• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR KEJIWAAN DALAM PENETAPAN TINDAK PIDANA DAN PENJATUHAN VONIS HAKIM

B. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Positif Serta Penjatuhan Vonis Hakim

Tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) adalah apabila yangdidakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Pertimbangan hakim yang lain adalah apabila terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan penghapus pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus

60

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 173

dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhi pidana.61 Dalam Konsep KUHP yang baru dikenal ada 2 alasan penghapus pidana yaitu:

1. Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yangdikenal dengan istilah actus reus diNegara Anglo saxon.Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 31,32,33,34,35,yang berbunyi : Pasal 31 menyatakan :

Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan.

Walaupun memenuhi rumusan tindak pidana, seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dianggap tidak melawan hukum dan oleh karena itu tidak dipidana.

Pasal 32 menyatakan :

Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Seseorang dapat melaksanakan undang-undang oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika ia melaksanakan perintah tersebut maka ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

61

Pasal 33 menyatakan :

Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan darurat.

Ada beberapa ahli yang menggolongkan ” keadaan darurat ” sebagai alasan

pembenar namun adapula yang menggolongkannya sebagai alasan pembenar. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu : Perbenturan antara dua kepentingan hukum, dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hokum, dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya.

Pasal 34 menyatakan :

Tidak dipidana, setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain.

Dalam pembelaan terpaksa perbuatan pelaku memenuhi rumusan suatu tindak pidana, namun karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut maka perbuatan tersebut dianggap tidak melawan hukum

Pasal 35 menyatakan :

Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

2. Alasan Pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon. Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 42,43,44,45,46 yang berbunyi :

Pasal 42 menyatakan :

a. Tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya

b. Jika seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan

Ketentuan dalam Pasal ini berisikan ketentuan alasan pemaaf. Yang dimaksud

dengan “alasan pemaaf” adalah alasan yang meniadakan kesalahan terhadap pelaku

tindak pidana, oleh karena itu pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pelaku tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat alasan pemaaf tersebut maka pelaku tindak pidana tidak dipidana. Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mengetahui keadaan yang merupakan unsure suatu tindak pidana, maka hal itu menjadi alasan tidak dipidananya pembuat tindak pidana.

Pasal 43 menyatakan :

Tidak dipidana seseorang yang melakukan tindak pidana karena: a. Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau b. Dipakasa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari

Ketentuan dalam Pasal ini sebagaimana juga dalam Pasal 42 berisi ketentuan alasan pemaaf. Selanjutnya yang dimaksud dengan “daya paksa” adalah keadaan

sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Mengingat keadaan yang ada pada diri pembuat tindak pidana , maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. Pembuat tindak pidana tindak pidana yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh daya paksa, terpaksa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu karena didorong oleh suatu tekanan kejiwaan yang datangnya dari luar. Dalam keadaan demikian kehendak pembuat tindak pidana menjadi tidak bebas. Dengan adanya tekanan dari luar tersebut, maka

keadaan kejiwaan pembuat tindak pidana tindak pidana pada saat itu tidak berfungsi secara normal. Keadaan ini berbeda dengan keadaan tidak mampu bertanggung jawab.

Dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, fungsi kejiwaannya tidak normal bukan disebabkan karena tekanan dari luar, melainkan keadaan kejiwaanya itu sendiri tidak berfungsi secara normal. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan-keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” adalah vis

absoluta (daya paksa absolut). Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya

ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah vis compulsiva

(daya paksa relatif). Pasal 44 menyatakan :

Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas,yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera.

Pasal 45 menyatakan :

Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintahTersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Pasal 46 menyatakan :

Termasuk alasan pemaaf ialah : a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1).

Begitu pula dalam hukum pidana suatu delik dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya mencuri ada dalam pasal 362 KUHPidana, menipu pasal 378 KUHPidana dan lain sebagainya. Kemampuan bertanggung jawab dalam kasus pidana umunya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang diatur malah sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab seperti yang ada dalam sub bab sebelumnya.62

Mengenai hapusnya hukuman maka ada empat perkara, yaitu terpaksa, mabuk, gila, dan belum dewasa. Pada masing-masing perkara ini pembuat melakukan

perbuatan yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang seharusnya

dijatuhi hukuman, karena adanya hal-hal yang terdapat dari diri pembuat, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Jadi dasar pembebasan hukuman ialah keadaan diri pembuat dan hal ini dengan kebolehan perbuatan yang dilarang karena dasar kebolehan ialah sifat perbuatan yang mengakibatkan perbuatan tidak dilarang.

62

Pada hukum positif hal-hal yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana tersebut tidak dipisah-pisahkan karena semuanya dimasukan dalam hal-hal yang menghapuskan hukuman. Tanpa melihat apakah perbuatan-perbuatan yang dikerjakan, karena hal-hal tersebut dibolehkan dan tidak dijatuhi hukuman, ataukah perbuatan-perbuatan tersebut tetap dilarang tetapi perbuatannya tidak dijatuhi hukuman.

Dalam pertanggung jawaban pidana (kesalahan), konsep menegaskan secara

explicit dalam pasal 35 ayat (1) ”asas tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf

zonder schuld), Keine Strafe onhe Schuld, no pusnishment without Guilt, yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara explicit didalam konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolute. Oleh karena itu, konsep juga kemungkinan dalam hal-hal tetentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas

vicarious liability dan asas pemberian maaf/pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon).

Menurut Ruslan Saleh sehubungan dengan alasan penghapusan pidana mungkin karena:

1) Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu kemudian dipandang tidak bersifat melawan hukum atau dengan pendekatan adanya alasan pembenar

2) Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik tetapi setelah dipertimbangkan keadaan-keadaan pada orang-orangnya maka dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan pendek adanya alasan pemaaf.63

Alasan penghapus pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus ( yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa ) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana.64

Dokumen terkait