• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Periode Negara Indonesia sampai Pemerintahan Orde Lama (1945-1965)

4. Memposisikan Diri sebagai Gerejanya Orang-orang Tionghoa Setelah ditinggalkan oleh orang-orang Tionghoa

peranakan, THKTKH Klasis Jatim kini menjadi gerejanya orang- orang Tionghoa Kristen totok. Karakteristik sosio-kultural totoknya diperlihatkan pertama-tama dalam bahasa yang dipergunakan. Tidak seperti orang-orang Tionghoa peranakan di GKI Jatim yang berbahasa Indonesia, orang-orang Tionghoa di THKTKH Klasis Jatim memakai dialek dan bahasa Mandarin (Kuoyu). Lalu, berbeda dari saudara-saudarinya di GKI Jatim yang sebagian besar berkewarganegaraan Indonesia anggota- anggota THKTKH Klasis Jatim adalah orang-orang Tionghoa WNA. Mereka menolak menjadi WNI karena merasa dirinya adalah orang Tionghoa, warga negara Tiongkok, yang tinggal

138 Sidang ini dilaksanakan pada 29 Oktober-8 November 1967.

Utusan yang diutus ialah Pdt. Joseph Tong, Go Yauw Koen dan Daniel Chen. Kurang dari 6 bulan kemudian, nama Gereja Kristus Tuhan secara resmi diterima oleh pemimpin THKTKH Klasis Jatim sebagai namanya yang baru.

139 Nama Gereja Kristus Tuhan tampaknya menjadi usulan tiba-tiba

yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Karena sepulang dari sidang ini, tiga utusan ini harus menghadapi sejumlah protes dari pemimpin klasis yang merasa tidak pernah memberi wewenang kepada ketiganya untuk memutuskan hal itu serta tidak pernah diminta pendapatnya oleh mereka. Lihat Wawancara bp PP, Malang, 7 Agustus 2009.

sementara di Indonesia dan suatu saat nanti akan pulang kembali ke tanah airnya.140 Dengan status kewarganegaraan ini maka dalam soal pendidikan mereka bersekolah di sekolah-sekolah asing Tionghoa, baik itu yang berafiliasi ke Taiwan (sampai tahun 1958) maupun yang ke Tiongkok. Yang lain, khususnya yang berada di Malang, bersekolah di dua sekolah Kristen Tionghoa asing, yang ada di kota tersebut.141 Di sekolah-sekolah ini bahasa pengantar pembelajaran ialah bahasa nasional Tiongkok (bahasa Mandarin).

Di kota Surabaya ada dua sekolah menengah favorit yang paling diminati, yaitu Chung Chung dan Sin Chung. Dua sekolah ini berafiliasi ke Tiongkok komunis. Sebelum sekolah asing Tiongkok nasionalis (Taiwan) dilarang dan ditutup tahun 1958, ada sebuah sekolah menengah lain yang juga jadi favorit, yaitu Lien Chung.142 Untuk kota Malang, sekolah Tionghoa asing di level menengah yang jadi favorit adalah Machung.143 Dalam sekolah-sekolah ini para siswa dididik berdasarkan kurikulum nasional Tiongkok atau Taiwan. Pemerintah Tiongkok bahkan mensuplai sekolah-sekolah ini dengan bahan ajar dan pendidik demi mencetak siswa-siswi yang mengerti budaya Tionghoa dan punya rasa nasionalisme Tiongkok yang kokoh.144 Di sekolah-sekolah yang berafiliasi ke

140Penjelasan bp SU, via telpon, 24 April 2013.

141 Dua sekolah itu adalah Sekolah Kristen Kalam Kudus (SKKK) dan Sekolah Kristen Kalam Indah (SKKI). SKKK punya hubungan dekat dengan MAAT karena pendirinya sama. Sementara SKKI didirikan misionari-misionaris dari badan misi Chinese Foreign Mission

Union (CFMU).

142Wawancara bp SU, Surabaya, 24 April 2013. 143 Ibid.

144

Lihat Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 156-162. Ia menjelaskan bahwa sekolah-sekolah asing Tiongkok ini merupakan tempat di mana anak-anak Tionghoa mengalami proses ”dicinakan.” Dari sudut pandang indoktrinasi nasionalisme Tiongkok, Williams menemukan bahwa sekolah-sekolah asing Tiongkok ini merupakan tempat di mana nasionalisme ditanamkan dan ditumbuh-suburkan. Lihat Williams dalam Comparative Education Review Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958): 12-17.

Tiongkok komunis, siswa-siswinya bahkan diperkenalkan dengan ajaran-ajaran Mao dan lain-lain.145

Dalam pergaulan yang lebih luas, sebagian anggota- anggota THKTKH Klasis Jatim aktif dalam perkumpulan- perkumpulan orang Tionghoa yang bersifat kesukuan. Organisasi ini dilihat sebagai medium yang menghubungkan mereka dengan negaranya, dan yang membantu urusan-urusan mereka di sini.146

Para pekerja gerejawi yang bekerja di antara mereka hampir semuanya adalah tenaga-tenaga berkewarganegaraan asing yang berasal Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Singapura, Hongkong dan lain-lain.147 Sebagian sudah bekerja di antara mereka sejak periode kolonial sementara sebagian lagi baru datang belakangan. Mereka diundang oleh jemaat-jemaat yang membutuhkan untuk bekerja di jemaat-jemaat yang anggota-anggotanya sedaerah asal atau yang sebahasa dengan mereka.148 Orang-orang yang tidak sedaerah atau tidak sebahasa boleh bekerja sepanjang tenaga yang sesuai tidak bisa diperoleh. Secara teratur pekerja-pekerja gerejawi Tionghoa dari luar negeri datang melakukan pelayanan-pelayanan singkat seperti Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan lain- lain. Kedatangannya dapat karena undangan sebuah jemaat atau Klasis; atau oleh kerja sama dengan jemaat-jemaat Tionghoa totok yang berada di daerah-daerah lain di pulau Jawa.149

145Wawancara bp SU, Surabaya, 24 April 2013. 146

Penjelasan bp SU,via telpon, 24 April 2013.

147

Satu-satunya yang bukan adalah Pdt. Lauw Siok Ling (Petrus Prasetya), seorang Tionghoa peranakan, yang melayani sebagai pendeta jemaat Kanton, yang sejak pertengahan 50-an, sudah mempergunakan bahasa Indonesia.

148 Sebagai contoh, pada awal 1954 gereja THKTKH jemaat Amoy,

Surabaya, mengundang Pdt. Tse Tak Yan dari Tiongkok untuk melayani mereka. Lihat Madjallah Bulanan D.G.K.T.I. Dewan Geredja2 Keristen di Indonesia, No. 53, April 1954: 24.

149 Sebagai contoh pada bulan Mei-Juli 1950 THKTKH Klasis Jatim

mengundang Pdt. Chua Sing Tik dari Gereja Methodist Malaysia untuk mengadakan KKR di sejumlah gereja di beberapa kota di Jawa Timur. Lihat

Madjallah Dewan Geredja-geredja Keristen Tionghoa (T.H.K.T.K.H.) di Indonesia,

Bila pada zaman Jepang mereka kesulitan mendapatkan tenaga pekerja gerejawi, pasca terusirnya Jepang dari Indonesia keadaan sedikit demi sedikit membaik. Kalau jemaat-jemaat Tionghoa peranakan mendapatkan pekerja-pekerja gerejawinya dari STT Jakarta, Sekolah Menengah Teologi Balewijoto, Malang, dan Akademi Teologi Yogyakarta maka jemaat-jemaat THKTKH Klasis Jatim membatasi tenaga pekerja gerejawinya pada tenaga- tenaga etnis Tionghoa yang paham berbahasa Tionghoa. Tenaga- tenaga tersebut lebih banyak diperoleh dari luar negeri atau dari gereja-gereja Tionghoa di wilayah lain di Indonesia. Di tempat- tempat di mana tenaga yang diharapkan belum ada maka yang bertanggung jawab membina kehidupan rohani jemaat adalah tokoh-tokoh jemaat setempat yang diangkat sebagai Guru Injil.150

Keadaan mulai membaik setelah Madrasah Alkitab Asia Tenggara (MAAT) pindah lokasi ke Malang pada tahun 1954. Sekolah teologi ini awalnya didirikan di Bandung pada tahun 1952 oleh Pdt. Andrew Gih, seorang pekabar Injil keliling dari Hongkong. Maksud pendiriannya adalah untuk mensuplai kebutuhan pendeta dan guru-guru Injil di jemaat-jemaat Tionghoa totok di seluruh Indonesia.151 Para dosen yang mengajar di sekolah ini adalah orang-orang Tionghoa asing yang berasal dari

150 The Tjik Kie, tokoh jemaat Hinghwa dan Ketua THKTKH Klasis

Jatim periode 1950-1952, adalah seorang pengkhotbah awam. Sehari-harinya ia adalah seorang pengusaha. Khotbah-khotbahnya sering dimuat dalam majalah DGKTI, baik dalam edisi bahasa Indonesia maupun dalam edisi bahasa Mandarin.

151 Pdt. Andrew Gih dilahirkan di Shanghai, Tiongkok, tahun 1901.

Ia tercatat pernah bekerja sama dengan Pdt. John Sung mengadakan KKR di berbagai tempat di Tiongkok sampai sebelum pemerintahan Komunis berkuasa. Pada tahun 1947 ia mendirikan Evangelize China Fellowship (ECF). Di bawah organisasi ini ia melakukan perjalanan KKR ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Sejumlah kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Pada tahun 1952 bersama sejumlah orang ia mendirikan MAAT dan sekaligus menjadi dosen dan rektornya yang pertama. Tahun 1954 MAAT pindah ke Malang dan dipimpin oleh Pdt.

James Hui, yang berasal dari Taiwan. Lihat “Sejarah Gereja dan Sekolah

Kristen Kalam Kudus” dalam

http://www.sinodekalamkudus.org/sejarah.php (diakses pada 18 April 2013).

Tiongkok, Taiwan dan tempat-tempat lainnya. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Tionghoa (Mandarin). Mereka yang masuk ke sekolah ini diharuskan mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Tionghoa. Sebagian lulusannya bekerja di gereja THKTKH Klasis Jatim.

Dengan tersedianya tenaga pekerja gerejawi maka proses pembinaan umat berjalan lebih baik dan sayap pelayanan dapat diperluas ke kota-kota lain di Jawa Timur. Di kota-kota sekitar Surabaya dan Malang, seperti Kediri, Probolinggo, Lumajang, Batu dan lain-lain mulai didirikan jemaat-jemaat untuk orang- orang Tionghoa totok yang ada di situ. Mereka yang disasar adalah orang-orang Tionghoa yang sesuku-sebahasa, yang dikenal lewat jaringan perdagangan, persahabatan atau hubungan keluarga. Penjangkauan dilakukan lewat kunjungan dari rumah ke rumah. Setelah ditemukan jumlah yang cukup kemudian dibentuk sebuah stasiun pekabaran Injil mandiri, yang disebut Pos Pekabaran Injil (Pos PI). Anggota-anggota Pos PI yang ada kemudian secara mandiri bergerak menjangkau orang-orang Tionghoa totok lain yang dikenal, yang berada di kota masing- masing.

Setelah kesempatan untuk menjadi WNI pasca kesepakatan KMB dilepaskan, kesempatan berikutnya datang lagi bersamaan dengan dikeluarkannya undang-undang kewarga- negaraan baru, UU No. 62 tahun 1958. Namun sekali lagi, para pemimpin dan anggota-anggota jemaat THKTKH Klasis Jatim tetap tidak mau memilih menjadi WNI.152 Masa “anugerah” dua tahun dibiarkan lewat begitu saja. Sebagian malah memilih menyambut panggilan pemerintah Tiongkok untuk pulang kembali ke tanah airnya lantaran kecewa dengan berbagai kejadian

152 Kesempatan pertama memilih menjadi WNI adalah dalam masa

dua tahun yang ditetapkan oleh KMB 1949, yang dimulai dari 27 Desember 1949-27 Desember 1951. Dalam kesempatan ini tidak ada catatan ada orang- orang Tionghoa Kristen di GKT yang memilih kewarganegaraan R.I.

buruk yang menimpa orang-orang Tionghoa.153 Akibatnya, sampai tahun 1969 hampir semua pemimpin dan pelayan rohani yang bekerja di gereja ini adalah warga negara asing.154

Setelah berpisah dari jemaat-jemaat peranakan, kepemimpinan di tubuh THKTKH Klasis Jatim beralih dari The Tjik Kie, tokoh jemaat Hinghwa, Surabaya, kepada Koo Twan Tjhing, tokoh jemaat Fuzhou, Malang. Sejak itu pusat kegiatan THKTKH Klasis Jatim berpindah ke Malang, dengan kantor pusatnya di Jalan Argopuro 6. Melewati tahun-tahun sulit mulai pertengahan lima puluhan sampai awal enam puluhan, gereja ini tidak kehilangan semangat untuk terus memberitakan Injil kepada orang-orang Tionghoa totok. Sampai tahun 1965, THKTKH Klasis Jatim telah memiliki empat belas jemaat dan sejumlah pos pekabaran Injil di beberapa kota di Jawa Timur dan Bali. Selain empat jemaat di Surabaya dan dua jemaat di Malang yang masih memakai dialek selain bahasa Mandarin, jemaat-jemaat di kota- kota lain hanya mempergunakan bahasa Mandarin saja. Tidak diketahui dengan pasti kapan dan alasannya namun secepat- cepatnya pada akhir tahun 50-an Jemaat Kanton di Malang diketahui sudah tidak lagi memakai dialek itu. Seluruh aktivitas dan kegiatan kini memakai bahasa Indonesia. Sampai tahun 1965 inilah satu-satunya jemaat dalam lingkungan THKTKH Jatim yang sudah memakai bahasa Indonesia.

153 Sebagian jemaat GKT Genteng-Banyuwangi meninggalkan

Indonesia akibat peraturan ini. Lihat Tjwanda Holly, “Merenung Masa

Silam, Melihat Masa Depan” dalam Panitia HUT, 50th GKT Genteng, 28. Bnd. Wawancara bp SA, Surabaya, 9 Februari 2010.

154 Karenanya setiap tahun Badan Pengurus Sinode GKT harus

mengajukan izin tidak membayar pajak orang asing bagi mereka. Sebagian besar berada di Malang dan Surabaya. Di Malang adalah Pdt. Tong Tjong Hway, Pdt. Ie Tjin Sin, Ev. Koo Twan Tjhing, Ev. Daniel Chen, Ev. Wu Mu Tek, Ev. Lioe Yiok Hwa, Ev. Ko Lie Ong, Ev. Koo Siok Ting, Ev. Tan Kiauw Tin. Lihat lampiran Surat Sinode GKT kepada Kepala Bagian Pendapatan Kota Malang No. 203/Sek/AK/68-70 tertanggal 29-11-1969. Untuk Surabaya adalah Pdt. Yio Pek Eng, Pdt. Tsang To Hang, Pdt. Ong Beng Bian, Ev. Chiang Wing An, Ev. Siauw Kong Jan, Ev. Tong Tjong Eng, Ev. Wong Shu Ling dan Ev. Liem Gie Ging. Lihat Surat Walikota Surabaya kepada Pengurus Sinode Geredja Kristus Tuhan No. 3500/1255 tertanggal 28 Desember 1968.

D. Penutup

Sketsa singkat ini hendak memperlihatkan bahwa orang- orang Tionghoa Kristen di GKT memiliki karakteristik budaya Tionghoa yang khas. Di dalam konfigurasi budaya peranakan dan totok, mereka memilih berada di sisi totok, dengan bahasa Tionghoa dan kelompok-kelompok jemaat yang terbagi dalam dialek bahasa dan daerah asal sebagai faktor-faktor pembeda satu dari yang lain.

Ketionghoaan secara sengaja dirawat dan dijaga dengan menjaga kelompok keagamaannya tetap fokus pada menjangkau dan melayani orang-orang Tionghoa berbahasa Tionghoa. Pekerja- pekerja gerejawi yang diundang melayani gereja adalah orang- orang Tionghoa, yang sedapat-dapatnya sesuku dan sebahasa. Lembaga pendidikan teologi yang dipilih untuk mempersiapkan calon-calon pekerja gerejawi adalah lembaga pendidikan yang khusus menyiapkan tenaga pekerja gerejawi untuk bekerja di lingkungan gereja-gereja Tionghoa.

Ciri khas ketionghoaannya juga dirawat dengan mengirim anak-anaknya belajar di sekolah-sekolah asing Tionghoa, baik yang berafiliasi kepada Taiwan maupun kepada Republik Rakyat Tiongkok (RRT), serta sekolah Kristen Tionghoa asing. Di sekolah-sekolah ini bahasa pengantar yang dipakai ialah bahasa Tionghoa dengan kurikulum dan materi pembelajaran yang diimpor dari Tiongkok atau dari tempat lainnya.

Secara politis hampir semuanya adalah warganegara asing. Dua kali kesempatan menjadi WNI diabaikan, bahkan meski di bawah tekanan Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (PP 10) tentang perdagangan orang asing, mereka bersikukuh tetap menjadi warga negara asing. Sejumlah orang malah memilih pulang kembali ke negeri leluhurnya.

Dokumen terkait