• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBAWA SENJATA PENIKAM/PENUSUK, TANPA HAK - Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 48-60)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. MEMBAWA SENJATA PENIKAM/PENUSUK, TANPA HAK - Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun

- Dan seterusnya……. Dan seterusnya …………

Majelis terdiri dari para Hakim Agung: M. YAHYA ADIWIMARTA, SH., selaku Ketua Sidang dengan Anggota: NY. DORA SASONGKO KARTONO, SH, dan DJAZULI BACHAR, SH.

10. Pembahasan

Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang terbukti bersalah melakukan delict, maka dalam putusannya itu, Hakim wajib membuat pertimbangan hukum tentang hal (keadaan) yang memberatkan dan yang meringankan berkenaan dengan hukuman yang

dijatuhkan kepada terdakwa. Kewajiban Hakim ini juga berlaku bagi Hakim Banding yang mengubah atau memperbaiki hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim Pertama.

Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d tersebut, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "fakta dan keadaan" di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan ayat (2) Pasal 197 tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan atau kekehruan dalam penulisan maka kekhilafan atau kekehruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a contrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h jika terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengalian tidak batal demi hukum.

Membuat pertimbangan hukum yang demikian itu, merupakan syarat mutlak yang wajib ditaati oleh Hakim Banding, sesuai dengan perintah Undang - Undang No. 8/1981 (Hukum Acara Pidana - KUHAP) dengan akibat hukum apabila ketentuan Pasal 197 (1) huruf “f” KUHAP tersebut dilanggar oleh Hakim, maka putusannya adalah “batal demi hukum”. Pasal 197 (1) huruf

“f” Undang - Undang No. 8/1981 menentukan aturan sebagai berikut yaitu Surat putusan Pemidanaan memuat:

a. Pasal Peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu diperbaiki.

b. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.

Dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan

berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP yaitu :

1) Nomor Putusan

2) Kepala Putusan/Irah-irah (DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA)

3) Identitas Terdakwa

4) Tahapan penahanan (kalau ditahan) 5) Surat Dakwaan

6) Tuntutan Pidana 7) Pledooi

8) Fakta Hukum

9) Pertimbangan Hukum

10) Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan 11) Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana

12) Pernyataan kesalahan terdakwa

13) Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman 14) Kualifikasi dan pemidanaan

15) Penentuan status barang bukti 16) Biaya perkara

17) Hari dan tanggal musyawarah serta putusan

18) Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan Penasehat Hukumnya

Ketentuan (lain) tentang Putusan

1) Untuk putusan yang bukan pemidanaan mengacu pada Pasal 199 KUHAP.

2) Dalam hal putusan Hakim telah melalaikan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP cara memperbaikinya adalah dengan melalui “Upaya Hukum”.

3) Dalam hal terhadap putusan tersebut diajukan banding, maka Pengadilan Tinggi dapat langsung memutuskan sendiri dengan terlebih dahulu menyatakan putusan Pengadilan Negeri batal demi hukum.

4) Pengurangan hukuman dengan masa penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) KUHAP bersifat imperatif.

5) Perkara pidana biasa yang terdakwanya tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, berkas perkaranya tidak dapat dikembalikan kepada Jaksa, dan apabila terdakwa sudah berulang kali dipanggil tetapi tidak datang maka perkara diputus dengan amar “Tuntutan Jaksa tidak dapat diterima” (lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/pemb/0068/81).

6) Dalam hal terdakwa dihukum dengan pidana penjara yang lamanya sama dengan masa penahanan yang dijalaninya, maka dalam putusan harus disebutkan ”memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan” dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan”. Hal ini untuk memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf ”k” KUHAP.

Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu sendiri adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:

3) Memuat hal-hal yang diwajibkan,

4) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum

Dalam hal eksekusi hendak dilaksanakan, sudah seharusnya terdakwa mengajukan keberatan karena pelaksanaan hukuman dari suatu produk putusan yang batal demi hukum akan mengakibatkan eksekusi tersebut tidak sah pula. Jika terdakwa mengajukan upaya hukum pemeriksaan banding dan hasilnya -- katakanlah ada putusan perbaikan, maka atas pelaksanaan eksekusi yang tidak sah tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan jumlah hukuman yang dijatuhkan dalam putusan perbaikan itu. Pihak jaksa yang

berkepentingan dengan eksekusi seharusnya tidak melaksanakan eksekusi terlebih dulu sebelum adanya putusan lain yang memperbaiki putusan yang batal ini.

