkat pengangguran menurut sejumlah sumber menyebutkan sudah melebihi empat puluh lima juta orang. Beberapa daerah penduduknya sudah terkena busung lapar seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu sejumlah daerah telah terjangkit berbagai wabah penyakit akibat rendahnya kualitas kehidupan mereka. Disisi yang lain, kerusakan moral sebagian para penyelenggara negara begitu parahnya, mega-korupsi yang ditinggalkan rezim terdahulu belum tertangani secara memadai, sementara itu korupsi yang baru menjamur hampir di semua lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah. Faktor keamanan juga sangat rentan, dengan mudahnya bom begitu saja meledak di banyak tempat. Yang jelas sekedar tanda-tanda bahwa krisis akan segera berakhir belumlah tampak secara meyakinkan. Sehingga menjadi wajar kalau kemudian muncul rasa pesimisme pada banyak kalangan akibat bayang-bayang kesuraman. Bahkan masa depan ke Indonesia an sepertinya semakin sulit diramalkan akibat besarnya ketidak pastian itu sendiri.

A

dalah hak bagi segenap anak bangsa untuk mencari solusi dengan terobosan sekalipun guna menyelamatkan peradaban serta eksistensi diri sebagai bangsa dan negara. Karena bagaimanapun salah satu faktor yang mendorong transisi ke arah demokratisasi menurut Jeff Haynes adalah masyarakat sipil yang terus-menerus melakukan tekanan terhadap pemerintah yang tidak bertanggungjawab dan tidak demokratis2. Bila era Orde Baru kental dengan pendekatan reaksioner dan

1 Makanya tidak salah dan bahkan sangat masuk akal kalau Samuel P Huntington bahkan pada dekade

1990an menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami gelombang surut demokratisasi ketiga. Lihat, Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization, (New York: 1995).

2 Jeff Haynes, 1997, Democracy and Civil Society in Third World Politics and New Political

(3)

pragmatisme, yang terjdi di era transisi kedua pendekatan tersebut malah menjadi lebih subur. Akibatnya akar masalah dan persoalan pokok yang membuat bangsa ini terus terpuruk setelah berulang kali jatuh bangun menjadi makin terlupakan. Dan kemudian asyik terjebak dengan konflik of interest dan tarik menarik kepentingan dalam political game. Lebih disayangkan lagi tekanan masyarakat sipil tidak begitu menjadi andalan yang prospektif, karena ruang untuk partisipasi publik dalam politik kita juga belum tersedia dengan baik dan bahkan tekanan dan tuntutan kurang didengar.

Untuk itu sebagai bangsa kita perlu belajar dari sejumlah bangsa dan negara sahabat yang telah berhasil menata peradaban bangsanya. Terlalu banyak diantara mereka yang sejak awal berdirinya terus eksis sebagai bangsa dan negara, bahkan dengan gemilang telah membangun dirinya. Pelajaran juga bisa diambil dari sejumlah negara sahabat bekas negara komunis didaratan Eropa Timur dan juga Uni Sovyet, yang begitu cepat recovery dan bahkan beberapa diantaranya kini berhasil menjadi negara maju dan kuat. Begitu pula kalau kita mau berkaca dari sejumlah negara tetangga dekat kita yang delapan tahun lalu sama-sama diterjang badai krisis moneter, dalam waktu relatif singkat mereka dapat pulih kembali. Yang pasti mereka itu semua tidak diberkahi kekayaan alam semelimpah kita, diantaranya miskin atau bahkan tidak punya sumber daya alam yang memadahi. Namun berkat kemampuan diri dalam memahami pokok masalah penyebab kegagalan sistem kenegaraannya, mereka kemudian mampu membangun peradabannya kembali dengan baik. Sementara itu kita terus terjebak dalam disorientasi dan sepertinya telah masuk dalam masa transisi permanen.

U

ntuk ukuran umum memang aneh, tapi nyata sebuah paradoks terus terpelihara dalam diri kita sebagai bangsa dan negara. Sistem kenegaraan yang jelas-jelas telah melahirkan keterpurukan dan kerusakan begitu dasyat serta residu masa lalu yang begitu memberatkan generasi penerus tidak disadari bersama oleh mayoritas warga bangsa sebagai sistem kenegaraan yang gagal. Bahkan sebaliknya segala kemampuan dan kekuatan, bahkan dengan kembali mencari pinjaman luar negeri sistem yang ada itu terus dicobanya untuk memperbaiki keadaan yang sesungguhnya adalah out put/produk dari dirinya sendiri. Bangsa ini juga lupa bahwa reformasi mensyaratkan adanya perubahan yang mendasar dari sistem kenegaraan yang ada, karena tanpa perubahan sistem kenegaraan secara fundamental reformasi pada hakekatnya adalah

(4)

rebutan jabatan. Memang harus diakui tidak sedikit perubahan dan perbaikan yang telah dikerjakan, termasuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang selama era Orde Baru disakralkan. Namun sangat disayangkan dalam mengamandemen UUD 1945 elit bangsa ini melupakan pentingnya penataan ulang berbagai hal yang fundamental yang berada di kawasan hulu yaitu membenahi jiwa dan kerangka dasar sistem perpolitikan pada tingkat makro. Elite bangsa ini terus menyibukkan diri pada masalah-masalah kecil yang berada di kawasan hilir. Menjadi wajar kalau perubahan UUD 1945 yang sudah empat kali sejak amandemen pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, dan dua kali pada tahun 2001, tidak banyak mengubah penampilan negara.

R

ealita yang demikian itu, perlu ditanggulangi dengan membangunkan kesadaran publik tentang nasib masa depan bangsa dan negara. Seharusnyalah elit bangsa ini segera mengembangkan dialog publik tentang rancang bangun sistem kenegaraan kita ke depan3. Dengan demikian kelak dalam mengamandemen UUD 1945 tidak perlu kembali meniru pendahulunya yang terus mempertahankan kesepakatan untuk menjalankan sebuah sistem kenegaraan tanpa meyakini terlebih dahulu obyektivitas, rasionalitas, dan apalagi validitasnya. Ke depan kita sebaiknya juga mampu mengeliminasi cara berpikir, paradigma dan nilai-nilai lama yang tidak mungkin dipertahankan lagi dengan bungkus baru yang diusung oleh keabsahan suara mayoritas yang kemudian diberi stigma sebagai demokrasi ala Indonesia. Persis ini yang memperlamban gerak laju demokratisasi di Indonesia dewasa ini, bahwa nilai-nilai lama yang sudah usang dipertahankan melalui keunggulan kelompok lama dalam politik yang kebetulan untuk saat ini masih menjadi kekuatan mayoritas. Akibatnya, nilai baru yang diperjuangkan oleh kelompok yang kebetulan minoritas yang ingin pembaruan di segala dimensi termasuk dimensi berpikir, seringkali kalah dengan suara mayoritas. Barangkali disini kita patut menyebut suara mayoritas ini sebagai “tirani mayoritas”4.

I

nti masalah yang dihadapi juga persoalan konsistensi kita dalam mensikapi

3 Saya pikir ini penting sekali karena sampai sekarang kita tidak memiliki konsep demokrasi yang

mapan, dalam artian suatu konsep yang strategis dan efektif untuk dijalankan. Konsep demokrasi yang berjalan masih merupakan konsep yang dikehendaki oleh kelompok yang menang dan menguasai politik.

4 Dalam hal ini kita perlu melihat berbagai pandangan negatif tentang demokrasi yang dikritik orang

seperti James S. Fishkin dalam Tyranny and Legitimacy: A Critique of Political Theories, (Baltimore: John Hopkins University Press, 1979). Fishkin mengatakan bahwa ketika kekuasaan mayoritas berubah menjadi hak, maka serentak kelompok minoritas tunduk di bahwa “tirani mayoritas”. Fishkin sebetulnya menyuarakan kembali apa yang dicemaskan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.

(5)

pengaruh nilai yang berasal dari paham/ideologi yang ada dan pilihan model pengaturan kenegaraan. Kedepan kita mesti konsisten dan konsekuen dalam mengimplementasi nilai-nilai yang dikandung sebuah paham / ideologi yang dipilih dari yang bersifat mendasar sampai yang menyangkut urusan teknis-operasional. Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memilih dengan tegas, jelas dan lugas, hitam atau putih terhadap pilihan paham sistem kenegaraan dan juga model demokrasi, bukan malah terus melanjutkan model lama yang berada di area abu-abu (gray area). Enam puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk pembuktian kwalitas sebuah sistem kenegaraan. Bila demokrasi sebagai satu-satunya pilihan, maka kedepan kita tidak butuh lagi menyusupkan paham eksklusif atau nilai partikular yang bersumber di luar paham demokrasi, yang diatas-namakan “aspirasi rakyat”.

P

ilihan akhir demokrasi dengan sistem presidensial, seharusnya kita sikapi secara konsekuen dengan menerapkan segenap kelembagaan dan mekanisme yang ada didalamnya secara utuh. Dalam menjalankannya, tidak dibenarkan adanya pemaksaan sepihak untuk menggunakan instrumen-instrumen demokrasi sistem parlementer. Apalagi kalau sampai menyusupkan nilai yang bersumber dari otoriter sebagaimana yang diterapkan selama ini. Ketika kita memilih Kepala Negara dijabat Presiden, maka tidak seharusnya ada Lembaga Negara yang kedudukan nya lebih tinggi darinya (dalam hal ini MPR), sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 versi akhir masa Orde Lama dan selama era Orde Baru. Dan ketika sistem perwakilan menggunakan model dua-kamar/bikameral, maka seharusnya keberadaan Senat yang dipresentasikan oleh DPD, janganlah kemudian dimandulkan oleh peraturan perundang-undangan politik yang tidak demokratis sebagaimana model UUD 1945 Hasil Amandemen.

