BAB III
SKETSA HISTORIS ORANG-ORANG
TIONGHOA KRISTEN
DI GEREJA KRISTUS TUHAN (GKT)
SAMPAI TAHUN 1965
Orang-orang Tionghoa Kristen yang membentuk Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) pada tahun 1968 memiliki sejarah hidup yang unik. Sebelum sampai ke sini mereka telah melalui tahap-tahap kehidupan yang panjang, melewati administrasi pemerintahan negara yang berbeda-beda dengan sikap politiknya masing-masing terhadap orang Tionghoa. Dalam bab ini akan disajikan secara ringkas latar belakang sosial, politis, budaya dan keagamaannya dari sejak kedatangan di Hindia Belanda sampai akhir era Orde Lama pada tahun 1965. Kehidupan mereka akan disorot dari tiga kurun waktu, yakni periode pemerintahan Hindia Belanda (1900-1942), periode pemerintahan pendudukan Jepang (1942-1945) dan periode kemerdekaan Indonesia sampai pemerintahan Orde Lama (1945-1965).
A. Periode Pemerintahan Hindia Belanda (1900-1942)
1. Imigrasi Orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke Hindia Belanda
Kehadiran orang Tionghoa di Indonesia telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak abad ke-12 dan 13 telah ada sejumlah orang Tionghoa yang berdiam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.1 Migrasi ini dilakukan dengan bermacam alasan.
1
The Encyclopedia of the Chinese Overseas mencatat bahwa imigrasi itu terjadi setidaknya karena enam alasan. Alasan pertama ialah karena perkembangan teknologi kelautan dan perdagangan Tiongkok. Kedua, karena interaksi yang intens antara Tiongkok dengan Asia Tenggara. Ketiga, pertumbuhan penduduk yang pesat dan minimnya peluang untuk mencari nafkah di negara sendiri. Keempat, ekspansi militer negara-negara Barat ke Asia Tenggara yang membuka peluang kepada tenaga kerja dari Tiongkok untuk dipekerjakan. Kelima, kehadiran perusahaan pelayanan Eropa di Tiongkok, yang semakin memudahkan terjadinya pertukaran barang, tenaga dan jasa dengan wilayah-wilayah lain di luar Tiongkok. Dan keenam karena kekacauan sosial dan politik yang terjadi dalam negara Tiongkok sendiri.2 Dari keenam alasan ini unsur-unsur yang dominan bersifat ekonomis dan politis.3
Studi Skinner memperlihatkan bahwa ekonomi dan politik adalah faktor-faktor utama yang menyumbang migrasi orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi Hindia Belanda pada abad ke-17 sampai awal abad ke-20, gelombang demi gelombang migrasi orang
gagal itu. Mereka adalah tentara rekrutan dari daerah Hokkian, Kiangsi dan Hukuang di Tiongkok Tenggara. Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik: Menyingkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: TransMedia Pustaka, 2008), 24, 25.
2
Dikutip dari Aime Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 20. Setiono menambahkan bahwa kekacauan ini muncul karena peperangan dan bencana alam yang tiada henti-hentinya di daratan Tiongkok. Hal ini mendorong mereka untuk meninggalkan negerinya dan mencari kehidupan baru di negeri lain. Lihat Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 40.
3 Leonard Unger mengutip suatu studi yang dilakukan Ta Chen
pada keluarga-keluarga Tiongkok yang punya saudara yang merantau di Asia Tenggara. Dari studi itu ia mensimpulkan bahwa kekuatan terbesar yang mendorong imigrasi itu bersifat ekonomis, “the primary force moving the largest number of people was the hope of economic improvement in their new
Tionghoa terus berdatangan ke Hindia Belanda.4 Gelombang migrasi ini secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua periode waktu. Yang pertama berlangsung pada tahun 1860-1890. Dalam kurun waktu ini 318.000 orang Tionghoa membanjiri pulau Jawa dan pulau-pulau lain di luar Jawa. Setelah terhenti sejenak gelombang migrasi kedua terjadi lagi pada tahun 1900-1930-
Peta 1. Peta Negara Tiongkok
an.5 Victor Purcell bahkan mencatat bahwa kali ini jumlah yang masuk rata-rata 28.000 orang per tahun. Jumlah rata-rata terbesar, yaitu 40.000 orang per tahun, terjadi pada periode 1920-1930.6
Dengan tingkat migrasi sebesar itu total populasi orang Tionghoa di Hindia Belanda segera melonjak tajam. Sensus 1930 melaporkan bahwa jumlah orang Tionghoa di telah mencapai
4 G. William Skinner, “Golongan Minoritas Tionghoa,” Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, ed. Mely G. Tan (Jakarta: LEKNAS LIPI & Yayasan Obor Indonesia, 1979), 2.
5 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950 (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), 27. Lihat juga Skinner dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, 2.
angka 1.233.214 orang atau setara dengan 2% dari total populasi penduduk Hindia Belanda.7 Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari total populasi tiga puluh tahun sebelumnya, yang berjumlah kurang lebih setengah juta orang saja.8
Baik pada periode pertama maupun pada periode kedua, hampir semua imigran berasal dari dua provinsi di sebelah tenggara Tiongkok, yaitu Provinsi Fujian dan Guangdong.9 Dua provinsi ini (lihat Peta 1) memiliki beberapa pelabuhan laut yang langsung menghadap ke Laut Cina Selatan. Yang terkenal di antaranya adalah Macau, Hongkong dan Xiamen. Imigran yang datang dari Provinsi Fujian adalah orang-orang yang berdialek Hokkian (Amoy), Fuzhou dan Hinghwa (Xinghua). Mereka yang datang dari Provinsi Guangdong adalah yang berdialek Kanton dan Hakka.10
Pada awalnya para imigran Tiongkok ini menetap di Jawa, khususnya di kota-kota pelabuhan yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa.11 Keadaan ini terus berlanjut sampai menjelang paruh kedua abad ke-19. Memasuki paruh kedua abad ke-19 terjadi gelombang imigrasi menuju pulau-pulau di luar pulau Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Keadaan ini berlanjut terus sampai akhirnya populasi mereka di luar Jawa jauh lebih banyak dari pada yang di Jawa. Dari total populasi orang Tionghoa menurut sensus tahun 1930, kurang dari setengahnya saja yang berdiam di Jawa (582.431). Selebihnya berdiam di pulau-pulau lain di luar Jawa (650.783).12
7 Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 4.
8
Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia, 27.
9
Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, 4.
10 Kathleen Kuiper, ed. Understanding China: The Culture of China
(New York: Britannica Educational Publishing, 2011), 46-47; Hermanto Lim & David Mead, Chinese in Indonesia: A Background Study, SIL Electronic Survey Report 2011-028, March 2011: 10-26.
Di Jawa dan Madura, imigran Tionghoa memiliki pola sebaran domisili yang tetap. Mereka lebih memilih berdomisili di kota dari pada di pedesaan. Data Sensus 1930 memberitahukan bahwa dari seluruh populasi orang Tionghoa yang tinggal di Jawa dan Madura 58,7 persennya diam di kota, sementara sisanya, yaitu 41,3 persen, diam di kota-kota yang lebih kecil.13 Di Jawa Timur, Surabaya adalah tempat utama yang dituju. Menurut Sensus 1930, Surabaya adalah kota kedua setelah Batavia yang memiliki populasi terbesar orang Tionghoa. Tercatat ada 36.866 orang Tionghoa tinggal di sana menurut sensus tersebut. Jumlah ini tumbuh berlipat-lipat kali ganda dari periode 1906-1910, yang hanya berjumlah 2.693 orang saja.14 Dari Surabaya para pendatang Tionghoa ini kemudian menyebar ke kota-kota sekitar seperti Malang, Mojokerto, Jombang, Pasuruan dan Kediri, lalu terus sampai jauh ke kota-kota di ujung timur Jawa Timur seperti Jember dan Banyuwangi.15
Secara keagamaan, para pendatang Tionghoa menganut kepercayaan yang berbeda-beda. Ada yang menganut kepercayaan Konfucianisme, Buddha, Tao, Islam, Kristen dan Katolik. Yang terbesar adalah penganut kepercayaan Konfucianisme, Tao dan Buddha. Hal ini bisa dilihat dari bilangan tempat ibadah tiga kepercayaan ini di lokasi-lokasi kediaman orang-orang Tionghoa (pecinan). Sebagai contoh, sampai tahun 1940 di Surabaya telah ada tujuh tempat ibadah untuk penganut Konfucianisme, Tao dan
13 Mely G. Tan, “Pendahuluan,” dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, xii. Lihat juga Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, 4. Pada periode 1911-1914, jumlah orang Tionghoa di Surabaya mencapai angka 16.843 orang. Lihat A. Cabaton, Java, Sumatera and the Other Islands of the Dutch East Indies (New York: Charles Scribner’s Son, 1914), 158. Sementara data 1920 menunjukkan bahwa jumlahnya telah mencapai angka 18.020 orang. Lihat
Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1910-1946
(Semarang: Penerbit Mesiass, 2004), 2.
14
Tan dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, xii.
15 Sensus 1930 mencatat bahwa jumlah orang Tionghoa di Malang
Budha.16 Bagi orang Kristen Tionghoa hanya tersedia dua buah gereja saja.17
2. Kategori Orang Tionghoa: Singkheh, Totok dan Peranakan
Masuknya imigran baru Tiongkok ke Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 membuat konfigurasi masyarakat Tionghoa mengalami pergeseran. Kini muncul dua macam kategori orang Tionghoa yang tidak dikenal di masa sebelumnya. Yang pertama dibuat berdasarkan asal tempat kelahiran, sementara yang kedua dibuat berdasarkan perbedaan ciri sosial-budayanya. Untuk kategori pertama ada dua macam orang Tionghoa, yakni Tionghoa peranakan dan singkeh.18 Sementara untuk kategori kedua ada dua macam pula, yakni Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok.
Orang Tionghoa peranakan adalah orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda. Mereka adalah hasil perkawinan campur, biasanya antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan setempat.19 Perkawinan campur ini dapat terjadi karena leluhurnya hanya datang sendirian tanpa membawa serta keluarganya.20 Mereka kemudian menikah dengan perempuan-perempuan setempat, yang umumnya para perempuan non-Muslim atau
16 Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya, 49.
17 Keduanya adalah gereja Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee di Jl
Sambongan 9 (sekarang dipakai oleh GKT dan GKA) dan gereja Tiong Hwa
Kie Tok Kauw Hwee di Jl Johar 4. Lihat “History GKI Emaus” dalam
http://gki-emaus.org/index.php/about-us/history [diakses pada 28 Februari 2012].
18 Lim & Mead, Chinese in Indonesia, 7. 19
Leo Suryadinata, Peranakan Chinese Politics in Java 1917-1942
(Singapore: Singapore University Press, 1981), 2. Juga Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, 3.
20 Suryadinata menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama adalah masalah transportasi dan kedua adalah dekrit pemerintahan
Dinasti Ch’ing yang melarang keras orang-orang Tionghoa meninggalkan daratan Tiongkok atau masuk kembali ke Tiongkok. Izin untuk meninggalkan Tiongkok baru diberikan setelah tahun 1860, yang memulai periode pertama imigrasi besar-besaran dari Tiongkok ke Hindia Belanda. Lihat Suryadinata,
Muslim nominal.21 Dari pernikahan ini lahir keturunan demi keturunan yang kemudian menciptakan suatu komunitas Tionghoa peranakan yang mendominasi populasi orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda sampai awal abad ke-20.22
Orang Tionghoa singkeh adalah orang-orang Tionghoa yang lahir di Tiongkok. Mereka adalah imigran pendatang baru, yang belum lama menetap di Hindia Belanda. Nama singkeh diambil dari dialek Hokkian sin, yang berarti baru dan kheh atau khek, yang berarti tamu baru atau pendatang baru atau orang asing.23 Dalam data kependudukan pemerintah Hindia Belanda keduanya dibedakan sebagai Tionghoa “kelahiran lokal” dan “kelahiran luar.”24
Kategori kedua dibangun menurut karakteristik sosial-budayanya. Di sini orang Tionghoa peranakan adalah orang-orang yang “telah mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan.”25 Mereka tumbuh dan berakar dalam budaya setempat serta tidak dapat lagi berbahasa Tionghoa. Medium komunikasi sehari-hari adalah bahasa Melayu, dialek setempat atau bahasa Belanda.26
21 Suryadinata, Peranakan Chinese Politics, 1, 2. Lihat pula Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, 3.
22 Skinner dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, 10. Lihat juga
Suryadinata, Peranakan Chinese Politics, 2.
23
Lea F. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 (Glencoe, IL.: The Free Press, 1960), 10. Secara sempit istilah singkeh menunjuk kepada kuli-kuli sewaan yang baru datang dari Tiongkok, Singapura, dan lain-lain. Istilah yang langsung berlawanan adalah lau kheh, yang berarti “tamu lama,” yaitu orang-orang Tionghoa yang kini tidak lagi menjadi pekerja sewaan. Lihat Lim & Mead,
Chinese in Indonesia, 7.
24 Lihat tabel hasil Sensus 1930 dalam Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia, 40-41.
25 Tan dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, x. 26
Orang-orang Tionghoa totok adalah orang-orang Tionghoa pendatang baru, yang tiba di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (singkeh).27 Tidak seperti orang Tionghoa peranakan yang sudah berasimilasi dengan budaya setempat, orang-orang Tionghoa totok tetap melestarikan banyak unsur dari identitas sosial-budayanya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka mempergunakan dialek atau memakai bahasa Mandarin (Kuoyu). Mereka bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa, tinggal di kawasan yang dihuni oleh sesama etnis, dialek atau daerah asal; dan membentuk suatu asosiasi dengan mereka yang sebahasa dengannya. Ikatan batin dengan Tiongkok, negara asalnya, amat kuat.28 Karena itu mereka lebih suka memperhatikan urusan-urusan politik negara Tiongkok dan nasionalisme Tiongkok dari pada urusan-urusan politik di Hindia Belanda.29
Kalau komunitas orang Tionghoa peranakan muncul karena faktor perkawinan dengan orang-orang setempat, komunitas orang Tionghoa totok muncul dan berkembang karena beberapa faktor yang berbeda.30 Yang pertama, karena kehadiran imigran baru dalam jumlah besar bersama-sama dengan sejumlah besar perempuan yang dari Tiongkok. Mereka jarang sekali menikah dengan perempuan-perempuan atau laki-laki lokal, bahkan dengan perempuan atau laki-laki Tionghoa peranakan. Mereka lebih banyak menikah dengan sesamanya. Yang kedua, para pendatang baru ini tidak lagi didominasi oleh orang-orang Hokkian tetapi oleh orang-orang Hakka dan Kanton. Situasi ini menyebabkan terjadinya perlambatan proses akulturasi dengan kehidupan orang Tionghoa peranakan yang didominasi oleh budaya Hokkian. Yang ketiga adalah bangkitnya nasionalisme
membutuhkan pernikahan dengan orang-orang di luar komunitasnya (eksogami) karena jumlah laki-laki dan perempuan telah cukup berimbang.
27 Istilah totok berarti “orang berdarah murni asing.” Lihat Leo
Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Pers, 1984), 90.
28 Ibid. 29 Ibid, 91.
30 Lihat Skinner dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, 10. Juga
Tiongkok pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal ini memberikan suatu rasa “kebanggaan nasional yang kuat, [yang] berlawanan dengan [proses] desinifikasi yang menyertai menuju masyarakat Peranakan.”31 Sebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya “sistem sekolah berbahasa Tionghoa dan pers berbahasa Tionghoa sesudah tahun 1900.”32
Dua perangkat sosial ini telah menjadi alat yang sangat ampuh untuk “memelihara ketionghoaan” keturunan mereka.”33
Sampai Sensus 1930 dua komunitas Tionghoa ini telah tumbuh menjadi komunitas yang mapan, dengan orang Tionghoa peranakan mengambil porsi 62 persen dan Tionghoa totok 38 persen dari total populasi orang Tionghoa di seluruh Hindia Belanda.34 Meski demikian di antara keduanya tidak terjalin hubungan yang baik. Satu sama lain saling memandang rendah dan mengunggulkan kelompok sendiri. Orang-orang Tionghoa totok merasa dirinya lebih unggul karena tetap menghayati budaya Tionghoa yang asli dari Tiongkok. Orang Tionghoa peranakan dipandang remeh karena tidak lagi mengenal Tiongkok, negeri leluhurnya, dan tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa. Di pihak lain, orang Tionghoa peranakan merasa lebih unggul karena secara sosial-ekonomi kedudukannya lebih baik. Mereka merasa lebih kaya dan lebih terdidik dari pada orang-orang Tionghoa totok.35
Munculnya gerakan nasionalisme pan-Tiongkok pada awal abad ke-20 berhasil mempertemukan kedua kelompok dalam sebuah wadah bersama yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan
31
Skinner dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,10.
32 Ibid., 10-11.
33 Ibid., 11. Juga lihat Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia, 39-40.
Dalam penelitiannya atas sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia di dekade 50-an, Lea E. Williams menemukan bahwa sekolah-sekolah ini didirikan dengan maksud untuk menjadi benteng nasionalisme dan alat propaganda
doktrin-doktrin nasionalistik Tiongkok. Lihat Lea E. Williams,
“Nationalistic Indoctrination in the Chinese Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958): 13.
34
Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia, 27.
35
Ibid., 29. Satu ejekan yang dikenakan orang Tionghoa Peranakan
(THHK).36 Namun kesatuan yang diinginkan tidak dapat tercapai karena perbedaan-perbedaan di antara keduanya tidak pernah diselesaikan. Di pihak lain kesatuan itu sendiri dibangun di atas dasar yang rapuh. Keduanya bersatu karena merasa menghadapi satu musuh yang sama, yaitu kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Tionghoa. Ketika pemerintah kolonial mulai melakukan perubahan sikap dan kebijakan, persatuan tersebut berakhir dengan sendirinya.37
3. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Orang Tionghoa
Dua kebijakan awal yang diberlakukan adalah wijkenstelsel dan passen stelsel. Kebijakan pertama mengharuskan orang Tionghoa untuk tinggal dalam suatu area kota yang sudah ditentukan dan tidak boleh di luar dari batas itu. Kebijakan kedua, yang mengatur mobilitas mereka dari satu tempat ke tempat lain, mengharuskan orang Tionghoa untuk mengantongi surat izin bila hendak bepergian keluar dari area tempat tinggalnya.38 Pada tahun 1866 kebijakan wijkenstelsel sedikit diperlemah dengan mengizinkan orang Tionghoa tinggal di lokasi yang disukainya bila di situ tidak tersedia ghetto atau pecinan yang diperuntukkan buat mereka.39 Namun secara umum dua kebijakan ini terus dipakai selama hampir dua ratus tahun dan baru dihapus berturut-turut pada tahun 1917 dan 1918.40
Bersamaan dengan dua kebijakan itu ada lagi kebijakan lain yang disebut politie-rol, yaitu “sebuah pengadilan yang sewenang-wenang” yang memberi kuasa kepada “seorang pejabat pemerintah atau kepala polisi” untuk “menjatuhkan hukuman tanpa mendengarkan saksi-saksi, atau pun kalau ada saksi tidak
36 Pendapat Donald Wilmott yang dikutip oleh Peck Yang. Lihat
Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia, 30. Juga lihat Charles A. Coppel,
Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 39.
37
Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia, 30.
38
Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 130.
39 Pramudya Ananta Toer, Hoakiau Di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Garba Budaya, 1998), 132.
disumpah terlebih dulu.”41 Keputusan diambil sesuka hati dan dilaksanakan tanpa memberi kesempatan kepada terdakwa untuk naik banding atau membela diri. Orang Tionghoa merasa sangat dirugikan oleh peraturan ini, khususnya yang berkenaan dengan surat izin bepergian. Peraturan ini baru dihapuskan pemerintah kolonial pada tahun 1914.
Pada tahun 1854 terbit sebuah peraturan lain mengenai kewarganegaraan di Hindia Belanda. Semua orang yang lahir dari orang tua yang berdomisili di Belanda atau koloninya diperlakukan sebagai warganegara Belanda. Itu berarti orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda otomatis adalah warganegara Belanda. Namun peraturan ini kemudian membuat pembedaan perlakuan antara orang Tionghoa dan pribumi di satu sisi dengan orang-orang Eropa di sisi yang lain. Bila orang-orang Eropa mendapat banyak keistimewaan perlakuan maka orang Tionghoa diperlakukan sama tanpa beda dari penduduk pribumi. Pada tahun 1892 pemerintah kolonial merevisi peraturan itu. Kini orang-orang Tionghoa ditaruh ke dalam kategori orang Timur Asing, yang berbeda dari orang Eropa namun juga berbeda dari penduduk pribumi.42
Sekarang konfigurasi masyarakat kolonial tersusun atas tiga strata yang berbeda. Di strata teratas adalah orang Eropa sementara di strata terbawah adalah orang pribumi. Orang-orang Timur Asing diletakkan di strata tengah. Bersama-sama dengan orang-orang keturunan Arab, India dan lain-lain, orang Tionghoa ada di strata tengah. Agar perbedaan tiap strata tampak jelas, pemerintah kolonial mengharuskan tiap-tiap kelompok untuk memelihara adat-istiadat dan karakteristik-karakteristik yang menandai budaya masing-masing.43
41
Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 133.
42 Donald Earl Wilmott, The National Status of the Chinese in Indonesia
(New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1961), 13.
Dengan alasan melindungi hak-hak penduduk pribumi, pada tahun 1870 pemerintah kolonial mengundangkan sebuah undang-undang agraria yang baru. Pihak-pihak yang dirasa membahayakan hak-hak penduduk pribumi adalah pengusaha-pengusaha Eropa yang menerapkan sistem tanam paksa dan para pedagang Tionghoa.44 Peraturan ini pada dasarnya bermaksud menghapuskan sistem tanam paksa yang memberatkan penduduk pribumi sambil tetap memberi ruang kepada peningkatan kegiatan ekonomi orang-orang Eropa.45 Bila orang-orang Eropa diizinkan untuk membuka pertanian atau perkebunan, orang-orang Timur Asing, dalam hal ini orang Tionghoa dilarang.46 Mereka hanya diizinkan memiliki bangunan di kota-kota namun tidak dengan sendirinya dapat memiliki tanah di atas mana bangunan miliknya berada. Tanah itu bisa dimiliki hanya bila pemiliknya mau menjualnya.47 Oleh seluruh kebijakan ini maka orang Tionghoa didorong untuk beraktivitas ekonomi di kota saja.
Bangkitnya rasa nasionalisme Tiongkok dan perubahan sikap pemerintah Tiongkok terhadap orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar negeri pada awal abad kedua puluh mendorong pemerintah kolonial melakukan perubahan-perubahan kebijakan terhadap orang Tionghoa. Pada bulan Maret 1909, pemerintah Tiongkok mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua anak yang sah, yang lahir dari ayah atau ibu orang Tionghoa, tidak peduli di mana dilahirkan, secara otomatis adalah warga negara Tiongkok. Keputusan ini berlaku baik untuk orang Tionghoa peranakan maupun untuk orang Tionghoa totok. Dekrit itu direspons pemerintah kolonial pada bulan Februari 1910 dengan pernyataan bahwa semua orang yang lahir dari orang tua
44 Tentang pandangan negatif mengenai orang Tionghoa lihat
Cabaton, Java, Sumatera and the Other Islands, 158-166. Juga Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java (New York: The Macmillan Company, 1904), 364-365.
45 Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch, 335. 46 Ibid., 377.
47
yang berdomisili di Hindia Belanda adalah orang yang tunduk kepada kekuasaan kerajaan Belanda sekalipun mereka bukan warganegara Belanda.48 Peraturan ini otomatis membuat orang Tionghoa memiliki dua macam kewarganegaraan yang berbeda. Sejumlah orang Tionghoa mengajukan protes kepada naturalisasi yang dipaksakan ini seraya meminta kepada pemerintah Tiongkok agar jangan mau tunduk kepada tekanan Belanda. Namun, demi mendapatkan izin pembukaan konsulatnya di Hindia Belanda, pemerintah Tiongkok akhirnya mengabaikan protes tersebut dan menerima bahwa status orang Tionghoa tunduk kepada hukum-hukum negara di mana mereka sekarang berdomisili.49
Kebijakan terakhir yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Tionghoa berhubungan dengan pendidikan orang Tionghoa. Bangkitnya nasionalisme orang Tionghoa dan tumbuh pesatnya sekolah-sekolah Tionghoa setelah tahun 1900 mendorong pemerintah kolonial untuk membendung arus nasionalisme yang disebarluaskan melalui sekolah-sekolah itu. Pemerintah lalu mendirikan sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa (Hollandsch Chineesche Scholen, HCS), yang berbahasa pengantar Belanda sejak tahun 1908.50 Kehadiran sekolah-sekolah ini berakibat pada terhalanginya upaya resinifikasi orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Penyatuan komunitas Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok turut pula dirintangi. Sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa kini menjadi tempat belajar anak-anak Tionghoa peranakan sementara sekolah-sekolah Tionghoa untuk anak-anak Tionghoa totok. Pemisahan ini di kemudian hari akan berujung kepada sikap saling bermusuhan.51
48 Wilmott, The National Status of the Chinese, 15. Kutipannya,
“Dutch subjects even if not Dutch citizen.”
49 Ibid., 16.
50 Suryadinata, “Indonesian Chinese Education, Past and Present,” Indonesia, Vol. 14 (Oct., 1972): 54-55.
4. Orang-orang Tionghoa Kristen GKT di Surabaya dan Malang
Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT mulai hadir di Hindia Belanda sejak dekade terakhir abad ke-19 dan terus berlanjut sampai dekade-dekade awal abad ke-20. Umumnya berasal dari Provinsi Fujian dan Provinsi Guangdong. Dari Provinsi Fujian mereka datang dari tiga kota besar, Fuzhou (dialek Hokchiu) dan Fuqing (dialek Hokchia) di utara, Putian (dialek Hinghua) di tengah dan Xiamen (dialek Amoy/Hokkian) di selatan. Sementara dari Provinsi Guangdong, dari kota pelabuhan Guangzhou dan Macao, adalah mereka yang berdialek Kanton. Mereka berasal dari berbagai latar belakang denominasi gereja yang ada di Tiongkok saat itu. Ada yang Methodist, Reformed, Presbyterian, Anglikan, Lutheran dan lain-lain.52 Setibanya di Surabaya mereka menumpang atau tinggal bersama anggota keluarga atau dengan orang-orang yang sesuku dan sebahasa yang sudah lebih dahulu tiba dan bekerja di Surabaya.53
Mengikuti kebijakan wijkenstelsel mereka menetap dan bekerja di kawasan pecinan Surabaya, yang berada tepat di sebelah
52 Orang-orang Kanton dan Hokkian/Amoy berasal dari latar
belakang denominasi Baptist dan Presbyterian-Reformed. Ini bisa dipahami karena badan misi yang bekerja di antara mereka didominasi dari gereja-gereja tersebut. Gereja Protestan pertama didirikan di antara orang Kanton oleh Robert Morrison, yang berlatar Presbyterian Skotlandia bersama dua orang misionari AS: Elijah Coleman Bridgman, Calvinis-konggregasionalis, dan David Abeel, Reformed Church in America. Lihat Murray A. Rubinstein,
“Protestan Missionary Enterprise, 1807-1860” dalam R.G. Tiedeman, ed., Handbook of Christianity in China Volume Two: 1800—present (Leiden: Brill, 2010), 140 dan David Cheung, Christianity in Modern China: The Making of the First Native Protestant Church (Leiden: Brill, 2004), 13-60. Lihat pula artikel
China/Peoples Republic of – (Asia) dalam http://www.reformiert-online.net/weltweit/27_eng.php (diakses pada 20 April 2013). Sementara orang-orang Fuzhou dan Hinghwa umumnya dari latar belakang Methodist. Lihat laporan Harry C. Bower dalam Minutes of the Seventh Session of the Netherland Indies Mission Conference of the Methodist Episcopal Church held in Buitenzorg, Java, January 22nd to 25th, 1925: 20.
53 Ada dua cara bagi para imigran ini untuk bisa masuk ke Hindia
timur Jembatan Merah, di seberang sungai Kalimas. Awalnya kawasan ini berada di sekitar Chinesche Voorstraat, sekarang Jalan Karet, lalu melebar sampai ke Jalan Tepekong atau Jalan Coklat. Selanjutnya ia berkembang sampai ke seputar Jalan Kembang Jepun dengan kawasan Ampel di batas utara, lalu Pasar Atum, Stasiun Semut dan Jagalan di batas selatan dan Jalan Rajawali di batas barat.54 Beberapa keluarga memiliki rumah tinggal yang cukup besar sehingga dapat menampung kerabat dan sahabat sekaligus. Pihak yang menampung berfungsi sebagai kepala keluarga, yang menjamin dan melindungi para pendatang baru ini serta menolong mereka untuk memperoleh pekerjaan.55
Sampai akhir tahun 1920-an, sebagian besar masih belum benar-benar menetap. Mereka masih bolak-balik Tiongkok— Surabaya. Salah satu sebabnya adalah perang saudara yang berkecamuk di Tiongkok pasca runtuhnya dinasti Manchu.56 Selain itu, sebagian dari mereka adalah laki-laki yang meninggalkan keluarganya di Tiongkok. Alasan kedatangan mereka ke Surabaya bukan untuk menetap dan menjadi warganegara Hindia Belanda tetapi untuk mencari nafkah saja.57
54 Astri Apriyani, “Surabaya Di Atas Kampung-kampung” dalam
http://intisari-online.com/read/surabaya-di-atas-kampung-kampung (diakses pada 19 April 2013); Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009), 9.
55 Misalnya pada awal abad ke-20 di Surabaya ada seorang
pedagang Hinghwa kaya bernama Yao Boen Ling. Ia sering pergi ke pelabuhan Tanjung Perak bila ada kapal yang datang dari Tiongkok. Ia pergi ke sana untuk menyambut imigran Tiongkok yang baru datang dan bertanya dari mana asal mereka. Kalau orang itu berkata ia dari Hinghwa maka ia akan mengakuinya sebagai saudara, membayar pajak kepala orang tersebut dan membawanya pulang ke rumahnya. Ia kemudian memberi mereka modal sekotak perkakas sepeda supaya bisa membuka bengkel sepeda atau modal untuk membuka toko-toko sepeda di sekitar Surabaya bahkan sampai jauh di Jember dan Banyuwangi. Wawancara bp Solomon Tong, Surabaya, 31 Januari 2011.
56 Minutes of the Twentieth Session of the Malaysia Conference of the Methodist Episcopal Church held in Kuala Lumbur, Federated Malay States, 15th to 20th February, 1912: 28.
57 Minutes of the Woman’s Conference of Malaysia Mission, Singapore,
Sebab lain adalah kondisi ekonomi yang naik turun sebelum dan sesudah Perang Dunia I. Manakala ekonomi bagus mereka akan beramai-ramai datang namun ketika sedang merosot mereka akan pulang kembali ke Tiongkok. Manakala resesi ekonomi global di akhir tahun 20-an sampai awal 30-an mulai melanda Hindia Belanda, sebagian dari antara mereka bahlan meninggalkan kota Surabaya untuk seterusnya.58
Seperti dilaporkan oleh Mabel Bower, isteri misionaris Gereja Methodist Episkopal Amerika Serikat yang berkarya di kota Surabaya, dalam sebuah konferensi perempuan Methodist pada tahun 1915, hampir semua orang Tionghoa yang menjadi anggota gerejanya adalah laki-laki muda yang belum menikah. Sebagian yang sudah menikah malah meninggalkan keluarganya di Tiongkok.59 Meski demikian beberapa dari antara mereka juga datang dengan membawa istri. Dalam konferensi perempuan Methodist tahun 1917 Mabel Bower mengungkapkan bahwa di sejumlah rumah pendatang dari Tiongkok yang ia kunjungi ia sempat bertemu dengan sejumlah perempuan Tionghoa. Di antara mereka bahkan ada yang sudah memeluk agama Kristen dari sejak di Tiongkok. Namun mereka enggan datang beribadah di gereja sebab adat-istiadat kala itu membatasi mereka untuk duduk dalam satu ruangan yang sama dengan laki-laki.60
Dalam soal pekerjaan tiap kelompok dialek memiliki jenis pekerjaannya masing-masing. Sebagian besar orang Hokkian (Amoy) adalah para pedagang (business men).61 Mereka terlibat dalam bisnis ritel.62 Barang yang umumnya diperdagangkan
58
Minutes of the Netherland Indies Mission Conference, Buitenzorg, Java, January 18th to 20th, 1927: 354. Orang-orang dimaksud adalah orang-orang Kanton.
59 Minutes of the Woman’s Conference of Malaysia Mission,
Singapore, February 14th to 20th, 1915: 111.
60 Minutes of the Woman’s Conference of Malaysia Mission, Singapore,
February 1st to 7th, 1917: 124.
61The Malaysia Message, May 1926, Vol. 36, No. 8.
62Minutes of the First Session of the Netherland Indies Mission Conference,
adalah hasil bumi. Lokasi tempat mereka bekerja adalah di sekitar Jl Panggung. Tempat itu dipilih karena persis di belakangnya mengalir Kalimas, yang pada waktu itu berfungsi sebagai jalur transportasi hasil bumi dari daerah-daerah di sekitar Surabaya.63 Orang-orang dialek Kanton umumnya berasal golongan tukang dan pengrajin (artisans). Pekerjaan utama yang mereka geluti adalah tukang kayu.64 Lokasi tempat kerjanya di sekitar Jalan Gemblong.65 Orang-orang dari jemaat Fuzhou-Hinghwa dikatakan berasal dari berbagai macam profesi.66 Orang-orang Hinghwa awalnya bekerja sebagai tukang becak, pengusaha becak, lalu penjual onderdil becak. Ketika sepeda mulai muncul mereka lalu masuk di bisnis penjualan sepeda dan onderdilnya. Tempat usaha mereka berada di sekitar Jalan Bongkaran. Orang-orang Hokchia (Fuqing) umumnya bekerja sebagai tukang kredit (mindring). Barang yang dikreditkan umumnya adalah kain. Sebagian yang telah sukses beralih profesi menjadi pedagang kain dan berkumpul di sekitar Jalan Slompretan. Orang-orang Hokchiu (Fuzhou) kebanyakan bekerja sebagai tukang emas, salon, restoran dan lain-lain. Aktivitas mereka terkonsentrasi di sekitar Jalan Blauran, Surabaya.67
Selain tinggal dan bekerja di area di mana berhimpun orang-orang yang sedialek, mereka yang Kristen membentuk kelompok-kelompok kecil yang beribadah di rumah-rumah menurut dialek masing-masing. Setelah berjalan beberapa lama, kelompok-kelompok kecil ini kemudian diadopsi oleh Gereja Metodis Episkopal Konferensi Malaysia. Pada buan Juni 1909 mereka mengutus Diong Eng Seng (Diong Hong Sek) ke Surabaya untuk memulai sebuah jemaat berbahasa Hokkian.68 Kelompok
63Wawancara bp ST, Surabaya, 31 Januari 2011. 64The Malaysia Message, May 1926, Vol. 36, No. 8. 65Wawancara bp ST, Surabaya, 31 Januari 2011. 66
The Malaysia Message, May 1926, Vol. 36, No. 8. Wawancara bp ST,
Surabaya, 31 Januari 2011.
67Wawancara bp ST, Surabaya, 31 Januari 2011.
yang tadinya beribadah di rumah-rumah kini dikumpulkan dalam sebuah gereja orang-orang Tionghoa dialek Hokkian.69
Pada tahun 1910, kelompok-kelompok orang Kristen dari dialek Kanton menggabungkan diri ke dalam gereja itu. Alasan penggabungan itu ialah karena merasa sejalan dengan misi jemaat ini untuk memberitakan Injil kepada orang-orang Tionghoa dan untuk membantu sesama perantau dari Tiongkok.70 Dari tahun ke tahun jumlah orang Kanton terus bertambah. Jumlahnya bahkan melampaui jumlah orang-orang dialek Hokkian. Melihat kenyataan ini maka sejak tahun 1916 Gereja Methodist mengumpulkan mereka dalam sebuah jemaat tersendiri yang terpisah dari jemaat Hokkian. Seorang pengkhotbah (preacher) yang berdialek Kanton juga turut disediakan untuk mereka.71
Selain kedua kelompok dialek ini, di tengah-tengah mereka juga telah ada segelintir orang dari dialek Fuzhou dan Hinghwa. Awalnya hanya sedikit saja. Namun lambat laun jumlahnya terus bertambah seiring dengan datangnya gelombang perantau baru di awal tahun dua puluhan sampai tiga puluhan. Para perantau baru ini didominasi oleh orang-orang dari dua dialek tersebut.72 Dengan jumlah yang semakin banyak maka sejak awal tahun 20-an mereka dikumpulkan dalam jemaat yang terpisah. Maka sejak tahun 1922, gereja pertama untuk orang
York: Board of Global Ministries The United Methodist Church, 1973), 150. Diong Eng Seng adalah seorang Tionghoa berdialek Fuzhou, yang berasal dari Serawak, Malaysia. Pertama-tama ia bekerja di Gereja Tionghoa di Tanah Abang, Jakarta pada tahun 1908, dan dari sana ia kemudian dikirim ke Surabaya.
69
Menurut catatan mereka, kelompok orang Hokkian/Amoy Kristen ini berasal dari latar belakang Presbyterian. Lihat Richard M. Daulay,
Kekristenan dan Kesukubangsaan:Sejarah Perjumpaan Methodisme dengan Orang Batak dan Orang Tionghoa di Indonesia 1905-1995 (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996), 125.
70 Fredie Lukito Setiawan, Sejarah Gereja Kristus Tuhan Jemaat Nazareth, makalah yang tidak diterbitkan, 5.
71
Minutes of the Twenty-Fourth Session of the Malaysia Conference of the Methodist Episcopal Church, Singapore, Straits Settlements, January 1st to 6th
1916: 37.
Tionghoa Kristen di kota Surabaya ini sudah tersusun atas tiga jemaat yang berbeda menurut dialek bahasanya.73
Pada tahun 1928, Gereja Methodist Episkopal menghentikan pelayanannya di Jawa dan Kalimantan. Kini mereka fokus di Sumatera saja. Agar pekerjaan gereja dapat terus berjalan dibentuklah sebuah yayasan yang menaungi gereja di Surabaya. Nama yayasan itu ialah Yayasan Tiong Hoa Ki Tok Kauw Hwee (THKTKH) Surabaya atau Yayasan Gereja Kristen Tionghoa Surabaya. Yayasan ini dibentuk oleh sejumlah tokoh gereja tersebut dengan bantuan seorang misionaris Methodist. Dalam akte pendiriannya tercantum sejumlah nama dari jemaat berbahasa Hokkian, Kanton dan Fuzhou-Hinghwa.74 Seluruh aset Gereja Methodist Episkopal di Surabaya lalu diserahkan kepada yayasan ini. Untuk pembinaan rohaninya Gereja Methodist Episkopal Konferensi Misi Hindia Belanda menyerahkan mereka ke bawah pengasuhan badan misi Netherland Zending Genootschaap (NZG).75
Bagaimana bentuk pengasuhan yang diberikan tidak ada catatan NZG yang bisa ditemukan. Namun dari catatan-catatan sejarah jemaat-jemaat tersebut dapat diketahui bahwa setelah ditinggalkan masing-masing mengurus dirinya secara mandiri. Pembinaan rohani dan pembiayaan kebutuhannya dilakukan secara swadaya. Masing-masing jemaat membentuk sebuah badan yang mengurus kegiatan dan kebutuhan masing-masing. Dari rekrutmen tenaga pengkhotbah, pengangkatan Guru Injil sampai penjangkauan orang baru semuanya dilakukan secara mandiri. Tetapi untuk urusan-urusan bersama seperti pemeliharaan dan pengembangan gedung dan fasilitas di dalamnya, sampai
73
Minutes of the Fifth Session of the Netherlands Indies Mission Conference,
Buitenzorg, Java, February 21st to 26th, 1923: 180.
74 Akta ini dibuat pada 8 Februari 1928. Di dalamnya dicantumkan
bahwa tujuan gereja ini adalah untuk “memberitakan Injil dan memperluaskan kerajaan Allah.” Lihat Setiawan, Sejarah Gereja Kristus Tuhan Jemaat Nazareth, 10.
kegiatan bersama seperti Natal dan Paskah, ketiga jemaat membentuk sebuah badan kerja sama. Ketua badan ini dijabat secara bergiliran dengan masa kerja selama satu tahun.
Pada tahun 1937, jemaat dialek Fuzhou-Hinghwa dibagi menjadi dua jemaat. Orang-orang Hinghwa yang selama ini bergabung dalam kelompok itu kini dipisahkan menjadi sebuah jemaat baru, jemaat orang-orang Hinghwa. Jemaat yang ditinggalkan lalu berubah nama menjadi jemaat Fuzhou-Kuoyu, yang memakai dialek Fuzhou dan bahasa Mandarin (Kuoyu). Di dalam jemaat ini berkumpul orang-orang dari dialek Hokchia dan Hokchiu. Maka sampai dengan tahun 1937 di kota Surabaya telah berdiri empat jemaat orang-orang Kristen pendatang dari Tiongkok. Keempatnya adalah jemaat berdialek Hokkian, Kanton, Fuzhou-Kuoyu dan Hinghwa.
Selain keempat jemaat ini, pada akhir tahun 20-an di Surabaya muncul pula sebuah jemaat lain, yaitu jemaat orang-orang Tionghoa peranakan. Awalnya mereka juga beribadah di rumah-rumah. Pada awal tahun 30-an kegiatannya dipindahkan ke gedung sekolah Christelijke Hollandse Chinese School (CHCS) di Jl Kapasari 95, Surabaya.76 Selama beberapa saat, dari akhir tahun 1934 sampai tahun 1937 mereka sempat meminjam gedung gereja orang-orang Tionghoa totok. Hubungan keduanya tidak terlalu rapat. Jemaat orang-orang peranakan ini tidak mau menjadi bagian dari gerejanya orang-orang totok dan begitu pula sebaliknya.77
Selain Surabaya, kota lain yang menjadi tempat berdomisilinya para imigran baru dari Tiongkok adalah kota Malang. Seperti di Surabaya, di sinipun orang-orang Tionghoa
76 Willy Purwosuwito, M.A., “Sejarah GKI Residen Sudirman
Surabaya” dalam http://ressud.wordpress.com/sejarah/ (diakses pada 19 April 2013).
77 Pranata W. Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14: Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (Surabaya: Sinode GKI Jatim dan Balitbang PGI, 1989),
9. Lihat pula “Sejarah GKI Emaus” dalam
bermukim di area khusus untuk orang-orang Tionghoa, yang terletak di sebelah tenggara alun-alun kota Malang. Di situ mereka hidup dan bekerja bersama orang-orang yang sedialek dengannya. Profesi yang mereka tekuni juga bersesuaian dengan pembagian kerja yang umum dikenal untuk orang-orang dari dialek masing-masing. Orang-orang berdialek Kanton banyak diam di daerah Tukangan (kini Jl Gatot Subroto, dahulu bernama Meubelmakerstraat). Sebagian besar berprofesi sebagai tukang kayu. Orang-orang Hokkian berprofesi sebagai pedagang dan diam di sekitar pasar kota (kini Jl Pasar Besar). Orang-orang Fuzhou bekerja sebagai tukang kredit atau rentenir (minderingan) sementara orang-orang Hinghwa bekerja sebagai pengusaha becak, pedagang sepeda dan onderdil sepeda.78
Seperti halnya di Surabaya, segelintir orang dari antaranya adalah orang Kristen. Dari waktu ke waktu Pdt. Harry C. Bower, misionaris Gereja Methodist Episkopal Konferensi Misi Hindia Belanda yang menjadi pendeta gereja Tionghoa di Surabaya, kerap mengunjungi mereka. Ia dibantu oleh seorang Guru Injil yang berasal dari Tiongkok dan tinggal di Malang. Namanya Kwee Liong Kie. Namun baru pada tahun 1923, Gereja Methodist berhasil menempatkan seorang misionari yang tinggal di Malang. Namanya Judokus van den Noort.79 Ia adalah seorang guru yang sebelumnya bekerja di pos Gereja Methodist di kota Purbalingga, Jawa Tengah. Di Malang ia sempat merintis sebuah sekolah sederhana untuk anak-anak Tionghoa totok. Sampai tahun 1925 jumlah pengunjung yang hadir dalam setiap ibadah di hari Minggu berkisar antara 30 sampai 40 orang. Seluruh kegiatan dilakukan dalam bahasa Tionghoa.80
78 Keterangan bp Soetjipto Tanojo, Ketua Yayasan Eng Ang Kiong,
Malang, 9 Maret 2012.
79
Minutes of the Seventh Session of the Netherland Indies Mission Conference of the Methodist Episcopal Church, Buitenzorg, Java, Januari 22nd to 25th, 1925: 22.
80 Ini adalah tulisan guru Injil Jerobeam Mattheus. Ia menjelaskan
bahwa jemaat ini “hanya terdiri dari para singkeh (mereka yang lahir di
Di saat yang berdekatan di sekolah Christelijke Hollandse Chinese School (CHCS) Malang juga diadakan perkumpulan ibadah mingguan untuk orang-orang Tionghoa. Mereka dari kalangan Tionghoa peranakan. Pada tahun 1930 jumlah mereka telah mencapai dua puluhan orang anggota.81 Atas usaha Pdt. H.A.C. Hildering, pendeta utusan misi dari gereja Gereformeerde Kerken in Hersteld Verband (GKHV), kelompok ini dan kelompok-kelompok jemaat peranakan lain yang tersebar di Bangil, Mojokerto dan Mojosari dapat dipersatukan. Status mereka juga berhasil ditingkatkan dari sebuah perkumpulan (bond) menjadi sebuah jemaat orang-orang Tionghoa. Upacara peresmian sebagai jemaat dilakukan dalam sebuah ibadah di Gereja Kristen Jawi Wethan (GKJW) Talun, Malang, pada akhir Juli 1932.82
Dua tahun setelah jemaat THKTKH di Malang terbentuk, pada bulan Februari 1934, jemaat-jemaat Tionghoa peranakan dari kota Bangil, Mojokerto, Mojosari, Jatiroto, Bondowoso dan Malang mendeklarasikan berdirinya sebuah klasis yang diberi nama Tiong Hoa Ki Tok Kauw Hwee Oost Java atau Gereja Kristen Tionghoa di Jawa Timur (THKTKH Jatim) di Bangil.83 Dalam
“Selayang Pandang Sejarah Awal ‘Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur’
dalam Buku Kenang-kenangan 50 Tahun GKI Jawa Timur (Surabaya: Panitia HUT Ke-50, 1984), tanpa nomor halaman. Bnd. Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14, 14-15. Dalam catatan Methodist Singapura disebutkan bahwa pada tahun 1925 sudah ada jemaat Methodist di kota Malang dan Tulungagung. Lihat Lau, From Mission to Church, 57.
81Abednego dalam Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, tanpa nomor
halaman. Menurut catatan sejarah GKT I Malang, pertemuan ibadah mingguan ini sudah dimulai sejak 1928. Yang melayani perkumpulan ini adalah Oei Soei Tiong dan Guru Injil Mattheus. Sekolah ini sekarang menjadi Sekolah Kristen Petra. Lihat pula Soesanto, Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gedung Gereja Kristus Tuhan Jemaat I Malang (Malang: GKT I, 1988), tanpa nomor halaman.
82 Abednego dalam Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, tanpa nomor
halaman. Pdt. H.A.C. Hildering diutus tahun 1930. Selama dua tahun ia menyiapkan diri Amoy, Tiongkok. Ia tiba di Surabaya pada awal tahun 1932 dan terus bekerja di sini sampai tahun 1952.
83
sidang ini turut hadir dua orang utusan jemaat Tionghoa totok di Malang.84 Jemaat-jemaat Tionghoa, baik yang totok maupun yang peranakan, di kota Surabaya tidak diundang. Tidak jelas apa alasannya. Mereka baru bergabung beberapa bulan kemudian. Penerimaan mereka dilakukan secara resmi dalam sidang THKTKH Klasis Jatim di Bangil pada bulan Agustus 1934.85
Pada akhir tahun 1939 klasis ini diakui pemerintah kolonial sebagai sebuah gereja yang resmi dan berbadan hukum. Namanya adalah Tiong Hwa Ki Tok Kau Khoe Hwee Oost Java atau Chineesche christelijke kerk classis Oost Java atau Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jawa Timur.86 Pedoman kehidupan bergerejanya adalah sebuah tata gereja sementara yang diadopsi dari Peraturan Gereja THKTKH Jawa Barat.87
Meski sekarang bernaung di bawah sebuah organisasi gerejawi yang sama namun hubungan dua kelompok orang Tionghoa yang menjadi anggota gereja THKTKH Malang tidak berjalan mulus. Perbedaan-perbedaan budaya, adat-istiadat, bahasa, pendidikan, dan kedewasaan rohani telah dipandang
Pik (utusan NZG untuk Jawa Timur), Ketua: Pdt. Oei Soei Tiong, Sekretaris: Liem Liang Kiem dan Bendahara: Lie Jing Kiet.
84 Peninjau itu adalah Lioe Kiet, sementara yang diundang namun
tidak hadir adalah Go A Sie. Lihat Ibid.
85 Setiawan, Sejarah Gereja Kristus Tuhan Jemaat Nazareth, 15. 86 Dicatat dalam “Besluit Gouverneur General No. 17, Staatsblad van Nederlandsch Indie 1939 No. 694.” Lihat Tata Gereja dan Peraturan Khusus Gereja Kristus Tuhan (Malang: Sinode GKT, 2008),117-118. Juga Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14, 36.
87
Setiawan, Sejarah Gereja Kristus Tuhan Jemaat Nazareth, 16. Ia memberi catatan bahwa sifat kesementaraan ini berarti bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, THKTKH Klasis Jatim akan menyusun sendiri tata gereja mereka sendiri. Namun keinginan ini tidak pernah dapat terealisasi. Sembilan belas tahun kemudian setelah berpisah dari jemaat Tionghoa totok, jemaat Tionghoa Peranakan berhasil menyusun tata gereja sendiri dengan nama Peraturan Dari Synode Geredja2 Kristen Indonesia Djawa Timur 1958.
sebagai penyebab munculnya pertikaian di antara keduanya.88 Karenanya sudah sejak rapat klasis THKTKH Jatim tahun 1937 telah terlontar gagasan untuk membagi jemaat THKTKH Malang menjadi dua jemaat lengkap dengan perangkat majelisnya masing-masing. Sementara usul ini masih terus digumuli, pada tahun 1940 jemaat berbahasa Kanton dan Amoy di THKTKH Malang malah menyatakan diri keluar dari klasis. Keputusanya dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap organisasi klasis yang dipahami menghilangkan hak kepemilikannya atas harta benda gereja dan hak untuk mengatur diri sendiri. Pemisahan ini segera diikuti dengan berpisahnya jemaat Tionghoa peranakan dari jemaat Tionghoa totok di THKTKH Malang. Keduanya tidak lagi beribadah di gedung gereja yang sama-sama dibangun. Masing-masing beribadah di tempat terpisah.89
Di saat yang berdekatan dengan itu, sampailah di Malang seorang imigran dari Fuzhou, yang bernama Koo Twan Tjhing.90 Sebelumnya ia tinggal dan bekerja selama beberapa waktu di kota Surabaya. Oleh gairah pekabaran Injil yang ditularkan oleh KKR John Sung di Surabaya pada tahun 1939, ia merasa tergerak untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Tionghoa berdialek Fuzhou dan Hinghwa di kota Malang. Pekerjaannya menghasilkan sebuah perkumpulan kecil jemaat dialek Hokchiu-Kuoyu. Jemaat ini terus berkembang dan bertambah besar.
88 Soesanto dalam Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, tanpa halaman.
Bnd. Gunawan, Benih Yang Tumbuh 14, 41; Abednego dalam Buku Kenang-kenangan 50 Tahun, tanpa nomor halaman.
89 Ibid. Juga lihat Tim Penjoesoen Sedjarah GKI Toemapel Malang, Beokoe Sedjarah Geredja Kristen Indonesia Toemapel Malang 1941-2001. Malang: Majelis Jemaat GKI Tumapel, 2001, 18.
90 Ia adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah orang-orang
Demikianlah, sampai menjelang kedatangan Jepang ke Jawa pada tahun 1942, telah berdiri jemaat orang-orang Tionghoa totok Kristen di Surabaya dan Malang. Di Surabaya ada empat jemaat, yaitu jemaat berdialek Hokkian, Kanton, Fuzhou-Kuoyu dan Hinghwa; sementara di Malang terdiri atas jemaat berdialek Kanton, Hokkian (Amoy) dan Hokchiu-Kuoyu.
B. Periode Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945)
1. Kebijakan Pemerintahan Pendudukan Jepang atas Orang Tionghoa
Sebelum menduduki Indonesia, Jepang sudah terlebih dahulu menginvasi Tiongkok pada tahun 1937. Tindakan itu menimbulkan perasaan antipati yang kuat terhadap Jepang di kalangan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Sebuah surat kabar berbahasa Tionghoa, Sin Po, bahkan menyerukan diadakannya aksi boikot masal terhadap semua produk buatan Jepang. Aksi ini disambut positif oleh orang-orang Tionghoa totok namun disambut dingin oleh orang-orang Tionghoa peranakan.91 Aktivitas anti-Jepang ini diam-diam diamati dan diketahui oleh intel-intel Jepang yang berada Hindia Belanda. Setelah Jepang masuk ke Indonesia, tokoh-tokoh Tionghoa yang diketahui anti-Jepang segera ditangkap dan dipenjarakan sementara komunitas-komunitas Tionghoa di mana saja diawasi secara ketat.92 Mereka dicurigai dan tidak sedikit yang diperlakukan dengan sangat buruk.
91 Didi Kwartanada, “Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang:
Jawa 1942-1945,” Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Monograf Lembaga Studi Realino 7 (Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Studi Realino, 1996), 26.
92Ibid., 29. Lihat pula Melani Budianta, “Malang mignon: Cultural
Namun menyadari potensi kapital orang Tionghoa bagi kesuksesan kampanye militernya, penguasa Jepang kemudian banting stir dan mulai menunjukkan sikap bersahabat dengan orang Tionghoa, khususnya orang-orang Tionghoa totok. Mereka menutup semua sekolah Belanda dan menghidupkan kembali sekolah dan kebudayaan Tionghoa. Anak-anak Tionghoa peranakan yang selama ini belajar di sekolah-sekolah Belanda dipaksa untuk bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Di sekolah ini mereka kembali belajar membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa Tionghoa.93 Upaya resinifikasi (mentionghoakan kembali orang-orang Tionghoa) ini tidak saja berlangsung lewat medium sekolah tetapi juga lewat media perayaan-perayaan budaya Tionghoa seperti imlek, musik dan film-film Tionghoa. Pada zaman ini orang Tionghoa diharuskan menulis namanya dengan huruf Tionghoa dan mau tidak mau harus belajar bahasa Tionghoa.94
Kebijakan ini jelas menguntungkan orang-orang Tionghoa totok yang sejak awal abad ke-20 telah berusaha keras melakukan resinifikasi orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Namun keuntungan ini malah menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap orang-orang Tionghoa peranakan yang sedang mengalami kesulitan menguasai bahasa Tionghoa.95 Orang-orang Tionghoa totok kini merasa dirinya lebih superior dan memandang rendah orang-orang Tionghoa peranakan.
Selain kebijakan itu, penguasa militer Jepang juga mendirikan dua buah organisasi bagi orang Tionghoa, yang bernama Kakyo Shokay (Asosiasi Tionghoa Perantauan) dan Keibotai (orang Tionghoa sipil bersenjata untuk menolong Polisi Jepang). Di dalam kedua organisasi ini, orang Tionghoa totok dan peranakan dipaksa untuk duduk bersama dan bekerja sama bagi
93
Budianta dalam Heirs to World Culture, 260.
94 Kwartanada dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, 31-32.
kepentingan Jepang.96 Meski tugasnya begitu penting, yakni “mengumpulkan uang untuk kegiatan perang Jepang; mengurusi Tionghoa miskin atau korban perang (pengungsi dari daerah lain) dan mengelola sekolah Tionghoa” namun seluruh biaya operasional organisasi ini tidak ditanggung oleh pemerintah Jepang. Semuanya harus dipikul sendiri oleh orang Tionghoa.97
Kebijakan lain adalah memperlakukan orang Tionghoa sebagai orang asing. Mereka tidak diperhitungkan sebagai penduduk Indonesia. Konsekuensinya setiap orang Tionghoa harus membayar pajak bangsa asing, yang besarnya adalah f100 untuk laki-laki dan f50 untuk perempuan. Di samping itu, setiap orang Tionghoa juga dikenakan kewajiban membawa kartu tanda pengenal bangsa asing, semacam surat izin perjalanan di masa Belanda dahulu (passenstelsel). Untuk mendapatkannya mereka harus membayar sejumlah uang. Kegagalan membawa surat tersebut akan dikenai hukuman yang amat berat.98
2. Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT pada Masa Pendudukan Jepang
Di bawah kebijakan semacam itu orang-orang Tionghoa Kristen di GKT yang berada di Surabaya dan Malang hidup dalam kesusahan yang besar. Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang sempat meninggalkan kekosongan otoritas sehingga di beberapa tempat timbul huru-hara dan aksi-aksi kejahatan terhadap orang Tionghoa. 99 Sumber-sumber GKT dan GKI Jatim sama-sama menyebut masa ini sebagai ‘masa gelap’ kehidupan gereja orang Tionghoa. Dari empat jemaat totok di Surabaya, hanya jemaat Fuzhou-Kuoyu dan jemaat Kanton saja yang masih memiliki pendeta. Jemaat Hokkian dan Hinghwa hanya
96 Kwartanada dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, 30-32. Juga Budianta dalam Heirs to World Culture, 260-261.
97 Kwartanada, 30-31. 98 Ibid., 31.
didampingi oleh guru-guru Injil lokal saja.100 Di Malang baik jemaat totok maupun jemaat peranakan masing-masing didampingi oleh seorang pendeta.101
Dalam masa ini kegiatan klasis THKTKH praktis berhenti. Bila jemaat-jemaat Tionghoa totok dan peranakan di Surabaya tetap beribadah di gedungnya masing-masing, jemaat-jemaat totok dan peranakan di Malang tidak demikian. Jemaat totok terus beribadah di gedung gereja THKTKH Malang sampai tahun 1942. Setelah area di mana gereja berada ditutup oleh militer Jepang, ibadah kemudian dipindahkan ke sebuah sekolah Tionghoa yang tidak jauh dari situ.102 Pada tahun 1943 tempat ibadah pindah lagi. Kali ini ke rumah seorang anggota gereja. Mereka terus di sana sampai bulan April 1944 ketika gedung THKTKH Malang diizinkan untuk dipergunakan kembali.103
Sampai tahun 1943 jemaat totok dari dialek Hokchiu-Kuoyu tetap beribadah di gedung sekolah Tionghoa bersama jemaat totok dari dialek Kanton dan Hokkian. Ketika tempat itu sudah tidak bisa dipergunakan lagi, jemaat ini lalu meminjam tempat ibadah jemaat Tionghoa peranakan, yang berbahasa Melayu. Suasana tidak harmonis di antara orang-orang totok dan peranakan yang telah mengemuka sejak akhir tahun 30-an, di masa pendudukan Jepang untuk sementara terlupakan. Tidak ada catatan bahwa kedua kelompok sempat terlibat dalam suatu konflik serius.
100
Jemaat Hokchiu didampingi oleh Pdt. Yio Pek Eng (Baring L. Yang) yang mulai bekerja di sana sejak tahun 1940. Jemaat Kanton didampingi oleh Pdt. Fang Jik Tak, yang masuk ke situ tahun 1943. Guru Injil yang mendampingi jemaat Hinghwa adalah The Tjhek Kie, sementara untuk jemaat Hokkian adalah Liem Hong Lian.
101
Pendeta jemaat totok adalah Pdt. Young Poon Sheek (Njoo Pwan Sek), sementara pendeta jemaat peranakan adalah Pdt. Hwan Ting Kiong (M.I. Gamaliel).
102 Sekolah dimaksud adalah Sekolah Ling Jiao.
C. Periode Negara Indonesia sampai Pemerintahan Orde Lama (1945-1965)
1. Kebijakan Umum Pemerintah Indonesia atas Orang Tionghoa
Berdasarkan bunyi Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) pasal 26 ayat 1 dan penjelasannya, orang-orang Tionghoa, mau itu peranakan atau totok, tidak bisa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia (WNI) setelah Indonesia merdeka. Mereka adalah orang bangsa lain, orang-orang asing, yang hanya bisa menjadi WNI jika “mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.” Untuk mengatur hal ini lebih lanjut maka pada tahun 1946 pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No. 3 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Di dalamnya diatur bahwa orang-orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia dan telah menetap di sini selama lima tahun terakhir, telah berusia 21 tahun atau telah menikah dan tidak berkeberatan menjadi WNI, maka ia secara otomatis adalah WNI. Mereka diizinkan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia bila melakukan penolakan resmi di hadapan pengadilan lokal. Tenggang waktu yang diberikan untuk mengajukan penolakan adalah sebelum tanggal 10 April 1947. Tenggat waktu ini kemudian diperpanjang lagi sampai 17 Agustus 1948.104
Dengan seluruh ketentuan ini maka orang Tionghoa yang tidak dilahirkan di Indonesia atau berasal dari luar Indonesia, sekalipun telah menetap di Indonesia lebih dari lima tahun, tidak bisa otomatis menjadi WNI. Untuk menjadi WNI mereka harus melalui proses naturalisasi yang diatur dalam Pasal 5 UU tersebut. Ketentuan-ketentuan yang lebih banyak berurusan dengan anak-anak orang Tionghoa ini di kemudian hari menimbulkan masalah. Kerap terjadi bahwa dalam sebuah keluarga ada orang tua yang masih WNA sementara anak-anaknya sudah WNI.
Terhadap kebijakan ini sebagian besar orang Tionghoa yang berdomisili di wilayah-wilayah Republik Indonesia (RI) akhirnya terpaksa memilih untuk menerima kewarganegaraan Indonesia. Penerimaan ini sedikit-dikitnya dilandasi oleh tiga faktor.105 Yang pertama adalah kuatnya sentimen anti-Tionghoa yang muncul di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Sampai berakhirnya perang kemerdekaan di tahun 1949 di berbagai tempat kerap timbul aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan banyak korban di pihak orang Tionghoa.106 Dalam situasi semacam ini salah satu cara mengamankan diri adalah tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Faktor kedua adalah pernyataan pers dari Konsul Tiongkok Nasionalis yang mengatakan bahwa memeluk kewarganegaraan RI tidak akan membuat mereka kehilangan kewarganegaraan Tiongkok. Lalu yang ketiga adalah adanya harapan bahwa suatu undang-undang kewarganegaraan yang baru akan disusun kembali setelah Indonesia bergabung dalam sebuah negara federasi bikinan Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah orang Tionghoa peranakan yang bergabung dalam wadah Persatuan Tionghoa semakin menyadari bahwa masa depan kaum minoritas Tionghoa adalah di dalam negara Indonesia merdeka bukan dalam Negara Belanda. Meski menyadari bahwa di dalam negara Indonesia merdeka pun tidak ada jaminan bahwa orang Tionghoa akan diperlakukan setara dengan orang orang non-Tionghoa namun mereka tetap memilih menjadi WNI. Demi melindungi kepentingan orang-orang Tionghoa dalam negara Indonesia, mereka menyerukan kepada semua orang Tionghoa, baik totok maupun peranakan, agar bersatu padu. Di pihak lain mereka pun menganjurkan kepada semua orang Tionghoa agar menerima kewarganegaraan Indonesia dan berpartisipasi penuh dalam
105 Wilmott, The National Status of the Chinese, 25-26.
106 Tjamboek Berdoeri mencatat bahwa di kota Malang sejumlah
kehidupan berbangsa dan bernegara sambil turut berjuang agar dalam negara Indonesia orang Tionghoa diberi kebebasan untuk melestarikan bahasa dan budayanya, dan secara khusus diizinkan mempertahankan sekolah-sekolahnya.107
Dalam perundingan terakhir antara utusan Indonesia dan Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB), diputuskan sejumlah hal yag berkaitan dengan status kewarganegaraan orang Tionghoa. Meneruskan apa yang sudah diundangkan dalam UU No. 3 Tahun 1946, persetujuan KMB kembali menegaskan bahwa semua orang Tionghoa yang lahir dan berdomisili di Indonesia adalah WNI. Bagi yang menolak untuk menjadi WNI diberi tenggang waktu dua tahun sampai 27 Desember 1951, untuk mengajukan penolakan. Namun kali ini ada satu hal yang berbeda, yakni tentang orang Tionghoa yang dilahirkan di luar Indonesia namun oleh proses naturalisasi telah menjadi warga negara Belanda. Dalam UU No. 3 Tahun 1946 itu mereka dianggap orang asing dan tidak otomatis mendapat status WNI. Kali ini, menurut kesepakatan KMB, mereka dipandang sebagai WNI bila mereka terus berdiam di Indonesia sampai 27 Desember 1949.108
Di saat yang hampir bersamaan terjadi perubahan besar di negara Tiongkok. Pemerintahan nasionalis yang selama ini berkuasa digantikan oleh pemerintahan baru yang berhaluan komunis. Hal ini meninggalkan persoalan yang tidak mudah di sebagian orang Tionghoa. Selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir, pemerintahan nasionalis Tiongkok, yang kini mengungsi ke Taiwan, telah menanamkan pengaruh yang sangat mendalam pada mereka. Dukungan finansial yang selama ini diberikan untuk pembangunan Tiongkok kini dialihkan ke Taiwan.109 Di pihak lain, pemerintahan komunis Tiongkok pun berkepentingan supaya dukungan tersebut tetap difokuskan kepada Tiongkok. Pemerintah Indonesia sendiri turut merasa berkepentingan untuk menarik
107 Wilmott, The National Status of the Chinese, 27. 108
Ibid., 27-28.
109 David Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia 1949-1967
dukungan orang Tionghoa, yang kala itu menguasai sebagian besar kekayaan nasional Indonesia.110 Maka jadilah, status kewarganegaraan dan kekuatan finansial orang-orang Tionghoa diperebutkan oleh tiga negara sekaligus: Tiongkok komunis, Tiongkok nasionalis (Taiwan) dan Indonesia.
Lalu ke mana orang Tionghoa memilih? Sedari awal setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949, pemerintahan Indonesia sudah menyatakan kepada pemerintahan Tiongkok nasionalis bahwa Indonesia akan menjalin hubungan dengan negara Tiongkok komunis dan meminta kepada pemerintah Tiongkok nasionalis agar menutup ketujuh konsulatnya di Indonesia.111 Di pihak lain, pemerintah Tiongkok komunis telah menetapkan bahwa tujuan utama yang mau dicapai dari terciptanya hubungan diplomatik dengan Indonesia adalah untuk memperluas pengaruh negara Tiongkok atas komunitas orang-orang Tionghoa, menghancurkan organisasi-organisasi Kuomintang, mengutip kiriman uang dari Indonesia ke Tiongkok dan mengembangkan kontak dengan orang-orang komunis di Indonesia.112 Keadaan ini membuat orang Tionghoa hanya memiliki dua pilihan saja: menjadi warga negara Tiongkok komunis atau warga negara Indonesia.
Atas usaha yang tekun dari kedutaan dan konsulat-konsulat Tiongkok komunis di Jakarta, Medan, Banjarmasin dan Makasar maka dari April 1951 sampai tenggat waktu berakhir pada 27 Desember 1951, sekitar 600.000-700.000 orang Tionghoa kelahiran Indonesia memilih menolak kewarganegaraan Indonesia. Ditambah dengan hampir sejuta orang Tionghoa lainnya yang dilahirkan di luar Indonesia dan telah dipandang sebagai warga negara Tiongkok komunis maka lebih kurang setengah dari total populasi orang Tionghoa di Indonesia kala itu adalah warga negara Tiongkok komunis.113 Kenyataan ini
110 Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia, 91. 111 Ibid., 88, 89.
112
Ibid., 91-92.
mengagetkan banyak pihak dalam pemerintahan Indonesia yang sama sekali tidak menduga bahwa angkanya akan sebesar itu.
Namun hal ini segera menimbulkan masalah baru. Ternyata orang-orang yang menolak kewarganegaraan Indonesia itu adalah orang-orang yang sama yang menurut UU No. 3 Tahun 1946 telah diakui sebagai WNI. Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 pasal 144 menjelaskan bahwa selama belum ada undang-undang kewarganegaraan yang baru maka orang Tionghoa yang mau menjadi WNI akan diatur mengikuti kesepakatan KMB 1949. Tetapi mereka yang sudah menjadi WNI menurut undang-undang Republik Indonesia yang berlaku sebelum penandatanganan perjanjian KMB 27 Desember 1949 dianggap “sudah menjadi warga-negara Republik Indonesia.” Masalahnya, mereka yang sudah WNI menurut UU No. 3 Tahun 1946 ternyata sebagian besar tidak memiliki surat tanda kewarganegaraan. Legalitas kewarganegaraannya kini dalam masalah. Aparat pemerintahan setempat pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi siapa saja yang WNI dan yang WNA. Inilah awal mula munculnya masalah yang kemudian dikenal sebagai masalah dwi-kewarganegaraan orang Tionghoa.
Masalah tersebut coba diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dan Tiongkok melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan yang ditandatangani di sela-sela Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Namun karena situasi sosial politik kala itu belum kondusif maka perjanjian ini belum dapat ditindaklanjuti dalam sebuah undang-undang kewarganegaraan yang baru. Akibatnya timbul banyak ketidakjelasan dan kebingungan di kalangan pejabat pemerintah setempat tentang cara menerapkannya. Ujung-ujungnya, orang-orang Tionghoa lagi yang harus menanggung berbagai macam kesulitan.114 Situasi darurat yang ditimbulkan oleh sejumlah pemberontakan pada tahun 1957 mendorong penguasa militer mengambil berbagai