• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K`tut Tantri : kajian sosiologi sastra.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K`tut Tantri : kajian sosiologi sastra."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI

KARYA K’TUT TANTRI:

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Pipit Priya Atmaja NIM: 06 4114 013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI

KARYA K’TUT TANTRI:

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Pipit Priya Atmaja NIM: 06 4114 013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala lindungan dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi

ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian sarjana dan

memperoleh gelar S-1 Fakultas Sastra, Jurusan Santra Indonesia, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan

dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih

terhadap pihak yang mendukung dan membantu terselesaikannya skripsi ini,

yaitu:

1. SE Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang telah

membimbing, membantu, dan meluangkan waktunya untuk memberi

saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah

membimbing dan memberi masukan kepada penulis sehingga skripsi

ini terselesaikan.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia yang berbagi ilmu selama

penulis menempuh pendidikan di Sastra Indonesia, Universitas Sanata

Dharma.

4. Dra. Sugihastuti, M.S. yang berkenan meminjamkan buku sehingga

(8)

vii

5. Bapak-Ibu tercinta dan seluruh keluarga yang memberi dukungan

sepenuhnya sehingga penulis dapat menyeselaikan skripsi ini.

6. Margaretha Nuri Karisma yang telah mendukung dan memberi

semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Cindil, Doler, Parji, Domex, Bitbit, Gembes, Pak Ndut, Hedwiq, dan

teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang memberi

semangat dan masukan selama proses penyusunan skripsi.

8. Keluarga besar Bengkel Sastra yang menampung penulis selama

perkuliahan dan teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2006 atas

kebersamaan selama perkuliahan.

9. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma yang telah memberi

pelayanan selama ini.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun

banyak memberi dukungan dari awal perkuliahan hingga tersusunya

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala

saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan

hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga

berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 26 November 2012

(9)

viii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dalam dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.

(Yohanes, 1:4)

Kehidupan tak akan lancer tanpa adanya usaha dan tanpa campur tangan Tuhan, usaha tidak akan pernah menuju keberhasilan.

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus

Bapak dan Ibu tercinta

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

(11)

x

1.6 Kerangka Teori... 6

1.6.1 Teori Struktur Alur ... 6

1.6.2 Sosiologi Sastra ... 8

1.6.3 Citra Diri Wanita ... 9

1.7 Metode Penelitian... 10

1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 10

1.7.2 Metode Analisis Data ... 11

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 11

1.7.4 Sumber Data ... 11

1.8 Sistematika Penyajian ... 12

BAB II ANALISIS STRUKTUR ALUR NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI KARYA K’TUT TANTRI ... 13

2.1 Alur ... 13

2.1.1 Tahap Penyituasian ... 14

2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik... 18

2.1.3 Tahap Peningkatan Konflik... 23

2.1.4 Tahap Klimaks ... 64

(12)

xi

2.2 Rangkuman ... 70

BAB III CITRA DIRI WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI ... 73

3.1 Citra Diri Wanita ... 73

3.1.1 Citra Diri Wanita Tokoh K’tut Tantri dalam Aspek Fisik ... 74

3.1.2 Citra Diri Wanita Tokoh K’tut Tantri dalam Aspek Psikis ... 76

3.1.2.1 Merindukan Kedamaian ... 76

3.1.2.2 Memiliki Percaya Diri karena Prinsip dan Semangat yang besar ... 81

3.1.2.3 Memiliki Sikap Sopan-Santun ... 87

3.1.2.4 Berpikir Positif ... 89

3.1.2.5 Memiliki Ketakutan dan Kegelisahan ... 92

3.1.2.6 Mencintai Bali dan Indonesia ... 96

3.1.2.7 Memiliki Sikap Peduli dengan Sesama ... 99

3.1.2.8 Memegang Janji ... 103

(13)

xii

3.1.2.10 Haru dan Tabah ... 106

3.1.2.11 Pandai Menyiasati Situasi ... 108

3.2 Rangkuman ... 111

BAB IV PENUTUP ... 114

4.1 Kesimpulan ... 114

4.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(14)

xiii ABSTRAK

Atmaja, Pipit Priya. 2012. Citra Diri Wanita Tokoh Utama dalam Novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. (Kajian Sosiologi Sastra). Skripsi S-1. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa

Damai karya K’tut Tantri. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur alur yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa Damai

karya K’tut Tantri dan menganalisis citra diri wanita yang terdapat di dalamnya.

Penelitian ini menggunakan kajian sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dan metode analisis isi. Tahap awal penelitian ini adalah melakukan analisis unsur alur dan hasilnya digunakan untuk menganalisis citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai.

Hasil dalam penelitian ini adalah analisis alur dalam bab II dan citra diri wanita dalam bab III. Alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai adalah alur lurus atau maju. Peristiwa-peristiwa penting yang menyusun pergerakan alur dalam novel ini berjalan secara kronologis.

Dalam bab III, dianalisis citra diri wanita dalam aspek fisik dan aspek

psikis. Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek fisik terdeskripsi sebagai

(15)

xiv ABSTRACT

Atmaja, Pipit Priya. 2012. Women’s Portrait in the Novel Entitled Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri. (The Research of Literature Sociology). Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

The study carried out women’s portrait in the novel entitled Revolusi di Nusa

Damai by K’tut Tantri. It aimed to analyze and to describe the plot in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri and to analyze women’s portrait in the novel.

The research employed the research of literature sociology focusing on literature text. Data analysis method used in the study was descriptive and analysis method. The first step in the research was analyzing the plot and the result was used

to analyze women’s portrait in Revolusi di Nusa Damai by K’tut Tantri.

The result of the research was the plot analysis in chapter II and women’s portrait in chapter III. The plot in the novel was progressive plot. The crucial events

which arranged the movement of novel’s plot ran chronologically.

In chapter III, women’s portrait was analyzed in physics and psychic aspects.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sastra merupakan salah satu tempat untuk mencurahkan isi atau pikiran si

pengarang. Pengarang dapat membuat cerita berdasarkan imajinasi atau realitas

yang dihadapi pengarang. Karya sastra yang berdasarkan pada imajinasi atau

realitas mengandung struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bermakna.

Struktur karya sastra mengarah pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik)

yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi secara

bersamaan membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2007:36).

Karya sastra yang bercerita tentang realitas sosial di Indonesia memiliki

sudut pandang berbeda. Hal tersebut tergantung pada gender, pribumi dan non

pribumi. K’tut Tantri dalam novel Revolusi di Nusa Damai sebagai pelancong

yang non pribumi mencoba menggambarkan pengalaman hidup (biografinya)

selama berada di Indonesia.

K’tut Tantri adalah seorang perempuan berkebangsaan Amerika. K’tut

Tantri merupakan nama yang diberikan oleh seorang Raja Bali. K’tut Tantri

datang ke Bali pada tahun 1930-an. Ia juga diangkat anak oleh Raja Bali dan

tinggal di puri sebagai putri raja yang keempat.

Bermula ketika K’tut Tantri berteduh dari hujan di Hollywood Boulevard.

Persis di depan bioskop, mata seorang gadis kelahiran Pulau Man (sebuah pulau

(17)

mempromosikan keindahan dan keeksotisan Bali pada 1930-an sehingga para

turis tertarik untuk datang.

Seperti orang-orang kulit putih umumnya pada masa itu, K’tut Tantri

melihat "timur" merupakan tempat eksotis yang harus dikunjungi. Ia pun tertarik

datang. Maka, pada November, di tengah musim dingin yang menggigit,

berangkatlah nona Amerika ini dari New York menuju Timur Jauh dengan

menumpang kapal Batavia. Perjalanan ini di tempuhnya untuk mencari "surga

terakhir" dengan seperangkat alat lukis.

Setelah perjalanan yang panjang, K’tut Tantri akhirnya tiba di pulau Bali.

Ia menyaksikan perempuan-perempuan Bali yang bertelanjang dada. Ini terlihat

dalam kutipan berikut:

(1) Aku melihat mereka di mana-mana. Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal, sementara mereka berjalan beriringan satu-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala (hal 28).

