• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENETAPAN VONIS HAKIM

B. Hal - hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim

Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis Hakim tidak diperkenankan menunda-nunda persidangan tersebut. Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak berkenan menunda-nunda persidangan tersebut, pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBG menyebutkan :

“Pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah

pihak dan tidak boleh diperintahkan pengadilan negeri karena jabatannya, melainkan

41

dalam hal yang teramat perlu. Dalam praktek hakim terkada selalu lunak sikapnya

terhadap permohonan sidang dari para pihak atas kuasanya.”

Proses pengadilan yang lambat mengenai penentuan kemampuan bertanggungjawab seseorang yang dituduh melakukan kejahatan/ pelanggaran itu mengurangi kewibawaan peradilan dijaman modern sekarang, bahkan dapat berakibat luas diluar peradilan. Namun dalam perkembangannya juga para pelaku kejahatan tersebut cenderung semakin lama tidak mengindahkan mengenai sanksi atau aturan hukumnya dalam proses pengungkapan suatu perkara agar dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.42

Mengenai keterangan ahli secara tertulis atau lisan untuk kepentingan peradilan dahulu didasarkan pada pasal 306 HIR yang letaknya menyisip diantara ketentuan pasal-pasal tentang surat bukti, adapun kewajiban ahli atau dokter untuk membantu petugas hukum yang berwenang diatur dalam pasal 70 HIR. Sedangkan pasal-pasal lainnya mengatur bantuan ahli kedokteran kehakiman, sehingga dianggap tidak termasuk bantuan kedokteran jiwa.

42

Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984). Hal : 24

Ketentuan dalam HIR tersebut sekarang sudah tidak berlaku secara formal, oleh karena itu ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981 diharapkan untuk menjadi dasar bantuan ahli kedokteran jiwa. Peraturan bantuan ahli di dalam KUHAP yang menyangkut peranan ahli kedokteran jiwa tidak begitu jelas pasal-pasalnya, karena ungkapan dan istilah yang tercantum …”ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”…masih meragukan untuk

ditafsirkan termasuk bantuan ahli kedokteran jiwa mengingat makna rumusan pasal dan susunan kronologis pasal yang bersangkutan dengan bantuan ahli tersebut.43

Dalam KUHAP sendiri pada Pasal 186 hanya dikatakan didalamya bahwa

“Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan”.

Sehingga untuk medapatkan ketentuan mengenai keberadaan psychiatry forensik tidak akan dapat ditemukan.

Dahulu menurut “Reglement Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” diatur

mengenai cara-cara atau syarat-syarat untuk memasukkan penderita penyakit jiwa ke Rumah Sakit Jiwa, cara-cara meminta Psychiatry Attest, dan siapa-siapa saja yang

berhak menerimanya serta kepada siapa harus memintanya. Dan menurut “Reglement

Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” tersebut diatas hanya Jaksa atau hakim

(ketua) yang berhak mengirimkan seorang tertuduh yang disangka terganggu jiwanya

43

Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara, 1984). Hal : 25

untuk di Observasi di fasilitas Psychiatry.44 Dengan tidak adanya ketentuan secara jelas dalam KUHAP mengenai keberadaan ahli jiwa ini secara yuridis tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi apabila dalam perkembangannya secara sosiologis meributkan siapa yang berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut terkadang untuk satu ahli psychiatry dengan satunya tentunya akan membawa hasil yang maksimal untuk perkara-perkara yang telah dikemukakan diatas. Secara kenyataan dapat kita sadari bahwa hasil pemeriksaan kedokteran jiwa bagi seseorang yang menjadi obyek pemeriksaan atau keluarganya mempunyai nilai yang sangat pribadi untuk nama baik dan dapat menyangkut hak asasi manusia. Adakalanya norma hukum publik mengandung aturan yang bersifat perintah atau keharusan dengan akibat mengurangi atau menghilangkan hak pribadi seseorang demi penegakkan hukum mungkin sekali membebankan kewajiban hukum yang menurut kelaziman dokter ada pertentangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan hubungan antar etika kedokteran jiwa dengan tanggung jawab yuridis seorang dokter jiwa akan terwujud keseimbangan.

Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka.

Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan

44

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Bandung : Tarsito, 1991). Hal : 81

tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia, juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.45

Dengan melihat pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak mengatur mengenai keberadaan psychiatri forensik dengan jelas maka di sini dapat disimpulkan agar dapat dicantumkannya ketentuan yang mengatur keberadaan psychiatri forensik ini kepada pembuat perundang-undangan untuk mengamandemen isi dari beberapa ketentuan KUHAP tersebut. sehingga baik secara yuridis maupun sosiologis nantinya dalam perkembangan praktek sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan adanya suatu tindak pidana atau perkara kejahatan dapat terwujud dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun dalam Undang-undang kesehatan mungkin terdapat ketentuan untuk praktis orang yang sakit jiwa saja.

Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara. Sebaliknya, dilain sisi begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaklah dapat bertindak arif dan bijaksana, ketangguhan mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif,

45

Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara,1984). Hal : 28-29

melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya harus dapat dipertanggung jawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negaara, diri sendiri, serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konkretnya, dalam menerapkan hukum acara dan hukum materiil hendaklah hakim tidak memihak dan bertindak adil sesuai pandangan yang objektif guna menjatuhkan putusan secara konkret.46

Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan pidana umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang masing-masing mempunyai kekusasaannya sendiri. Hakim diangkat dan diberhentikan okeh kepala negara hal ini ada dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) No 8 Tahun 1981. Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan nantinya akan mengadili dengan seadil-adilnya tanpa takut oleh pihak siapapun.47

Dengan demikian menurut hemat kami, keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan dalam penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.

Begitu pentingnya peran dan tugas Hakim dalam penegakan hukum, maka dalam hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua persoalan hukumnya (ius curia novit), di mana pada saatnya nanti akan menentukan „hitam putihnya” hukum melalui

46

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 2007)

47

putusan-putusannya. Tidak mengherankan, Hakim sering menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air ini, meskipun harapan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan.48

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka, diperlukan peranan hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat. Perlu ketegasan hakim untuk menolak permononan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan hal itu tidak perlu. Berlarut-larutnya atu ditunda-tundanya jalannya akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada peradilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed is justice deniyed).49

Eksistensi putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan, sangat diperlukan untuk penyelesaian perkara pidana.

Asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan

perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat macam, yaitu:

48

http://masyos.wordpress.com/2008/11/26/penafsiran-hukum-penegak-hukum.

49

Jimmly Asshidiqqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127

1. Paksaan

Dalam uraian yang pertama menjelaskan paksaan menurut Muhammad Al-Khudhari banyak memberikan definisi paksaan sebagai berikut. Paksaan adalah mendorong orang lain atau sesuatu yang tidak diridhainya, baik berupa ucapan atau perbuatan. Sebagai fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut. Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sehingga karenanya hilang kerelaannya.50

Macam-macam paksaan dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.

a) Paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan, yaitu paksaan yang dikhawatirkan akan menghilangkan nyawa. Paksaan ini disebut paksaan absolut. Daya paksa absolut (absolute overmacht) adalah paksaan dimana orang yang dipaksa tidak bisa memilih, kecuali apa yang diminta oleh yang memaksa. Contohnya, seperti orang yang

50

Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 563

fisiknya lebih kuat menangkap tangan seseorang dan menyuruhnya untuk membubuhkan tanda tangan pada suatu surat penting yang telah disediakan.

b) Paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai merusak pilihan, yaitu paksaan yang menurut kebiasaan tidak dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya nyawa seperti dipenjarakan atau dipukuli dengan pukulan yang ringan. Paksaan ini disebut paksaan relatif. Daya paksa relatif (relative overmacht) adalah paksaan dimana orang yang dipaksa masih memiliki kesempatan untuk memilih perbuatan lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan. Contohnya, seorang kasir bank dengan ancama senjata api harus menyerahkan uang kas yang berada di bawah pengawasannya.

Syarat-syarat adanya paksaan, untuk terwujudnya suatu paksaan diperlukan beberapa syarat. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, paksaan dianggap tidak ada dan dengan demikian seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.

a) Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat sehingga dapat menghilangkan kerelaan, seperti ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang berat, dikurung dalam waktu yang lama, dan sebagainya. Ukuran berat dan ringannya suatu ancaman sifatnya subjektif, dan berbeda-beda menurut perbedaan orang dan cara.seseorang mungkin tidak merasa takut dan masih

dapat bertahan dengan beberapa kali pukulan atau cambukan, sementara orang yang lain sudah merasa ngeri dengan satu kali pukulan atau cambukan. Akan tetapi, para ulama telah sepakat bahwa ancaman akan dimaki-maki atau difitnah dengan tuduhan berzina tidak termasuk paksaan. Perintah seorang kepala negara (pejabat) meskipun tanpa disertai ancaman, sudah cukup dianggap sebagai paksaan, apabila dapat diambil kesan bahwa jika perintahnya tidak dilaksanakan maka balasannya adalah adalah pembunuhan atas dirinya, atau penganiayaan berat atau dipenjarakan dalam waktu yang lama. Perintah suami terhadap istrinya disamakan dengan perintah seorang atasan terhadap bawahannya, jika dikhawatirkan akan timbul cara-cara pemaksaan dari suami apabila istri tersebut tidak taat.

Para ulama juga telah sepakat bahwa ancaman dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada diri orang yang dipaksa. Apabila ancaman tersebut ditujukan kepada orang lain yang terdapat bersama-sama dengan orang yang dipaksa maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyyah, ancaman sudah merupakan paksaan, meskipun ditujukan kepada orang lain dan bukan keluarganya. Menurut sebagian ulama Hanafiah, ancaman tidak dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada orang yang dipaksa. Akan tetap, ulama Hanafiah yang lain berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancama ditujukan kepada anaknya, atau orang tuanya, atau keluarganya. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama Syafi‟iyyah. Ulama

ditujukan kepada anak satu orang tuanya.51 Ancaman juga di isyaratkan harus berupa pebuatan yang tidak sah. Apabila perkara yang diancamkan itu berupa perbuatan yang sah atau dibenarkan oleh hukum maka tidak ada paksaan. b) Ancaman harus seketika yang diduga kuat terjadi,jika orang yang dipaksa

tidak melaksanakan keinginan pemaksa. Apabila ancaman tidak seketika maka tidak ada paksaan, karena orang yang dipaksa masih mempunyai kesempatan untuk melindungi dirinya dan pada saat itu tidak ada dorongan yang kuat untuk segera melaksanakan perintah pemaksa.

c) Orang yang memaksa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ancamannya, walaupun ia bukan penguasa atau petugas tertentu. Apabila orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan.

d) Ada dugaan yang kuat pada diri yang dipaksa, bahwa apabila ia tidak memenuhi tuntutannya apa yang diancamkan itu benar-benar akan terjadi. Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan yang terjadi. Dalam konteks ini perbuatan dibagi menjaditiga kelompok. Pertama, perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, artinya perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai jarimah. Kedua, perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan, artinya perbuatan tidak dianggap jarimah. Ketiga, perbuatan yang dibolehkan sebagai pengecualian, artinya perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak dikenakan hukuman.

51

Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 356-357

2. Mabuk

Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman keras (syurbul khamar) termasuk jarimah hudud yang ancamannya adalah delapan puluh kali cambukan.

Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, para ulama telah sepakat semua jenis minuman yang memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak, hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara khamar dan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit atau banyak, baik mabuk atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk minuman keras selain khamar, baru dihukum apabila sampai memabukkan.bahan minuman khamar itu adalah perasan anggur yang direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.52

Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Menurut Imam Abu Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah kehilangan akal pikirannya, baik banyak ataupun sedikit, ia tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi, dan antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraanya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 43 :

52

Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 581-582

                                                                    

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk.

Adapun pertanggung jawaban pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat dari ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum minuman keras untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang mabuk tersebut ketika ia melakukan perbuatannya, sedang hilang akal dan pikirannya, sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan sendiri dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus bertanggung jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia mabuk. Hukuman tersebut

diberikan kepadanya sebagai pengajaran, karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara disengaja.53

Di samping pendapat yang kuat tersebut, dikalangan ulama mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat, yaitu bahwa orang yang mabuk tidak dibebani pertanggungjawaban atas semua perbuatan jarimah yang dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal pikirannya sedang hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya pertanggung jawaban pidana.54

Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap dikenakan, sebab jiwa dan harta orang laintetap harus dijamin keselamatannya dan pembebasan dari hukuman pidana tidak mempengaruhi hukuman perdata.

3. Gila

Syariat Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berfikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban menjadi terhapus. Kemampuan berfikir seseorang itu dapat hilang karena faktor bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat fisik. Hilangnya kemampuan berfikir tersebut dalam bahasa sehari-hari

53

Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 583

disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai hilangnya akal, rusak, atau lemah.55 Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas, sehingga mencakup gila, dungu, dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilankan idrak (kemampuan berfikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berfikir maupun sebagainya.

a. Gila terus menerus, gila terus menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat berfikir sama sekali, baik baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating demikian. Dikalangan fuqaha gila semacam ini disebut Al-Junun Al-Muthbaq.

b. Gila berselang orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berfikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana ketika ia dalam kondisi sehat.

c. Gila sebagian, gila sebagian ini menyebabkan seseorang tidak dapat berfikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkar-perkara yang lain masih tetap dapat berfikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berfikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berfikir, ia bebas dari pertanggung jawaban pidana.

55

Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 585

d. Dungu (al-ithu), para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi orang dungu sebagai berikut. Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres fikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.56

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda dengan gila, karena dungu hanya mengakibatkan lemahnya berfikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berfikir, sesuai tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berfikirnya dengan orang biasa (normal).

Menurut sebagian fuqaha kekuatan berfikir orang dungu sama dengan orang yang sudah mumayyiz (lebih kurang berumur antara tujuh sampai lima belas tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan anak yang belum mumayyiz, karena fikirannya yang tidak stabil itu secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.

4. Di bawah umur

Konsep yang dikemukakan dalam Syariat Islam tentang pertanggungjawaban anak dibawah umur merupakan konsep yang sangat baik.

56

Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 587

Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berfikir dan pilihan. Sehubungan dengan kedua dasar tersebut maka kedudukan anak dibawah umur berbeda-beda sesuai dngan perbedaan masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki

Dokumen terkait