K

e depan rancang bangun konsep politik yang akan dirumuskan juga tidak sewajarnya terus terpaku dan tergantung pada konsep politik yang dikandung oleh UUD 1945. Karenanya amandemen UUD 1945 bukanlah dimaksudkan sekedar untuk menambah atau mengurangi pasal-pasal yang sudah ada, namun untuk merumuskan kembali secara lebih komprehensif sebuah konsep politik yang didasari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam bingkai Sistem Presidensial yang dijalankan secara konsisten dan konsekwen. Dengan demikian rancang bangun sistem demokrasi kedepan memang bukan kelanjutan dari sistem yang selama ini dilaksanakan. Hal yang demikian tidaklah berarti kita keluar dari jiwa dan semangat para pendiri Republik ini, justru sebaliknya konsep yang demikian itu sarat dengan

(6)

semangat dan rasa (sense) perjuangan "founding father". Dalam kaitan mengamandemen UUD-45, pilihan untuk menggantikan dengan yang baru sekalipun bukanlah sebuah kesalahan, dosa dan apalagi pengkhianatan. Sebaliknya upaya tersebut semestinya ditempatkan sebagai kwajiban generasi penerus untuk membayar hutang amanah para pendiri republik. Bung Karno sendiri dalam pidato pengesahan UUD-45 tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah ber negara dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih semurna”

A

gar kita tidak kehabisan energi dan waktu serta terus terjebak pada perdebatan pro-kontra untuk melanjutkan amandemen atau kembali ke UUD-45 yang asli. Maka negara perlu melaksanakan enginering politik untuk merumuskan UUD yang baru. Dengan demikian waktu dan energi yang ada dimanfaatkan untuk membicarakan berbagai hal tentang hari esok, utamanya tentang rancang bangun sistem kenegaraan yang mampu memberi jaminan kepastian masa depan kita sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state). Saya kira apa yang disebut “imagined community” oleh Ben Anderson hanya bisa dipahami dalam konteks ini bahwa diperlukan suatu kesadaran sekaligus kemampuan bersama untuk menyadari diri sebagai satu bangsa, sebab kalau tidak masa depan ke Indonesia an sulit diramal5. Memahami inti persoalan yang membuat kita terus jatuh bangun juga sangat mendasar, sehingga konsep sistem kenegaraan kita kedepan tidak lagi rapuh dan rentan, dan apalagi korup. Bangunan sistem kenegaraan haruslah dijamin bebas dari proses saling mereduksi, menghilangkan, dan bahkan saling menghancurkan akibat terjadinya benturan antar kekuatan bawaan masing-masing ideologi kenegaraan, model dan instrumen sistem demokrasi yang dicampur-aduknya. Tanpa jaminan dari sistem kenegaraan itu sendiri maka terjadinya penyalah gunaan kekuasaan, penyelewengan dan utamanya korupsi tidaklah mungkin bisa dihentikan. Karena persoalan yang demikian itu tidaklah tepat kalau ditumpukan hanya sekedar pada semangat para penyelenggara Negara sebagaimana yang dibayangkan para pendiri Republik ini. Karena dalam 5 Lihat Benedict Anderson, Imagined Communities:Reflections on the Origins and Spread Nationalism (Verso, 1983)

(7)

kenyataannya korupsi bukanlah semata-mata dikarenakan rendahnya keimanan dan moralitas pejabat atau alasan klasik seperti gaji yang rendah, tapi justru lebih dikarenakan oleh sistem kenegaraannya itu sendiri yang memang korup. Korupsi yang terjadi selama ini adalah karena sistem sebagaimana keyakinan kaum institusionalis dalam ilmu politik6. Siapapun ia yang mengawaki sistem yang korup, maka persoalan terjadinya korupsi bukanlah persoalan moral sang pejabat, tapi persoalan waktu belaka. Oleh karena itu, ke depan upaya mengatasi korupsi haruslah diletakkan pada rancang bangun dari konsep politik yang secara obyektif dan rasional dapat meniadakan, setidaknya mampu mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan dan tindak kejahatan lainnya oleh aparatur Negara termasuk soal korupsi. Disinilah letak urgensi kita mengedepankan kesamaan rasa yang dimiliki oleh segenap bangsa saat ini, yaitu kesamaan kepentingan atas nasib dan kepastian masa depan masing-masing, disamping juga nasib dan kepastian masa depan bersama yaitu eksistensi kita sebagai bangsa dan negara. Sebab bukankah Ernest Rennan sudah lebih dulu mengatakan bahwa alasan kita bisa ada bersama sebagai satu bangsa adalah karena kita sama-sama dijajah dan sama-sama memiliki visi dan misi untuk hidup makmur dan sejahtera7. Kalau itu dasar dari ke Indonesia an kita, maka tidak ada alasan pemerintah atau siapapun yang memegang kekuasaan di negara ini untuk tidak segera membangun kesejahteraan rakyat.

Pengalaman sejumlah negara dalam menghadapi krisis, mereka yang mendahulukan penataan sistem kenegaraannya ternyata dalam kurun waktu yang pendek mampu segera bangkit dan kemudian maju menjadi bangsa dan negara yang kuat kembali. Sejumlah negara bekas negara-negara komunisme memberi contoh itu dengan baik. Mereka bisa bangkit kembali dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama. Karenanya kalau saja kita mau belajar dari mereka, bukanlah mustahil kalau bangsa kita akan lebih cepat mengejar ketertinggalan untuk meraih kesejahteraan dengan tingkat peradaban yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

D

engan memprioritaskan penataan sistem demokrasi secara benar, juga otomatis akan memudahkan penataan ulang segenap alat kelengkapan demokrasi dan kelembagaan negara lainnya termasuk TNI. Dalam amandemen UUD 1945 langkah

6 Kaum institusionalis percaya bahwa masalah politik bersumber pada sistem sebaliknya juga perbaikan

dan kemajuan ditentukan oleh sistem. Lihat dalam David E. Apter, 1977, Introduction to Political Analysis, terjemahan Setiawan Abadi, cetakan ketiga, (Jakarta: LP3ES, 1988).

7 Dikutip dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno mengedepankan

(8)

untuk menghentikan inefisiensi sudah dimulai, yaitu dengan menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Maka kedepan sewajarnya juga tidak terlalu sulit untuk meniadakan Lembaga Tinggi Negara yang keberadaannya kurang bisa dipertanggung-jawabkan secara teori maupun empirik seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan apalagi sejumlah Komisi yang mestinya masuk dalam fungsi eksekutif seperti Komisi Ombudsman yang sampai sekarang juga tidak jelas apa sumbangsihnya terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.

Karena dalam kenyataan kinerja dan pelayanan birokrasi terhadap publik masih kurang memuaskan kalau tidak dibilang buruk. Jumlah kementerian juga harus diatur dengan Undang-undang, dengan demikian Presiden tidak dengan mudahnya membentuk ataupun membubarkan Departemen dan atau Kementerian hanya karena pertimbangan kursi kekuasaan semata. Kita juga perlu membedakan mana jabatan karier dan mana jabatan politik, agar birokrasi pemerintah dan juga TNI tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik yang manapun.

Adanya justifikasi publik tentang buruknya penampilan masa lalu TNI utamanya di era Orde Baru, sama sekali bukan dikarenakan rendahnya kadar ketentaraan atau profesionalisme segenap prajurit TNI. Penampilan TNI yang demikian itu sebenarnya hanyalah produk dari sistem kenegaraan yang berlaku saat itu8. Kiranya perlu diakui oleh bangsa ini bahwa TNI sejak kelahiran dan perkembangannya memang belum atau tidak dirancang dalam sebuah cetak biru demokrasi. TNI lahir dan berkembang lebih karena kebutuhan dan tuntutan sesaat yang dihadapi oleh bangsa dalam perjalanan sejarahnya. Di sanalah pentingnya bangsa ini menata ulang sistem kenegaraanya yang memuat pula rancang bangun TNI dalam satu kesatuan kerangka sistem kenegaraan yang demokratis. Ke depan TNI perlu ditempatkan sebagai kebanggaan sekaligus tumpuan harapan bagi segenap bangsa, karenanya kehadiran TNI dimata rakyat haruslah melahirkan harapan dan sekaligus keyakinan bahwa dirinya akan terlindungi serta terjaga keamanannya. TNI juga sebaiknya dirancang untuk menjadi satu-satunya kekuatan nasional (benteng terakhir) yang bisa diandalkan pada saat-saat Negara dan bangsa dalam keadaan tidak normal, terlebih bila segenap birokrasi sipil sudah tidak berfungsi lagi.

Disamping itu penataan gelar TNI diharapkan mampu mendukung upaya demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya gelar TNI juga perlu

8 Dalam hal ini Saurip Kadi sejalan dengan pandangan Huntington bahwa keterlibatan dan dominasi

tentara dalam politik lebih karena sistem yang buruk daripada karena faktor internal institusi tentara (editor).