Pernyataan batal demi hukum tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh terdakwa, di mana untuk menentukannya harus dilakukan oleh suatu putusan. KUHAP tidak mengatur upaya hukum apa yang dapat dilakukan terhadapnya. Dalam hal ini berlaku azas hukum: produk putusan dari suatu instansi dapat dibatalkan oleh putusan instansi yang lebih tinggi. Karena putusan dalam perkara aquo adalah putusan kasasi, maka dilihat dari kepentingan terdakwa, dalil putusan batal demi hukum seyogyanya dimasukan sebagai bagian dari pemeriksaan banding jika terdakwa hendak melakukan upaya hukum ini. Akan tetapi, sebagaimana ditegaskan Yahya Harahap, S.H.

dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2006), mengingat unsur kebatalannya semata - mata dalam diktum putusan, maka hal-hal lain yang menyangkut putusan seperti:

pemeriksaan sidang, dakwaan, rekuisitor, dan pembelaan tetap sah.

Beberapa hal tidak secara mendalam dikupas dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pertimbangan judex factie yang menyatakan bahwa unsur "memaksa" yang kaitannya dengan tindak pidana pemerasan telah terbukti. Ini mengingat Fernando telah melakukan pemerasan dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 368 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP jo. Pasal 2 (1) UU No. 12/Drt/1951.

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas, maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.

Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam tingkat banding, akan tetapi mengenai kualifiksi tindak pidana yang telah diberikan oleh Hakim tingkat pertama adalah kurang tepat sebab tindak pidana

yang dilakukan oleh terdakwa telah dilakukan berturut-turut secara berlanjut dan tindak pidana yang tebukti dilakukan oleh terdakwa adalah merupakan suatu Tindak Pidana Komulatip dan karena itu harus dipisahkan antara satu dengan yang lain, tidak dapat digabung menjadi satu kalimat.

Dalam hal ini Hakim Banding tidak sependapat dengan Hakim Pertama tentang Kwalifikasi Tindak Pidana yang diberikan, karena delictini dilakukan terdakwa secara berturut-turut dan berlanjut dan juga merupakan suatu Tindak Pidana Komulatif. Disamping itu, Hakim Banding juga tidak sependapat mengenai lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut. Mengenai pidana ini, Hakim Banding dengan alasan guna lebih mendekati rasa keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka pidana penjara yang telah diberikan oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki (diubah) dan terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pindana pemerasan yang dilakukannya secara berturut-turut dan berlanjut serta membawa senjata tajam tanpa hak dan menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 9 (Sembilan) bulan.

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan mengemukakan Keberatan Kasasi. Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini, karena Mahkamah Agung RI memiliki pendapat yang didasarkan oleh pertimbangan hokum bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah dijatuhkan oleh Hakim Pertama dan dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan yang memberatkan terdakwa dimana pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delict dan apabila syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar) maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197

(1) huruf “f” dari Undang-Undang No. 8/1981 atau K.U.H.P., maka akibat hukumnya putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) tersebut adalah batal demi hukum. Pengadilan Tinggi juga tidak menyebutkan alasan hukuman berupa kalimat untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu diperbaiki. Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat ex Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.

Dengan pertimbangan yang disebutkan diatas serta mengambil alih pertimbangan putusan Hakim Pertama, yang dinilai sudah benar, maka Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini yang amarnya pada pokoknya adalah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri serta menyatakan terdakwa Fernando bersalah melakukan perbuatan pidana pemerasan dan membawa senjata penikam atau penusuk tanpa hak dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Petunjuk Mahkamah Agung tentang Diktum

1. Pada hakekatnya perumusan suatu tindak pidana dalam kaedah hukum terdiri atas :

a. Perumusan tentang perbuatan yang dilarang dan karenanya dapat dipidana (tindak pidana atau delik yang sebenarnya).

b. Perumusan tentang keadaan yang meliputi perbuatan yang dilarang tersebut.

2. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas, merupakan bagian-bagian esensial dari suatu perumusan tindak pidana yang harus secara nyata atau faktual diuraikan dalam suatu dakwaan, sehingga jelas mengenai hal – hal apa yang meringakan dan memberatkan bagi terdakwa yang termuat di dalam suatu putusan Hakim, kalau bagian esensial tersebut tidak terpenuhi maka putusan akan batal demi hukum.

3. Yang disebut pada butir f dalam Pasal 197 KUHAP ayat (1) diatas, merupakan suatu “elemen” (unsur, tetapi bukan merupakan bagian atau bestanddeel) dari tindak pidana atau merupakan syarat suatu perumusan yang dijadikan muatan dalam Putusan Hakim, namun syarat tersebut

timbul berdasarkan asas - asas umum tentang hukum dan keadilan seperti umpamanya hal pertanggungjawaban kesalahan dan bertentangan dengan hukum.

4. Meskipun elemen atau unsur tersebut harus ada (merupakan syarat) namun karena merupakan bagian esensial dari suatu putusan hakim, maka kalau hal tersebut tidak termuat atau tercantum dalam sebuah putusan hakim amar putusannya harus batal demi hukum karena Pengadilan tinggi (judex factie) tidak membuat pertimbangan hukum tentang hal – hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa dalam perkara pemerasan yang dilakukan oleh terdakwa Fernando.

Berkaitan dengan perkara ini jelaslah bahwa secara prosedural Hakim telah lalai melaksanakan Undang - Undang yang seharusnya proses pemeriksaan dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku karena hakim lalai dalam mencantumkan mengenai hal – hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Sehingga peradilan yang dilakukan menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan tidak tunduknya hakim terhadap undang-undang ini. Hakim sebagai petugas yang menegakkan hukum seharusnya mentaati hukum (Undang - undang), sehingga kepastian hukum dapat ditegakkan. Kepastian hukum harus dijaga demi keamanan Negara dan rasa keadilan yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, maka hukum positif selalu harus ditaati, meskipun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Kepastian hukum yang harus dijaga dan diwujudkan oleh aparat penegak hukum untuk mewujudkan tujuan hukum, yaitu paling tidak hukum harus menjamin dan melindungi tiga nilai dasar, yaitu; keadilan, kebebasan dan solidaritas sosial. Hukum harus bercirikan secara hakiki harus adil dan pasti serta sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan pasti maka hukum ditaati oleh masyarakat.

Dalam membuat Putusan pengadilan seorang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP yang berisikan

berbagai hal yang yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat - pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan Perundang - Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

Dalam hal tidak terpenuhinya semua ketentuan seperti yang diatur di dalam ketentuan KUHAP maka akan berakibat putusan batal demi hukum.

Untuk itu kesemua persyaratan yang tersebut diatas harus dicantumkan dalam putusan pemidanaan agar jangan sampai putusan yang akan dinilai tersebut menjadi tidak mengalami pengurangan nilai atau nilai yang akan diberikan juri menjadi tidak optimal.

Dalam pembuatan Putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim, pertimbangan atas fakta dan pertimbangan yuridis sangat penting untuk dituliskan secara lengkap guna kepentingan distribusi keadilan yang lebih baik. Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan seorang hakim harus memiliki kualitas manusia yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan.

Maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melaukukan kelalaian dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak disengaja. Sementara itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman maupun KUHAP tidak menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk dari pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara secara eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang dimiliki oleh hakim dalam perkara pidana begitu luas, sementara pertanggungjawaban tugas hakim dalam memeriksa perkara pidana hanya bersifat abstrak.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan

pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut : Dalam proses pengambilan putusan Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara pemerasan meng-gunakan metode berpikir deduksi yaitu berpijak pada hal - hal yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada kasus kongkrit. Dalam putusannya Hakim berpendirian bahwa putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkaham Agung RI tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut:

1. Bahwa Pengadilan Tinggi telah mengubah hukuman penjara yang telah dijatuhkan oleh Hakim Pertama

2. Bahwa dalam mengubah hukum tersebut, ternyata Hakim Banding tidak membuat pertimbangan tentang faktor (keadaan) yang meringankan dan yang memberatkan bagi terdakwa.

3. Bahwa pertimbangan yang demikian ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh Hakim dalam memberikan hukuman kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Bahwa bila syarat ini tidak dipenuhi (dilanggar), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 (1) huruf “f” dari Undang - Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka akibat hukumnya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) tersebut adalah batal demi hukum.

4. Bahwa putusan Pengadilan Tinggi hanya menyebutkan alasan hukuman berupa kalimat “untuk lebih mendekati Rasa Keadilan dan setimpal dengan kesalahan terdakwa, maka hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama perlu diperbaiki.” Alasan ini dinilai Mahkamah Agung tidak memenuhi syarat Pasal 197 (1) huruf “f” K.U.H.A.P.

B. Saran-Saran

1. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menyusun putusan, maka seyogianya hakim memaksimalkan peran Panitera dalam membantu hakim mencermati putusan yang sedang disusun.

2. Para anggota majelis hakim agar senantiasi berkoordinasi dalam proses penyusunan putusan, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menyusun putusan bisa dihindari.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 48-60)

Dokumen terkait