• Tidak ada hasil yang ditemukan

APAKAH YANG MEMBUATNYA BERBEDA?

Dalam dokumen Siapakah Allah ini? (Halaman 87-91)

“Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32).

Setiap pemikir serius pasti akan setuju bahwa kebenaran pada dasarnya bersifat tidak mengenal toleransi kecuali kalau seseorang menganut paham synkretisme,29 yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghindari diri dari kesulitan yang berkaitan dengan agama (catatan: synkretisme adalah suatu kepercayaan/paham yang mengajarkan bahwa terdapat kebenaran dalam semua agama: bahwa setiap orang me-nyembah/beribadah kepada Tuhan dengan cara sendiri-sendiri, dan bahwa semua agama/ kepercayaan pada pokoknya menyembah kepada Tuhan yang sama). Kebenaran tidak mengenal toleransi terhadap kebohongan (tidak berkompromi dengan kebohongan). Jika dosis besar kebohongan telah terjadi dalam waktu lama, sungguh sulit untuk mengatasinya. Jadi, kalau seseorang mengatakan bahwa Allah sesembahan umat Muslim bukan Tuhan umat Kristen, siapakah sesungguhnya Tuhan umat Kristen tersebut? Bagaimana dengan Alkitab yang berbahasa Arab, berbahasa Hausa dan berbahasa Fulani yang juga menggunakan nama ‘Allah”? Apakah mereka harus menyingkirkan nama itu dan menggantinya dengan nama lain untuk nama Tuhan yang Maha Suci pencipta langit dan bumi tersebut?

Perubahan tersebut mungkin tak mudah dilakukan dan kalaupun dilakukan akan memakan waktu lama untuk membuat umat Kristen di daerah-daerah tersebut di atas mempercayai nama ‘Tuhan’ pengganti nama ‘Allah’ itu. Seseorang akan bertanya-tanya tentang bagaimana asal mula kejadiannya sampai bahasa Hausa itu menjadi bahasa yang sangat bernuansa Islam. Di Nigeria Utara, hampir setiap kalimat dalam bahasa Hausa dibubuhi kata ‘Allah’. Tidak banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya kata ‘Allah’ bukanlah kata bahasa Hausa. Seorang biarawati Kristen bahkan mengatakan kepada saya dalam suatu persekutuan rohani yang diadakan beberapa waktu yang lalu bahwa ‘Allah’ adalah kata bahasa Hausa yang berarti Tuhan yang Maha Kuasa. Kami tahu bahwa hal tersebut tidak benar. Kami yakin bahwa dalam bahasa Hausa, sebelum Islam masuk, juga sudah dikenal suatu nama yang berarti Tuhan.

Dalam dua bab berikut ini, kami akan mencoba mencermati hubungan antara sebuah kata dengan referennya (acuannya). Misalnya, kalau seorang Muslim mengucapkan kata ‘Allah’ tentunya ada suatu maujud atau roh tertentu yang diacunya atau yang menjadi referen dari kata ‘Allah’ yang diucapkannya itu. Manakala seorang Kristen Arab atau Kristen Hausa mengucapkan kata ‘Allah’, siapakah atau maujud apakah yang diacunya? Apakah maujud yang diacunya tersebut sama dengan maujud yang diacu oleh seorang Muslim manakala orang Muslim tersebut mengucapkan kata ‘Allah’?

Menurut salah satu teori makna dalam suatu aspek linguistik yang dikenal sebagai semantik (arti makna), sebuah kata mengacu pada referennya. Referen artinya obyek atau maujud yang diacu oleh sebuah kata – maksudnya obyek atau maujud yang dibayangkan oleh seseorang ketika dia mengucapkan kata tertentu. Keterandalam linguistik dari teori

29

Tidak peduli bagaimanapun populernya agama/kepercayaan tersebut pada saat ini, dan tidak peduli siapapun yang mengimaninya, paham/kepercayaan itu merupakan doktrin dari kuasa iblis. Perhatikan apa yang diucapkan Yesus dalam Yohanes 14:6.

tersebut memang bukan urusan kami di sini, namun dengan memanfaatkan teori makna, kami akan menanyakan: Siapakah obyek/maujud yang menjadi sesembahan dalam Islam?

Dengan segala kejujuran, kami tidak meragukan bahwa sebagian besar umat Muslim yang mengucapkan ‘Allah’ pasti dalam pikiran mereka terbayang maujud Sang Pencipta langit dan bumi. Tetapi apakah hal tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa mereka menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan sesembahan umat Kristen? Bagaimana kalau sebutan ‘setan’ digunakan oleh beberapa orang bodoh manakala pikiran mereka membayangkan maujud dari Sang Pencipta langit dan bumi, apakah bedanya? (maksudnya maujud yang menjadi referennya sama yaitu Sang Pencipta langit dan bumi namun umat Muslim menyebutnya ‘Allah’ sedangkan orang-orang bodoh menyebutnya ‘setan’, apakah bedanya?). dan bagaimana kalau seseorang mengimani suatu hal yang salah tetapi dia menjalankan keimanannya itu dengan setulus hati?

Apakah hal tersebut merupakan masalah?

Kami percaya bahwa menjalankan keimanannya dengan ketulusan hati yang 100% tidak berarti bahwa keimanannya itu merupakan keimanan yang benar. Seseorang mungkin saja dalam ketulusannya melakukan sesuatu yang salah. Kami tahu bahwa setiap budaya dan bangsa mempunyai konsep mengenai adanya sang pencipta alam yang disebut dengan berbagai nama yang berbeda. Namun masalah yang dihadapi oleh sebagian besar dari budaya dan bangsa-bangsa tersebut adalah mereka tidak mempunyai konsep khusus tentang sang pencipta semacam itu. Beberapa budaya dan bangsa-bangsa itu itu bahkan mempunyai lebih dari satu pencipta alam. Mereka berpikir bahwa sang pencipta itu adalah dewa baal yang tertinggi kedudukannya, jadi mereka mengukir berbagai patung-patung untuk menggambarkannya. Mereka membuat dewa pencipta alam yang mereka rekayasa sendiri dalam maujud patung/gambar yang bahkan lebih jelek dari rupa mereka, dan bahkan mereka memberi makan dewa tersebut dengan minyak palma, daging kambing dan darahnya, ayam, dan lain-lain.

Tetapi Elohim berkata: “Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punyaKulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasaKu. Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya. Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum?” (Mazmur 50:9-13).

Menurut Kitab Suci, orang-orang yang mengabaikan Alkitab dan ‘membuat’ gambaran Tuhan atau dewa-dewa akan menerima hukuman Tuhan, apapun budaya mereka dan apapun kosmologi yang mereka anut/ikuti: “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Elohim nyata bagi mereka sebab Elohim telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kuasaNya yang kekal dan ke-ElohimanNya, dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Elohim, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Elohim atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Elohim yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Roma 1:19-23).

Sebagian orang-orang Kristen bahkan berpikir bahwa berhala-berhala itu tidak ada apa-apanya (maksudnya mereka menganggap bahwa berhala-berhala itu hanya sekedar

benda mati tidak ada apa-apanya, mengapa mesti dipermasalahkan); kami tahu bahwa pendapat tersebut tidak benar. Memang berhala itu sendiri tidak ada apa-apanya hanyalah benda mati seperti kayu, tanah liat, besi, tembaga, dan lain-lain. Namun manakala orang-orang membuat sebuah patung berhala, dan kemudian mereka berkumpul bersama untuk menyembah/memujanya, setan mengirim roh-roh jahat untuk hinggap di sekitar altar tempat pemujaan berhala tersebut dan mempengaruhi kehidupan semua orang yang telah datang berkumpul untuk melakukan pemujaan tersebut. Roh-roh jahat itu seringkali memiliki imam laki-laki dan imam perempuan sendiri dan kadang-kadang roh-roh jahat itu berbicara melalui imam-imam tersebut kepada para pengikut mereka, bahkan beberapa roh jahat minta korban-korban atau meramalkan nasib para pengikut mereka di masa-masa mendatang (bacalah 1 Korintus 10:19-21). Semua orang yang memuja berhala-berhala semacam itu akan dipengaruhi/terikat seumur hidup oleh roh-roh jahat yang merasuki patung-patung berhala itu, kecuali kalau mereka bertobat dan didoakan secara spesifik dan dilepaskan dari ikatan roh-roh jahat itu oleh kuasa Yesus Kristus.

Umat Kristen sebagai orang-orang yang mengimani Alkitab telah seringkali di-tuduh sebagai orang-orang yang berpikiran sempit mengenai agama yang benar. Dalam hal tertentu, penuduh-penuduh kita benar karena jalan ke surga memang sungguh-sungguh ‘sempit’ dan ‘sulit’ (Matius 7:14). Faktanya adalah bahwa kita tidak perlu mengembang-kan suatu pandangan mengenai agama yang benar di luar pandangan firman Elohim yang telah disuratkan, karena Roh Kudus menjadi saksi bagi kita bahwa kita memperoleh kehidupan kekal dan oleh karena itu pandangan-pandangan kita tetap sempit (maksudnya pandangan firman Elohim tentang keimanan dan keselamatan sudah merupakan pandangan yang paling klimaks sehingga pandangan manusia tentang hal tersebut bagaimanapun berkembangnya tetap sempit dibandingkan dengan firman Elohim).

Dalam usahanya mencari dukungan untuk menolak pandangan Kristen tentang agama-agama lain, teman kita, Ahmed Deedat, dengan mengutip salah satu dari tokoh-tokohnya, mengatakan, “Tidak pernah ada tuhan yang palsu dan tidak pernah ada agama yang palsu, kecuali kalau kita menyebut seorang anak sebagai manusia palsu”.30

Alur berpikir seperti itu tentu saja salah kecuali kalau hanya sekedar pada tataran luarnya saja. Kita dapat menggunakan pernyataan Alquran sendiri untuk menolak argumentasi Deedat tersebut. Misalnya, dalam Surat 3:19, tertulis, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Itu berarti bahwa ada agama yang benar. Dan kalau ada agama yang benar pasti ada agama yang tidak benar/palsu.

Kalau begitu apakah agama yang tidak benar itu? Karena Tuhan adalah suci dan manusia berdosa, kami mendefinisikan suatu agama yang tidak benar adalah agama yang tidak memberi jawab atas masalah dosa; suatu agama yang tidak melepaskan manusia dari belenggu kebohongan, perzinahan, kesombongan, persundalan, rasa takut dan segala macam bentuk kejahatan namun yang justru menjanjikan euphoria baik di dunia maupun di akhirat. Itulah yang harus dianggap sebagai agama yang tidak benar.

Dalam apendiks dan komentarnya mengenai berhala-berhala Arabia pada zaman pra-Islam seperti yang dimaksud dalam Surat 71:23, Yusuf Ali menyebutkan berhala-berhala tersebut sebagai ‘tuhan-tuhan yang palsu’. Jadi, bertentangan dengan Deedat dan filosofinya, Yusuf Ali mengatakan bahwa sesungguhnya memang ada tuhan-tuhan yang palsu.

30

Bukti lain dalam Alquran yang menolak argumentasi Ahmed Deedat terdapat dalam Surat 16:36, yang menyatakan, “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu” (thaghut adalah setan dan apapun yang disembah selain Allah s.w.t) (Terjemahan M.M. Pickthall). Drs. Muhammad Al-Hilali dan M. Muhsin Khan menyebutnya ‘dewata/allah palsu’.

Sudah tentu, bisa saja terdapat seorang tuhan yang palsu dan bahkan seorang manusia palsu. Setiap realitas dapat menampilkan suatu kepalsuan. Segala sesuatu yang nampaknya riil tetapi sesungguhnya tidak demikian, disebut palsu atau tiruan. Misalnya, tidak seorangpun pernah melihat Tuhan, jadi setiap penggambaran maujud Tuhan yang dibuat manusia merupakan suatu peniruan/pemalsuan dari maujud Tuhan yang sesungguh-nya. Bahkan ketika roh-roh jahat menunjukkan diri mereka kepada manusia, mereka meng-ubah sosok penampilan mereka yang asli. Roh jahat dapat menampilkan dirinya dalam berbagai maujud sesuai dengan waktu penampilannya. Setiap gambar grafik dari setan adalah palsu karena setan selalu mengubah bentuk penampilan fisiknya.

Jadi siapakah yang disebut sebagai penyembah tuhan (ilah) yang palsu? Orang yang menyembah berhala adalah orang yang disebut sebagai penyembah tuhan (ilah) yang palsu. Jika sebuah berhala merupakan perwujudan dari Tuhan atau tuhan (ilah) yang palsu, dan para penyembahnya tidak pernah melihat maujud semacam itu secara kenyataan, hal itu berarti bahwa berhala tersebut merupakan tuhan (ilah) yang palsu. Sebuah boneka, tidak peduli bagaimanapun indahnya, tetap merupakan seorang anak palsu, dan boneka manusia disebut manusia palsu (tiruan).

Di samping gambaran secara fisik, jika seorang manusia membayangkan ‘Tuhan’ yang berbeda dengan Tuhan alkitabiah (Elohim) dan kemudian menyembah ‘Tuhan’ semacam itu, tidak peduli bagaimanapun tulusnya dia melakukan penyembahan/ibadahnya terhadap ‘tuhan’ itu, dia sama saja seperti seorang yang telah membuat sebuah gambar/ patung yang menampilkan maujud Tuhan. Setiap ‘Tuhan’ yang merupakan hasil imajinasi semacam itu merupakan tuhan (ilah) yang palsu. A.W. Tazer berkata, “Jangan mencoba membayangkan Tuhan atau Anda akan memiliki Tuhan yang bersifat imajinasi”.

Elohim telah menyatakan DiriNya melalui FirmanNya dan dalam maujud Yesus Kristus. Kita tahu bahwa hanya ada satu Tuhan (Elohim), jadi tuhan-tuhan lain yang digambarkan/dipatungkan dan dibayangkan dalam pikiran manusia adalah tuhan-tuhan yang palsu. Perlu kami tandaskan bahwa seorang yang membayangkan suatu tuhan atau menggambarkan/mematungkan tuhan disebut orang yang berimajinasi. Patung/berhala secara fisik adalah hasil dari imajinasi tentang suatu maujud yang ada dalam pikiran seorang seniman (pembuat patung/berhala). Jadi, gambaran secara fisik maupun secara mental dapat juga merupakan perwujudan dari imajinasi seseorang yang berkaitan dengan tuhan yang palsu.

Dalam Kitab Perjanjian Lama, Gideon merobohkan patung-patung dari tuhan palsu (baal) yang terdapat di negeri Israel sebagaimana yang dicatat dalam Bab dua buku ini. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Elohim tidak pernah memerintahkan agar umat Kristen mendatangi setiap rumah untuk menghancurkan berhala-berhala yang dimiliki masyarakat. Mengapa? Karena hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang sia-sia jika imajinasi mengenai tuhan yang palsu masih bercokol dalam pikiran mereka.

Dan itulah sebabnya Alkitab sering berbicara mengenai penyingkiran ide-ide yang salah tentang Tuhan dari pikiran atau imajinasi umat manusia, dan Alkitab juga me-nyampaikan kepada mereka ide-ide yang benar tentang Sang Pencipta dan karya ciptaan-Nya. Inilah tugas pertama dari umat Kristen, dan tugas khusus bagi penulis buku ini.

Elohim memanggil kita untuk terlibat dalam penentangan terhadap pemujaan patung berhala secara besar-besaran pada zaman akhir ini, melenyapkan tuhan-tuhan palsu dan surga-surga palsu dari pikiran umat manusia. Meminjam ungkapan dari Jock Anderson, kami mendesak bahwa, “Apabila Tuhan itu ada, kita tidak perlu membuat karikatur mengenai diriNya, tetapi kita harus merepresentasikanNya secara benar dan memanfaatkan sarana-sarana untuk mengenaliNya”.31

Dalam dokumen Siapakah Allah ini? (Halaman 87-91)