(9)

dihitung agar mampu menjadi penangkal (deterent) utama yang mampu menyirnakan niat dan keinginan serta upaya sebagian warga bangsa di daerah manapun untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Penampilan TNI yang demikian itu otomatis akan mengubah secara mendasar model otonomi daerah yang terlanjur dikembangkan tanpa menghitung kemampuan daerah untuk bisa mandiri secara ekonomi sebagai daerah otonom.

Begitu pula penampilan TNI yang terbebas dari urusan politik praktis, bukanlah sekedar urusan melikuidasi lembaga-lembaga yang memainkan peran politik dan menarik diri dari MPR/DPR-D, tapi bagaimana mendudukan TNI secara benar dalam sistem demokrasi agar dirinya secara struktural kelembagaan memang dijamin akan terbebas dari urusan "day to day politic".

I

nti permasalahan yang mendasar lainnya dalam kaitan penataan demokrasi dan TNI adalah bagaimana "supremasi sipil" bisa diimplementasikan tanpa ketergantungan secara dominan oleh kemauan dan kesadaran elit TNI semata. Karenanya asas supremasi sipil semestinya bisa nampak dan tergambar dalam penataan kelembagaan negara dan mekanisme pengelolaannya. Dengan demikian maka sistem kenegaraan yang akan dikembangkan secara lengkap mengatur azas, struktur, perilaku dan mekanisme maupun fatsun yang akan menjadi pedoman oleh setiap lembaga negara termasuk TNI, serta segenap warga negara tanpa kecuali.

Dengan demikian harapan segera lahirnya sebuah peradaban baru bukanlah hal yang mengada-ada, tapi sebuah proses yang terukur sebagai produk dari sistem kenegaraan yang disusun secara obyektif, rasional serta teruji validitasnya, dan dapat dibuktikan kebenarannya setidaknya secara empirik oleh sejumlah negara sahabat.

Bab Kedua

PAHAM KENEGARAAN DAN TUNTUTAN REFORMULASI SISTEM KENEGARAAN

Pilihan Paham Kenegaraan dan Demokrasi

Sudah menjadi kodrat alam, sebagaimana filsafat dualisme para filsuf Yunani klasik seperti Plato, bahwa dalam kehidupan senantiasa berpasang-pasangan dan

(10)

berlaku hukum keseimbangan. Siang-malam, pria-wanita, kuat-lemah, kanan-kiri, barat-timur adalah dua sisi yang mampu membentuk sebuah dinamika kehidupan yang harmonis. Sesuai dengan kodratnya pula kehidupan ini selalu bergerak menuju equeliberiumnya yang baru. Kehidupan apapun juga selalu berubah dalam alur turun naik. Dahulu miskin sekarang kaya, kemarin terpuruk sekarang berjaya dan begitu terus berganti dan berulang selamanya. Hal yang sama berlaku juga dalam pengelolaan negara, pasang surut, kejayaan dan keterpurukan adalah siklus kehidupan yang silih berganti.

Namun demikian bagi bangsa Indonesia dalam tenggang waktu enam-puluhan tahun sejak kelahiran nya belum menuai masa-masa kejayaan dan apalagi keindahan. Bahkan sebaliknya duka, kemalangan, dan kepedihan utamanya yang timbul dalam pengelolaan negara terus berulang silih berganti. Keberhasilan di era Orde Baru sendiri, rupanya banyak yang manipulatif dan semu karena penuh rekayasa. Barangkali tidak mengada-ada kalau Hendarmin dalam bukunya yang berjudul "Gudang Pangan, Tujuan Wisata, Paru-Paru Dunia" menyimpulkan bahwa keberhasilan Orde Baru yang nyata dan tidak manipulatif hanyalah Program KB (Keluarga Berencana).

Menjadi wajar kalau sejak krisis ekonomi di tahun 1997 dalam waktu cepat berubah menjadi krisis multi-dimensional yang hingga saat ini belum disikapi baik dan benar. Lebih memprihatinkan lagi karena dalam keadaan yang mengenaskan seperti sekarang ini, oleh sebagian elit bangsa di pusat maupun di daerah kondisi yang ada ini justru dimanfaatkan untuk berebut kekuasaan dan materi dengan terus melakukan praktek-praktek KKN yang makin mengganas dan juga menjamur sebagaimana yang dilansir oleh media massa akhir-akhir ini. Berangkat dari realitas yang demikian, sesungguhnya persoalan yang mendasar bagi bangsa kita saat ini adalah bagaimana membangkitkan kesadaran bersama untuk melaksanakan instropeksi agar segera menemu-kenali akar masalah yang menjadi penyebab ketidak-mampuan bangsa dan negara ini membangun peradabannya dengan baik. Untuk selanjutnya dicari- kan solusi pemecahan masalah secara konprehensif. Sehingga ke depan bangsa ini tidak perlu berulangkali jatuh dalam krisis kenegaraan dan bahkan krisis peradaban bangsa sebagaimana yang kita alami di sekitar tahun 1965 dan juga dewasa ini.

Keberhasilan sejumlah bangsa dan negara dalam membangun peradabannya, tidak bisa lepas dari bagai mana bangsa tersebut mengatur sistem kenegaraan- nya.

(11)

Sejak berkembangnya ilmu ilmu sosial di abad pertengahan sesungguhnya model dalam mengatur sistem kenegaraan dilandasi oleh dua aliran paham besar dunia. Paham yang pertama berprinsip dasar bahwa: "Rakyat Bertanggung Jawab Atas Negara". Pada paham ini kekuasaan diatur dengan asas dari rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Paham ini kita kenal sebagai paham demokrasi atau biasa dikenal dengan sebutan sistem dimana kekuasaan ada ditangan rakyat. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka paham ini lebih mengutamakan faktor rakyat di dalam negara. Dalam perkembangannya, ketika paham kebebasan yang disebut liberalisme berkembang, demokrasi pun mengalami kemajuan. Karena salah satu nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, maka dengan mudah paham demokrasi ini diselaraskan dengan paham liberalisme sehingga lahir apa yang disebut “demokrasi liberal” yang sekarang menjadi model demokrasi

mainstream di dunia9.

Paham yang kedua menggunakan prinsip dasar bahwa: "Negara Bertanggung Jawab Atas Kesejahteraan Rakyat". Paham ini menempatkan kekuasaan negara yang diperoleh dari Kader Partai melalui forum Konggres Partai dan selanjutnya oleh negara dialirkan dari atas ke bawah dalam bentuk kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang top-down. Karenanya maka para ahli menyebut paham ini dengan istilah sistem otoriter. Di dalam sistem otoriter, kepentingan-bersama atau lebih tepatnya “kepentingan negara” adalah suatu prioritas yang lebih mutlak dibandingkan kepentingan individu di dalam negara. Karena “kepentingan negara” lebih diutamakan dari pada kepentingan orang-perorang warga negara, maka paham ini juga dikenal dengan sebutan sosialisme.

Di dalam sosialisme, setiap orang diperlakukan sama oleh negara dan tidak ada kekuatan lain yang ada selain kekuatan negara. Prinsip ini kemudian sangat dekat dengan prinsip komunisme yang dikembangkan oleh Karl Marx (1818) dan Friederich Engels. Marx dan Engels mempermutlak prinsip sosialisme dengan mengatakan bahwa keadilan dan kemakmuran hanya tercipta kalau di dalam masyarakat tidak ada kategorisasi atas dasar kelas, lebih tepatnya disebut sebuah “masyarakat tanpa kelas” (no class society)10.

William Ebenstein di dalam bukunya Today’s Isms mengungkapkan bahwa

9 Di antara para pemikir liberal yang mengaitkan demokrasi dengan liberalisme adalah John Rawls

melalui bukunya Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993)

10 Tentang Marxisme bisa dilihat dalam buku Frans Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Enam

(12)

Pememerintah sosialis- me dan komunisme di negara berkembang sangat penting. Negara-negara miskin berhasrat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat. Tanpa kemajuan ekonomi seperti itu, negara-negara yang baru muncul ini merasa bahwa tidak akan ada kemerdekaan politik dan kepemimpinanan inter- nasional yang sejati. Dari segi kepentingan dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan satu-satunya cara untuk mencapai standart hidup, kesehatan, dan pendidikan yang lebih baik”11. Dalam rangka itu, sosialisme dan komunisme lebih mudah diterima sebagai way of live yang mengatur kehidupan suatu negara.

Kedua paham tersebut sesungguhnya dirumus- kan dari realitas kehidupan sosial yang berkembang di jamannya. Dengan kata lain, kedua paham tersebut bukanlah gagasan yang berada diawang-awang atau tidak membumi, karena memang sebagai teori kedua paham tersebut terlahir melalui proses panjang di masa lalunya. Dan itu pun melalui berbagai koreksi dan perbaikan secara terus-menerus sesuai dengan tingkat kemajuan peradaban pada era berikutnya. Sudah barang tentu jatuhnya korban dan biaya politik yang timbul dari proses panjang tersebut sangatlah besar.

