• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB VI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

KESIMPULAN

Di pendahuluan telah dinyatakan bahwa penelitian ini hendak menginvestigasi tanggapan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintahan Orde atas orang-orang Tionghoa dalam rangka menyelesaikan “masalah Cina” di Indonesia. Respons orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sengaja dicermati mengingat keunikan mereka secara politis, kultural dan keagamaan. Secara politis hampir semuanya adalah warga negara asing. Secara kultural mereka tergolong dalam kelompok orang-orang Tionghoa totok, dengan bahasa Tionghoa, baik dialek maupun bahasa Mandarin, sebagai medium komunikasi sehari-hari di rumah dan di gereja. Dan secara keagamaan mereka berkumpul dalam sebuah organisasi keagamaan yang bersifat federasi dengan anggota-anggota dan pekerja-pekerja gerejawi melulu etnis Tionghoa, yang fokus menjangkau dan melayani orang-orang Tionghoa saja.

(2)

Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT meresponi tekanan kebijakan asimilasi tersebut dengan menampilkan sikap, perilaku dan tindangan yang beraneka ragam. Data-data yang ditemukan memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa Kristen di GKT tidak sepenuhnya tunduk kepada tuntutan-tuntutan kebijakan asimilasi. Teori perlawanan orang tertindas Scott membantu dan memilah dan menganalisis perilaku dalam dua ruang. Di pentas depan, ruang di mana mereka berhadapan langsung dengan pemerintah dan representasi-representasinya, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT menampilkan dirinya tunduk sepenuhnya kepada keinginan pemerintah. Lembaga keagamaannya “diindonesiakan” dengan mengganti nama dan coraknya, pelayanan Gereja dan penjangkauan anggota baru diubah dari fokus kepada orang-orang Tionghoa saja menjadi untuk semua etnis yang ada di Indonesia. Status kewarganegaraan pribadi yang selama ini asing secepatnya diganti dengan status kewarganegaraan Indonesia. Dan, tidak mau hanya sekedar menjadi WNI, orang-orang Tionghoa Kisten di GKT bergerak

lebih jauh lagi dengan mendukung Pancasila dan

menyebarluaskan paham Pancasila. Dan akhirnya, terhadap seruan dan ketentuan pemerintah tentang bahasa Tionghoa, mereka menampilkan kesediaan untuk memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di dalam kegiatan-kegiatan keagamaannya.

(3)

komponen-komponen penting yang menyusun identitas pribadi dan kelompoknya.

Agar bahasa Tionghoa dapat terus dipergunakan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dengan cerdik memakai celah yang disediakan agama yang dianutnya. Selanjutnya, sembari membuka pintu bagi orang-orang non-Tionghoa untuk masuk ke dalam kelompok secara umum, ruang-ruang tertentu terus saja tertutup. Pada level sinodal, Gereja secara keseluruhan menerapkan strategi buka pintu untuk menerima masuk siapa saja namun di level lokal strategi tutup pintu diberlakukan oleh jemaat.

Selanjutnya, untuk merawat identitasnya sebagai

kelompok keagamaan orang-orang Tionghoa, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT memanfaatkan koneksi, relasi dan partisipasinya dalam lembaga-lembaga atau gerakan-gerakan keagamaan orang Tionghoa di tingkat lokal, nasional sampai internasional. Lewat interaksi yang terjadi di dalamnya, mereka tampaknya menerima apa yang disebut Burke dan Stets sebagai, “recognition, approval, and acceptance”1 (pengakuan, persetujuan

dan penerimaan) yang penting artinya bagi pembentukan identitas seseorang. Ketiganya berperan menciptakan perasaan-perasaan yang positif tentang diri sendiri dan meneguhkan identitas diri dan kelompok sebagai orang Tionghoa.

Dengan temuan-temuan ini maka agama Kristen tidak serta merta berfungsi memfasilitasi orang-orang Tionghoa di masa Orde Baru untuk berasimilasi ke dalam budaya dan masyarakat Indonesia.2 Pendapat yang mengatakan bahwa agama Kristen

telah berperan positif dalam proses asimilasi di zaman Orde Baru kiranya kurang tepat karena sejumlah alasan. Pertama, ia

1

Peter J. Burke & Jan E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 121.

