C. Periode Negara Indonesia sampai Pemerintahan Orde Lama (1945-1965)
3. Perpecahan dalam Tubuh THKTKH Klasis Jatim
Memasuki dekade 50-an, dua kelompok orang Tionghoa Kristen ini menemukan bahwa perbedaan-perbedaan yang selama
124 Gunawan, Benih Yang Tumbuh, 42.
125 Madjallah Geredja-geredja Keristen Tionghoa (T.H.K.T.K.H) di Indonesia Juni 1950: 16.
126 Jemaat di kota Genteng, Banyuwangi, dilaporkan berawal dari
sejumlah orang Tionghoa dari Tiongkok yang bersekutu bersama pada tahun 1946. Lihat Panitia HUT 50 GKT Genteng, 50th GKT Genteng (Genteng: Panitia HUT GKT Genteng Ke-50, 1996), 11.
127 Pada tahun 1925 telah dilaporkan oleh Pdt. Harry C. Bower
bahwa di seputar Jember sudah ada sejumlah orang Tionghoa Kristen. Mereka bahkan meminta kepadanya agar Badan Misi Luar Negeri Methodist mengutus seorang pengkhotbah untuk melayani mereka. Lihat Minutes of the Seventh Session of the Netherland Indies Mission Conference of the Methodist Episcopal Church, Buitenzorg, Java, Januari 22nd to 25th, 1925: 22. Keadaan ini terus seperti itu sampai pada tahun 1948 dimulai sebuah kelompok pemahaman Alkitab di rumah Weed Wan Hoo. Dari perkumpulan pemahaman Alkitab ini lahirlah jemaat Tionghoa totok di Jember.
ini ada di antara keduanya tidak bisa lagi diabaikan begitu saja. Jarak perbedaan makin melebar ketika masing-masing harus menentukan pilihan kewarganegaraan pasca kesepakatan KMB. Walau tidak mendorong anggotanya untuk memilih kewarganegaraan Indonesia namun sebagian besar orang Tionghoa peranakan Kristen dalam THKTKH Klasis Jatim memilih menjadi WNI.128 Pilihan itu mendorong mereka untuk membuat kebangsaan Indonesia semakin “mewarnai segenap aspek kehidupan sesuai dengan pemahaman dan keyakinan imannya.”129
Yang lain, mereka pun mendapati bahwa sebagian besar dari antara mereka “tidak dapat [lagi] berbahasa Mandarin” dan aspirasi budayanya “sudah makin berorientasi kepada budaya bangsa Indonesia.”130 Di titik ini mereka mendapati perbedaannya yang sangat menyolok dengan jemaat-jemaat totok yang cenderung memisahkan diri dari masyarakat dan budaya Indonesia serta “masih beraspirasi kepada budaya Tiongkok.”131 Karenanya, sejak awal 50-an THKTKH Klasis Jatim sudah terbelah dua menjadi Seksi Gereja-gereja Berbahasa Indonesia dan Seksi Gereja-gereja Berbahasa Tionghoa.
Setelah berjalan beberapa saat keduanya secara de facto berpisah pada tahun 1954. Kelompok peranakan tidak lagi memakai nama THKTKH Klasis Jatim melainkan mulai memakai nama Synode THKTKH Jatim. Pada sidang Klasis tahun 1956, kelompok totok dan peranakan bertemu untuk membicarakan masa depan masing-masing. Perpisahan yang sudah terjadi secara de facto sejak 1954 kini diakui secara de jure.132 Sidang kemudian memutuskan bahwa jemaat-jemaat yang saat itu sudah memakai bahasa Indonesia didorong bergabung ke dalam Synode THKTKH
128 Madjallah Bulanan Dewan Geredja-gerdja Keristen Tionghoa di Indonesia, Tahun ke 4, No. 27, Pebruari 1952: 2-3.
129Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14, 41.
130 “Selayang Pandang Kehidupan Oikumenis GKI Jatim” dalam Buku Kenang-kenangan HUT Ke-50 GKI Jawa Timur, tanpa nomor halaman.
131 Ibid.
132 Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14, 43; Setiawan, Sejarah Gereja Kristus Tuhan Jemaat Nazareth, 20.
Jatim sementara yang berbahasa Tionghoa tetap tinggal dalam THKTKH Klasis Jatim.133 Dua tahun kemudian, kelompok peranakan mengubah namanya menjadi Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (GKI Jatim). Orang-orang Tionghoa totok tetap memakai nama yang lama, Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Klasis Jawa Timur (THKTKH Klasis Jatim).
Masalah kemudian timbul terkait keanggotaan mereka dalam Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Pada tahun 1957 jemaat-jemaat peranakan sempat mengusulkan kepada DGI agar keduanya dicatat sebagai dua anggota dengan nama yang berbeda. Yang totok diusulkan dengan nama Khu Hwee T.H.K.T.K.H. Djawa Timur sementara yang peranakan dengan nama Synode T.H.K.T.K.H. Djawa Timur.134 Namun sampai akhir tahun 50-an DGI masih belum menunjukkan sikap apa-apa kepada usulan tersebut. Memasuki dekade 60-an, dalam Sidang Lengkap Ke IV DGI pada tahun 1960 masalah itu akhirnya disentuh juga. Kerangka pikir yang dipergunakan adalah kebijakan pemerintah mengenai kewarganegaraan orang Tionghoa. Bagi DGI solusi terbaik bagi masalah orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah menjadi WNI dan mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat Indonesia.135 Itu artinya, orang-orang Tionghoa totok Kristen yang berkumpul di THKTKH Klasis Jatim, yang hampir semuanya adalah WNA, didorong oleh DGI untuk menjadi WNI dan mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Indonesia. Itu berarti THKTKH Klasis Jatim harus melebur ke dalam Sinode GKI Jatim.
133 Pengakuan alm. Pdt. Petrus Prasetya, mantan pendeta THKTKH
Klasis Jatim yang pindah ke Sinode THKTKH Jatim, kepada bp SO.
Wawancara bp SO, Malang, 10 Agustus 2009. Menurut bp GYK, sidang yang berlangsung di GKI Johar Surabaya ini diwarnai perdebatan panas dan keras.
Wawancara bp GYK, Malang, 7 Agustus 2009.
134
Madjallah Bulanan D.G.K.T.I. Dewan Geredja2 Keristen Tionghoa di Indonesia, Djanuari 1958, No. 98: 3.
135 Sekretariat Umum PGI, Arak-arakan Oikoumene Meniti Tahun- tahun Pertumbuhan: Dokumen Historis Sidang Lengkap IV DGI 1960—Sidang Lengkap V DGI 1964 (Jakarta: PGI, 1996), 193.
Sikap DGI dibuktikan dalam perlakuannya atas utusan- utusan THKTKH Klasis Jatim dan Sinode GKI Jatim. Keduanya tidak diberi tempat duduk terpisah melainkan dijadikan satu; tetapi bukan lagi di bawah nama THKTKH Klasis Jatim yang asing melainkan di bawah nama GKI Jatim. Dalam daftar anggota DGI yang dilaporkan sampai tahun itu sama sekali tidak ada lagi nama THKTKH Klasis Jatim. Padahal, dalam sidang pembentukan DGI sepuluh tahun yang lalu, dua gereja Tionghoa di Jawa Timur ini datang dengan satu nama saja, yaitu THKTKH Klasis Jatim. DGI tampaknya ingin kedua gereja ini tetap menjadi satu namun bukan lagi dalam sebuah gereja yang—memakai ungkapan pesan Komisi Geredja dan Masjarakat DGI 1964—“terpisah oleh batas-batas bahasa atau batas etnologi”136 namun sebuah gereja Indonesia yang utuh dan bersatu.
Empat tahun kemudian, ketika pergolakan di daerah- daerah Kristen dan gonjang-ganjing masalah kewarganegaraan orang Tionghoa sudah lewat, dalam Sidang Lengkap V DGI tahun 1964, DGI menunjukkan sikapnya secara lebih terbuka dan langsung kepada THKTKH Klasis Jatim. Sekali lagi, seperti empat tahun sebelumnya, utusan-utusan THKTKH Klasis Jatim didudukkan bersama-sama dengan utusan-utusan Sinode GKI Jatim. Dan, seperti sebelumnya, nama yang dipergunakan, lagi- lagi, adalah GKI Jatim. Namun kini ada yang beda. Dalam salah satu pesannya, DGI secara terang-terangan menyarankan “supaya Gereja ‘Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee’ Klasis Jawa Timur menjadi satu dengan Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (GKI Jatim).”137
GKI Jatim menjadi pokok, yang kepadanya THKTKH Klasis Jatim harus menempelkan diri dan mentransformasi dirinya.
Sampai sidang berakhir, saran DGI tidak mendapat sambutan positif. Dua utusan THKTKH Klasis Jatim yang hadir
136Komisi Geredja dan Masjarakat DGI, “Geredja dan Masjarakat
Di Indonesia,” Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, ed. W.B. Sijabat (Jakarta: BPK, 1964), 43. Kutipan disesuaikan dengan ejaan baru.
dalam sidang itu, yakni Go Yauw Koen dan Daniel Chen, tidak mengambil sikap setuju terhadap saran itu. Sikap keduanya dapat dikatakan sebagai cerminan dari sikap umum orang-orang Tionghoa di THKTKH Klasis Jatim yang memang tidak setuju dengan solusi itu. Ketidaksetujuan ini akhirnya disampaikan dalam Sidang Raya DGI ke VI di Makasar tahun 1967.138 THKTKH Klasis Jatim lebih memilih berdiri sendiri, terpisah dari Sinode GKI Jatim. Keinginan ini diterima. Nama baru yang dipakai adalah Gereja Kristus Tuhan (GKT).139 Sejak hari itu nama THKTKH Klasis Jatim secara resmi lenyap dari daftar keanggotaan DGI. Kini dan selanjutnya, dua kelompok orang Tionghoa yang berbeda orientasi budaya dan politis ini, digantikan oleh dua gereja baru yang berbeda, GKI Jatim dan GKT.
4. Memposisikan Diri sebagai Gerejanya Orang-orang Tionghoa