Jatuhnya korban dalam revolusi Perancis (1789), perang saudara di Amerika, terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan di negara-negara industri di daratan Eropa akhirnya melahirkan kesadaran kolektif untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu men- jamin agar petaka kemanusiaan tersebut tidak kembali berulang. William Ebenstein mengungkap kembali hal ini sebelum ia membahas dilema demokrasi dalam sejarah peradaban manusia dalam bukunya Great Political Thinkers

(1951)12. Bahwa akibat ketidak adilan, penindasan dari manusia oleh manusia dimasa lampau begitu hebatnya, maka muncullah pemikiran untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu menjamin dan melindungi hak hak sipil, kebebasan dan kemerdekaan segenap individu warga negara yang kemudian berkembang menjadi paham demokrasi. Sementara itu dipihak lain, ketidakadilan dan hilangnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan oleh orang-orang kaya yang menguasai modal dan mesin mesin industri melahir- kan pemikiran bagaimana agar negara mampu menjamin kehidupan rakyatnya secara merata dalam sebuah masyarakat tanpa kelas (komunisme). Kedua paham tersebut sesungguhnya tak lebih hanyalah cara

11 William Ebenstein, 1985, Today’s Isms, terjemahan Alex Jemadu, (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 247 12 William Ebenstein menjelaskan tentang sejarah lahirnya demokrasi, bahwa demokrasi bertumbuh

sebagai refleksi atas kekerasan dalam masa revolusi, refleksi atas ketidakadilan dalam sejarah peradaban manusia, dalam bukunya The Great Political Thinkers, (New York, Toronto, Chicago, San Fransisco: Holt, Rinehart and Winston, 1960), edisi ketiga, khususnya pada bab ke-20 tentang The Dilema of Democracy, hal. 522-534

(13)

mendatangkan kesejahteraan manusia dalam sebuah sistem sosial yang disebut sebagai negara.

Dalam kenyataannya kedua paham tersebut tidak ada lagi yang murni. karena masing-masing telah berproses secara dialektis sebagaimana tesis Hegel. Sejumlah negara penganut paham demokrasi belakangan ini justru melaksanakan fungsi "negara memenuhi kebutuhan rakyat"-nya sebagaimana yang seharusnya dikerjakan oleh negara penganut paham komunis. Inilah yang kita kenal sebetulnya dengan paham “Negara Kesejahteraan” (Welfare State) yang secara konseptual landasannya dikembangkan oleh pemikir seperti John Mayard Keyness yang menginginkan adanya intervensi negara terhadap pasar. Keyness bertentangan dengan liberalisme klasik yang tidak menginginkan adanya campur tangan negara terhadap pasar karena ada “tangan tak kelihatan”-nya Adam Smith. Dalam perkembangan, ternyata Smith agak keliru karena ternyata kemiskinan dan ketidak adilan masih terjadi akibat pasar yang tidak peduli dengan komunitas yang miskin dan tidak mampu bersaing. Maka Keyness muncul dengan gagasannya “liberalisme baru” yang menghendaki adanya campur tangan negara. Liberalisme baru menjadi dasar munculnya berbagai paradigma baru kemudian diantaranya liberalisme-kesejahteraan (welfare-liberalism)

yang selanjutnya melahirkan Negara Kesejahteraan.

Negara Kesejahteraan memiliki pandangan dasar bahwa negara harus mensubsidi kebutuhan pokok rakyat terutama dibidang-bidang yang vital dan mendasar13.

Sementara itu, pada sejumlah negara penganut paham komunisme (otoriter), kebutuhan warga negaranya tidak dipenuhi oleh negaranya, akan tetapi sebaliknya warga negaranya justru membiayai kebutuhan hidupnya masing-masing. Contoh konkrit dengan mudah kita jumpai di sejumlah negara demokrasi yang menyediakan air minum secara gratis bagi semua warga negaranya. Dan sebaliknya tidak jarang rakyat dari negara-negara komunis dalam memenuhi kebutuhan air minumnya dengan cara membeli dari negaranya. Sistem ekonomi kapitalis yang dahulu menjadi musuh kaum sosialis, kini mereka begitu pedulinya dengan persoalan-persoalan sosial yang sedang melanda dunia, sementara mereka yang dahulu memusuhinya kini di negaranya tumbuh kapitalisme yang justru tidak dilandasi nurani. Barangkali kapitalisme model Indonesia adalah contoh tak terbantahkan dari model ekonomi kapitalisme yang tidak bernurani.

Dalam prakteknya negara penganut sistem otoriter ternyata tidak mampu

(14)

mensejahterakan rakyatnya. Belum lagi munculnva distorsi akibat sistem ini sarat dengan kepentingan pribadi para penguasa yang dibungkus atas nama kepentingan umum atau negara. Sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi terabaikan, maka timbullah penolakan terhadap sistem dari rakyatnya sendiri. Yang muaranya adalah hancurnya sejumlah negara penganut paham ini seperti yang terjadi di Uni Soviet dan juga negara-negara Eropa Timur lainnya.

Sebaliknya dinegara-negara penganut sistem demokrasi, kesejahteraan rakyatnya kemudian maju dengan pesatnya. Sehingga secara langsung meningkat kan pula harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsanya. Dengan kata lain dari "perlombaan" tersebut dimenangkan oleh sistem demokrasi yang telah tampil sebagai satu-satunya sistem kenegaraan yang terbukti teruji berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, setidaknya untuk masa kekinian.

Dalam menghadapi keadaan yang demikian, sejumlah negara yang berhaluan komunisme memilih segera bermitra dengan negara-negara yang berhaluan demokrasi. Bahkan tanpa mengubah atau mengganti ideologi bangsanya, mereka kemudian mengadopsi sistem perekonomian model negara-negara demokrasi. Kisah sukses RRC dalam mengadopsi sistem ekonomi liberalisme khususnya bagi wilayah yang berada di pantai, dan juga keberhasilan Rusia dalam recovery setelah proses disintegrasi, kini telah melahirkan equeliberium baru untuk mengejar ketertinggalannya dalam membangun bangsanya.

Persoalan yang kita hadapi selama ini sesungguh- nya terletak pada ketidak-ketegasan sikap dalam memilih kedua paham tersebut. Dengan berbagai kondisi yang melingkupinya, dalam melihat kedua isme tersebut cenderung tidak hitam putih, disamping kurang obyektif dan juga kurang jujur. Hal ini dikarenakan bangsa kita memang cenderung melihat kedua paham tersebut hanya dari kesan umum dan juga akibat pemahaman yang tidak mendalam. Kebiasaan kita juga cenderung mudah menjustifikasi dan bahkan mengkutuk sekalipun tanpa mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana permasalahan yang sebenarnya.

Mereka yang tidak setuju dan bahkan anti terhadap liberalisme ataupun komunisme belum tentu telah memahami ajaran masing-masing isme tersebut, apalagi mendalaminya. Kondisi yang demikian tidak hanya berlaku bagi masyarakat kebanyakan saja, tapi juga pada masyarakat lapis menengah atas termasuk elitnya. Dan diantara mereka yang sudah tahu dan mengerti sekalipun terkadang karena kepentingannya dengan mudahnya memanipulasi. Tidak jarang diantara mereka

(15)

kemudian melaksanakan pembodohan publik secara terang-terangan demi tujuan tertentu.

Disisi lain cara pandang diametral juga terus berlanjut, sehingga dalam melihat paham yang berbasis pada liberalisme adalah sebagai lawan dari paham yang berbasis komunisme, dan juga sebaliknya dengan kesimpulan kedua-duanya jelek dan tidak cocok untuk bangsa kita. Tidak memahami dan bahkan tidak mau tahu bahwa sesungguhnya kedua paham tersebut sudah tidak ada yang benar-benar murni lagi.

Fenomena menarik lainnya adalah kasus India. Dengan segala kecompang-campingannya dalam banyak aspek, India terus mencoba mempertahankan kemurnian dalam menerapkan sistem demokrasinya. Walaupun lambat tapi pasti dalam hitungan beberapa tahun kedepan ia akan menyusul tampil sebagai raksasa ekonomi Asia kedua setelah Cina. Di samping itu sejumlah negara dibanyak kawasan yang menerapkan demokrasinya dengan benar juga telah berhasil menjadi negara maju dan kuat baik dibidang ekonominya, tehnologi ataupun sekedar superior dalam industri olah raga sepak bola sebagai sumber terbesar devisa negara nya. Jepang dan Jerman umpamanya, dengan mengubah sistem kenegaraan- nya pasca Perang Dunia II dan kemudian berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar demokrasi secara kuat terbukti dalam hitungan hanya dua dekade mampu menjadi negara yang maju kembali. Korea, Singapura, Australia, dan negara-negara Eropah yang tergabung dalam Blok Barat lainnya dengan menerap- kan demokrasi secara benar berhasil lebih dahulu dominan dalam percaturan dunia. Belakangan ini Malaysia, Thailand dan bahkan Philipina dengan segala persoalan dalam negerinya terbukti lebih cepat mampu mengatasi badai krisis yang melanda kawasan Asia tenggara di tahun 1997 yang lalu. Garapan yang utama dan pertama mereka kerjakan ternyata juga pembenahan dan bahkan penggantian sistem kenegaraannya terlebih dahulu.

Sementara itu bangsa dan negara kita terus ke- bingungan tanpa kejelasan arah, dengan kondisi yang sudah mulai bertatih-tatih dalam tahun ke-8 setelah badai krisis ekonomi, kini terus disorientasi dan bahkan peradaban dalam kerangka Indonesia sepertinya terancam hancur.