2 Bandingkan misalnya pandangan Greif yang mengatakan agama

Kristen sebagai “tambahan paspor kebudayaan untuk meninggalkan adat kebiasaan Cina menuju identitas Indonesia.” Lihat Stuart Greif, “’WNI’

(4)

mengabaikan keanekaragaman sikap orang Tionghoa terhadap budayanya dan karakteristik keagamaannya. Bagi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT yang berlatar belakang budaya totok dan dengan karakteristik ideologi keagamaan yang konservatif, menjadi Kristen tidak serta merta harus meninggalkan ciri-ciri ketionghoaannya selama ini. Bahasa, kelompok sasaran dan agenda-agenda keagamaan telah dibuat menyatu sebegitu rupa sehingga melepaskan yang satu akan berarti meninggalkan yang lain pula. Meski kebijakan asimilasi yang diberlakukan di Jawa Timur sangat keras namun hal itu tidak bisa menghentikan mereka dari berbahasa Tionghoa dan terus menjangkau sesama orang-orang Tionghoa. Alih-alih memfasilitasi asimilasi, lembaga keagamaan yang dibangunnya malah menahan mereka dari berasimilasi.

Hal lain yang turut diabaikan adalah ruang-ruang sosial dalam mana individu atau kelompok masyarakat berinteraksi dengan orang lain. Pendapat tersebut mungkin benar bila kehidupan orang Tionghoa dicermati dari perspektif on stage, pentas depan, di mana sikap, perilaku dan tindakan, seperti dipahami Scott, memang diperagakan untuk tampil tunduk kepada kebijakan pemerintah. Atau di ruang tengah ketika dominasi penguasa begitu kuat. Namun di ruang-ruang yang jauh atau luput dari pantauan pemerintah, off-stage, pentas belakang, atau di ruang tengah ketika cengkeraman dominasi penguasa melemah, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT malah menampilkan sikap, perilaku dan tindakan yang justru menghasilkan efek yang berlawanan dari yang diinginkan kebijakan asimilasi.

(5)

pada dasarnya berkarakter ketionghoaan.3 Walau pendapat ini mungkin saja benar namun menecari alasan sepenuhnya kepada kebijakan pemerintah kiranya kurang tepat. Gagasan semacam itu cenderung menempatkan orang-orang Tionghoa sebagai objek, yang bisa diatur semaunya, dan bukan sebagai subjek yang memiliki aspirasi dan kapasitas untuk melakukan perlawanan

dengan cara-caranya sendiri. Posisi sebagai minoritas

sesungguhnya tidak serta merta menghilangkan kemampuan untuk memperjuangkan suatu cita-cita. Betul bahwa kekuatan Orde Baru berhasil merampas dari mereka—memakai perkataan Scott— kemewahan untuk beraktivitas politis secara terbuka dan terorganisir.4 Namun bukan berarti perlawanan lalu berhenti. Perlawanan terus ada. Hanya saja mengingat risikonya, hal itu akhirnya tidak bisa dilakukan secara terang-terangan. Dalam relasi kekuasaan yang asimetris dengan negara, perlawanan kepada kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru hanya bisa dipraktikkan dalam ruang-ruang sosial yang luput dari observasi pemerintah. Dalam hal ini agama dan kegiatan-kegiatan keagamaan menyediakan ruang aman bagi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT untuk melakukan perlawanan.

Dalam studinya atas keberagamaan para budak kulit hitam, Scott mendapati kelihaian mereka dalam mempraktikkan agama yang berbeda dari yang diajarkan dan dipraktikkan oleh tuannya. Tidak saja praktiknya, isinya juga diberikan tekanan yang berbeda.5 Pemerintahan Orde Baru tentu saja tidak berlaku seperti para pemilik budak di AS di masa lalu. Sebagai lembaga politik mereka tentu tidak mau mencampuri urusan-urusan umat beragama secara langsung. Isu yang menarik di sini adalah peran yang mereka mainkan melalui organisasi-organisasi keagamaan perantara seperti DGI/PGI. Telah diketahui bahwa

3 Lihat Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 221.

4 James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Resistance

(New Haven: Yale University Press, 1985), xv.

5 Idem, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (New

(6)

