BAB III CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL
3.1.2 Citra Diri Wanita Tokoh K’tut Tantri dalam Aspek
3.1.2.5 Memiliki Ketakutan dan Kegelisahan
Citra diri wanita dalam aspek psikis terdeskripsi ketika kegelisahan K’tut Tantri mulai muncul karena mendengar segala sesuatu yang sebenarnya dari Anak
Agung Nura. Ia mendengar kenyataan mengenai penjajahan Belanda terhadap Pulau
Bali. Kegelisahannya terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
(71) Tetapi bukan itu yang menyebabkan kegelisahan hatiku. Aku mulai menyadari bahwa aku selama itu tidak memanfaatkan segala peluang yang ada untuk melihat Bali yang sebenarnya. Aku membiarkan diriku dininabobokkan oleh kesenangan dan kenyamanan. Padalah bukan itu tujuanku berkelana begitu jauh. Ya, memang aku sudah melihat desa penduduk Bali Aga. Aku sudah melihat kampung-kampung. Aku juga sudah menghadiri upacara-upacara primitif, begitu pula berbagai tarian dan pesta rakyat jelata. Tetapi semuanya itu selalu ditemani orang-orang yang diperajakan oleh rakyat setempat. Tentang apa yang sebetulnya ada di situ, aku sama sekali buta. Aku tidak tahu apa-apa (hlm. 77).
Kegelisahan atau tepatnya penyesalan yang terdeskripsi dalam kutipan di atas
menunjukkan bahwa, K’tut Tantri melupakan tujuannya yang semula. Ia terpengaruh
oleh lingkungan Raja. K’tut Tantri melupakan tujuannya yang bukan hanya sekedar
turis di Pulau Bali. Ia terlena akan gaya hidup raja.
K’tut Tantri merasakan kecemasan dan merasa kedamaian yang
mengakibatkannya datang ke Bali sudah tidak ada lagi. Hal ini terdeskripsikan dalam
kutipan berikut:
(72) Aku menang. Aku tidak jadi diusir. Mestinya itu besar sekali artinya bagiku. tetapi aku masih tetap merasa tertekan. Kejadian yang baru saja kualami, tidak bisa kulupakan begitu saja. Tetapi kurasa ada lagi alasan yang menyebabkan perasaanku begitu. Aku seperti mendapat firasat akan ada bencana yang lebih hebat lagi dari pada yang pernah kualami. Kedamaian yang menyebabkan aku datang ke Bali, sudah
tidak ada lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara. Perasaanku gelisah, sekaligus capek. Banyak sekali kejadian di dunia, tetapi aku tidak ikut terlibat didalamnya (hlm. 110).
Di dalam kutipan di atas, terdeskripsi citra diri wanita tokoh K’tut Tantri
dalam aspek psikis yang merasakan kegelisahan tentang apa yang dialaminya. Ia
merasa tertekan dengan apa yang baru dialaminya dan seperti mendapat firasat
mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. K’tut Tantri merasakan kedamaian yang menyebabkannya datang ke Bali sudah tidak ada. Ia merasa gelisah kerena banyak
kejadian di dunia yang tidak diketahuinya dan tidak terlibat di dalamnya.
Dalam perjuangan membantu bangsa Indonesia untuk merdeka, K’tut Tantri mulai merasa cemas dan gelisah ketika didatangi orang-orang Cina, Indonesia, Arab,
dan Belanda Indo. Keprecayaan diri mulai berubah dengan rasa cemas yang dirasakan
K’tut Tantri saat itu. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
(73) Aku merasa cemas, bercampur bingung. Aku berniat akan berhati-hati sekali, dan takkan pergi kemana-mana sampai Anak Agung Nura sudah kembali. Aku tidak mau berbicara dengan siapa pun juga, kecuali para pelayanku sendiri. Mereka kuwanti- wanti, jangan mau diajak bicara orang yang tidak mereka kenal (hlm. 139).
Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis dideskripsikan dalam
kutipan di atas sedang mengalami kecemasan dan rasa bingung. Hal ini
mengakibatkan tindakan yang berhati-hati atau waspada. K’tut Tantri menyadari bahaya yang sedang dialaminya, hal ini membuatnya sangat waspada dan berhati-hati
terhadap orang yang belum dikenalnya. K’tut Tantri telah menjadi bagian dari
perjuangan bangsa Indonesia.
Perjuangan K’tut Tantri mengakibatkannya dipenjarakan. Keadaan sel penjara
yang kotor dan makanan yang kurang, mengakibatkan K’tut Tantri sakit dan pingsan selama 24 jam. Dokter Jepang yang memeriksa mengatakan bahwa, K’tut Tantri telah mati. Namun, sebenarnya K’tut Tantri sama sekali tidak mati. Ketika tersadar dari
pingsan, K’tut Tantri mengetahui bahwa dirinya dianggap mati dan akan dikuburkan,
itu membuatnya menjertit dan mengamuk. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan
berikut:
(74) Pikiranku masih kacau. Aku masih beranggapan bahwa Jepang-Jepang itu hendak menguburku hidup-hidup. Aku menjerit, mengamuk. Aku tidak bisa lagi dikendalikan. Petugas Kempetai sebenarnya hendak memindahkan aku ke Porong, rumah sakit jiwa yang ada di situ. Tetapi dokter yang merawatku menyatakan agar sebaiknya ditunggu dulu sampai aku sudah pulih kembali dari keterkejutannku. Berhari-hari aku terbaring dalam keadaan setengah pingsan, mengambang antara hidup dan mati. Namun ketenangan dalam selku, begitu pula makanan tambahan yang diberikan, akhirnya berpengaruh juga terhadap keadaan kesehatanku. Pikiranku jernih sehingga aku dapat mengangkat lenganku lebih tinggi dari sebatas pinggang (hlm. 195).
Keadaan yang dialami K’tut Tantri seperti yang terdeskripsi di kutipan atas, menunjukkan bahwa K’tut Tantri mengalami ketakutan yang sangat hebat. Ia berpikiran akan dikubur hidup-hidup oleh Jepang. Hal ini membuat jiwa K’tut Tantri mengalami tekanan yang kuat sehingga mengakibatkannya tidak terkontrol.
Kegelisahan yang terdeskripsi selanjutnya adalah ketika K’tut Tantri akan melaksanakan tugas untuk pergi ke Singapura. Namun, ia cemas tentang bagaimana
caranya untuk pergi ke Singapura. Banyak yang tewas dalam lautan, hal ini
menyebabkan kegelisahan K’tut Tantri. Namun, semangatnya bangkit ketika
mengingat bahwa pejuang Indonesia selalu semangat dan selalu mendapatkan cara
untuk melakukan rencana mereka. Hal ini terdeskripsikan dalam kutipan berikut:
(75) Aku sadar, hidup di Jawa bagiku mulai tidak aman. Apabila Belanda sekali waktu berhasil maju sampai di Yogya, aku pasti akan ditangkap dan mungkin dihukum tembak. Tetapi bagaimana caranya bisa ke Singapura, sementara Jawa dan Sumatera dikepung blockade Belanda? Sudah ratusan patriot Indonesia yang tewas terkubur tengah laut, dalam usaha menebusnya. Tetapi dalam hati kecilku aku yakin bahwa orang Indonesia pasti mampu merencanakan siasat untuk pergi keluar masuk neraka, apabila tekad mereka sudah bulat untuk melakukannya. Mereka gemar bertualang dan tidak terlalu banyak pikir. Semangat begitulah yang akhirnya menyebabkan perjuangan mereka berhasil (hlm. 300).
Kutipan di atas mendeskripsikan citra diri wanita dalam aspek psikis
mengenai perasaan K’tut Tantri yang saat itu sedang mengalami kegelisahan.
Kegelisahan itu disebabkan kerena di Jawa sudah tidak aman. Selain itu, ia juga
berpikir mengenai bagaimana caranya untuk melakukan perjalanan ke Singapura
dengan selamat. Sikap waspada dan kehati-hatian K’tut Tantri selalu membuatnya gelisah dan kawatir. Namun, semangat para pejuang yang selalu menyiapkan siasat
dalam setiap rencana mereka membuat K’tut Tantri bersemangat dan meyakini bahwa