Prinsip dasar dari paham demokrasi adalah kedaulatan ditangan rakyat. Makna kedaulatan rakyat disini diartikan bahwa “kekuasaan yang tertinggi dalam pengelolaan Negara” berada ditangan rakyat. Rakyat lah yang menentukan apa dan bagaimana kehidupan Negara nya akan diatur. Sudah barang tentu dalam sistem ini hak-hak warga negara terlebih tentang kebebasan termasuk kebebasan dalam ber-

(16)

serikat sangat menonjol. Karenanya maka dalam sistem demokrasi keberadaan partai politik menjadi sangat penting, baik sebagai wadah untuk peng- kaderan, penyaluran aspirasi rakyat, maupun untuk menjadi fasilitas bagi kadernya yang akan tampil dalam panggung politik.

Sementara itu pada sistem otoriter (komunisme) negara lah yang menjadi subyek dalam pengaturan kehidupan dan peradaban bangsa nya. Para kader Partai Komunis sebagai pemegang kedaulatan melalui mekanisme Konggres Partai menyerahkan "mandat" kekuasaan kepada negara untuk dijalankannya. Dengan kata lain dalam sistem ini "Kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara berada ditangan Partai" yaitu Partai Komunis. Maka menjadi wajar kalau dalam sistem ini kekuasaan negara atas rakyat nya menjadi begitu menonjol. Begitu pula hak-hak warga negara juga diatur dan diberikan oleh negara sesuai kepentingan negara. Dan hak yang demikian itu ditempatkan bukanlah sebagai hak karena pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa bersama kelahirannya sebagai manusia di dunia. Sudah barang tentu kebebasan warga negara menjadi sangat terbatas.

Dalam sistem negara otoriter, bagi rakyat yang akan berpolitik diwajibkan untuk masuk dalam Partai Komunis sebagai satu-satunya Partai yang berkuasa. Sementara rakyat lainnya yang memilih diluar urusan politik berada diluar Partai, dengan pengertian bahwa mereka tidak boleh terlibat urusan perpolitikan dalam bentuk apapun. Kebebasan dalam berpolitik diwadahi didalam internal partai, dalam arti di dalam Partai Komunis sendiri bisa jadi terdapat sejumlah faksi.

Secara alami demokrasi juga terbagi dalam dua model. Kedua model tersebut pada tataran nilai dasar pada intinya sama, dan yang berbeda pada tingkat implementasi nilai terapannya. Dua jenis demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang menggunakan sistem presidensial dan domokrasi dengan sistem parlementer14. Untuk model demokrasi sistem presidensial, kontrak sosial dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dengan sang calon Presiden. Konsekwensi logis dari sitem presidensial maka model Pemilu nya haruslah Pemilu langsung. Disebut dengan istilah Pemilu langsung karena Rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara memilih langsung dengan mencoblos tanda gambar sang Calon Presiden. Dengan kata lain fungsi Partai disini hanyalah sebagai fasilitas yang melaksanakan fungsi adimintrasi semata. Bahkan dalam sistem ini Calon Presiden bisa saja berasal dari luar

14 Baca di dalam Terrence Ball dan Richard Dagger, Political Ideologies and the Democratic Ideal,

(17)

Partai yang ada. Adapun isi kontrak sosial antara Presiden dan Rakyatnya adalah semua "janji dalam bentuk program" yang ditawarkan calon Presiden yang disampaikan sewaktu kampanye Pemilu.

Setelah rakyat berhasil memilih Presiden, maka untuk memberi dukungan politik antara lain dalam urusan "pembuatan pembuatan Undang-undang (legislasi)" dan juga untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak sosial oleh Presiden, maka rakyat melalui Pemilu langsung menunjuk wakilnya untuk duduk dalam lembaga Legislatif. Dan karenanya maka dalam demokrasi sistem presidensial Pemilu Legislatif dilaksanakan setelah Pemilu Presiden, sehingga dalam memilih wakilnya yang akan duduk dilembaga legislatif sudah memper- timbangkan pula kebutuhan perimbangan politik bagi sang Presiden.

Konsekuensi logis dari proses pemilihan yang demikian adalah bahwa kewenangan untuk mencabut kepercayaan rakyat yang dimiliki Presiden dan anggota Legislatif hanyalah oleh rakyat pemilik kedaulatan sendiri, bukan oleh lembaga lain yang manapun. Rakyat tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk menjalankan otoritas ke- daulatannya kepada pihak manapun baik kepada Partai manapun ataupun Anggota Legislatif untuk atas nama rakyat men"jatuh"kan Presiden, dan rakyat pun tidak pernah mendelegasikan atau memberi kuasa untuk menjalankan otoritas keadaulatannya kepada Partai manapun untuk me-recall anggota legislatif yang dipilihnya melalui Pemilu Langsung. Oleh karenanya, dalam sistem presidensial posisi Presiden dan Legislatif adalah sebagai konstanta, dimana Presiden dan juga Anggota Legislatif tak bisa dijatuhkan atau diganti oleh siapapun kecuali alasan hukum dalam arti yang bersangkutan melakukan perbuatan kriminal, kematian atau mengundurkan diri.

Dalam sistem presidensial anggota DPR bukan wakil Partai tetapi sepenuhnya sebagai wakil rakyat, karena "mandat" yang dimilikinya bukan dari Partai, tetapi dari Rakyat yang telah memilihnya. Ini adalah prinsip dasar dari perwakilan politik dalam sistem demokrasi presidensial. Bahwa wakil rakyat yang duduk dalam sistem politik karena dipilih oleh dan untuk kepentingan rakyat yang memilihnya sehingga seluruh tindakan dan sikap sang wakil harus mencerminkan dan dalam rangka kepentingan rakyat sebagai pihak yang diwakili15.

15 Drs. Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 37. Dijelaskan

oleh Arbi Sanit bahwa wakil adalah penerima mandat dari rakyat untuk merealisasikan tujuan-tujuan dalam proses kehidupan politik yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, si wakil haruslah bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dari rakyat. Implikasinya,

(18)

Dan penting untuk dipahami juga bahwa secara prinsipal rakyat tidak pernah memberi kuasa, delegasi, atau otoritas untuk menjalankan kedaulatan (kekuasaan tertinggi dalam mengelola negara) yang dimilikinya kepada Partai Politik manapun. Ia hanya memberikan kewenangan kepada orang-orang tertentu yang kebetulan direkrut oleh partai politik sebagai organisasi politik yang resmi dalam negara demokrasi. Disanalah logika politik dalam sistem presidensial yang menempatkan posisi Presiden tidak bisa di lengserkan oleh Lembaga Negara manapun, dan juga Anggota Legislatif tidak bisa di recall oleh Partainya. Dan dari sistematika berpikir yang demikian itu, maka akan melahirkan struktur demokrasi yang mampu menjamin lahirnya "check

and balances". Karena dari posisi yang demikian itu otomatis stabilitas politik akan

terus terjaga (balance), dan juga fungsi kontrol (check) yang ketat dari lembaga Legislatif karena mereka tidak takut dicopot/di-recall oleh siapapun. Dengan demikian tidak hanya presiden, para wakil pun juga bisa bekerja dengan lebih baik tanpa dibawah tekanan partai atau kelompok tertentu16. Kelebihan pada model ini akan muncul Presiden yang memang benar-benar integritas nya teruji, legitimasinya tinggi dan kapabilitasnya tidak diragukan dengan programnya yang aspiratif sesuai dengan tuntutan mayoritas rakyat untuk menjadi seorang Presiden. Dan mereka yang terpilih sebagai Anggota Legislatif adalah benar-benar figur yang dikenal dan berkualitas lebih di lingkungannya17.

Adapun kelemahan pada sistem ini, adalah mana kala ternyata kinerja Presiden terpilih dan juga Anggota Legislatif yang dipilihnya ternyata tidak baik atau buruk sekalipun, maka rakyat harus bersabar sampai masa jabatannya selesai. Namun rakyat bisa meng "hukum" mereka dengan tidak lagi memilihnya pada Pemilu berikutnya. Dan yang jelas model ini untuk negara yang majemuk sangatlah cocok karena persaingan politik yang terjadi tidak berbasis pada politik aliran, tapi pada program yang ditawarkan oleh calon Presiden sewaktu kampanye. Dengan kata lain politik yang dikembangkan dalam sistem ini adalah politik program, dan politik aliran secara

pandangan/kebebasan personal si wakil tidak diperkenankan untuk dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil, kecuali jika pandangan itu merupakan cermin dari pandangan /aspirasi rakyat sebagai pihak yang diwakili.

16 Menarik sekali kalau kita cermati penjelasan Dennis F. Thompson tentang etika sang wakil dalam

politik demokrasi, dalam bukunya Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Thompson melihat dari aspek etis bahwa wakil adalah manifestasi dari kehendak rakyat yang memilihnya maka wakil harus bertindak dalam koridor yang sudah diatur dalam undang-undang dan tidak mengecewakan rakyat yang memilihnya.

17 Lihat juga penjelasan dalam buku Bintan R. Saragih, S.H., Lembaga Perwakilan dan Pemilihan

(19)

otomatis akan menjadi kecil dengan sendirinya. Dalam kaitan besarnya potensi kerawanan sosial dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, maka ditetapkannya pilihan pada demokrasi sistem presidensial sebagai "kata putus" menjadi sangat relevan.