organisasi keagamaan berada di bawah pengaruh yang kuat sekali dari rezim Orde Baru. DGI/PGI pun tidak terkecuali. Akibatnya, DGI/PGI harus menyuarakan suara pemerintah dan memberi dukungan kepada kebijakan-kebijakannya.6 Keputusan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT menyesuaikan diri dengan keadaan Indonesia yang berubah pasca 1965 tidak bisa dipisahkan dari peran signifikan yang dimainkan oleh DGI/PGI sejak awal tahun 60-an. Namun karena keterbatasan data dan informasi yang bisa digali dari arsip GKT maupun arsip DGI/PGI maka sifat relasi mereka dengan DGI/PGI belum bisa diungkap di sini. Hal ini mungkin bisa menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut di kemudian hari. Hubungan yang begitu intens dengan DGI/PGI selama sepuluh tahun pertama usia organisasi GKT tidak tampil sekuat itu lagi setelah dekade 80-an dan 90-an. Apa yang menyebabkan perubahan ini dapat menjadi sebuah kasus yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Problem lain yang masih perlu penelitian-penelitian lebih lanjut adalah apakah dengan perlawanan ini, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dapat membangun sebuah komunitas yang liberatif, yang membebaskan dirinya sendiri dari tekanan diskriminasi yang ia hadapi dari luar komunitasnya. Kerap terdengar dari sejumlah orang, yang ditemui dalam penelitian ini, protes terhadap perlakuan tidak adil yang diterima dari pemerintah Orde Baru. Namun seksi paling akhir di Bab V yang fokus kepada peran agama orang-orang Tionghoa menarik untuk ditindaklanjuti dengan suatu penelitian lain mengenai pengalaman orang-orang non-Tionghoa dan kaum perempuan di dalam kelompok ini. Melawan dan tidak mau tunduk kepada suatu kebijakan yang tidak adil adalah satu hal. Bertindak adil dan tidak membeda-bedakan orang lain dalam kelompok sendiri adalah hal lain.

6Robert Setio, “Reciprocal Relationship between Church and State

(7)

Selanjutnya, patut pula untuk ditindaklanjuti kisah-kisah perlawanan lokal orang-orang Tionghoa terhadap kebijakan represif Orde Baru di tahun-tahun sesudah 65 sampai 70. Kisah-kisah tentang ini banyak saya temui selama penelitian ini dan belum pernah sekali pun didokumentasikan atau dipublikasikan. Yang menarik dari kisah-kisah perlawanan ini adalah peran menonjol yang sejumlah perempuan Tionghoa. Dibutuhkan cukup banyak penelitian lebih lanjut sampai diperoleh sebuah laporan penelitian yang baik mengenai isu ini.

Akhirnya, penelitian ini menghasilkan sejumlah saran berharga kepada beberapa pihak. Pertama-tama terkait dengan arsip dokumen-dokumen yang dipergunakan. Sinode GKT membutuhkan segera sebuah upaya yang serius dan terencana untuk menyelamatkan arsip dan dokumen-dokumen sejarahnya yang berharga. Sampai hari ini belum tersedia sebuah pusat data dan dokumentasi sejarah mengenai orang-orang Tionghoa Kristen di GKT. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan satu demi satu dari berbagai tempat dan hanya sedikit saja yang bisa disediakan di Kantor Sinode GKT. Hal serupa juga terjadi di tingkat lokal jemaat-jemaat GKT. Karenanya, baik di pusat maupun di daerah-daerah di mana ditemukan jemaat-jemaat orang-orang Tionghoa Kristen di GKT, perlu disediakan suatu pusat arsip dan dokumentasi sejarah masing-masing.

Saran lain yang juga perlu ditindaklanjuti oleh Sinode GKT ialah perlunya menavigasi terbentuknya identitas kelompok yang tepat di tengah konteks Indonesia yang berubah cepat pasca Reformasi 1998. Identitas dalam ketegangan yang diwariskan era Orde Baru perlu diselesaikan dalam suatu bentuk identitas hibrida di mana sudah terjadi negosiasi dan rekonsiliasi di antara komponen-komponen yang bertegangan .

(8)

sumber-sumber tertulis maupun lisan yang tersedia dalam bahasa Tionghoa.

Yang ketiga, variabel-variabel lokasi dan generasi dalam penelitian atas orang-orang Tionghoa perlu pula ditambahkan dengan variabel lain yang berhubungan dengan variabel komunitas keagamaan di mana orang-orang Tionghoa berada. Variabel ini masih belum banyak digarap padahal di dalamnya terkandung materi yang kaya untuk mengungkap dinamika kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Layar harus cukup terang untuk membaca dengan nyaman tetapi tidak lebih terang dari sekitarnya, layar yang terlalu kontras berarti retina Anda harus bekerja keras untuk

Dalam pembuatan Game Edukasi Belajar Itu Asik ini diharapkan diharapkan dapat memberikan pendidikan, kemudahan dan hiburan yang lebih menarik, efisien, efektif, dan berdaya guna

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO.

Demikian Pengumuman ini agar para peserta Pengadaan barang/jasa tersebut diatas mengetahui, atas perhatiannya disampaikan terima

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudar a, per ihal Penawar an Peker jaan Pembangunan Pagar.. kecamatan Sebuku, maka dengan ini kami mengundang

Dengan adanya ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas, seseorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak dapat lagi diberhentikan secara wewenang wewenang

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji

In The Book of Love movie, the writer finds seven values of the main characters in this movie, there are: self-direcition, stimulation, achievement, security,