• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintah tersebut tanpa ada pengecualian. Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana digariskan adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.

Indonesia sebagai negara hukum harus berperan di segala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, dan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta agar supaya hukum ditegakkan artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.

Penegakan hukum itu sendiri adalah sebagai upaya untuk menegakkan norma hukum yang nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan dapat mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu negara, khususnya dalam menjamin kemerdekaan Hak Asasi Manusia karena merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, dan bersifat universal. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

(2)

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan hanya orang - orang yang berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. (Darwan Prinst, 1998: 1)

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing - masing.

Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, Pengadilan adalah suatu badan atau lembaga peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga peradilan tersebut. Dalam suatu lembaga peradilan, hakim memegang peranan penting karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan. Suatu putusan hakim mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan.

Kita dapat melihat proses penegakan hukum di Indonesia sangat berkaitan erat dengan proses pembangunan negara, karena pembangunan negara disamping dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negative terhadap masyarakat itu sendiri, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang akhir – akhir ini menimbulkan keresahan masyarakat. Untuk itu diperlukan penegakan hukum yang sesuai, salah satunya

(3)

adalah tindak pidana pemerasan dalam kasus Wina Cottage antara Manager dan Satpam.

Wina Cottage, adalah Hotel yang terletak di Kuta, Bali dan dikelola oleh Manager I Wayan Winada yang membawahi sejumlah karyawan, termasuk beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang diantaranya bernama: Fernando. Sebagai anggota Satpam, Fernando termasuk orang yang bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para karyawan lain dan ringan tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi sebagai akibat ulah Fernando ini.

Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya. Akhirnya ia dibebas tugaskan (dipecat).

Karena tidak puas, maka Fernando dengan membawa senjata tajam menemui Manager dan stafnya untuk menuntut uang pesangon 12 bulan gaji penuh.

Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan Keuangan. Fernando sering datang ke Hotel untuk menuntut tuntutannya dan tidak dipenuhi oleh Manager.

Karena rasa takut dan khawatir atas nasibnya, maka Manager melalui karyawan dan sopirnya memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar Rp.500.000,- Semula itu ditolak oleh Fernando karena dianggapnya terlalu sedikit, tetapi akhirnya diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando mengancam melalui telepon meminta agar Manager memberi uang lagi dan akan diambil di Hotel. Fernando datang ke Hotel dan Manager memberi uang kepadanya Rp 2.000.000,- Pada hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager memberi uang lagi Rp. 1.500.000, Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang lagi dan oleh Manager diberi Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah uang yang diterima Fernando dari Manager sebesar Rp. 5.000.000,. Pada minggu berikutnya, via telepon, Fernando minta uang lagi dengan ancaman akan membuat keributan di Hotel, bila permintaannya tidak dipenuhi oleh Manager. Manager Wina Cottage, akhirnya melaporkan ancaman Fernando tersebut kepada Kepolisian setempat, dan berhasil ditangkap serta disita beberapa senjata penikam dari tangan Fernando.

Selanjutnya Kejaksaan setelah menerima berkas perkara dari Kepolisian kemudian melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan Negeri Denpasar dengan dakwaan melanggar Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana

(4)

(Pemerassan) Pasal 335 (1) jo 64 (1) K.U.H. Pidana (Perbuatan tidak menyenangkan), Pasal 2 (1) dari U.U. No. 12/Drt/1951 (Senjata). Setelah persidangan Pengadilan dinyatakan selesai, maka Jaksa menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan delict dalam Pasal 368 (1) jo 64 (1) K.U.H.P, Pasal 2 (1) U.U. No. 12/Drt/1951. Karena itu agar Hakim memberikan hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan karena melakukan delict pemerasan dan membawa senjata tanpa hak.

Terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut diatas, maka terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim Banding, setelah memeriksa perkara ini, dalam putusannya berpendirian, bahwa pertimbangan dari Hakim Pertama tentang terbuktinya Tindak Pidana adalah sudah benar, sehingga diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi dalam mengadili perkara ini dalam tingkat banding, oleh Hakim Pertama, perlu diperbaiki atau diubah, dan akhirnya Hakim Banding memberi putusan yang diktumnya adalah memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar serta terdakwa Fernando terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pindana pemerasan yang dilakukan berturut – turut serta berlanjut dengan membawa senjata tajam tanpa hak.