Sedang dalam demokrasi Parlementer kontrak sosial dilaksanakan oleh Rakyat dengan Partai Politik yang dilaksanakan pada saat kampanye Pemilu. Pemilu dalam sistem parlementer dilaksanakan dengan cara tidak langsung, dimana perserta Pemilu adalah Partai Politik, dalam arti yang dicoblos rakyat adalah tanda gambar Partai bukan gambar sang calon Anggota Legislatif. Dan karenanya pimpinan Partai pemenang Pemilu otomatis menjadi Kepala Pemerintahan yang biasanya disebut sebagai Perdana Menteri. Dengan demikian materi kontrak sosial dalam sistem parlementer adalah program-program Partai Politik yang ditawarkan sewaktu kampanye Pemilu. Begitu pula keberadaan anggota legislatif yang biasanya disebut Parlemen sudah barang tentu diatur dan "tunduk" kepada Partai Politik. Dari sanalah maka kedudukan Perdana Menteri dan juga anggota Parlemen dalam sistem parlementer adalah "Variable", artinya setiap saat seorang Perdana Menteri bisa "jatuh" karena mosi tidak percaya, dan begitu pula anggota Parlemen setiap saat bisa di-"recall" oleh Partainya. Dalam sistem ini walaupun posisi Perdana Menteri dan Parlemen sebagai Variable, namun sistem ini diamankan oleh posisi Kepala Negara sebagai faktor konstanta yang secara kelembagaan memang terpisah dari pemerintahan. Dengan posisi Perdana Menteri dan Anggota Parlemen sama-sama sebagai "Variable" maka struktur politik yang terbentuk juga menjadi "chek and

balance", karena dari sana akan lahir keseimbangan yang dinamis disamping adanya

fungsi kontrol yang kuat. Secara alami maka sistem ini banyak dipakai oleh negara-negara yang berbentuk kerajaan dimana kedudukan Raja atau sejenisnya adalah hanya sebagai Kepala Negara saja. Konsekwensi dari model ini peran Partai Politik sangatlah menonjol atau kuat. Pada model ini peran Partai dalam rekruitmen kader sangat dominan, dan untuk mempertahankan legitimasi dari pendukungnya maka Partai akan berusaha menampilkan program program yang dapat mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi rakyatnya, disamping ia akan menampilkan kader-kader terbaiknya. Dalam sistem ini para menteri adalah kader partai, biasanya mereka telah terjalin dalam satu tim work dengan calon Perdana Menteri didalam Partainya. Kelebihan pada model ini kontrol dari partai melalui anggota parlemen kepada Perdana Menteri (pemerintah) termasuk penilaian terhadap kinerja Menteri memang

(20)

sangat ketat.

Sehingga bila terjadi penyimpangan atau kinerja Perdana Menteri dan atau Menteri yang tidak memuaskan dapat ditangkal sejak dini. Adapun kelemahan dari sistem ini sewaktu waktu posisi Perdana Menteri dan juga Menteri bisa goyah, karena Parlemen bisa saja mengajukan mosi tidak percaya. Anggota Parlemen karena setiap saat bisa di "recal" oleh Partainya, maka misi Partai dalam kondisi tertentu akan lebih menonjol daripada aspirasi rakyat itu sendiri. Kerawanan model ini adalah stabilitas politik sangat ditentukan besar kecilnya dukungan parlemen kepada Presiden dan bagi negara yang majemuk akan membuat maraknya politik aliran yang berbasis pada SARA tidak bisa dicegah, terlebih pada negara yang tingkat pendidikan warga negara nya masih rendah.

Para "founding father" kita memang sempat menawarkan sejumlah pandangan tentang sistem kenegaraan yang hendak dibangunnya, setidaknya secara resmi pernah disampaikan dalam siding sidang BPUPKI dan PPKI. Dua aliran besar pemikiran juga sempat muncul dalam pemandangan umum disidang-sidang tersebut. Supomo dan kawan-kawan dekat dengan paham sosialismenya dengan pilihan model yang sempat ditawarkan adalah model Jerman dan Jepang. Sementara itu Yamin, Bung Hatta dan kawan-kawan lebih menonjol pada paham liberalisme nya. Sedang Bung Karno sendiri lebih menonjolkan persoalan kemanusiaan, demokrasi dan tata dunia kedepan (internasional). Hal ini bisa dicermati dari rumusan Panca Sila yang sangat mengedepankan dan menjunjung tingi nilai-nilai Kemanusiaan, Kerakyatan dan Kesejahteraan. Sangat disayangkan sewaktu penyusunan sistem kenegaraan kedua aliran paham tersebut bukan dijadikan sebagai opsi pilihan, namun keduanya malah sama-sama diakomodasikan. Maka menjadi wajar kalau konsep politik yang dirumuskan lebih sebagai pencampuran dari keduanya. Sikap "founding father" yang cenderung mengakomodasikan semua pemikiran dan juga kepentingan tidak bisa lepas dari suasana kebathinan yang berkembang saat itu.

Disamping karena beragamnya paham dan juga pengetahuan yang ada pada para pendiri republik, perkembangan Perang Dunia dimana tanda-tanda bahwa Sekutu akan keluar sebagai pemenang dengan jelas dirasakan juga membuat "founding

father" mengakomodasikan paham demokrasi. Sementara itu kedekatan para perumus

UUD 1945 dengan Pemerintahan Kolonial Jepang yang justru berinisiatif membentuk badan yang menangani persiapan kemerdekaan dan sekaligus membiayainya, tidaklah mungkin melahirkan pemikiran yang digodok dalam BPUPKI dan juga PPKI secara

(21)

terang-terangan menentang sistem fasisme yang dianut pemerintahan kolonial Jepang. Suasana kebathinan yang demikian itulah yang sangat mempengaruhi konsep sistem kenegaraan yang disusunnya. Disana maka nilai nilai yang berseberangan disatukan, bahkan dua nilai yang kontradiktifpun diramu dalam sebuah konsep sistem politik nasional. Suasana kebathinan yang melingkupi saat dibuatnya UUD 1945 juga tidak memungkinkan untuk menguji obyektifitas, rasionalitas, validitas dan apalagi kebenaran dari sistem yang disusunnya. Karenanya penekanan utama dalam perumusan UUD-45 lebih menonjolkan pada unsur semangat para penyelenggara negara. Dengan kata lain konsep politik yang dirumuskan dalam UUD-45 barulah sebatas hipothesa yang kebenarannya sama sekali belum sempat terbukti walaupun sekedar secara teori sekalipun. Dari sana pula "founding father" kita cepat-cepat menyatakan bahwa Konstitusi yang disusunnya barulah bersifat sementara karena kedaruratan. Menjadi mudah dipahami, karena dalam kenyataan nya batang tubuh UUD-45 memang dibuat hanya dalam waktu 1 (satu) hari saja.

Bung Karno sendiri dalam pidato pengesyahan UUD-45 pada tanggal 18 Agustus 1945 antara lain menegaskan sebagai berikut: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa UUD -45 yang (kita) buat sekarang ini adalah UUD sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan INI ADALAH UNDANG-UNDANG DASAR KILAT. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang

Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”. Artinya persoalan perubahan

UUD-45 melalui penggantian dengan yang baru sekalipun bukanlah perbuatan dosa dan apalagi pengkhianatan kepada “Founding Father”. Justru sebaliknya, kita harus menempatkan hal itu sebagai “hutang amanah” yang harus segera dbayar oleh para pewaris negeri ini.

Dari susunan struktur pemerintahan versi UUD 1945 dengan jelas kelihatan sekali kalau referensi yang digunakan oleh "founding father" kita dalam menyusun UUD 1945 adalah campuran antara Konstitusi Kerajaan Belanda model tahun 1814 dan sistem kenegaraan model Komunisme. Keberadaan DPR, DPA, BPK, MA, dan Presiden sebagai pengganti kedudukan Perdana Menteri masing-masing sebagai Lembaga Tinggi Negara jelas meng- induk pada Konstitusi Belanda tersebut. Padahal Belanda sendiri pada tahun 1922 telah mengubah Konstitusi tersebut. Sedang mekanisme penggunaan kedaulatan rakyat, UUD 1945 lebih menginduk pada sistem otoriter dimana kedudukan MPR yang mempunyai wewenang "Menjalankan

(22)

Kedaulatan Rakyat" sesungguhnya adalah pengganti forum Kongres Partai Komunis sebagaimana yang dilaksanakan di Uni Sovyet, RRC dan juga negara-negara komunis lainnya. Keberadaan MPR menjadi lebih rancu ketika lembaga ini justru distrukturkan sebagai Lembaga Tinggi Tertinggi Negara yaitu sejak periode akhir masa pemerintahan Bung Karno setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini.

Tuntutan Reformulasi Sistem Kenegaraan

Beranjak dari kondisi sebagaimana tersebut diatas, maka menjadi penting untuk kedepan bagi bangsa ini dalam menghormati para pendahulunya ditempuh dengan sikap arif, tanpa meninggalkan obyektifitas, dan jauh dari pengkultusan. Dan sebalik- nya semua pihak menghindari upaya mempertahan- kan kekuasaan dengan memanfaatkan nama besar para Pendiri Republik. Kedepan tidak perlu lagi pengkultusan terhadap para pendahulu, dengan menempatkan semua nilai yang dirumuskan mereka sebagai harga mati. Dan diberinya stigma sebagai model khas Indonesia dan kemudian mensakralkan- nya. Padahal dibalik itu semua dengan mempertahan- kan nilai-nilai lama tersebut banyak kesempatan untuk terus mengakumulasikan kekuasaan. Dengan berulang kali jatuh bangun dalam krisis nasional, berulang kali pula terjadi petaka kemanusiaan oleh sesama anak bangsa dengan korban yang tidak kecil jumlahnya adalah bukti bahwa sistem kenegaraan tidak bisa lagi diandalkan untuk membangun peradaban kita kedepan. Yang jelas dewasa ini peradaban bangsa menjadi begitu terpuruk, sementara itu residu masa lampau begitu sangat membebani anak bangsa termasuk generasi penerus- nya. Maka akan lebih tepat kalau kita segera menyimpulkan bahwa konsep politik yang digunakan selama ini ternyata belum (tidak) teruji sebagai sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dalam praktek penyelenggaraan negara termasuk oleh bangsa-bangsa lain.

Maka pertanyaan sebaiknya segera dijawab oleh segenap anak bangsa apakah mungkin UUD-45 sebagai sebuah sistem yang telah melahirkan petaka kemanusiaan secara berulang dan dengan kerusakan kejiwaan bangsa serta residu masa lalu yang begitu dasyatnya lantas mampu mengatasi keadaan itu semua. Bukankah sesuatu yang naïf kalau kita mengharapkan sebuah sistem yang nyata-nyata gagal, lantas digunakan kembali untuk mengatasi segala persoalan yang justru dilahirkan oleh sistem itu sendiri. Haruskah kedepan kita dengan hasil amandemen UUD-45 kembali

(23)

dan terus melanjutkan bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru tentang konsep politik yang tanpa dibuktikan terlebih dahulu obyektifitas, rasionalitasnya, validitasnya dan juga kebenarannya minimal secara empiric oleh sejumlah bangsa lain. Pertanyaan yang demikian berkaitan erat dengan realitas politik yang kini terjadi pada diri bangsa ini, dimana hasil empat kali amandemen UUD 1945, sejumlah Ketetapan MPR dan juga sejumlah Undang-undang masih terus melanjutkan pencampur-adukan nilai-nilai dari kedua paham (ideologi) dan struktur politik yang semakin semrawut. Formula yang ada pada UUD-45 sendiri memang sudah campuran, melalui amandemen malah ditambah lagi dengan mengaduknya dengan kedua perangkat sistem demokrasi yaitu perangkat yang ada pada sistem presidensial dan yang ada pada sistem parlementer.

Kedepan bangsa ini dituntut untuk bersikap tegas, jelas, lugas dan janganlah terus-terusan mem- pertahankan keabu-abuan, dan ketidak-jelasan dalam memilih sebuah kebenaran (nilai) yang sifatnya sudah universal. Ibarat disuruh memilih warna hitam atau putih, kita biasanya cenderung memilih sebagian hitam dan sebagian putih. Kita sepakat memilih menjadi laki-laki, tapi penampilan, watak, sifat dan perlaku yang ditampilkan adalah sebagai wanita. Konsistensi sebagai laki-laki mestinya berpenampilan gagah, macho serta perkasa di samping berwatak ksatria dan gentle. Dan begitu pula bila pilihannya menjadi wanita, kita juga harus konsisten dan konsekwen untuk berpenampilan yang cantik, menawan dan berperilaku lembut dan halus serta anggun. Keseimbangan yang mestinya diametral dengan memilih jadi laki-laki atau wanita, umumnya kita memilih jadi banci/waria. Menjadi wajar kalau Suparwan G Parikesit Cendekiawan Muslim kita dalam tulisan lepasnya tertanggal 29 April 2005 yang berjudul "Kebangkitan Kembali Kaum Intelektual" menyebutnya dengan istilah "Sistem Pemerintahan tak berkelamin". Padahal keseimbangan yang alami adalah posisi optimal pada masing masing kutub walau terkadang memang perlu fleksibel.

Disanalah pentingnya kesadaran bersama dari segenap anak bangsa untuk tidak mengulangi dan terus melanjutkan model dimana bangsanya sendiri yang berjumlah lebih dari 200 juta sebagai obyek uji coba dari sebuah gagasan tentang sistem kenegaraan yang masih bersifat hipothesa. Padahal resiko yang bakal terjadi tidak hanya membikin segenap warga Negara yang sekarang menjadi menderita, tapi juga anak cucunya bahkan beberapa generasi ikut menanggungnya. Lagi pula mereka yang terlibat dalam penyusunan dan juga anggota rezim yang melaksanakannya belum

(24)

tentu ikut menanggung dampaknya.

Bukankah bangsa-bangsa lain telah memberi pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi kita. Mengapa bangsa bangsa lain dalam menyusun sistem kenegaraannya dengan mudahnya bisa dan mau mengadopsi nilai-nilai yang dalam praktek penyelenggaraan negara telah nyata-nyata terbukti keberhasilannya, sementara itu kita terus berdalih bahwa kita punya ke “khas” an sendiri sehingga tidak mungkin mengadop nilai-nilai tersebut, walaupun terhadap nilai yang nyata-nyata sudah bersifat universal sekalipun. Kita terlalu mudah lupa ataupun pura-pura tidak tahu bahwa puluhan dan bahkan lebih dari seratus bangsa-bangsa lain termasuk yang kelahirannya sebagai negara jauh setelah kemerdeka- an kita, dengan mudahnya mengadopsi nilai-nilai yang faktanya terbukti sebagai cara yang terbaik dalam pengelolaan Negara, dan kemudian berhasil mem- bangun peradabannya dengan baik. Boleh saja kita menggunakan alasan karena kita negara kepulauan, tapi bangsa lain yang wilayahnya juga kepulauan berhasil membangun peradabannya dengan baik. Begitu pula dari sudut besarnya jumlah penduduk, kemajemukan, ataupun rendahnya standar rata-rata pendidikan penduduknya. Ternyata sejumlah negara yang mempunyai persoalan yang sama, dengan mudahnya bisa membangun bangsa dan negaranya begitu maju dan kuat. Boleh saja kita beralasan karena kita tergolong sebagai negara muda, dan mempunyai budaya yang khas, namun sejumlah negara yang lebih muda dan mempunyai budaya yang mirip sama dengan kita juga berhasil menata kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya dengan berkwalitas. Maka yang diperlukan adalah kesadaran untuk memahami anatomi masalah dan faktor-faktor penyebab kegagalan yang menimpa kita dalam membangun ke Indonesia an.

Karena kelahiran kita sebagai Indonesia lebih dikarenakan kesamaan nasib akibat penjajahan Belanda, sesungguhnya kalau mau jujur ikatan kejiwaan kita sebagai Indonesia masih sangat rapuh. Masa lalu kita yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang dalam pengelolaannya penuh pertikaian baik internal maupun antar sesamanya juga mewarnai perilaku kepemimpinan elit yang berkuasa. Sentimen kedaerahan, etnis dan bahkan agama dengan mudah dibangkitkan, belum lagi persoalan kesenjangan baik vertikal maupun horizontal utamanya yang berlatar belakang ekonomi. Dalam kondisi yang penuh potensi kerawanan sebagaimana gambaran tersebut diatas, maka persoalan penataan sistem kenegaraan menjadi sangat mendasar dan bahkan mendesak. Dari sisa-sisa kohesifnes yang sekarang masih ada, kita perlu segera membuktikan kebenaran niat dan tekad para pendiri republik untuk

(25)

membentuk Indonesia yang satu. Untuk itu kita harus memilih pendekatan yang bisa diterima oleh segenap warga bangsa kita. Satu dari sekian sisi yang bisa dimanfaat- kan adalah azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara itu sendiri. Disanalah pentingnya pengaturan Indonesia dalam sebuah sistem kenegaraan yang bisa diandalkan untuk segera membangun beradaban yang ber Indonesia. Dengan demikian azas manfaat atas keberadaan Indonesia sebagai satu-satunya wadah bagi segenap warga bangsa segera dirasakan manfaatnya oleh segenap warga bangsa tanpa kecuali. Sudah barang tentu azas manfaat yang dimaksudkan bukanlah sekedar dibidang kesejahteraan, keadilan dan keamanan, tapi juga kebanggaan bersama sebagai Indonesia yaitu persoalan harkat dan martabat sebagai bangsa dan negara Indonesia.

Disanalah pentingnya semua pihak yang terlibat dalam penyusunan ulang sistem kenegaraan bisa lebih mengedepankan pendekatan konseptual visioner dari pada reaksioner pragmatisme, serta mampu melepas- kan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran tidak diukur dari banyak sedikitnya suara yang mendukungnya, tapi dari akal sehat dan nurani. Pancasila sendiri memberi tuntunan demokrasi dengan "Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan" dan sama sekali bukan oleh besar kecilnya jumlah suara.

Kita memang cenderung suka membuat konsep jalan tengah yang lebih didasari kepentingan sesaat sehingga sangat logis kalau Wolfgang Merkel menempatkan Indonesia pada tahun 2001 dalam kelompok negara di Asia Tenggara yang masuk kategori “Demokrasi Elektoral” yang hanya sukses melakukan pemilihan umum tetapi belum sukses secara substansial dalam berdemokrasi18. Lihat tabel di bawah.

Kategori Asia Selatan Asia Tenggara Asia Timur Laut Demokras i Elektoral India, Sri Langka, Nepal, Banglades h Filipina, Thailand, Indonesia Jepang, Korea Selatan, Indonesia

Otokrasi Butan, Brunei, Cina,

18 Wolfgang Merkel, 2003, Democratie in Asien: Ein Kontinent zwischen Diktatur und Democratie,

(26)

Malediven Pakistan Burma, Kamboja, laos, Malaysia, Singapura, Vietnam Korea Utara

Dalam praktek, untuk kurun waktu diawal perbaikan konsep jalan tengah memang lebih efektif. Sangat disayangkan sesuatu yang sifatnya darurat kemudian dibakukan sebagai konsep final dengan cap "ala Indonesia". Dan setelah ternyata gagal dengan mudah pula kita mencari kambing hitam, termasuk dengan menuduh campurtangan asing. Diantara kita kemudian terus menyuarakan bahwa konsepnya benar dan baik, tapi manusia yang melaksanakan mentalnya bobrok. Kebiasaan memberi penilaian tanpa memahami dimana letak kebenaran dan kebaikannya kembali terulang. Mereka lupa bahwa sistem politik yang baik mestinya tidak perlu berulang kali memakan korban anak bangsa dan masa depan keturunannya sendiri.

Saat ini kita juga sudah terbiasa mendengar bahwa Suharto baik, tapi yang mengelilingi yang "rusak". Kita lupa bahwa sistem yang baik akan menjamin sang Presiden hanya dikelilingi oleh orang-orang yang baik pula. Karena dari sistem yang baik akan mampu memfilter sekaligus menepis kehadiran orang-orang yang "rusak" untuk berada disekeliling Presiden. Bisa jadi sikap dan cara berpikir yang demikian ini terbentuk karena alam yang memanja- kannya, ataukah ini semua ini karena warisan dari nenek moyang bangsa bekas jajahan. Tentang hal ini memang perlu didalami dengan lebih konprenhensif lagi, tapi yang jelas sederetan sisi lemah bangsa yang demikian itu tidaklah boleh ditempatkan sebagai produk budaya yang harus kita terima apa adanya. Melalui perubahan "mind set", "way of thinking" dan paradigma segenap warga bangsa yang dimulai dari elitnya terlebih dahulu diharapkan sisi buruk tersebut bisa dieliminasi. Hal yang demikian tidaklah ber- lebihan, karena budaya bisa saja ditempatkan sebagai sebagai proses yang bisa saja diubah secara sadar dan terukur, dan bukan sekedar sebagai out put semata.

Dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa, dan negara diberi wewenang untuk mengelola kekuasaan tersebut. Maka didalamnya haruslah terkandung seperangkat nilai yang menjamin bahwa negara tidak akan salah kelola dalam bentuk apapun dan situasi apapun termasuk dalam keadaan berperang sekali- pun. Maka fungsi negara

(27)

dalam model demokrasi akan lebih sebagai legislator, fasilitator, pemberi akses bagi segenap warga negara dalam hal pengelolaan sumber daya dan kesempatan untuk memperoleh penghidupan secara adil guna mensejahterakan diri masing masing sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.

Sudah barang tentu dalam konsep negara yang berdasarkan pada demokrasi tidak ada istilah negara akan mensejahterakan apalagi memakmurkan rakyat. Karena filosofi yang demikian hanya dikenal dalam negara otoriter. Dan sesungguhnya rakyat mempunyai kemampuan dan ukuran sendiri sendiri dalam mensejahterakan dan memakmurkan dirinya sendiri. Sudah barang tentu negara juga harus menjamin rasa kemanusiaan, keadilan, dan juga keamanan di- samping harus mampu menjaga kedaulatan rakyat dari segenap hakekat ancaman yang dihadapinya. Oleh sebab itu struktur pemerintahan negara dan mekanisme yang diimplemtasikan haruslah me- menuhi prinsip dasar transparansi, accountability dan juga efisiensi.

Sistem demokrasi yang benar haruslah mampu menjamin bahwa aparatur Negara tidak akan bisa begitu saja menggunakan kekuasaannya untuk mem- perkaya diri sendiri, dan apalagi sampai melanggar HAM serta hak-hak sipil lainnya meskipun adagium Lord Acton masih selalu berlaku bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan yang absolut cendrung korup secara absolut pula (power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely)19. Adalah kekeliru an yang sulit dimaafkan kalau urusan

mencegah korupsi kemudian diserahkan kepada kesadaran atau moral manusia yang mengawaki pemerintahan negara. Disanalah pentingnya menyusun sistem kenegaraan yang mampu menangkal dan menepis setidaknya mengeliminasi korupsi. Tanpa perubahan sistem maka korupsi yang begitu dasyatnya di era Orde Baru akan terus dan bahkan menjadi me- wabah diera berikutnya.

Dari rancang bangun sistem politik yang ada saat ini juga tidak bisa menjamin untuk mencegah terjadi- nya pelanggaran HAM atau tindak kekerasan oleh alat kelengkapan negara termasuk oleh TNI. Keterlibatan anggota TNI dalam pelanggaran HAM akan sulit untuk dielakkan mana kala TNI masih ditempatkan pada arena politik praktis. Disanalah pentingnya konsep politik yang menempatkan TNI dberada diluar domain sipil sehingga betul-betul tidak terlibat dan tidak bisa dilibatkan dalam urusan urusan politik praktis yaitu segala urusan yang menjadi tanggung jawab Presiden dalam kapasitasnya selaku Kepala Pemerintahan.

Sudah barang tentu konsep yang demikian itu tidak serta-merta dilaksanakan

(28)

bagai membalik tangan, tapi diatur sesuai kesiapan semua pihak yang terkait, dan sejalan dengan kemampuan negara untuk membiayai anggaran yang diperlukan dalam proses perubahan itu semua. Dalam sistem demokrasi yang benar, institusi militer haruslah digolongkan dalam kelompok jabatan karier. Dengan cara ini maka kemandiriannya dalam urusan pembinaan tidak bisa diintervensi oleh pihak eksternal manapun termasuk oleh Presiden sendiri. Cara ini akan menjamin berlakunya norma "merit" sistem dan bahkan "tallent scouting" dalam pembinaan karier prajurit TNI. Sudah barang tentu sistem demokrasi juga harus bisa menjamin agar kapanpun TNI tidak kembali menjadi sumber masalah yang dihadapi bangsanya. Disanalah maka persoalan Supremasi Sipil dan “Civil Society" bukanlah hanya dalam bentuk pengetahuan belaka, tapi "built in" masuk dan tergambar dengan jelas dalam struktur kelembagaan demokrasi itu sendiri. Sehingga TNI benar-benar terbebas dari tarik menarik kepentingan politik dari lingkungan politisi sipil yang manapun. Yang terjadi hasil amandemen UUD 1945 malah menempatkan DPR dilibatkan dalam proses pengangkatan Panglima TNI dengan mekanisme "fit and profer test" dan pemberian rekomendasi. Lantas bagaimana seorang Panglima TNI akan bebas dari urusan politk sebagai norma dasar "supremasi sipil", kalau proses rekruitmennya sendiri sudah melibatkan unsur politik. Belum lagi kalau kemudian sistem kenegaraan yang ada malah membenarkan TNI untuk ber-Dwi Fungsi. Selaku Pimpinan TNI, Nasution memberi hak kepada orang perorang prajurit TNI untuk memangku jabatan diluar lembaga militer. Lahirnya gagasan tersebut sangat diwarnai oleh kebutuhan sesaat ketika bangsa memasuki tahap konsolidasi sebagai negara. Model ini kemudian diperluas oleh Suharto dimana secara kelembagaan TNI mengemban fungsi sosial politik.

Begitu pula keberadaan Polisi, dengan fungsinya yang multi yaitu dibidang penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta anti teror kemudian diposisikan langsung dibawah Presiden. Lantas bagaimana mungkin lembaga yang demikian strategis dapat dipisahkan dari kepentingan politik tertentu. Dengan mudahnya Polri digunakan sebagai alat untuk tekan-menekan atau bahkan untuk dukung-mendukung kepentingan politik tertentu yang dibungkus sebagai tindakan hukum baik untuk mem- percepat pembongkaran kasus, ataupun sebaliknya dengan cara memperlambat atau bahkan menghenti- kan proses penyidikan. Bukankah sejumlah negara yang telah berpengalaman dengan membayar pahit dan biaya yang sangat besar sudah pada satu kesimpulan bahwa Polisi haruslah dipisah menurut

Referensi

Dokumen terkait

7HNQLN NODVLILNDVL VDDW LQL VXGDK EDQ\DN GLJXQDNDQ XQWXN PHQJDWDVL SHUPDVDODKDQ \DQJ WHUNDLW GHQJDQ SHQJJRORQJDQ GDWD ,PSOHPHQWDVL WHNQLN NODVLILNDVL LQL GDSDW GLWHUDSNDQ SDGD

reliable kepada petugas pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berkaitan, dimana petugas pajak dapat menggunakan informasi yang disediakan oleh wajib

Sistem informasi adalah sekumpulan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya yang bertujuan menghasilkan

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan

analyze and identify entrepreneur behaviour on business performance especially to Small Medium Enterprise (SMEs) banana processing in South Garut.. The study was

Mulyasa (2013: 154) menyatakan bahwa RPP merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan dan meproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan guru dalam

In a language such as Java, the pseudo-random number generation has fortunately been imple- mented in a library class, so all we have to do to receive a pseudo-random number is to make

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi dan Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah