• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memerangi HIV/AIDS, Malaria, & Penyakit Menular Lainnya

Dalam dokumen SERIAL PEDOMAN TEKNIS (Halaman 35-65)

Target 6A: Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan Mulai Menurunnya Jumlah

Kasus Baru hingga Tahun 2015

6.1. Prevalensi HIV dari total populasi (persen)

6.2. Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir

6.3. Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS

Indikator 6.1.

Prevalensi kasus HIV dari total populasi (persen)

Konsep dan definisi Prevalensi HIV adalah jumlah pendudul laki – laki dan perempuan yang berusia 15-49 tahun yang positif HIV dibagi dengan jumlah penduduk laki – laki dan perempuan pada usia yang sama (yaitu 15-49 tahun), dikalikan dengan 100%.

Manfaat Untuk mendapatkan angka ini, idealnya dilakukan dengan survey, namun mengingat untuk pelaksanaan survey ini memerlukan penyiapan yang cukup rumit dan adanya keterbatasan sumberdaya dukung. Saat ini angka prevalensi HIV didapatkan dengan menggunakan pemodelan matematika.

Pemodelan matematika dilaksanakan pada Desember 2008 yang lalu, dan pada tahun 2011 ini dengan adanya data input baru dari berbagai sumber maka pemodelan matematika akan dilakukan kembali. Pemodelan matematikan dilakukan dengan memasukan variabel-variabel input yaitu meliputi data terkait dengan aspek demografi, perilaku beresiko, prevalensi HIV pada kelompok rawan, data capaian program pengendalian HIV, dan upaya – upaya pencegahan yang terjadi di masyarakat yang didapat dari hasil – hasil survey sebelumnya, data – data yang berasal dari laporan rutin capaian program, studi yang dilakukan didalam ataupun diluar negeri.

Metode Perhitungan Untuk mendapatkan angka ini, tidak dilakukan survey secara khusus, mengingat keterbatasan sumber daya dukung, dan pemanfaatan hasil survey yang kurang efektif.

Sumber data: Kemkes (pemodelan matematika HIV dan AIDS) Catatan:

Hasil-hasil survey sentinel yang dilakukan di tingkat provinsi dapat tetap terus digunakan untuk memantau perkembangan penyebaran HIV terutama di kelompok berisiko.

Indikator 6.2.

Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Berisiko Tinggi Terakhir

Konsep dan definisi Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir adalah persentase populasi berisiko (wanita penjaja seks dan laki-laki potensi pelanggan WPS) usia 15 tahun ke atas yang selalu menggunakan kondom pada hubungan seks dalam 1 bulan terakhir. dinyatakan dalam persentase.

Manfaat Diketahuinya penggunaan kondom yang konsisten pada hubungan seks bersiko dapat digunakan untuk memperkirakan sebaran infeksi menular seksual (IMS) dan HIV melalui hubungan seksual. Penggunaan kondom merupakan suatu ukuran untuk proteksi pencegahan penularan IMS dan HIV.

Metode Perhitungan Rumus 6.1. yang digunakan:

PK-HSB =

Jumlah populasi berisiko penduduk usia 15 tahun keatas yang menggunakan kondom

pada hubungan seks dalam 1 bulan terakhir X 100% Jumlah populasi berisiko usia 15 tahun keatas

yang melakukan hubungan seks dalam 1 bulan terakhir

Sumber data: Kemkes (Survey Terpadu HIV dan Perilaku), KPAN (Survey Cepat Perilaku)

Indikator 6.3

Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS (PPK-HIV/AIDS)

Konsep dan definisi Persentase pengetahuan komprehensif (PPK) penduduk usia 15-24 tahun tentang HIV/AIDS adalah perbandingan penduduk usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang bahaya penyakit HIV/AIDS terhadap penduduk kelompok usia yang sama, dan dinyatakan dalam persentase.

Pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, meliputi cara pencegahan dan penularan. Pengertian tentang pengetahuan komprehensif disini adalah apabila seseorang mampu menjawab dengan benar lima pertanyaan dibawah ini:

1. Bisakah seseorang mengurangi risiko tertular HIV dg cara menggunakan kondom dg benar setiap kali melakukan seks? 2. Apakah dgn saling setia pada pasangan dapat mengurangi resiko

tertular HIV?

3. Bisakah seseorang tertular HIV dg cara menggunakan alat makan atau minum secara bersama dengan seseorang yg sudah terinfeksi HIV?

4. Bisakah seseorang tertular virus HIV melalui gigitan nyamuk/serangga

5. Dapatkah anda mengetahui seseorang sudah terinfeksi HIV hanya dengan melihatnya?

Manfaat Indikator ini dapat digunakan untuk mengetahui pengetahuan penduduk 15 – 24 tahun tentang cara pencegahan, cara penularan, miskonsepsi tentang HIV/AIDS. Dengan diketahuinya hal – hal tersebut diatas maka dapat digunakan untuk melakukan estimasi tentang efektifitas program dalam upaya pencegahan HIV/AIDS pada kelompok usia muda, efektifitas keberhasilan penyebarluasan informasi, pendidikan, program komunikasi, dan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang cara pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS terutama pada kelompok yang rentan tertular. Kelompok usia 15-24 tahun, merupakan rentang usia yang sangat rentan terhadap penularan HIV, dimana perilaku beresiko dapat mudah terjadi akibat pergaulan dan informasi. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan terkait pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok usia muda sangat diperlukan misalnya melalui pengembangan integrasi pendidikan kesehatan reproduksi dan HIV dan AIDS DALAM kurikulum sekolah, targetd media campaign dan pendidik sebaya (peer educator).

Metode Perhitungan Rumus 6.2. yang digunakan:

PPK-HIV/AIDS =

Jumlah penduduk berumur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif

tentang HIV/AIDS X 100% Jumlah penduduk berumur

15-24 tahun Sumber data: Kemkes (Riset Kesehatan Dasar)

Catatan:

Indikator ini dihitung ditingkat nasional.

Target 6B: Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV/AIDS bagi Semua yang

Membutuhkan sampai dengan Tahun 2015

6.5. Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral

Indikator 6.5.

Proporsi Penduduk Terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat antiretroviral (persen) Konsep dan definisi Persentase orang dengan HIV (ODHA) yang saat ini mendapat

pengobatan ARV sesuai protokol pengobatan yang ditetapkan, dinyatakan dalam persentase.

Manfaat Indikator ini digunakan untuk mengukur akses ODHA terhadap layanan pengobatan, yang merupakan salahsatu bagian dari upaya untuk menekan jumlah virus dalam tubuhnya, mengurangi penderitaan akibat infeksi HIV, dan meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta upaya pencegahan penularan HIV. Indikator ini juga menggambarkan ketersediaan dan kemampuan layanan kesehatan dalam memberikan pengobatan pada ODSHA, pengelolaan logistik.

Metode Perhitungan Rumus 6.3. yang digunakan:

P-ARV =

Jumlah ODHA yang menerima pengobatan

ARV X 100% Jumlah ODHA yang layak mendapatkan

pengobatan ARV Sumber data: Kemkes (Laporan bulanan pengobatan ARV)

Target 6C: Mengendalikan Penyebaran dan Mulai Menurunkan Jumlah Kasus Baru

Malaria dan Penyakit Utama Lainnya Hingga Tahun 2015

6.6. Angka kejadian dan tingkat kematian Malaria

6.7. Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida

6.8. Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis

6.9. Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Indikator 6.6.

Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Malaria

Konsep dan definisi Angka kejadian malaria adalah jumlah kasus malaria positif per 1,000 penduduk.

Angka Kematian (AKM) yang disebabkan oleh malaria adalah banyaknya kematian per 100,000 penduduk karena malaria

Manfaat Digunakan untuk memonitor dareah yang mengalami endemis malaria. Kejadian malaria dipengaruhi oleh system kesehatan yang buruk, meningkatnya resistensi terhadap pemakaian obat dan insektisida, pola perubahan iklim, gaya hidup, upaya penanggulangan vector, migrasi dan pemindahan penduduk.

Metode Perhitungan Rumus 6.4. yang digunakan:

P-M =

Jumlah kasus malaria positif pada

tahun tertentu X 1000

Jumlah penduduk pada tahun yang sama

AKM =

Banyaknya Kematian Karena

Malaria pada tahun tertentu X 100 000 Jumlah Penduduk pada tahun yang

sama

Catatan:

1. Dalam menghitung kejadian kasus malaria, denominator menggunakan kriteria penduduk hanya pada daerah beresiko. 2. Perhitungan angka kejadian malaria yang dilakukan oleh

kementerian kesehatan adalah angka penemuan kasus malaria positif dalam satu tahun.

3. Angka kematian karena malaria, saat ini masih sulit diperoleh. Data terkait kematian akibat malaria baru diperoleh dari laporan KLB provinsi

Indikator 6.7.

Proporsi Anak Balita yang tidur dengan Kelambu Berinteksida

Konsep dan definisi Cara pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria adalah memakai kelambu yang berinsektisida. Indikator ini dihitung dengan membagi banyaknya balita yang pada malam sebelum survey tidur menggunakan kelambu dengan jumlah balita, dinyatakan dalam persen

Manfaat Mengukur cakupan pemakaian kelabu yang terbukti efektif untuk mencegah penyebaran penyakit malaria di daerah yang endemis (beresiko tinggi) terutama pada balita

Metode Perhitungan Rumus 6.5. yang digunakan:

P-Balita Pakai Kelambu =

Banyaknya balita yang pada malam sebelum survey tidur menggunakan

kelambu yang ber inteksida X 100% Jumlah Balita

Catatan:

Survey dilaksanakan di daerah yang endemis tinggi dan sedang.

Sumber data: Kemkes

Indikator 6.9.

Angka Kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis

Konsep dan definisi Angka kejadian tuberkulosis adalah banyaknya kasus baru TB per 100,000 penduduk

Prevelansi Tuberkulosis (PTB) adalah banyaknya semua kasus TB per 100.000 penduduk.

Angka kematian karena TB (AKTB) adalah banyaknya kematian karena TB per 100.000 penduduk.

Kasus TB didefinisikan sebagai pasien yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis menderita TB.

Manfaat Pemantauan kejadian dan prevalensi TB diperlukan untuk mengetahui penyebaran kasus baru TB dan semua kasus TB di masyarakat. Angka tersebut dapat menggambarkan kondisi masyarakat termasuk kemiskinan, ketimpangan pendapatan, akses terhadap layanan kesehatan, gaya hidup dan buruknya sanitasi lingkungan

Metode Perhitungan Rumus 6.6. yang digunakan:

Kejadian-TB =

Banyaknya kasus baru TB pada

periode waktu tertentu X 100 000 Jumlah penduduk pada periode

yang sama

P-TB =

Banyaknya semua kasus TB pada

periode waktu tertentu X 100 000 Jumlah penduduk pada periode yang

sama

Kematian-TB =

Banyaknya Kematian karena TB

pada periode waktu tertentu X 100 000 Jumlah Penduduk pada periode

yang sama

.

Sumber data: Kemkes dan Global report WHO

Indikator 6.10a

Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Diobati dalam Program DOTS

Konsep dan definisi Proporsi jumlah kasus TB yang terdeteksi dan diobati adalah jumlah penderita baru TB paru BTA positif yang ditemukan dan diobati dengan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), dibagi dengan perkiraan jumlah penderita baru TB paru BTA positif, dinyatakan dalam persentase.

Manfaat Indikator ini memberikan informasi tentang cakupan penemuan kasus baru TB paru BTA positif di sarana pelayanan kesehatan.

Pengawasan yang efektif melalui penemuan dan penanganan kasus infeksi akan membatasi resiko penyebarannya. Pendekatan yang direkomendasikan untuk pengawasan adalah melalui strategi DOTS, yang merupakan strategi murah dan dapat mencegah jutaan penderita dari kematian

Metode Perhitungan Rumus 6.7. yang digunakan:

AP TB =

Banyaknya kasus positif baru TB paru BTA Positif yang ditemukan dan mendapat pengobatan melalui strategi

Indikator 6.10b

Proporsi Kasus Tuberkulosis yang Diobati dan Sembuh dalam Program DOTS

Konsep dan definisi Proporsi jumlah kasus TB yang diobati dan sembuh adalah jumlah penderita baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan baik sembuh maupun pengobatan lengkap dengan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), dinyatakan dalam persentase.

Manfaat Indikator ini memberikan informasi tentang hasil pengobatan kasus baru TB paru BTA positif baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap di sarana pelayanan kesehatan.

Metode Perhitungan Rumus 6.8. yang digunakan:

AP TB

Banyaknya kasus positif baru TB paru BTA Positif yang sembuh dan pengobatan lengkap melalui strategi DOTS pada suatu

tahun X 100% Banyaknya kasus baru TB paru BTA

positif yang diobati pada tahun tersebut Sumber data: Kemkes

Tujuan 7. Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup

Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dalam

kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumber daya

lingkungan

7.1.Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan

7.2.Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)

7.3.Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO)

7.4.Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman

7.5.Rasio kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan

7.6.Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan territorial

Indikator 7.1.

Rasio luas lahan yang tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survey foto udara terhadap luas daratan

Konsep dan definisi Rasio Luas Lahan yang tertutup pepohonan adalah perbandingan antara luas lahan yang tertutup pohon terhadap luas daratan yang dinyatakan dalam persentase, tidak termasuk perairan umum seperti sungai besar dan danau disuatu wilayah.

Luas lahan yang tertutup pepohonan diasumsikan sebagai hutan meliputi kawasan hutan dan non hutan.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Yang dimaksud dengan kawasan non hutan disini adalah lahan diluar kawasan hutan yang ditutupi pepohonan, misalnya perkebunan dan hutan rakyat.

Yang dimaksud dengan pepohonan adalah kumpulan pohon dalam satu hamparan.

Pohon adalah tumbuh-tumbuhan berkayu yang memiliki diameter batang setinggi dada 10 cm atau lebih.

lingkungan hidup. Sesuai UU 41 Tahun 1999, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Metode Perhitungan Rumus 7.1. yang digunakan:

PLH =

Luas lahan yang tertutup pepohonan (luas kawasan hutan + luas kawasan non

hutan) X 100% Total luas daratan

Sumber data: Kem Hut dan Kem Tan Catatan:

1. Data ini diperoleh dari Kementerian Kehutanan. Provinsi menerima data dari pusat.

2. Pengumpulan data melalui pencitraan satelit dilakukan setiap 3 tahun sekali

Indikator 7.2

Emisi carbon dioxida (CO2) per kapita

Konsep dan definisi Emisi CO2adalah jumlah gas CO2di suatu daerah yang bersumber dari aktifitas antropogenik dan non antropogenik. Gas CO2 adalah salah satu dari gas rumah kaca (IPCC Artikel 4, tahun 2007).

Antropogenik adalah gas CO2 yang berasal dari proses atau aktivitas industri dan penggunaan produk, tata guna lahan dan perubahan peruntukan lahan, kehutanan, pertanian, energi dan pengelolaan limbah.

Non antropogenik adalah gas CO2yang berasal dari kegiatan vulkanik, reaksi kimia dari batu gamping, yang disebabkan alam.

Emisi CO2 per kapita adalah jumlah gas CO2 di suatu daerah dari aktifitas antropogenik dibagi dengan jumlah penduduk.

Manfaat Indikator ini memberikan informasi tentang upaya pemerintah sebagai negara berkembang untuk turut serta secara aktif untuk menurunkan emisi CO2serta sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap protokol Kyoto dan ratifikasi Protokol United Nations Framework Convention on

Climate Change (UNFCCC). Target pengurangan emisi adalah sebesar

26% dari tingkat Businness as Usual pada tahun 2020.

Emisi CO2 yang apabila menumpuk di atmosfer akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.

permukaan bumi tersebut menerima radiasi matahari. Efek rumah kaca yang berlebihan akan menyebabkan pemanasan global dan mendorong terjadinya perubahan iklim global.

UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menetapkan bahwa pusat/provinsi/kab/kota perlu melakukan inventarisasi dan menetapkan kebijakan terkait emisi gas rumah kaca.

Metode Perhitungan Rumus 7.2. yang digunakan:

ECO2per kapita = Jumlah gas CO2 Jumlah penduduk Sumber data: KLH Catatan:

1. Jumlah gas CO2didapatkan dari hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Inventarisasi gas rumah kaca nasional merupakan hasil inventarisasi GRK tingkat nasional yang dikoordinasikan oleh KLH, dengan faktor emisi dan metodologi yang telah ditetapkan melalui koordinasi dengan para pemangku kepentingan.

2. Inventarisasi GRK dapat juga dilakukan dan dikoordinasikan oleh gubernur/bupati/walikota berdasarkan kewenangannya.

3. Bagi daerah yang belum memiliki kemampuan menghitung indikator ini, maka angka ditingkat provinsi, mengambil data dari KLH.

Indikator 7.3

Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO)

Konsep dan definisi Bahan perusak ozon (BPO) adalah bahan-bahan kimia yang berpotensi bereaksi dengan molekul-molekul ozon di stratosfir. BPO pada dasarnya terdiri dari hidrokarbon yang berklorin, florin dan bromin, termasuk diantaranya Chlorofluora Carbons (CFCs), Hidrocloroflorocarbon (HCFC), Halon, HidrobromoFluorocarbon(HBFC),Bromoclorometan,Metilclorofoam, Carbon Tetraclorin, dan Methyl Bromida.

Konsumsi BPO adalah penjumlahan konsumsi/pemakaian bahan perusak ozon dalam metrik ton.

Metode Perhitungan Saat ini Indonesia merupakan negara yang hanya melakukan impor terhadap BPO, sesuai dengan UU yang telah ditetapkan. Perhitungan jumlah konsumsi BPO berdasarkan total volume impor BPO yang dilakukan dalam periode waktu tertentu.

Rumus 7.3. Jumlah Konsumsi BPO

Konsumsi BPO = Jumlah impor BPO pada periode waktu tertentu.

Sumber data: KLH, Kemendag,Kemerin, Kementan,Kemkes, Bea Cukai, BPS Catatan:

1. Perhitungan angka indikator tersebut di tingkat pusat di koordinasikan oleh KLH.

2. Daerah hanya memberikan data laporan hasil inventarisasi penggunaan dan distribusi bahan perusak ozon (BPO).

Indikator 7.4

Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman

Konsep dan definisi Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis aman adalah perbandingan antara jumlah total hasil tangkapan dalam satu tahun terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan dalam tahun yang sama, dinyatakan dalam persentase

Jumlah total hasil tangkapan ikan dari laut adalah penjumlahan dari produksi ikan dari seluruh provinsi.

Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80% dari jumlah tangkapan lestari (maksimum sustainable yield – MSY).

Data MSY ini diperoleh dari Komisi Nasional Pengkajian Ikan. Batasan biologis aman adalah proporsi tangkapan ikan < 100%.

Manfaat Indikator ini digunakan untuk memantau kelestarian sumberdaya ikan dan kelangsungan usaha penangkapan ikan

Metode Perhitungan Rumus 7.4. yang digunakan:

P-Tangkapan Ikan =

Jumlah Total Hasil Tangkapan dalam

periode waktu tertentu X 100% Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan

dalam periode waktu yang sama Sumber data: KKP

Catatan:

1. Data indikator ini diukur ditingkat nasional.

2. Provinsi menyediakan data produksi tangkapan ikan, setiap tahun. 3. Data MSY- tidak tersedia setiap tahun

Indikator 7.5

Rasio kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan

Konsep dan definisi Kawasan lindung adalah adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Definisi diatas meliputi kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam), kawasan suaka alam (cagar alam, suaka margasatwa), taman buru, dan hutan lindung.

Kawasan hutan:

Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Rasio kawasan lindung adalah luas lahan yang digunakan untuk melindungi kelestarian linkungan hidup dibandingkan dengan ketersediaan luas kawasan hutan

Manfaat Indikator ini bertujuan untuk memantau perkembangan sumberdaya alam lingkungan hidup yang telah ditetapkan untuk dilindungi.

Sasaran dalam pengawasan atau pengelolaan kawasan lindung adalah untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, dan satwa, serta nilai sejarah dan budaya bangsa.

Metode Perhitungan Rumus 7.5. yang digunakan:

R-Kawasan Lindung=

Luas kawasan lindung X 100% Luas kawasan hutan

Sumber data: KMNLH Catatan:

1.Indikator ini dapat hanya dihitung di tingkat pusat, provinsi melakukan verifikasi

Indikator 7.6

Rasio kawasan konservasi perairan terhadap total luas perairan teritorial

Konsep dan definisi Rasio kawasan konservasi perairan adalah perbandingan antara luas kawasan konservasi perairan terhadap luas perairan territorial pada periode waktu tertentu, dinyatakan dalam persentase.

Kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Perairan nasional adalah penjumlahan dari luas laut perairan nusantara dan luas laut perairan teritorial.

Perairan nusantara merupakan wilayah perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal laut, teluk, dan selat yang menghubungkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lain di Indonesia.

Laut teritorial adalah wilayah laut dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat pasang surut ke arah laut

Manfaat Indikator ini digunakan untuk memantau kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan ekosistem perairan serta tersedianya pengelolaan kawasan konservasi secara optimal dan berkelanjutan.

Metode Perhitungan Rumus 7.6. yang digunakan:

R-Kawasan Konservasi = perairan

Luas kawasan konservasi perairan pada periode waktu

tertentu X 100% Luas perairan nasional

Sumber data: KKP Catatan:

Target 7.B: Menanggulangi kerusakan keanekaragaman hayati dan mencapai

penurunan tingkat kerusakan yang signifikan pada tahun 2010

7.5. Rasio kawasan lindung dan kawasan lindung perairan

Indikator 7.5

Rasio luas kawasan lindung (RKL) terhadap luas wilayah

Konsep dan definisi Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 yang dimaksud dengan kawasan hutan antara lain:

Kawasan hutan:

Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Hutan Lindung:

Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Hutan koservasi:

RKL terhadap luas wilayah adalah perbandingan antara luas kawasan yang secara nasional dilindungi terhadap luas suatu wilayah yang dinyatakan dalam persentase. Kawasan yang dilindungi meliputi luas daratan dan lautan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati dan sumber-sumber alam yang terkait, dikelola secara resmi dan efektif

Manfaat Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur upaya melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati serta upaya meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi penduduk setempat

Metode Perhitungan Rumus 7.7. yang digunakan:

RKL = Luas kawasan wilayah yang dilindungi Total luas wilayah X 100%

Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses

berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar hingga tahun 2015

7.8. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan

7.9. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar, perkotaan dan

Dalam dokumen SERIAL PEDOMAN TEKNIS (Halaman 35-65)

Dokumen terkait