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bali tersebut diatas, pihak terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang pada pokoknya adalah bahwa Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengambil alih pertimbangan hukum dari putusan Hakim Pertama, padahal Hakim Pertama salah menerapkan hukum ex Pasal 368 (1) K.U.H. Pidana, dimana unsur (delict) memaksa tidak terbukti selama dipersidangan. Pengadilan Tinggi juga dalam putusannya tidak mempertimbangkan alasan yang memberatkan dan yang meringankan bagi terdakwa, sehingga tidak memenuhi Pasal 197 huruf “f” K.U.H.A.P. yaitu pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa.

Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa kasasi perkara ini, dalam

(5)

putusannya berpendirian, bahwa putusan judex factie (Pengadilan Tinggi) dinilai sebagai putusan yang salah menerapkan Hukum sehingga harus dibatalkan, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.

Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara memiliki kebebasan karena kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang - Undang tentang kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara hukum itu sendiri yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.

Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang - wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang berlaku.

Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat memberi penjelasan dalam menerapkan suatu putusan terhadap suatu perkara yang ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan penafsiran dari hakim itu sendiri. Penafsiran disini bukan semata - mata berdasaran akal, ataupun sebuah uraian secara logis, namun hakim dalam hal ini harus bisa memilih berbagai kemungkinan berdasarkan keyakinannya dan prinsip dasar dalam menjalankan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.

Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki pertimbangan - pertimbangan. Adapun pertimbangan - pertimbangan hakim tersebut di samping berdasarkan Pasal - Pasal yang diterapkan terhadap terdakwa, sesungguhnya juga didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Hakim dalam mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya. Sehingga hakim yang satu dengan yang lain memiliki pertimbangan yang berbeda - beda dalam menjatuhkan suatu putusan. Selain itu Hakim dalam memberikan Putusan juga harus memenuhi

(6)

fomalitas – formalitas yang harus dipenuhi dalam Putusan Hakim (Pasal 197 KUHAP).

Pasal 197 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) Pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g maka putusan batal demi hukum.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN YANG DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM (NULL AND VOID) OLEH MAHKAMAH AGUNG KARENA HAKIM PENGADILAN TINGGI (JUDEX FACTIE) TIDAK MEMUAT PERTIMBANGAN HUKUM TENTANG HAL HAL YANG MEMBERATKAN DAN MERINGANKAN TERDAKWA DALAM PERKARA PEMERASAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO.1989 K/Pid/1990).

B. Perumusan Masalah

Setiap penelitian ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah – masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran. Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap permasalahan serta mencapai tujuan yang dikehendaki.

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut :

- Bagaimanakah pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan bahwa putusan judex factie batal demi hukum karena tidak memuat hal - hal yang memberatkan dan meringankan dari terdakwa dalam perkara pemerasan ?

(7)

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan objektif

a. Untuk mengetahui apakah kelalaian pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam memuat pertimbangan mengenai hal – hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan dalam perkara pemerasan

b. Untuk mengetahui secara jelas mengenai putusan judex factie yang dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara pemerasan (Studi kasus Mahkamah Agung RI No. 1989 K/Pid/1990) 2. Tujuan subjektif

a. Untuk memperoleh data - data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang pengaturan Pertimbangan hukum dalam hal pengambilan keputusan di Pengadilan.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum. Memberikan masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam

(8)

ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pemerasan.

b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.

c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya, disamping itu sebagai pedoman bagi penelitian yang lain.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian

b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c. Dari hasil penelitian ini, akan menambah pengetahuan kita sejauh mana keadilan ditegakkan.oleh hakim melalui putusan pengadilan, khususnya dalam perkara pemersan.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hokum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan – permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2005: 42-43).

Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini,

(9)

penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, dimana peneliti tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa - hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru.” (Soerjono Soekanto, 2005:10).

Berdasarkan pengertian diatas metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini, Penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri judex factie tidak memuat pertimbangan mengenai hal – hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa dalam putusan yang dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara pemerasan Wina Cottage antara Manager dan Satpam.

3. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa keterangan - keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, Peraturan perundang- undangan, seperti KUHAP, Peraturan Kehakiman, dan Peraturan Perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip - arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti Putusan, dan tulisan-

(10)

tulisan ilmiah dan sumber - sumber tertulis lainnya, buku - buku, literatur, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.

4. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian normatif yaitu sumber data sekunder yang meliputi bahan - bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku - buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari :

1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . 2) KUHP.

3) Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

4) UU RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

5) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.

6) Putusan Mahkamah Agung No 1989 K/Pid/1990.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku - buku, karya ilmiah dan internet yang berkaitan dengan penelitian atau membahas tentang putusan hakim dan tindak pidana pemerasan.

(11)

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi.

Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian yang dikaji. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan Perundang - undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet.

6. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan adalah tahap analisis data. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2002:183).

Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara - cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mendapatkan jawaban dari penelitian yang diteliti.

Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif (Interactive Model of Analysis) yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi). Selain itu dilakukan pula suatu proses antara tahap - tahap tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan satu sama lain secara otomatis. (H.B.Sutopo, 2002: 94-96 )

(12)

Untuk lebih jelasnya, model analisis interaktif tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Gambar 1

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub – sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman diantaranya yaitu : Pengertian Hakim; Kedudukan dan Kekuasaan Hakim; Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab

Pengumpulan data

Reduksi Data Penyajian data

Penarikan Kesimpulan

(13)

Hakim, serta Wewenang Hakim. Kedua, Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim diantaranya yaitu : Pengertian dan Jenis Putusan Hakim, Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Putusan Bebas diantaranya yaitu : Pengertian dan Landasan Putusan Bebas; Macam-Macam Putusan Bebas; Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian. Keempat, Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pemerasan diantaranya yaitu : Pengertian Tindak Pidana; Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.

Selanjutnya mengenai pembahasan yang kedua yaitu mengenai kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang berupa Analisis Yuridis Terhadap Putusan Yang Dinyatakan Batal Demi Hukum (Null and Void) Oleh Mahkamah Agung Karena Hakim Pengadilan Negeri (judex factie ) Tidak Memuat Pertimbangan Hukum Tentang Hal – Hal yang Memberatkan dan Meringankan bagi terdakwa.

BAB IV : PENUTUP

Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan serta jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran - saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai - nilai keadilan.

a. Pengertian Hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang - Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Undang - Undang.

b. Kedudukan dan Kekuasaan hakim

Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat dikatakan bahwa kedudukan itu hanya setingkat dibawah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa Hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu Hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social accountability). Namun walaupun begitu Hakim tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru dan salah. Dalam kekhilafan, orang mempunyai niat yang baik tetapi pengetahuannya tidak baik (mungkin bisa juga karena mempunyai pendapat atau penafsiran yang berbeda), sehingga pelaksanaannya keliru. Dalam kesalahan, orang mempunyai niat yang tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, sehingga dalam pelaksanaannya secara sadar melakukan kesalahan.

(15)

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan hal tersebut, maka harus diadakan jaminan dalam Undang - Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang - Undang. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang - wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.

Hakim berbeda dengan pejabat - pejabat yang lain, ia harus benar- benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi - instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam - macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apakah seorang terdakwa melakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan hal ini, hakim harus menyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)

Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi - saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan

(16)

demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin.

Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar.

Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya.

Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda - bedakan orang.”

Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP ( Andi Hamzah, 2005: 99-101 )

c. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara - perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban - kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV

(17)

Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun kewajiban - kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut : 1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesikipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5) Undang - Undang No.48 Tahun 2009)

6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya menurut agamanya yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum, Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, pada Pasal 17 Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 22 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

(18)

Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

a) Tanggung jawab moral

adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.

b) Tanggung jawab hukum

adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu - rambu hukum.

c) Tanggung jawab teknis profesi

adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.

d. Wewenang hakim

Penjelasan Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan seorang Hakim memiliki kualitas manusia yang bijaksanan dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Y.M.E, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara, namun harus pula kita sadari, secara de facto hakim adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, maka tidak menutup kemungkinan seorang hakim dapat melakukan kesalahan dalam memutus suatu perkara, baik disengaja atau tidak disengaja. Sementara itu, baik Undang - Undang Kekuasaan Kehakiman maupun KUHAP tidak menyebutkan dan menentukan bagaimana bentuk dari pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara secara eksplisit Menyadari bahwa wewenang yang dimiliki oleh hakim dalam perkara pidana begitu luas, sementara

(19)

pertanggungjawaban tugas hakim dalam memeriksa perkara pidana hanya bersifat abstrak.

Dapat disimpulkan bagaimana pentingnya lembaga lain sebagai pengawas kinerja seorang Hakim. Dalam hal ini lembaga yang dimaksud adalah Dewan Kehormatan Hakim. Lembaga ini dipandaang dapat memberikan keseimbangan secara eksplisit terhadap Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009. Lebih lanjut lagi Dewan Kehormatan Hakim ini nantinya juga berperan untuk memberikan penilaian dan pengawasan terhadap keputusan hakim dan kemudian melaporkan tugasnya kepada Ketua Mahkamah Agung.

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu di dalam menjatuhkan putusannya hakim diharapkan agar selalu berhati - hati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai suatu putusan penuh dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas, ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim”

di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa menerima putusan, serta melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya.

Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak”

pencerminan nilai - nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia,

(20)

penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Karena begitu kompleksitasnya dimensi dan substansi putusan hakim tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim. Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai berikut

“Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak - masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”

(Leden Marpaung, 1992: 406).

Suatu perkara pidana dapat dikatakan selesai atau berakhir apabila hakim telah mengeluarkan suatu putusan. Pengertian putusan hakim itu sendiri adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum, sedangkan pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006:326).

Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapakan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang ini.

Syarat sahnya putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Adapun syarat sahnya suatu putusan hakim yaitu:

1) Memuat hal - hal yang diwajibkan;

2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum.

Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana

(21)

dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

b. Jenis Putusan Hakim

Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam yaitu:

1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan pasal 191 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan pidana.

Di dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan peraturan Perundang – undangan dalam pidana ini.

2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan 21nsur (Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana).

Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggungjawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila:

(22)

a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUHAP)

b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 KUHAP) c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 KUHAP)

d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang – Undang (Pasal 50 KUHAP)

e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 50 KUHAP).

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria:

a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan.

b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

3) Putusan yang mengandung pemidanaan terdakwa

Dalam pasal 193 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di 22nsure pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal – hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, adalah dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan berbelit – belit, dan terdakwa pernah dihukum. Sedangkan

(23)

yang meringankan adalah mengakui terus terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, terdakwa masih muda.

c. Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim.

Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan. Tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:

a) Kepada putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan dalam unsur yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa

e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

f) Pasal Peraturan Perundang - undangan yang menjadi dasar putusan atau tindakan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa

g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim dalam hal perkara diperiksa oleh Hakim tunggal

h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti, keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu

(24)

j) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan

k) Hari dan tanggal Putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera.

Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d tersebut, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

“fakta dan keadaan” di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di dalam proses pemeriksaan dalam persidangan, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban. Di samping itu, dalam penjelasan ayat (2) Pasal 197 tersebut dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berarti secara a cantrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h jika terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau penggalian maka tidak menyebabkan putusan batal demi hukum.

3. Tinjauan Umum Tentang Putusan Bebas a. Pengertian dan Landasan Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

(25)

Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang – Undang, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan mengenai kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. (M.Yahya Harahap, 2006: 348)

b. Macam-Macam Putusan Bebas

Bentuk putusan bebas tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun dalam praktek peradilan, dikenal ada beberapa bentuk putusan bebas antara lain sebagai berikut :

1) Putusan bebas Murni

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89).

2) Putusan Bebas Tidak Murni

Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan. (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89).

Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1989: 167).

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :

(26)

1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya (Oemar Seno Adjie, 1989: 164).

3) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya yaitu pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

(Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

4) Pembebasan yang terselubung yaitu pembebasan yang dilakukan dimana hakim telah mengambil keputusan tentang ”feiten” dan menjatuhkan putusan ”pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara murni” (Rd.

Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

c. Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, terkandung dua asas mengenai pembuktian, yaitu :

1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah;

2) Asas pembuktian menurut Undang – Undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.

(27)

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat hakim bahwa :

1) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau

2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.

Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan segala tuntutan pidana.

(M.Yahya Harahap, 2006: 348)

(28)

4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pemerasan a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang – Undang di Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan

“sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”.

Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”.

Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda- beda mengenai straafbaarfeit. Menurut P.A.F. Lamintang pembentuk Undang – Undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit”

untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan

”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan

”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan (P.A.F.

Lamintang, 1997:181).

Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, yang didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002:54).

Dari berbagai pengertian tindak pidana tersebut di atas, maka untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur – unsur yang dipenuhi, antara lain : 1) perbuatan (manusia)

2) memenuhi rumusan Undang – Undang (syarat formil) 3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).

(29)

Menurut Moeljanto, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana harus memenuhi unsur – unsur atau elemen tertentu, yaitu :

1) Kelakuan dan akibat (= perbuatan);

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

3) Keadaan tambahan yang memberatkan;

4) Unsur melawan hukum yang objektif;

5) Unsur melawan hukum yang subjektif. (Moeljatno, 2002:63)

b. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan.

Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam KUHP sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging).

Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu “pemerasan” serta diatur dalam bab yang sama.

Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut, bahwa kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri, yaitu

“pemerasan” untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHP dan pengancaman untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 369 KUHP.

Oleh karena memang, dalam KUHP sendiri pun juga menggunakan kedua nama tersebut untuk menunjuk pada tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP.

1) Tindak Pidana Pemerasan

Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut :

a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau

(30)

supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

b) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.

Unsur – unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368 KUHP (ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP ) unsur obyektif, yang meliputi : a) Memaksa

b) Orang lain

c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain)

e) Supaya memberi hutang f) Untuk menghapus piutang Unsur subyektif, yang meliputi : a) Dengan maksud

b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a) Unsur “memaksa”. Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehenda kn ya sendiri b) Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”.

Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah, kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar – benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang atau benda yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri

(31)

oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas.

c) Unsur “supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian

“memberi hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

d) Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.

e) Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.

Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar – benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Unsur – unsur dalam ketentuan ayat (2) Pasal 368 KUHP yaitu dalam tindak pidana pemerasan diperberat ancaman pidananya apabila memiliki ketentuan sebagai berikut:

a) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau

(32)

apabila pemerasan dilakukan dijalan umum atau diatas kereta api atau trem yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana selama dua belas tahun penjara.

b) Tindak pidana pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama – sama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dengan ancaman pidana dua belas tahun penjara.

c) Tindak pidana pemerasan, dimana untuk masuk ketempat melakukan kejahatan dilakukan dengan cara membongkar, merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP dengan pidana penjara dua belas tahun.

d) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan terjadinya luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHP ancaman pidananya sama dengan yang diatas, yaitu dua belas tahun penjara.

e) Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan matinya orang.

Diatur dalam ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (3) KUHP dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu lima belas tahun penjara.

f) Tindak pidana pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai hal-hal yang memberatkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4) KUHP tindak pidana pemerasan ini diancam dengan pidana yang lebih berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun penjara.

(33)

Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat enam bentuk tindak pidana pemerasan dengan pemberatan dengan ancaman pidana yang diperberat.

2) Tindak Pidana Pengancaman

Bentuk tindak pidana pemerasan yang kedua adalah

“pengancaman”. Dalam bahasa Inggris tindak pidana “pengancaman”

ini dikenal dengan nama blackmail, sedang dalam bahasa Perancis dikenal denga n istilah chantage. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP sama – sama merupakan pemerasan. Perbedaannya hanya terletak pada cara – cara yang digunakan dalam kedua tindak pidana itu. Tindak pidana dalam Pasal 368 KUHP yang lazim disebut

“pemerasan” menggunakan “kekerasan atau ancaman kekerasan”

sedangkan tindak pidana dalam Pasal 369 KUHP yang lazim disebut sebagai “pengancaman” menggunakan cara “pencemaran, baik lisan maupun tertulis”.

Ketentuan Pasal 369 KUHP selengkapnya berbunyi :

a) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau supaya memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

b) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.

Unsur – Unsur tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUHP di atas adalah meliputi :

a) Memaksa b) Orang lain

(34)

c) Dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau ancaman akan membuka rahasia.

d) Supaya memberi hutang e) Untuk menghapus piutang

Unsur subyektif, yang meliputi unsur - unsur : a) Dengan maksud

b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Melihat unsur – unsur Pasal 369 atau 368 KUHP tampak semakin jelas, bahwa bangunan hukum antara kedua tindak pidana tersebut mempunyai esensi yang sama, yaitu memeras orang lain.

Hanya, kedua tindak pidana tersebut menggunakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai maksudnya. Berkaitan dengan penerapan Pasal 369 KUHP di atas, unsur – unsur yang masih memerlukan penjelasan adalah unsur “dengan pencemaran baik lisan maupun tulisan serta ancaman akan membuka rahasia”.

Apakah yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” dan

“ancaman akan membuka rahasia?”

Istilah “pencemaran” dengan istilah “ancaman membuat malu”.

Secara definitif, pengertian “ancaman pencemaran” telah dirumuskan dalam Pasa1310 ayat (1) KUHP. Menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang dimaksud pencemaran adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya nyata agar hal itu diketahui umum. Pasal 310 ayat (1) KUHP di atas memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan

“pencemaran lisan”. Lantas apa yang dimaksud dengan “pencemaran tertulis ?” Apabila perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP tersebut dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan menyebarkan atau menempelkan tulisan atau lukisan, maka hal itu disebut “pencemaran secara tertulis”. Unsur lain dari Pasa1369 KUHP yang belum dijelaskan adalah unsur “ancaman membuka rahasia”. Apa yang dimaksud dengan “rahasia?”.

(35)

Tentang pengertian “rahasia” ini berbeda dengan pengertian rahasia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 322 KUHP.

“Membuka rahasia” yang dimaksud dalam Pasal 322 KUHP ini berkaitan dengan pembukaan rahasia oleh orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya wajib menyimpan rahasia itu. Sebagai contoh, misalnya, seorang notaris wajib menyimpan rahasia, misalnya, isi dari surat hibah wasiat yang bersifat rahasia, sehingga apabila notaris tersebut membuka rahasia ini, notaris tersebut dikenakan Pasal 322 KUHP. “Membuka rahasia” dalam pengertian Pasal 369 KUHP mengandung arti, memberitahukan kepada orang lain atau pihak ketiga hal – hal mengenai orang yang diancam atau orang ketiga yang terkait dengan orang yang diancam.

Pada dasarnya baik pencemaran nama baik maupun membuka rahasia mempunyai tujuan yang sama, yaitu memberitahukan kepada orang lain atau pihak ketiga atau kepada khalayak ramai tentang sesuatu hal yang menyangkut orang yang diancam. “Rahasia” pada hakikatnya mengenai suatu hal yang benar – benar terjadi, tetapi karena sesuatu hal (misalnya takut diketahui oleh istrinya, anaknya, atasannya, dan sebagainya) disembunyikan. Sedang pencemaran nama baik mengenai suatu hal yang benar atau tidak benar yang dapat mencemarkan nama dan kehormatan orang yang diancam. Pembahasan terhadap unsur – unsur Pasal 369 ayat (1) KUHP kiranya sudah jelas.

Marilah kita lihat penjelasan dalam Pasal 369 ayat (2) KUHP dan Pasal – Pasal berikutnya tentang pengancaman.

Berdasarkan ketentuan Pasal 369 ayat (2) KUHP tindak pidana pengancaman ini merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut atas pengaduan. Dengan demikian, tanpa adanya pengaduan, tindak pidana pengancaman ini tidak dapat dituntut.

(36)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2 Keterangan Kerangka Pemikiran

Secara umum formalitas yang ada dalam suatu Putusan Hakim baik terhadap Putusan Tindak Pidana Pemerasan maupun Tindak Pidana Kejahatan lainnya haruslah bertitik tolak pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya 10 ( sepuluh ) buah elemen harus dipenuhi. Dan menurut ayat (2) Pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada huruf “g” dan “i”, maka putusan akan batal demi hukum.

Ketentuan – ketentuan formalitas tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan Perkara Tindak Pidana

Pemerasan

Pemeriksaan Tingkat Pertama ( Pengadilan Negeri)

PUTUSAN

Batal demi hukum ( hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa )

Implikasi yuridis putusan batal deni hukum

Pertimbangan Hakim

(37)

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

f. Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal Peraturan Perundang – Undangan yang menjadi dasar hukum dari Putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan dimana telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik maka dianggap palsu

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau dalam tahanan atau dibebaskan

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum , nama hakim yang memutus dan nama panitera

(38)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memutuskan bahwa Putusan Judex Factie Batal Demi Hukum Karena Tidak Memuat Hal - Hal yang Memberatkan Dan Meringankan dari Terdakwa dalam Perkara Pemerasan.

Paparan perkara pemerasan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1989.K/Pid/1990, tanggal 11 Pebruari 19991, dengan Terdakwa Fernando Felix Beda:

1. Kasus Posisi

WINA COTTAGE, adalah hotel yang terletak di Kuta, Bali yang dikelola oleh Manager I Wayan Winada dengan membawahi sejumlah karyawan, termasuk beberapa orang Satpam (Security). Diantara Satpam ini, satu orang diantaranya bernama Fernando. Sebagai anggota Satpam, maka Fernando termasuk cirri orang bertemperamen keras. Ia sering bertengkar dengan para karyawan serta ringan tangan. Keributan di Wina Cottage sering terjadi sebagai akibat ulah dari Fernando ini. Bahkan ia sering mangkir dari tugasnya.

Akhirnya ia dibebas tugaskan. Karena tidak puas, maka Fernando dengan membawa senjata tajam menemui Manager dan stafnya menuntut uang pesangon 12 bulan gaji penuh. Tuntutan ini ditolak oleh Bagian Personalia dan Keuangan. Fernando, sering datang ke Hotel untuk meminta agar tuntutannya dipenuhi namun pihak hotel tidak memenuhinya. Karena rasa takut dan khawatir atas nasibnya, maka manager melalui karyawan dan sopirnya memerintahkan untuk memberi uang kepada Fernando sebesar Rp.500.000,- Semula uang tersebut ditolak karena dianggap terlalu sedikit, tetapi akhirnya diterima juga. Pada hari berikutnya, Fernando melalui telepon meminta agar Manager memberi uang lagi dan akan diambil di Hotel. Fernando datang ke Hotel dan Manager memberi uang kepadanya sebesar Rp.2.000.000,- Pada hari lainnya, via telepon Fernando minta uang lagi dan Manager memberi uang lagi Rp. 1.500.000,- Beberapa hari berikutnya, Fernando minta uang lagi

Gambar

Gambar 2  Keterangan Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

pendekatan collaborative filtering memiliki tujuan untuk mendapatkan prediksi rating dari user aktif terhadap item-item dalam sistem berdasarkan user-user lain yang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.05/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan

Berdasarkan tabel tersebut, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ini dikatakan valid apabila mendapatkan persentase ≥61%. Analisis Data Hasil Angket Respon Siswa Analisis ini

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: (1) tidak ada pengaruh penerapan pembelajaran dengan metode pictorial riddle dan problem solving terhadap prestasi

Kata kunci: Implementasi dan pendidikan profetik. Latar belakang penelitian ini bertolak pada keadaan di Indonesia saat ini yang krisis moral karena masih kurangnya akan

Hasil penelitian pertama, berdasarkan matrik IE strategi pengelolaan inkulturasi musik liturgi yang digunakan Pusat Musik Liturgi yang di analisis dari matriks IE berada pada posisi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis urgensi dan implementasi keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan keuangan Desa di Desa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam, konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang No 23 tahun