Selain itu, ia juga harus menghadapi keangkuhan si tuan putih Belanda

sebagai penguasa dengan berbagai aturan:

(2) Ini bukan Bali, melainkan Holland dalam ukuran kecil di mana setiap orang termasuk Anda wajib mematuhi undang-undang Belanda," ujar seorang aspirant controleur Distrik Denpasar di Bali Hotel. Ketika K’tut Tanri mengutarakan keinginannya untuk tinggal bersama orang Bali, pejabat Belanda melarangnya untuk tidak bergaul dengan si sawo matang. Ia pun menjawab: Saya di sini karena ingin melihat Bali, bukan untuk hidup di hotel Deluxe sambil menonton manusia-manusia kolonial minum-minum dan main tenis (hal 32).

Setelah menghadapi si tuan putih Belanda, K’tut Tantri melanjutkan

perjalanannya. Ia berniat berhenti ketika bensin mobilnya habis. Ternyata,

(18)

dan keluarga. Putera Raja yang bernama Anak Agung Nura bertanya kepada K’tut

Tantri “Anda kan turis Amerika? Bagaimana bisa sampai di sini? K’tut Tantri

menjawab:

(3) Tidak, Anak Agung Nura. Saya bukan turis. Saya datang ke pulau Anda ini dengan maksud untuk menetap selama-lamanya di sini. Saya berharap bisa melukis di sini dan mengikuti cara hidup rakyat di sini yang damai dan tenteram. Saya sudah tidak tahan lagi tinggal di hotel Belanda yang penuh dengan turis, dan karenanya berangkat ke pedalaman dengan ikrar bahwa dengan bantuan dewata saya akan tinggal di mana mobil saya berhenti karena kehabisan bensin (hal 38).

Setelah mendengar percakapan K’tut Tantri dengan Anak Agung Nura,

Raja berkata:

(4) Apa yang sudah tersurat di langit, harus menjadi kehendak Dewata kadang-kadang sulit penafsirannya. Tetapi begitu sudah dimengerti, bahkan orang tolol pun takkan berani menganggapnya sepi. Kursa kau tidak kebetulan saja tiba di sini. Ini sudah tersurat, lama sebelum kau dilahirkan. Selamat datang,anakku (hal 39).

K’tut Tantri menerima uluran tangan Raja. Raja tersenyum lebar

mengetahui K’tut Tantri menerima tawarannya untuk tinggal di purinya. Tidak

berselang lama, Raja mengangkat K’tut Tantri sebagai anaknya yang keempat.

(5) Sekarang aku mempunyai seorang putera dan tiga putri. Kau kami namakan K’tut yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu (hal 40).

Peristiwa – peristiwa seperti diatas yang menarik penulis untuk

mengangkat novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri sebagai objek

penelitian. Dalam beberapa kutipan di atas, K’tut Tantri dihadirkan oleh

pengarang sebagai wanita yang memiliki karakter khas. K’tut Tantri dihadirkan

(19)

K’tut Tantri diceritakan sebagai wanita yang memiliki karakter kuat untuk

mencapai tujuan. Hal inilah yang membuat penulis memilih topik Citra Diri

Wanita dalam Novel Revolusi di Nusa Damai.Penulis akan mengkaji struktur alur

dan citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri.

Kajian ini akan diawali dengan kajian struktur alur. Dalam penelitian ini penulis

akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk mencari dan mengetahui

tentang citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang ada di atas, masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana analisis struktur alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai

karya K’tut Tantri?

1.2.2 Bagaimana citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di

Nusa Damai karya K’tut Tantri?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan struktur alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya

K’tut Tantri.

1.3.2 Mendeskripsikan citra diri wanita tokoh utama dalam novel Revolusi di

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka dapat disimpulkan manfaat

dari penelitian ini yaitu:

1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi

analisis terhadap karya sastra, terutama dalam bidang penelitian novel

yang memanfaatkan teori sosiologi sastra.

1.4.2 Hasil penelitian ini dapat menambah referensi penelitian karya sastra dan

menambah wawasan kepada pembaca tentang citra diri wanita dengan

tinjauan sosiologi sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diresensi oleh Ratna Ariani di sebuah blog wordpress 17

Agustus 2008. Ratna Ariani menuliskan bahwa novel Revolusi di Nusa Damai

adalah novel biografi dari penulis, yaitu K’tut tantri. Ia juga memaparkan dengan

singkat tentang isi dari novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri

(synopsis). Selain itu, Ratna Ariani juga memaparkan pendapatnya mengenai

novel Revolusi di Nusa Damai. Menurutnya, novel ini cukup berharga sebagai

sebuah dokumentasi sejarah. Banyak hal yang tidak kita temui diversi sejarah

resmi kita. Tidak hanya sampai disitu, Ratna Ariani mengatakan bahwa bangsa

Indonesia tidak dapat memahami sisi humanisme.Humanisme dan idealisme kalau

terbentuknya dengan materialisme jadinya kalah atau menang manusia sekarang

harus tanpa hati

(21)

Sejauh pengamatan penulis belum ada yang menganalisis novel Revolusi

di Nusa Damai dengan topik citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri. Novel

Revolusi di Nusa Damai merupakan pengalaman hidup (biografi) pengarang. Hal

inilah yang menarik penulis untuk mengangkat novel Revolusi di Nusa Damai

dengan topik citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri.

1.6 Kerangka Teori

Dalam melakukan suatu penelitian, khususnya dalam bidang sastra,

diperlukan teori-teori atau pendekatan yang tepat sesuai dengan objeknya.

Pendekatan ini dapat digunakan sebagai cara analisis karya sastra yang diharapkan

mendukung keberhasilan sebuah penelitian.

1.6.1 Teori Struktur Alur

Alur adalah urut-urutan cerita dalam sebuah kaya sastra yang membangun

terjadinya kesinambungan isi sebuah karya sastra. Menurut Nurgiyantoro

(2007:149), tahapan alur dibedakan menjadi lima bagian tahapan, yaitu (1) tahap

situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap

pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4)

(22)

Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi tentang pelukisan dan

pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka

cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk

melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro,

2007:149).

Tahap pemunculan konflik adalah tahap awal munculnya masalah dan

peristiwa yang menimbulkan terjadinya konflik. Konflik itu sendiri akan

berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

Pemunculan konflik pada tahap ini akan berkesinambungan dengan

konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007:149).

Tahap peningkatan konflik akan memicu terjadinya konflik-konflik yang

semakin menegangkan dan intensitasnya semakin ditingkatkan. Peristiwa

dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik

yang terjadi meliputi, internal, eksternal, ataupun keduanya (Nurgiyantoro,

2007:149).

Tahap klimaks adalah tahap ketika konflik atau pertentangan-pertentangan

ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks

sebuah cerita akan dialami tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan

terjadinya komflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih

(23)

Tahap penyelesaian muncul ketika konflik yang telah mencapai klimaks

diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain juga diberi

jalan keluar untuk penyelesaian (jika ada), seperti sub-sub konflik atau

konflik-konflik tambahan (Nurgiyantoro, 2007:150).

1.6.2 Sosiologi Sastra

Sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan suatu

segi khusus masyarakat. Terutama berhubungan dengan studi tentang interaksi

dan interelasi antar manusia. Sosiologi sastra dengan sendirinya mempelajari

masyarakat dan mempelajari sifat hubungan antar anggota masyarakat sastra

(Sumarjo, 1979:11). Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner antara

sosiologi dengan ilmu sastra (Wiyatmi, 2006:30). Sosiologi sastra mempelajari

kaya sastra dari aspek teori dan fenomena sastra dan sekitarnya. Aspek-aspeknya

meliputi norma-norma dan kecenderungan-kecenderungan dalam karya sastra,

sedangkan ruang lingkupnya adalah karya sastra dan kehidupan sosial.

Sosiologi sastra adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam

masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial

(Swingewood via Faruk, 2005:1). Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya

sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan sejauh mana karya sastra itu

mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas,

yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya

sastra. Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan

(24)

melingkungi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya

(Pradopo, 2002:22).

Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks

untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih

dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Pendekatan ini mengutamakan teks

sastra sebagai bahan penelaahan (Damono, 1978:2).

1.6.3 Citra Diri Wanita

Citra adalah rupa, gambar, gambaran. Citra merupakan gambaran yang

dimliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.

Citra juga disebut kesan mental atau bayangan visual yang ditimbukan oleh

subuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas di karya

prosa dan puisi (KBBI, 1990:169).

Citraan berarti cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran

sesuatu (Moeliono via Sugihastuti, 2000:44). Citraan adalah gambaran-gambaran

angan atau pikiran. Setiap gambaran pikiran disebut citra. Citra artinya rupa,

gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi,

atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa,

atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Yang dimaksud citra wanita adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan

tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh wanita (Sugihastuti, 2000:45).

Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai

(25)

kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya. Wanita mempunyai kemampuan untuk

berkembang dan membangun dirinya. Berdasarkan pola pilihannya sendiri, wanita

bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai makhluk individu. Citra diri

wanita memperlihatkan bahwa apa yang dipandang sebagai prilaku wanita

bergantung pada bagaimana aspek fisik dan psikis diasosiasikan dengan nilai yang

berlaku dalam masyarakat (Sugihastuti, 2000:112-113).

1.7 Metode penelitian

Metode adalah suatu cara untuk mencapai suatu tujuan penelitian dalam

menyampaikan hasil analisis menggunakan metode deskripsi. Metode deskripsi

yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

keadaan subjek atau objek penelitian. Metode deskripsi dilakukan

mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna,

2008:53).

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode studi pustaka. Data-data yang penulis dapat melalui metode studi pustaka

dengan cara membaca buku-buku referensi yang mendukung penelitian. Dalam

metode ini digunakan metode catat, yaitu dengan mencatat hal-hal yang berkaitan

(26)

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

adalah metode deskripsi dan metode analisis isi. Dalam metode ini penulis

membuat deskripsi dengan mencata, kemudian menganalisis dan

menginterpretasikan data yang diteliti. Untuk melakukan metode deskripsi penulis

sebelumnya membaca novel yang akan dianalisis dan mencari rumusan masalah

yang akan diteliti. Metode analisis isi digunakan untuk memaparkan gambaran

citra diri wanita dalam novel Revolusi di Nusa Damai (Ratna, 2008:53,48-49).

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Pasca menganalisis data, penulis menggunakan metode deskripsi untuk

menyajikan hasil analisis data. Dalam penelitian ini digunakan metode deskripsi

untuk memaparkan keseluruhan hasil penelitian.

1.7.4 Sumber Data

Judul buku : Revolusi di Nusa Damai

Pengarang : K’tut Tantri

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : 2006

(27)

1.8 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini, peneliti

menyusun ke dalam empat bab, yaitu : Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi

uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan

sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan yang berisi analisis struktur

alur dalam novel Revolusi di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Bab III merupakan

pembahasan citra diri wanita pada tokoh K’tut Tantri dalam novel Revolusi di

(28)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR ALUR NOVEL REVOLUSI DI NUSA DAMAI

KARYA K’TUT TANTRI

Untuk dapat mengetahui citra diri wanita, penulis terlebih dahulu

menganalisis struktur dari novel Revolusi di Nusa Damai. Karya sastra terbagi

dalam berbagai macam unsur yang terkandung dalam sebuah struktur novel. Pada

bab ini penulis hanya akan memaparkan analisis unsur alur dalam novel Revolusi

di Nusa Damai karya K’tut Tantri. Analisis unsur alur dilakukan agar dapat mendeskripsikan citra diri wanita yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa

damai. Alur merupakan kerangka dari karya sastra. Di dalam alur terkandung

semua unsur yang membentuk karya sastra. Misalnya, tokoh, alur, tema, latar, dan

sebagainya. Oleh karena itu, penulis menganalisis unsure alur dalam novel

Revolusi di Nuda Dalai karya K’tut Tantri.

2.1 Alur

Analisis unsur alur dibagi menjadi beberapa tahap. Menurut Nurgiyantoro

(2007:149), tahap analisis alur dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) tahap situation

atau tahap penyituasian, (2) tahap generating circumstances atau tahap

pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, (4)

(29)

2.1.1 Tahap Situation (tahap penyituasian)

Novel Revolusi di Nusa Damai menggunakan sudut pandang orang

pertama atau “Aku-an”, dengan “aku” sebagai tokoh utama, yaitu K’tut Tantri.

Tahap situation berisi gambaran mengenai keluarga dan nenek moyangnya K’tut

Tantri. Ia menceritakan perihal nenek moyangnya, perempuan yang dimasukkan

ke dalam tong dan digulingkan ke dalam lereng Snaefell. Nenek moyangnya

dituduh atau diduga sebagai seorang penyihir. Hal ini terdeskripsikan dalam

kutipan berikut:

(6) Salah satu kisah yang pertama-tama kudengar dari ibuku semasa aku masih kanak-kanak, ialah tentang tong yang jatuh berguling-guling sampai ke dasar lereng Snaefell. Sisi dalam lorong itu penuh paku yang tertancap mengarah ke dalam. Tong itu tidak kosong. Moyangku yang perempuan meringkuk di dalamnya. Ia dimasukkan ke situ hidup-hidup, karena didakwa bahwa ia penyihir. Menurut kisah orang Man, di tempat tong itu berhenti berguling, dimana tanah gersang tak berair, tiba-tiba terjelma sebatang pohon yang indah sekali. Ketika masih kanak-kanak, aku merasa bisa melihat pohon itu. (hlm. 9).

Dalam kutipan di atas terdeskripsikan jika nenek moyang K’tut Tantri

diduga sebagai seorang penyihir. Dalam kutipan di atas, terdeskripsikan juga

peristiwa dimasukkannya si nenek ke dalam tong. Dalam bercerita, penulis tidak

memaparkan nama asli tokoh utama. Setelah bercerita tentang keluarga dan nenek

moyangnya, K’tut Tantri bercerita tentang bagaimana ia bisa tertarik dengan

Bali. Dalam novel, dideskripsikan jika suatu sore saat hujan pada tahun 1932,

K’tut Tantri berjalan di depan sebuah gedung bioskop kecil yang saat itu sedang

memutar sebuah film luar negeri yang berjudul Bali, Surga Terakhir. Ia tertegun

dan tertarik untuk menonton. Setelah menonton, K’tut Tantri memberikan suatu

(30)

(7) Aku terpesona. Film itu penuh dengan kedamaian, kelegaan hati, keindahan, dan rasa kasih yang dipancarkan kehidupan petani di desa. Ya, saat itulah aku menemukan bentuk kehidupan yang kudambakan. Saat itu kukenali kehidupan yang kuidamkan. Keputusanku datang dengan tiba-tiba, tetapi tidak bisa diubah lagi. Saat itu aku merasa bahwa takdirku sudah menentukan demikian. Aku merasakan adanya suatu dorongan, yang sama sekali tak ingin kuelakkan (hlm. 11).

K’tut Tantri benar-benar tertarik untuk pergi ke Bali. Akhirnya ia

berangkat menuju Bali. Dari New York ia berangkat dengan menumpang kapal

menuju Batavia. Kisah perjalanan dimulai dengan mengendarai mobil seorang diri

menyusuri jalan di Pulau Jawa yang gelap dan rawan dengan perampok yang

kapan saja siap merampok. Beruntung K’tut Tantri bertemu dengan seorang anak

kecil yang bernama Pito, seorang anak yang menjadi penunjuk jalannya menuju

pulau dewata, Bali.

Namun, Pito tidak bisa menemani perjalanan K’tut Tantri sampai di Pulau

Bali. Pito hanya mengantar sampai pelabuhan, ia merasa Bali bukan tempatnya

dan Bali tidak pantas untuknya. K’tut Tantri melanjutkan perjalanan menuju Bali

seorang diri dengan menumpang sebuah kapal.

K’tut Tantri melanjutkan perjalanan dengan mengendarai mobil.

Sepertinya kehidupan K’tut Tantri sudah ditentukan oleh dewa-dewa Bali ketika

bahan bakar mobilnya habis dan berhenti di sebuah puri Kerajaan di Bali. Seperti

yang tergambar berikut:

(31)

Pengarang memaparkan kejadian saat tokoh utama memasuki puri dan

bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki itu adalah Anak Agung Nura, putra raja

Bali. K’tut Tantri merasa heran jika ada seorang pribumi Bali yang bisa berbahasa

Inggris. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

(10) Ah, Anda bisa berbahasa Inggris? Mata hitamnya yang besar berkilat jenaka. Yah, apanya yang aneh jika orang bias berbahasa Inggris? Katanya. Kami ada juga yang pernah bersekolah di luar negeri. Betul, kataku. Saya tadi hanya agak heran, mendengar orang berbahasa Inggris di desa yang begitu terpencil (hlm. 37).

K’tut Tantri ditawari untuk tinggal di puri ayahnya. Dengan malu dan

perasaan tidak enak, K’tut Tantri menolak tawaran Anak Agung Nura. K’tut

Tantri merasa tidak enak kalau harus tinggal di puri dan tinggal bersama keluarga

raja Bali. Meskipun Anak Agung Nura sudah menjelaskan bahwa nasib K’tut

Tantri telah ditentukan oleh para dewa, K’tut Tantri tetap merasa tidak enak untuk

menerima permintaan Anak Agung Nura dengan begitu saja. K’tut Tantri

mengutarakan keinginannya untuk tinggal di desa saja.

Dengan berbincang-bincang, K’tut Tantri dibimbing Anak Agung Nura ke

pelataran tempat ayahnya duduk bersama para bangsawannya. Anak Agung Nura

bercerita dengan singkat kepada ayahnya mengenai percakapan singkatnya

dengan K’tut Tantri. Ia juga bercerita tentang pembangkangan K’tut Tantri

terhadap birokrasi Belanda. Setelah mendengar cerita singkat dari anaknya, raja

(32)

(11) Apa yang sudah tersurat di langit, harus menjadi kehendak Dewata kadang-kadang sulit penafsirannya. Tetapi begitu sudah dimengerti, bahkan orang tolol pun takkan berani menganggapnya sepi. Kurasa kau tidak kebetulan saja tiba di puriku ini. Ini sudah tersurat, lama sebelum kau dilahirkan. Selamat datang, anakku (hlm. 39).

Setelah mendengar ucapan raja, K’tut Kantri tidak berani untuk menolak

uluran tangan raja (bantuan Raja). Ia tidak berani karena akan menimbulkan

kemurkaan Dewata. K’tut Tantri merasa harus tinggal di puri raja selaku anak

seorang raja Bali seperti yang tergambar berikut:

(12) Tawaran itu kuterima dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Dengan segera aku dibawa raja serta putranya ke bagian lain dari pekarangan puri itu, di mana aku secara resmi diperkenalkan pada istrinya yang pertama. Wanita itu baik hati, tetapi sangat pemalu. Ia ditemani dua putrinya. Dua gadis belasan tahun yang manis-manis. Keduanya belum menikah dan sama pemalunya seperti ibu mereka (hlm. 40).

Setelah memperkenalkan K’tut Tantri secara resmi pada istrinya yang

pertama, raja tersenyum lebar dan mengatakan:

(13) Sekarang aku mempunyai seorang putra dan tiga putri. Gaya bahasa laki-laki tua begitu riang, sehingga aku cenderung beranggapan bahwa ia hanya berkelakar. Tetapi kemudian suaranya menjadi serius. Kau kami namakan K’tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak ke empat. Segera akan kupanggil pendana. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu (hlm. 40).

Akhirnya K’tut Tantri menjadi anak ke empat raja Bali dan menjadi bagian

dari keluarga Anak Agung Nura. Ia benar-benar merasa bahwa takdirnya adalah

menjadi bagian dari keluarga raja seperti yang telah ditakdirkan oleh Dewata.

K’tut tantri tidak bisa memungkiri takdir yang telah diberikan oleh Dewata

(33)

Pada tahap penyituasian novel ini mendeskripsikan tentang memori K’tut

Tantri mengenai nenek moyangnya. Selain itu, penulis mengisahkan tentang

tokoh utama yang tertarik dengan Pulau Bali. Ketertarikan tokoh utama dengan

Pulau Bali mengakibatkan keinginan tokoh utama pergi dan melakukan perjalanan

menuju Pulau Bali. Penulis memaparkan dengan jelas mengenai perjalanan tokoh

utama saat tiba di Pulau Bali dan tinggal di puri raja Bali.

2.1.2 Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)

Tahap pemunculan konflik yang terdapat dalam novel Revolusi di Nusa

Damai berisi kisah K’tut Tantri ketika mendapat surat resmi dari Kontrolir

Klungkung. Kontrolir Klungkung telah mengetahui keberadaan K’tut Tantri di

puri raja Bali seperti yang tergambar berikut:

(14) Pada hari kami akan berjalan-jalan di desa, seorang pesuruh datang mengantarkan sepucuk surat yang kelihatannya resmi. Surat itu disampaikan pada Nura, yang melihat alamat yang tertulis di situ sepintas lalu. Ini untukmu! Katanya dengan nada agak heran. Kubuka sampul surat itu. Isinya dalam bahasa Belanda. Coba tolong katakana maksudnya! Nura membaca surat itu, lalu menoleh ke arahku. Cepat sekali berita tersirat. Kontrolir klungkung sudah tahu bahwa kau ada di sini. Kau dimintanya selekas mungkin datang ke kantornya, dengan membawa paspor (hlm. 43-44).

K’tut Tantri menjelaskan kepada Nura bahwa K’tut sudah menunjukkan

paspornya pada kontrolir di Denpasar. Ia merasa jengkel dan merasa bahwa ini

adalah tindakan sewenang-wenang. K’tut tidak mau pergi ke Klungkung untuk

menghadap kontrolir hanya untuk menunjukkan paspor.

Anak Agung Nura dan K’tut Tantri berdebat mempermasalahkan

(34)

menjelaskan bahwa Belanda yang menentukan segala seseuatu di sini, Bali. Ia

juga menjelaskan bahwa K’tut Tanti tidak boleh remeh mereka, Belanda. Seluruh

masyarakat Bali dan keluarga raja sudah menyadari bahwa sebaiknya bersikap

diplomatis. Nura menjelaskan degan tegas, Belanda bisa merepotkan seluruh

masyarakat Bali, keluarga raja, maupun K’tut Tantri. Orang Belanda tidak suka

jika ada wanita kulit putih bergaul akrab dengan orang Bali. K’tut Tantri mulai

menyadari hal itu dan memutuskan untuk berangkat menghadap kontrolir

Klungkung seperti yang tergambar berikut:

(15) Aku bingung. Tetapi kusadari saat itu, tidak ada pilihan lain bagiku. aku mengisi bensin dari persediaan yang ada di puri, lalu berangkat dengan perasaan enggan ke Klungkung. Aku tidak tahu apa yang akan kudengar di situ. Mungkin kediamanku di puri hanya merupakan impian indah belaka (hlm. 44).

Setelah kedatangannya di Klungkung, K’tut Tantri tidak dibiarkan

menunggu terlalu lama karena kontrolir ingin cepat-cepat berbicara dengan K’tut.

Kontrolir berbicara dengan agak terbata-bata ketika menjelaskan alasan K’tut di

panggil ke Klungkung.

Kontrolir Klungkung menjelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda

tidak suka jika ada orang kulit putih berbaur dengan masyarakat pribumi. Bangsa

Belanda memerintah masyarakat pribumi dan menentukan kedudukan mereka dan

membiarkan mereka sendiri. Penjelasan Kontrolir tersebut tergambar dalam

kutipan berikut:

(35)

dengan jalan menentukan kedudukan mereka lalu membiarkan mereka sendiri. Apa yang akan terjadi menurut pendapat Anda, apabila mereka sampai beranggapan bahwa bangsa kulit putih memandang mereka sederajat? Anda,

seorang wanita kulit putih, mau menerima ajakan keluarga pribumi…” Ia terbata -bata, seperti mobil kehabisan bensin (hlm. 45).

Perdebatan K’tut dengan kontrolir berjalan begitu panjang dan tetap pada

pendirian masing-masing. Kontrolir juga menjelaskan, raja Bali identik dengan

istri banyak atau istri lebih dari satu. Ia berusaha menakuti K’tut dengan cara

memberi wacana kepada K’tut tentang kebiasaan raja memiliki istri banyak atau

lebih dari satu. Kontrolir memberikan contoh raja Karangasem yang memiliki istri

paling sedikit empat puluh.

Kontrolir juga menjelaskan apakah K’tut tidak takut jika santet karena

kecemburuan dari perempuan pribumi. Dengan berlagak bijak, kontrolir berkata

bahwa pihak resmi berkewajiban untuk melindungi orang kulit putih dari hal

semacam itu. Menurut kontrolir, K’tut menempatkan diri dalam kedudukan yang

sangat berbahaya, karena tinggal di dalam puri raja. Wanita di situ sangat pandai

bermain santet, apalagi K’tut tidak bisa memahami bahasa mereka.

Ucapan kontrolir dibantah oleh K’tut tantri. K’tut membalas ucapan

kontrolir dengan mengatakan kalau dengan berjalannya waktu bisa belajar bahasa

Bali. K’tut Tantri juga tidak akan pernah meninggalkan puri dan tidak takut

dengan yang disampaikan kontrolir kepadanya. K’tut Tantri tetap pada

(36)

(17) Saya akan tetap menjadi tamu di puri. Dan percayalah, saya akan menjaga tutur bahasa saya sebaik-baiknya. Karena itu, Tuan kontrolir, saya anjurkan agar Anda tidak menyulitkan saya atau tuan rumah saya, karena apabila itu terjadi, saya akan menghadap konsul Amerika di Surabaya. Ia akan mengatakan pada Anda bahwa saya tidak bisa diusir tanpa alasan. Dan saya takkan membuat Anda mendapat alasan (hlm. 48).

Setelah mengatakan seperti itu kepada kontrolir, K’tut Tantri lalu

meninggalkan kantor kontrolir Klungkung. K’tut Tantri bergegas pulang ke puri.

Ternyata raja dan putranya telah menunggu kedatangan K’tut Tantri dari kantor

kontrolir Klungkung. Raja dan anaknya tidak sabar ingin mendengar cerita K’tut

Tantri. K’tut Tantri menceritakan semua percakapannya dengan kontrolir

Klungkung tanpa menambah dan menguranginya.

Mendengar cerita dari K’tut Tantri, raja mengutarakan keinginanya agar

K’tut tetap mau tinggal di puri. Seluruh keluarga raja berpikiran seperti itu,

mereka berharap K’tut tetap mau tinggal di puri dan tidak perlu merasa takut. Jika

kontrolir mengusir K’tut dari puri, raja sendiri yang akan menghadapi dan akan

menghadap Gubernur untuk membicarakan hal ini.

Raja juga menjelaskan bahwa seluruh masyarakat kulit putih akan

memperlakukan raja sebagai sesuatu yang hina. Bangsawan Bali sekali pun tidak

akan diterima sebagai tamu di rumah orang Belanda. Orang Bali tidak bergaul

dengan bangsa kulit putih, kecuali beberapa seniman asing.

Anak Agung Nura menambahkan ucapan ayahnya dengan mengatakan

K’tut nantinya akan merasa sepi, karena tidak bergaul dengan bangsa kulit putih

(37)

mempunyai teman-teman yang begitu baik seperti mereka, raja, Anak Agung

Nura, dan keluarganya.

Setelah kejadian di Klungkung, K’tut mulai mempelajari bahasa, adat

istiadat, dan terutama agar K’tut bisa menerima cara hidup yang asing baginya.

Selain itu, Nura juga memaksa K’tut untuk mempelajari bahasa Kawi dan

kesusastraan kuno.

(18) Nura juga mendesak agar aku mempelajari bahasa Kawi sedikit-sedikit, serta kesusastraan kuno. Menurut pendapatnya, agar bisa memahami suatu bangsa, aku harus mengenal kebudayaan mereka. Ia menerjemahkan untukku catatan dan kisah-kisah yang tertulis pada daun lontar. Dengan segera aku sudah mendalami sejarah negeri itu, begitu pula buah karya pujangganya. Ternyata kisah-kisah rakyat Bali mirip sekali dengan dongeng-dongeng Barat (hlm. 52).

Ada pula tentang pakaian adat Bali. Semula K’tut ingin sekali

memakainya, namun K’tut segan untuk mengatakan hal tersebut. Kedua adik Nura

datang membawakan kain, setagen, serta sandal dan kebaya sesuai dengan

keinginan K’tut. PutriAra membantu K’tut memakai kain, menyusul setagen yang

terbuat dari kain sutra tebal sepanjang empat atau lima meter. K’tut merasa sesak

nafas karena kencangnya lilitan kain sutra itu.

Kedua adik Nura mengatakan bahwa memang harus erat memakai kain

sutra, karena semuanya harus serba datar, tidak boleh ada yang menonjol. Selain

itu, bagian belakang K’tut tidak selurus kedua adik Nura. Dengan cepat Agung

Ara mengatakan, “tetapi iti bagus,” masih kelihatan dan itu yang dikagumi kaum

(38)

(19) “Tetapi itu bagus, kata Agung Ara cepat-cepat, dan masih tetap kelihatan, walau sudah dibalut erat-erat. Itu yang paling dikagumi kaum pria kami. Kalau kami berjalan, tidak ada yang bisa merangsang. Kalau wanita kulit putih, lain (hlm.

52).”

Tahap pemunculan konflik diceritakan penulis mengenai tokoh utama

yang menghadapi kontrolir Belanda. Konflik cerita ini dimulai ketika pemerintah

Belanda yang tidak menyetujui tokoh utama berbaur dengan masyarakat pribumi.

Selai itu, penulis mengisahkan tokoh utama yang tetap ingin tinggal di puri raja

Bali.

2.1.3 Tahap rising action (tahap peningkatan konflik)

Impian K’tut Tantri mulai terlaksana untuk memiliki hotelnya sendiri. Ia

dibantu tiga temannya, yaitu Wayan, Nyoman, dan Made. Dana untuk

membangun hotel diperoleh dari sumbangan masyarakat Bali yang sangat

mengenal K’tut Tantri. Dalam pembangunan hotel, K’tut juga dibantu oleh

seorang yang paling pintar di Bali, yaitu Bagus. K’tut dan Wayan mendatangi

Bagus untuk meminta bantuan membangun hotel. Wayan yang sudah mengenal

Bagus mengatakan tanpa basa-basi seperti yang tergambar berikut:

(20) Kami sangat memerlukan bantuanmu, Bagus. Terus terang saja, aku tak tahu apa yang harus kami lakukan, apabila kau tidak ada. Wayan pandai sekali membujuk orang. Kami tidak memintamu agar merencanakan bangunan hotel yang biasa, seperti kepunyaan Belanda di Denpasar, melainkan bangunan istimewa yang akan bisa memamerkan bakatmu yang sesungguhnya (hlm. 100).

Setelah pengerjaan hotel yang dibantu oleh Bagus selesai, hotel itu

(39)

tamu-tamu bebas berkeliaran di mana saja. Di dapur, tamu-tamu dapat belajar masak masakan

Bali.

Pihak Belanda merasa tidak senang dan sudah waktunya bertindak tegas.

Suatu hari ketika hotel sedang penuh, polisi Belanda datang untuk menangkapi

para pelayan tanpa terkecuali. Dengan segera K’tut mengirimi surat ke konsul

Amerika berharap bantuan. Pihak Belanda selalu ingin memulangkan K’tut ke

negara asalnya dan selalu bertindak apa saja agar K’tut tidak betah di Bali.

Konsul Amerika menaggapi surat yang dikirim oleh K’tut. Tidak sampai

24 jam, para pelayan sudah dipulangkan. Para pelayan mengatakan bahwa mereka

dipaksa oleh polisi Belanda agar mengaku bahwa hotel milik K’tut adalah tempat

percabulan.

Segala usaha dilakukan Belanda, pihak Belanda kemudian memutuskan

untuk melancarkan berbagai tindakan. Langkah awal yang dilakukan adalah untuk

pembersihan kaum homo yang diperintah oleh Gubernur Jendral Belanda di

seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Semua orang diperiksa tanpa terkecuali.

Dengan segera pemeriksaan sampai di Bali, beberapa orang lari meninggalkan

pulau. K’tut bersama kawan-kawannya dan para tamu hotel diperiksa, tetapi iklim

moral di hotel tanpa cacat cela. Polisi tidak dapat menemukan sesuatu yang tidak

beres. Akhirnya untuk sementara Belanda tidak mengganggu lagi.

Untuk sementara waktu semua berjalan lancar. K’tut tidak diganggu lagi

dan kepercayaan dirinya pulih. Namun, suatu hari seorang polisi Belanda Indo

(40)

K’tut mengira ada kontrolir yang memintanya menghadap, tetapi itu keliru. Surat

itu berisi perintah pengusiran K’tut. Jika dalam batas waktu satu minggu tidak

meninggalkan Bali, K’tut akan ditangkap dan ditaruh di atas kapal pertama yang

berangkat ke Amerika Serikat. Surat pengusiran itu sama sekali tidak disertai

penjelasan.

Dengan segera K’tut mendatangi kantor kontralir di Denpasar. Ia

menanyakan, alasan pengusiran K’tut. Kontrolir tidak dapat menjelaskan alas an

pengusiran. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut:

(21) “Pemerintah Belanda tidak berkewajiban untuk mengemukakan alasan. Anda

orang asing di sini, dan kami pasti berhasil mengusir Anda dari pulau ini.” K’tut

menjawab, Silahkan mencobanya. Sama-sama tidak akan berniat pergi, kalau tidak ada alasan sama sekali. Ini namanya tindakan sewenang-wenang. Coba saja menaikkan diri saya ke kapal dengan jalan paksa. Anda pasti menyesal, lihat saja nanti (hlm. 107).

Keesokan harinya, K’tut terbang ke Jawa untuk menemui konsul Amerika

di Surabaya. Di sana dijelaskan bahwa K’tut tidak mungkin bisa diusir begitu saja

tanpa alasan. Kecuali memang di hotel K’tut terbukti biasa terjadi hal-hal yang

melanggar tindakan tata susila atau ketahuan menyebarkan paham komunisme. Di

akhir nasehatnya, konsul Amerika mengatakan bahwa K’tut harus mengusahakan

pembela dan persoalan ini harus segera diajukan pada Gubernur Jenderal di

Batavia.

Awalnya, K’tut ingin memakai pengacara bangsa Indonesia. Namun,

ketika ditanyakan ke Agung Nura tentang pengacara yang akan dipakai K’tut,

(41)

Indonesia pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa. Atas desakan Nura, K’tut

mendatangi Daan untuk mengusulkan pengacara. Daan mengusulkan seorang

pengacara hukum kenalannya. Dengan segera persyaratan formalitas dilengkapi.

Pihak penguasa Belanda diberitahu bahwa kasus K’tut Tantri akan

diajukan ke hadapan Gubernur Jenderal. Dan selama keputusan belum dijatuhkan,

K’tut tidak bisa ditahan atau diusir dari Bali.

Berminggu-minggu tanpa ada keputusan. Sementara itu, dari penjuru

dunia mengalir surat-surat dari orang-orang yang pernah tinggal di hotel K’tut.

Surat itu ditujukan ke Gubernur Jenderal, yang berisi memprotes perlakuan yang

dialami K’tut. Seorang wanita Belanda yang akrab dengan Ratu Wilhelmina

menulis, jika gadis K’tut Tantri dari Amerika sampai diusir dari Bali, kami akan

mengundang K’tut ke Belanda dimana K’tut akan mendapatkan kesempatan untuk

membuka mulut. Sementara surat-surat itu terus berdatangan, hotel K’tut

dikosongkan. Pihak Belanda tidak mengizinkan seorang pun tinggal di hotel.

Di sisi lain, pengacara yang membela K’tut dalam kasus ini menasehati.

Pihak Belanda tidak akan menemukan kata sepakat untuk mengusir K’tut. Bergaul

akrab dengan penduduk pribumi dan memakai pakaian adat bukan suatu tindakan

kejahatan. Bahkan tinggal di tengah keluarga pribumi bukan sebagai kejahatan.

Pengacara berusaha menenangkan K’tut seperti yang tergambar berikut:

(42)

Suatu pagi, Agung Nura menemui K’tut. Nura menemui K’tut bermaksud

untuk melamar K’tut agar menjadi istrinya yang kedua. Nura mengatakan kalau

K’tut mau menjadi istrinya, ia akan selamat dan tenang tidak diganggu oleh pihak

Belanda lagi. K’tut pun terkejut saat mendengarnya.

Dengan alasan keselamatan dan tidak diganggu oleh pihak Belanda, K’tut

tidak bisa menerima alasan itu. Walau Nura benar-benar sayang kepada K’tut.

Banyak pertimbangan dan berbagai hal mengapa K’tut tidak mau menerima

lamaran Nura.

(23) Tidak, Nura. Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa menerima pengorbanan yang sebegitu besar darimu. Belanda pasti takkan memaafkan dirimu. Kau akan terpaksa melepaskan segala cita-cita demi bangsamu. Tidak, perjuanganku harus kuselesaikan sendiri. Sekarang pu keadaanmu sudah lebih berbahaya daripada aku, apa pun yang terjadi nanti. Kau sahabat baikku. Saudaraku! Aku tidak bisa menyebabkan dirimu terancam. Aku ini datang ke Bali karena ingin mendapat kebebasan untuk diriku sendiri. Bukan untuk merebut kebebasan orang-orang yang kusayangi (hlm. 109).

Dengan alasan apa pun dan bagaimana pun, K’tut tidak bisa menerima apa

yang diutarakan oleh Anak Agung Nura. Percakapan terhenti karena datang kabar

yang menyatakan bahwa Gubernur Jendral Hindia Belanda memerintahkan

pembatalan perintah pengusiran terhadap K’tut.

K’tut menang, tidak jadi diusir. Namun, K’tut tetap merasa tidak tenang. Ia

merasa tertekan, kejadian yang baru saja dialami oleh K’tut tidak bisa dilupakan

begitu saja. K’tut seperti mendapat firasat bahwa akan ada kejadian yang lebih

(43)

Hotel yang dimiliki K’tut mulai dibuka kembali. Namun, keadaan sudah

berubah. Saat itu musim hujan dan angin bertiup kencang. Saat itu bukan saat

tamu berdatangan, hotel mulai sepi karena musim hujan dan angin kencang.

Untuk mengisi waktu luang, K’tut mencoba membaca buku-buku dan

mempelajari ilmu politik ekonomi. Ia membaca buku-buku tentang sistem

kolonial, K’tut tidak menyukainya berdasarkan pengalamannya sendiri dengan

sistem seperti itu.

Beberapa saat kemudian perang pecah di Eropa. Balatentara Hitler

menyerang Polandia. Kabar itu terdengar sampai Bali. Namun, kejadian itu sangat

jauh dari Bali. Orang Bali merasa aman. Tetapi, orang Inggris yang ada di Bali

dan di Jawa pulang ke negara asalnya. Orang Belanda yang ada di Indonesia

seolah-olah sama sekali tak mengacuhkan kejadian itu, walau Belanda bersekutu

dengan Inggris. Kemudian angkatan perang Hitler menyerbu negara Belanda.

Rotterdam dihujani bom. Ratu Wilhelmina menyingkir ke Inggris bersama para

anggota pemerintahan Belanda.

Seketika saat itu, seorang jendral Inggris yang sudah tua datang ke hotel

K’tut. Ia orang Skot, berasal dari pulau Skye. Kerjanya hanya duduk di teras yang

menghadap ke laut sambil merajut. K’tut heran, ia baru pertama melihat laki-laki

merajut. Lelaki tua itu berpendapat:

(44)

Setelah negara Belanda diduduki, orang Belanda di Indonesia tidak bisa

lagi tak bersikap netral terhadap peperangan. Tetapi mereka tetap kelihatan serba

santai. Orang Indonesia tampak jauh lebih prihatin. Pimpinan politik

terang-terangan bersikap pro-sekutu. Mereka meminta pada Belanda agar sebagian rakyat

dipersenjatai dan dilatih. Namun, itu dianggap sepi oleh Belanda. Di kalangan

Belanda ada suatu kelompok yang pro-Nazi. Mereka aktif di pulau Jawa, sedang

di Bali masih tetap seperti biasa.

Tamu-tamu mulai berdatangan lagi ke hotel K’tut. Saat itu musim mulai

kembali normal. Kebanyakan tamu di hotel berasal dari pulau-pulau yang lain,

atau dari Singapura. Begitu pula dengan seorang perwira Angkatan Laut Amerika

yang sudah pensuin, Captain Kilkeny yang juga mendatangi hotel K’tut Tantri.

Hotel K’tut semakin sering mendapat tamu militer.

Keadaan keuangan mulai pulih kembali dan semakin bertambah. Beberapa

waktu berlalu, K’tut menerima telegram dari Lord Norwich. Negarawan dari

Inggris yang lebih terkenal dengan julukan Duff Cooper memberitahukan

perjalanan menuju Australia bersama istrinya. Duff Cooper ingin singgah

beberapa hari di hotel milik K’tut. Namun, lagi-lagi K’tut mengalami kesulitan

dengan pihak kolonial Belanda. Pihak resmi Belanda memberitahu K’tut bahwa

tamu yang kedudukannya tinggi wakil Mahkota Inggris, tidak bisa menginap di

hotel milik K’tut. Duff Cooper dan istrinya harus menginap di Residen Bali dan di

(45)

K’tut mengabaikan peringatan dari pihak kolonial Belanda dan tetap

mempersiapkan untuk mmenyambut dan menjemput kedatangan Duff Cooper

dengan istrinya, Lady Diana Manners. Nyoman dan Made menghias mobil untuk

menjemput mereka, bendera Inggris dipasang di depan mobil.

Persiapan sudah selesai. K’tut bersama kedua temannya, Wayan dan

Nyoman berangkat ke pelabuhan udara. Di pelabuhan udara, para pejabat Belanda

datang semuanya. Mereka datang dengan menggunakan mobil limusin hitam yang

mengkilat. Orang-oarang Belanda yang ada di pelabuhan udara melongo melihat

gaya jemputan K’tut. Sepuluh menit berlalu, pesawat akhirnya mendarat dan

orang Belanda langsung mengerubungi menyambut. Salah seorang Belanda

mengatakan bahwa Duff Cooper dan istri akan diantar ke Istana Gubernur.

Namun, Doff Cooper menolak karena tidak sedang bertugas.

(25) Terimakasih atas segala kehormatan ini, katanya, tetapi saat ini saya sedang cuti, dan saya telah mengatur rencana sendiri. Saya dan Lady Diana akan menjadi

tamu Miss K’tut Tantri di Pantai Kuta. Harap tunjukkan orangnya pada saya. Yang Mulia, hotel itu hotel rakyat. Yang Mulia takkan merasa senang di situ. Seorang belanda menyela. Dari apayang saya dengar tentang hotelnya, saya tentu akan merasa nyaman dan senang di situ. Duff Cooper tersenyum. Disamping itu, saya memang ingin merasakan hidup seperti pribumi (hlm. 113).

Akhirnya seorang wakil perusahaan penerbangan mengamati agar K’tut

mendekat. Duff Cooper serta istrinya ramah sekali pada K’tut. Wayan dan

Nyoman membukakan pintu mempersilahkan mereka masuk mobil. Mereka

(46)

Setelah sampai di hotel, mereka berbincang asik. Perbincangan itu terputus

karena ada pemuda dari kampung tempat para penari datang memberi kabar

buruk. Para penari diancam oleh manajer Bali Hotel dan wakil perusahaan

perkapalan Belanda. Para penari diancam kalau mereka menari di tempat K’tut,

mereka tidak akan pernah dipanggil menari di Denpasar.

Sesaat setelah laporan pemuda itu, K’tut langsung pergi mendatangi

Asisten Residen yang kedudukannya di atas kontrolir. K’tutu mengancam jika

ancamam kepada para penari tidak dicabut, ia akan membeberkan kejadian itu

pada para pers di Inggris. Belanda pasti akan merasakan pembalasan yang datang

dari pemerintah Inggris. K’tut juga mengancam akan mengirim surat pada

Gubernur Jendral Belanda di Batavia.

Siang harinya, saat K’tut duduk-duduk di bar bersama suami-istri Pol,

seorang pejabat Belanda masuk dan mengajak K’tut berbicara. Ia menjelaskan

bahwa penari akan datang. Residen tidak tahu mengenai ancaman dari pihak Bali

Hotel dan perwakilan perusahaan perkapalan. Setelah kabar itu, pesta berlangsung

malam harinya tanpa kendala.

Suatu hari K’tut terbangun pagi-pagi karena ada yang menggedor-gedor

pintu. Seorang penerbang membawa kabar bahwa Armada Amerika di Pearl

Harbor ditenggelamkan Jepang. Jika Meneer Daan dan Captai Kilkenny ada,

sebaiknya K’tut juga menyampaikan kabar ini pada mereka.

Malam harinya Daan kembali ke Jawa, ia harus melapor. Ia seorang

(47)

harinya. Saat itu K’tut ditawari untuk pulang, namun Ktut tidak bisa menerima

ajakan itu. K’tut tidak bisa membayangkan jika ajakan itu diterimanya, bagaimana

Captain Kilkenny akan mengusahakannya. Salah seorang penerbang kenalan K’tut

yang biasa terbang bolak-balik ke Jawa datang membawa surat. Surat itu dari

Anak Agung Nura yang berisi, K’tut harus segera menutup hotel dan capat-cepat

pergi ke puri ayahnya. Nura mengkawatirkan jika Jepang akan segera sampai di

Bali.

K’tut dinasehati semua kenalannya. Namun, K’tut tetap tidak mau pergi

dari Bali. K’tut berpendapat, Belanda saja tidak bisa mengusir. Jepang juga tidak

akan bisa seperti yang tergambar berikut:

(26) Semua menasehati aku agar dengan segera pergi meninggalkan bali, walau bermacam-macam yang ada mengenai kapan Jepang akan sampai di Jawa. Teteapi aku sudah bertahun-tahun tinggal di Bali. Pulau itu sudah menjadi tanah airku yang kedua. Jika Belanda tidak berhasil memaksaku pergi, masa Jepang akan bisa? Aku datang ke Bali, karena memdambakan kedamaian dan kebebasan. Mingkin kebebasan yang sebenarnya akan kucapai dengan jalan menempatkan diri di garis depan perjuangan (hlm. 116).

Pelabuhan udara sangat dekat dengan hotel K’tut. Setiap minggu ada satu

skuadron penerbang yang datang ke Jawa. Sebelumnya, hotel K’tut sangat terbuka

untuk mereka. Sekarang K’tut membukanya lebar-lebar, k’tut tahu para penerbang

nantinya akan memikul tanggungjawab yang sangat besar. K’tut juga tahu bahwa

Swara Segara terancam bahaya, karena di seluruh Bali hanya pelabuhan udara itu

saja yang menarik bagi Jepang untuk diserang dan dibom.

K’tut membuatkan bendera khusus untuk para penerbang. Bendera itu

(48)

berwarna hitam. Huruf itu singkatan dari Darling, Daring Devils, yang berarti

“Setan-setan tersayang yang pemberani”. Bendera ciptaan K’tut terkenal di Bali

dan Jawa, para penerbang muda itu gembira memakai bendera itu. Bahkan ada

juga yang memadang pada mobilnya.

Pejabat kolonial Belanda kemudian menyebarkan desas-desua bahwa K’tut

mungkin mata-mata musuh. Sebagai akibatnya, para penerbang dilarang mampir

ke hotel milik K’tut. Para penerbang muda memprotes keras larangan itu.

Kalangan tinggi Angkatan Udara kerajaan Belanda datang ke hotel K’tut untuk

pemeriksaan. K’tut menyelenggarakan pesta untuk menyambut kedatangan

mereka. Para perwira tinggi sangat menikmatinya, sedang K’tut sibuk

menjelaskan.

(27) Saya menjadi mata-mata itu untuk siapa? Tanyaku. Dan apalah yang bisa saya selidiki. Semuanyakan sudah menjadi rahasia umum. Para penerbang itu terbang ke Darwin di Australia, lalu kembali membawa oleh-oleh untuk istri mereka dengan nama took tempat mereka brebelanja masih tertempel, begitu pula kotak-kotak korek api dengan nama hotel di mana mereka menginap. Betapa dirahasiakan sekalipun kepergian mereka, tetapi masih kelihatan. Saya sama sekali tidak punya kenalan orang Jepang. Saya warga Negara Amerika kelahiran Inggris. Sudah bertahun-tahun saya tinggal di Bali. Saya mempunyai simpanan sekadarnya, dari hasil usaha hotel. Saya ingin mempergunakan untuk menghibur anak buah Anda, sebagai tanda terimakasih pada mereka yang mungkin nanti akan mengorbankan jiwa dalam mempertahankan Pulau Bali. Janganlag sumbangan saya yang sedikit itu dilarang (hlm. 117).

Sebagai hasilnya, larangan dicabut. Para perwira yang mampir malam itu

di hotel milik K’tut, mengirim buah arbei dari Bandung. Sementara itu, bala

tentara Jepang semakin dekat ke Jawa. Para penerbang masih sering datang ke

(49)

dari mereka yang masih hidup. Namun, K’tut tak pernah menyesal bahwa sebelum

tirai turun K’tut masih sempat membuat mereka merasa bahagia.

Jepang semakin dekat, kini Jepang menduduki Singapura. Belanda kaget

mendengar Singapura telah diduduki Jepang. Daerah jajahan Belanda kini

terancam. Di pantai Sanur dan Kuta dipasang pagar kawat berduri sampai tiga

lapis. Di mana-mana bermunculan kubu-kubu pertahanan dan meriam-meriam.

Hotel milik K’tut dipasang juga pagar kawat berduri dan di belakang hotel dibuat

lubang perlindungan. Namun, pekerjaan membuat lubang perlindungan dihentikan

karena dirasa kurang aman. Hanya sebuah lubang pasir dan berdinding papan.

Seorang perwira Belanda meminta dengan sangat agar K’tut mau pergi

dari hotel. Namun, saat itu K’tut merasa bahwa ia sudah benar-benar menjadi

orang Bali. Masyarakat tidak pergi meninggalkan pulau. Mereka tidak bisa pergi,

lagi pula, tidak ada yang tahu apakah Jepang datang sebagai penyelamat atau

penindas baru. Lagi-lagi K’tut mendapat surat dari Anak Agung Nura. Surat itu

masih sama isinya dengan isi surat sebelumnya, Nura ingin K’tut pergi ke Puri

ayahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, K’tut tetap ingin tinggal di hotel

miliknya. Ia bahkan menambah paviliun lagi. K’tut beranggapan bahwa hotel

miliknya merupakan tempat perlindungan yang aman. Ia tidak mau melepasnya.

Suatu hari Wayan datang membawa kabar bahwa Jepang sudah di pantai

Sanur. Wayang menyarankan agar K’tut cepat pergi berlindung. Orang Belanda

sudah berlarian dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian pribumi. Kulit

(50)

Akhirnya K’tut menyadari bahwa ia harus pergi. K’tut pergi ke puri Raja.

Namun, ia ke puri bukan untuk berlindung. K’tut hanya berpamitan ingin pergi.

Ternyata Nura sudah menitipkan surat untuk K’tut yang dialamatkan di puri. Nura

ingin K’tut pergi ke Jawa melalui Gilimanuk. K’tut pergi diantar oleh pelayan puri

menuju hotel. Di hotel K’tut menemui hotelnya masih utuh. Di hotel, ia hanya

berpesan pada Wayan agar menjaga hotelnya. Jika nanti Jepang sampai di Kuta,

pasti hotel dipakai untuk beristirahat oleh pasukan perang Jepang. Layanilah

mereka dengan baik, pesan K’tut terhadap Wayan.

Awalnya, K’tut ingin pergi ke Gilimanuk sendiri dengan menaiki mobil.

Namun, Wayan memaksa untuk mengantar K’tut. Sesampainya mereka di

Gilimanuk, Wayan menagis tersedu melepas K’tut. K’tut menyebrang dengan

menumpang nelayan ikan. Di kapal, K’tut disembunyikan di bawah jala. Selama

perjalanan menuju Jawa, banyak pesawat perang Jepang melintas di atas kapal

nelayan.

Sesampainya di pulau Jawa, K’tut masih harus menunggu kedatangan

Nura. Tidak lama kemudian, Nura datang. Mereka hanya duduk menghadap ke

pantai dan memandangi asap yang memerah dari seberang pantai, itu Bali. Nura

mengatakan bahwa tidak ada yang menyangka kalau Jepang akan mendarat di

Bali bukan di Jawa.

K’tut dan Nura menunggu mobil milik K’tut yang disusulkan

menggunakan perahu dari Gilimanuk. Setelah mobil datang mereka langsung

(51)

lintas utama. Setibanya di Surabaya, semua sudah kacau-balau. Jalanan ramai,

kereta yang biasa melintas penuh dengan orang-orang Belanda yang hendak

mengungsi. Begitu pula dengan penduduk lokal, mereka bergegas pergi

mengungsi ke kampung-kampung. Ternyata, Surabaya telah beberapa kali dibom

oleh pesawat tempur Jepang. Kata orang, Sumatera dan Borneo sudah dikuasai

Jepang. Tidak lama lagi pasti Jepang akan mendarat di Jawa.

Anak Agung Nura merasa cemas akan K’tut Tantri, K’tut pasti akan

menjadi bulan-bulanan Jepang. Oleh karena itu, Nura pergi ke Solo untuk melihat

kemungkinan K’tut tinggal di Keraton Solo. Sementara itu, K’tut ditinggal di

Surabaya. Ia tinggal di hotel Oranje, salah satu hotel yang terkemuka di Surabaya.

Untuk sementara, keadaan K’tut nyaman, namun tidak tenang. Orang-orang yang

sehotel dengan K’tut kebanyakan orang Jerman dan orang Belanda.

Konsulat Amerika sudah ditutup, para personelnya sudah diungsikan.

Namun suatu komisi militer Amerika masih ditempatkan di Surabaya. Sambil

menunggu Nura datang dari Solo, K’tut menawarkan diri untuk membantu di

komisi militer Amerika. Ia dijadikan sopir oleh kolonel yang bernama Yankee

Cekakakan. Nama Cekakakan diambil dari kebiasaan kolonel itu yang selalu

tertawa terbahak-bahak.

Kolonel Yankee berhasil membesarkan hati penduduk yang ketakutan,

dengan cara tidak ikut bersembunyi dalam lubang perlindungan apabila ada

(52)

(28) “Bidikan setan-setan kuning itu payah. Bahkan sisi lumbung Ratu Wilhelmina pun takkan bisa mereka kenai,” serunya mencemooh. Rakyat mengagumi semangatnya. Ke mana pun ia pergi, selalu ada yang mengikuti (hlm. 128).

Dari ketabahan hati kolonel Amerika itu, K’tut belajar untuk bersikap ulet,

tawakal menghadapi bahaya yang mengancam. Kolonel itu menasehati K’tut

untuk tidak takut. Kemana pun perginya bersembunyi menghindari serangan bom,

jika sudah ditakdirkan mati, pasti akan mati juga kena bom. Beberapa hari

kemudian setelah nasehat itu, sebuah lubang persembunyian terkena bom. Semua

yang ada di dalam lubang persembunyian itu mati. Sejak itu, K’tut tidak mau

repot-repot memikirkan keselamatan dirinya.

Tugas-tugas kolonel itu berkaitan dengan dua kapal yang berlabuh did ok

Surabaya. Kapal-kapal itu berisi makanan, mesiu, dan obat kina. Suatu hari,

pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom di dekat kapal-kapal itu berlabuh.

Untung saja tidak tepat pada sasaran. Kolonel berpikiran bahwa kapal-kapal itu

harus segera diberangkatkan sebelum Jepang benar-benar menjatuhkan bom tepat

di kapal-kapal itu.

Kolonel mengambil sebuah peta, ditunjukannya sebuah teluk kecil dekat

Pasuruhan pada K’tut. Ia mengatakan bahwa malam ini kapal-kapal itu akan

berangkat menuju teluk kecil itu. Sebelum fajar seharusnya kapal sudah sampai di

teluk kecil itu. Ia meminta agar K’tut berangkat menjemput dengan menggunakan

Referensi

Dokumen terkait

Studi Eksplorasi Anthropometri Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Teknik Kendaraan Ringan di Kota Bandung Universitas Pendidikan Indonesia 2015.. Salah satu tujuan

Penguji pada Sidang Tugas Akhir tanggal 17 Oktober

SPR juga bertanggungjawab dalam memastikan rakyat yang layak diberi peluang berdaftar sebagai pemilih seterusnya mengundi dalam pilihan raya, baik pilihan raya

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, sedangkan bentuknya menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Lokasi penelitian ini di Sekolah Dasar. Alat

Penelitian ini ditujukan untuk memahami berbagai hal yang berkaitan dengan pengaruh tingkat sosialisasi politik mahasiswa terutama di Fisip Undip melalui media

Uraian mengenai latar belakang kehidupan ekonomi, pendidikan dan politik akan bisa menjelaskan mengenai lahirnya jiwa nasionalisme dari Mohammad Hatta, sehingga ia akan

Berdasarkan hasil penelitian di temukan bahwa pada dasarnya data inflasi bahan makanan di Indonesia menunjukkan perilaku yang cukup baik, meskipun mempunyai volatilitas yang

Dalam Kisah Para Rasul 2:36 Petrus mengatakan, 'Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan