BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Orang Tionghoa adalah salah satu dari sekian kelompok minoritas yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah hadir di negeri ini jauh sebelum negara Indonesia ada. Namun kehadiran mereka telah dianggap sebagai sebuah masalah sejak sebelum Indonesia merdeka.1 Setelah Indonesia merdeka dan terus sampai naiknya rezim Orde Baru eksistensi mereka tetap menjadi sebuah persoalan yang tak kunjung selesai. Dua masalah mereka adalah masalah identitas dan loyalitas.2 Identitasnya dipersoalkan karena dipandang asing dan tidak asli Indonesia; sementara loyalitasnya dipersoalkan karena haluan politiknya dianggap berorientasi kepada negara lain. Bagi pemerintah Orde Baru orang Tionghoa bermasalah karena mereka berasal dari luar wilayah geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya, kuat secara ekonomi namun dicurigai terkait erat dengan komunisme.3
Masalah-masalah tersebut dipandang berbahaya bagi pencapaian dua tujuan besar pemerintah Orde Baru, yaitu
1 Hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Amry Vandenbosch yang berjudul “A Problem in Java: The Chinese in the Dutch East Indies,” Pacific Affairs Vol. 3, No. 11 (Nov., 1930): 1001-1017.
2 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), 59-61.
stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan nasional.4 Dalam kaca mata ideologis Orde Baru, yang mengedepankan kesatuan organis masyarakat,5 perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh orang Tionghoa rawan memicu gesekan dan konflik sosial serta berpotensi merintangi program pembangunan nasional. Agar masalah itu tidak sampai terjadi maka pemerintah merasa perlu mengambil langkah-langkah kontrol atas orang-orang Tionghoa.6 Solusi yang dipilih untuk menyelesaikannya ialah kebijakan atau program asimilasi.
Sejumlah hal yang dijadikan pertimbangan kebijakan ini adalah karena “agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia” dianggap “berpusat pada negeri leluhurnya.” Hal tersebut dikuatirkan “menimbulkan pengaruh psychologis, mental
dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia.”7
Selanjutnya, agar orang Tionghoa tidak lagi hidup secara “seklusif
rasial”8 yakni berkumpul di dalam kelompoknya sendiri, dan demi
mewujudkan warga negara Indonesia (WNI) yang “menghayati dan berjiwa Pancasila” serta yang “menyesuaikan dirinya dengan lingkungan hidup di mana mereka berada”9 maka mereka harus berasimilasi ke dalam masyarakat di mana mereka berada.
4
Untuk tujuan besar Orde Baru lihat Colin Brown, A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation? (Crows Nest, NSW.: Allen and Unwin, 2003), 200. Lihat juga Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism & Hybridity: The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,”
Asian Ethnicity, Volume 7, Number 2 (June 2006): 151.
5 David Bourchier & Vedi R. Hadiz, Indonesian Politics and Society: A
Reader (New York: RoutledgeCurzon, 2003), 8.
6Irman G. Lanti, “Comparing Ethnic Minorities in Control and in
Hegemoci Consociational Situations: The Political and Economic Roles of the Chinese in Malaysia and Indonesia,” Graduate Journal of Asia Pacific Studies
2:1 (2004): 72, 75-80. 7
Inpres No. 14 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina.
8 Keppres No 240 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing. Lihat juga
9 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0170/U/1975
Gambaran yang lebih detil dari itu dapat ditemukan dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang asimilasi di bidang pendidikan. Meskipun mengatur soal asimilasi di bidang pendidikan namun apa yang tergambar di sini dapat diterima sebagai cerminan dari keinginan pemerintah secara keseluruhan. Asimilasi diberlakukan supaya orang-orang Tionghoa10
1. memiliki sikap dan perilaku terbuka sebagai perwujudan penghayatan nilai Pancasila;
2. memiliki cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan nasional sehingga dengan demikian melenyap-kan melenyap-kantong-melenyap-kantong kebudayaan asing;
3. mengadakan komunikasi sosial yang saling mengisi dengan warga negara Indonesia lainnya sehingga menghilangkan sikap eksklusivisme golongan;
4. menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar sekolah sebagai bahasa nasional;
5. memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga peri kehidupan beragama dapat dihayati dan diamalkan sesuai dengan falsafah Pancasila demi tercapai-nya kerukunan hidup beragama;
6. berjiwa Pancasila sehingga dapat menjadi generasi penerus yang lebih baik, lebih bertanggung jawab, lebih mampu mengisi dan membina kemerdekaan Bangsa;
7. memiliki kesadaran akan nilai-nilai sejarah perjuangan Nasional dengan kemantapan keseimbangan kehidupan lahiriah dan batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong sehingga sanggup serta
(Pembauran) di Bidang Pendidikan. Juga lihat isi pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967, yang menggemakan hal serupa. Lihat Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1976), 56.
10
Lihat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
mampu melanjutkan perjuangan Bangsa dalam mencapai tujuan.
Ketujuh sasaran itu memperlihatkan bahwa asimilasi ditujukan untuk mengubah sikap dan cara hidup pribadi, cara hidup komunitas, komunikasi sosial, bahasa, agama serta orientasi patriotisme orang Tionghoa. Dalam ungkapan Benny G. Setiono, kebijakan ini pada hakikatnya hendak “melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total.”11 Sasaran akhirnya adalah “secara fisik dan
mental tidak ada lagi tirai pemisah antara Warga Negara keturunan Cina
dengan Warga Negara Indonesia (asli).”12
Dengan demikian tidak akan ada lagi yang namanya orang Tionghoa. Yang tersisa hanya orang Indonesia saja.
Orang-orang Tionghoa Kristen di dalam Gereja Kristus Tuhan (GKT) adalah imigran dari Tiongkok, yang secepat-cepatnya masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan paling lambat pada akhir tahun 40-an. Ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan, sebagian besar di antaranya adalah generasi pertama, yang lahir dan dibesarkan di Tiongkok atau lahir di sana dan dibesarkan di sini. Sisanya adalah generasi kedua, yakni anak-anak dari generasi pertama ini. Hampir semuanya adalah warga negara asing Tiongkok (WNA). Di GKT mereka berkumpul dalam jemaat-jemaat yang dibentuk menurut kesamaan bahasa dan daerah asal. Dari antara lima belas jemaat yang mendirikan Sinode GKT pada tahun 1968, empat belas di antaranya memakai bahasa Tionghoa secara penuh dalam kehidupan dan kegiatan-kegiatan gerejawi. Para pemimpin jemaat hampir semua berkewarganegaraan asing; demikian pula dengan para pekerja gerejawinya—para pendeta dan pengabar Injil. Untuk pendidikan anak-anak, mereka mengirimkannya ke
11
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Menyingkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia (Jakarta: TransMedia Pustaka, 2008), 1008.
sekolah asing Tionghoa yang berada di kota-kota kediaman mereka di Jawa Timur.
Dengan bangun kehidupan sosial dan keagamaan semacam ini maka kebijakan asimilasi membawa sejumlah masalah. Awalnya bersifat praktis saja, seperti bagaimana caranya membina rohani umat yang sebagian besar hanya mampu memahami bahasa Tionghoa saja. Atau, bagaimana caranya memperoleh literatur-literatur spiritual Kristen, termasuk Kitab Suci Kristen dalam bahasa Tionghoa dan materi pendamping-nya;13 atau bagaimana caranya menyediakan tenaga-tenaga pekerja gerejawi yang berbahasa Tionghoa;14 atau ke sekolah mana anak-anak harus disekolahkan.15 Selanjutnya muncul persoalan lain yang jauh lebih mendasar, yakni yang berhubungan dengan identitasnya sebagai bagian dari kelompok etnis Tionghoa.
13 Dua orang informan mengungkapkan bahwa pada akhir 60-an dan awal 70-an, sulit sekali bagi mereka untuk mendapatkan Alkitab dan literatur Kristen dalam bahasa Tionghoa. Karena dilarang maka harus diimpor dari Hongkong meski tetap dengan banyak kesukaran. Biasanya dibawa secara sembunyi-sembunyi dari Hongkong dengan memasukkannya ke dalam koper. Wawancara di Mojokerto, 7 Juli 2009.
14
Sejak mulai dirintis pada awal abad XX sampai tahun 1940, hampir semua pendeta yang melayani di THKTKH Klasis Jawa Timur didatangkan dari Tiongkok. Pola penyediaan terhenti sama sekali pada masa Pendudukan Jepang. Setelah masa Pendudukan Jepang berakhir, pola penyediaan tenaga seperti ini dilakukan kembali. Kali ini tidak lagi dari Tiongkok tetapi dari Hongkong, Taiwan atau Singapura. [Beberapa tenaga pendeta tetap yang bekerja di GKT sampai tahun 1965 adalah Pdt. Yio Pek Eng (Tiongkok, datang tahun 1940), Pdt. Oei Poo Tjin (Tiongkok, datang tahun 1946), Pdt. Sie Ren Tek (Singapura, datang tahun 1950), Pdt. Ie Tjin Sin (Tiongkok, datang tahun 1930-an). Selain para pendeta ini juga hadir guru-guru Injil yang datang dari Tiongkok.] Pola ini kembali terhenti sama sekali setelah tahun 1965. Keadaan ini menimbulkan krisis tersendiri pada THKTKH Klasis Jawa Timur dan selanjutnya pada GKT.
15 Berdasarkan isi Surat Keputusan Menteri P.P. dan K No. 016/1966
Penanda-penanda budaya (cultural markers) yang selama ini dipergunakan untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, antara lain nama dan bahasa Tionghoa, sekarang dipaksa untuk dihilangkan dan diganti dengan penanda-penanda yang lain.
Sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Di antaranya, “Apakah yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam menghadapi paksaan itu? Apakah mereka patuh? Apakah mereka melawan?” Penjelasan umum tentang sikap orang-orang Tionghoa di masa Orde Baru mengatakan bahwa mereka tunduk dan patuh kepada tuntutan kebijakan asimilasi. Tidak ada perlawanan. Sekalipun prosesnya diakui tidak otomatis dan membutuhkan waktu namun ide dasarnya adalah tunduk dan mengindonesiakan diri.16 Dalam proses ini agama dan lembaga-lembaga keagamaan orang Tionghoa dikatakan telah memfasilitasi asimilasi.17 Jika pendapat ini benar maka seharusnya selama Orde Baru aspek-aspek kultural orang Tionghoa Kristen di GKT akan melemah. Kehidupan mereka akan makin cocok dengan cita-cita asimilasi. Tetapi, seperti nanti akan diperlihatkan, kenyataan tidak berjalan seperti itu. Dalam masa satu tahun setelah Orde Baru tumbang, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT malah begitu bersemangat untuk menegaskan ke publik penanda-penanda Tionghoanya sekaligus dengan itu bersemangat menyatakan identitas ketionghoaannya.
Apa yang membuatnya jadi begitu? Mengapa setelah kurang lebih tiga puluh tahun dilarang berbahasa Tionghoa dan dilarang berkelompok secara eksklusif dengan sesama orang Tionghoa kini malah berbalik arah dan condong memilih menjadi seperti itu? Hal-hal semacam ini tentu tidak bisa muncul begitu saja hanya gara-gara rezim berganti. Apalagi sampai saat itu, kebijakan-kebijakan asimilasi masih belum dicabut. Kalau begitu dapat diduga bahwa dalam cara-cara yang tidak teramati oleh
16 Lihat Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti
Pers, 1984), 206.
penguasa, komponen-komponen penanda ketionghoaan, yang selama ini coba dihapus lewat program asimilasi, ternyata secara diam-diam berhasil terus dilestarikan. Dengan cara-cara yang rapi dan tidak terlihat oleh observasi penguasa mereka berhasil melawan upaya-upaya negara untuk menghapuskannya.
Dorongan untuk melakukan penelitian ini timbul dari pengalaman pribadi saya, sebagai seorang non-Tionghoa dari etnis Sumba yang lahir dan besar di kota Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB); yang sama sekali tidak mampu berbahasa Tionghoa, namun yang bersekolah, hidup dan berkarya di antara orang-orang Tionghoa Kristen yang berkumpul di dalam Gereja Kristus Tuhan (GKT). Perkenalan sangat intensif dimulai ketika saya menempuh studi teologi di sekolah tinggi teologi milik Sinode GKT di kota Lawang, Malang. Sekolah itu bernama Sekolah Tinggi Teologi Aletheia (STTA).18 Masa studi saya di sana berlangsung dari tahun 1992-1997. Dari sejak tingkat dua sampai tingkat terakhir, saya ditempatkan secara resmi untuk melakukan latihan pelayanan akhir minggu di beberapa jemaat GKT di kota Malang. Pertama-tama di GKT Pos Pekabaran Injil (PI) Singosari (1993-1994), lalu GKT Pos PI Kepanjen (1994-1995) dan terakhir di GKT Jemaat II Malang. Pada antara bulan Juni-Agustus 1994 saya ditugaskan di GKT Pos PI Mimbo, Situbondo. Lalu pada Juli 1995-Juni 1996 saya ditugaskan praktik pelayanan satu tahun di sebuah gereja Tionghoa lain di kota Bandung, yaitu Gereja Kristen Immanuel (GKIm) Jemaat Mesias.19 Setamat dari STTA pada tahun 1997, saya ditempatkan oleh Badan Pengurus (BP) Sinode GKT sebagai pekerja gerejawi penuh waktu di GKT Jemaat Sinai
18 Sekolah teologi ini didirikan oleh Gereja Kristus Tuhan sebagai wadah untuk mempersiapkan calon-calon pendeta dan penginjil yang bekerja di lingkungannya. Sekolah ini didirikan oleh pada 12 Februari 1969. Selain melayani kebutuhan GKT sekolah ini juga melayani gereja-gereja lain yang mengutus calon-calon pendeta dan penginjilnya belajar di situ.
di Kota Batu, Malang. Saya menjadi pendeta di gereja tersebut selama sembilan tahun sampai tahun 2006.
Saya belajar, hidup dan bekerja di antara orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sejak tahun-tahun terakhir akhir era pemerintahan Orde Baru sampai tumbangnya dan terus sampai kini di dalam Orde Reformasi. Selain bekerja di level lokal saya pun sempat ditunjuk memimpin dua lembaga sinodal, yaitu Departemen Dogma dan Penelitian untuk periode 2001-2005 dan Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang) untuk masa bakti 1999-2005. Posisi ini membawa saya bertemu, berkenalan akrab dan bekerja sama dengan banyak orang Tionghoa di GKT di yang tinggal di kota-kota lain.
Saya hadir di tengah-tengah mereka pada masa kebijakan asimilasi atau pembauran menjadi kebijakan resmi pemerintah untuk menyelesaikan masalah orang-orang Tionghoa.20 Saya juga hadir dan dapat merasakan kecemasan yang begitu mendalam ketika bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru timbul aksi-aksi permusuhan terhadap orang-orang Tionghoa di sejumlah tempat di Indonesia. Saya merasakan suasana takut yang mencengkeram mereka di Kota Batu dan mendengarkan ungkapan-ungkapan hati yang gelisah mencermati situasi yang sedang berkembang. Namun saya juga hadir di tengah-tengah mereka dan dapat merasakan antuasiasme serta optimisme yang meledak setelah terbit perubahan sikap politik pemerintah kepada orang-orang Tionghoa pasca jatuhnya pemerintahan Suharto. Perubahan itu diresponi, salah satunya, dengan mengusulkan kepada Sidang Sinode Ke-18 tahun 1999, sidang sinode pertama yang dilakukan pada era reformasi, untuk memasukkan kembali teks bahasa Tionghoa ke dalam edisi revisi buku Puji-pujian Rohani (PPR), yang baru terbit dua tahun sebelumnya. Setelah
20 Tentang kebijakan pemerintah Orde Baru lihat Leo Suryadinata, “Indonesian Policies toward the Chinese Minority under the New Order,”
melalui suatu perdebatan yang cukup sengit, usulan itu akhirnya diterima dengan suara bulat.
Tahun-tahun sesudah itu kehidupan GKT diwarnai oleh perdebatan lain mengenai identitas kelompok target (target group) usaha pekabaran Injil (PI) yang dilakukan oleh GKT. Perdebatan ini tampaknya dipicu oleh pernyataan visi dan misi sebuah jemaat GKT di Surabaya yang barusan dirilis. Dalam pernyataan itu dicantumkan bahwa identitas jemaat itu adalah sebuah gereja Tionghoa.21 Dengan dasar itu maka sasaran yang sengaja dipilih untuk karya PI-nya adalah orang-orang Tionghoa. Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang) Sinode GKT kemudian diminta oleh BP Sinode GKT untuk melakukan sebuah riset jemaat terkait dengan maksud menjadikan orang Tionghoa sebagai target utama karya PI GKT. Tugas kami adalah mencermati kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan timbul dalam jemaat bila ide itu benar-benar diwujudkan. Dalam pembicaraan-pembicaraan awal didapati bahwa sebagian orang mendukung penuh ide itu sementara yang lain meminta supaya gagasan itu nantinya diformulasi dengan baik supaya di satu pihak dapat mendorong pertumbuhan jumlah anggota GKT dan di pihak lain tidak mengganggu harmoni dengan anggota-anggota jemaat GKT yang non-Tionghoa. Gagasan ini akhirnya tidak dilanjutkan karena tidak pernah ditemukan formulasi yang tepat dan timbul kritik keras dari sejumlah anggota gereja, yang cemas terhadap timbulnya konflik di antara anggota yang Tionghoa dan non-Tionghoa.
Pengalaman-pengalaman tersebut menyadarkan saya bahwa GKT masih tetap sebuah gereja etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang ada di dalamnya masih tetap ingin mempertahankan identitas ketionghoaannya. Inilah yang mem-bangkitkan minat saya untuk melakukan studi mendalam atas
kehidupan orang-orang Tionghoa GKT di masa Orde Baru. Lewat penelitian ini saya harap dapat menjelaskan hal-hal apa saja yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT melalui lembaga keagamaannya untuk melawan program asimilasi. Saya juga berharap bahwa penelitian ini akan memberikan suatu pemahaman baru kepada studi-studi tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia dan kepada peran agama dalam perlawanan kelompok-kelompok minoritas terhadap dominasi negara.
B. Pertanyaan Penelitian dan Tujuan Penelitian
Kebijakan asimilasi adalah salah satu cara yang dipakai negara untuk mendominasi kelompok minoritas di dalam negara. Secara historis kemunculannya dihubungkan dengan timbulnya negara-negara kuat (the strong states),22 yakni negara yang bercirikan peran pemerintah pusat yang menonjol dalam mengontrol dan mengatur kehidupan masyarakat.23 Maksud di belakangnya adalah untuk mencegah timbulnya masalah yang disebabkan oleh kelompok minoritas, baik itu yang bersifat kriminal maupun pemberontakan.24 Etnis-etnis minoritas yang hidupnya berbeda (distinct) dan diam dalam komunitas-komunitas yang ter-konsentrasi di suatu tempat dalam pandangan negara-negara kuat adalah suatu masalah berbahaya yang harus diselesaikan.25 Keperbedaannya mengancam homogenitas populasi dalam sebuah teritori negara26 dan bisa mendatangkan ancaman serius kepada
22 Henry Minde, “Assimilation of the Sami—Implementation and
Consequences,” Gáldu Čála-Journal of Indigenous Peoples Rights No. 3 /2005: 7. 23 Lihat pula Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States and
Societies Transform and Constitute One Another (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2004), khususnya dalam Bab 3.
24
Terence E. Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation: Contrasting Ethnic Minorities Policies (Westport, CT.: Praeger Publishers, 2003), 64.
25 Minde, gáldu čála No. 3 /2005: 7.
26 Adriana Kemp, “Dangerous Population: State Territoritoriality and the Constitution of National Minorities” dalam Joel S. Migdal, ed.,
mereka yang berada di pusat kekuasaan.27 Agar ancaman-ancaman itu tidak berubah menjadi kenyataan maka negara biasanya membuat sebuah kebijakan nasional khusus (special national policy)28 untuk mengendalikan orang-orang minoritas tersebut. Asimilasi adalah kebijakan yang paling sering diambil.29
Berangkat dari aksioma Foucault yang mengatakan, “Where there is power, there is resistance”30—setiap peragaan kekuasan, apapun bentuknya dan oleh siapapun itu, akan selalu melahirkan perlawanan—maka dua pertanyaan utama yang melandasi proyek disertasi ini adalah: dengan cara-cara bagaimana orang-orang Tionghoa Kristen di GKT merespons kebijakan asimilasi? Strategi-strategi apakah yang dipergunakan dalam menghadapi tekanan kebijakan yang bermaksud menghapuskan penanda-penanda budayanya sebagai orang Tionghoa?
Terhadap kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru respons orang-orang Tionghoa tentu bermacam-macam. Berangkat dari teori perlawanan orang-orang tertindas yang digagas oleh James C. Scott, penelitian ini hendak mencapai dua tujuan.
Pertama, untuk menggambarkan tanggapan-tanggapan yang diambil oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi sekaligus perlawanannya terhadap maksud kebijakan tersebut. Tujuan yang kedua adalah untuk melengkapi sejumlah pandangan yang selama ini sudah diajukan oleh para ahli tentang respons-respons orang Tionghoa kepada kebijakan asimilasi. Menambahkan kepada pemikiran-pemikiran yang sudah ada selama ini tentang peran positif agama dalam proses asimilasi orang Tionghoa di zaman Orde Baru, riset ini mau memperlihatkan bahwa peran yang dimainkan agama dan
27Mary P. Callahan, “Making Myanmars: Language, Territory, and Belonging in Post Socialist Burma” dalam Joel S. Migdal, ed., Boundaries and Belonging, 99.
28 Minde, gáldu čála, 7.
29 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives (London: Pluto Press, 2010), 149.
30 Michel Foucault, History of Sexuality Volume I: An Intriduction (New
lembaga keagamaan tidak selalu demikian. Dalam kasus orang Tionghoa Kristen di GKT, akan diperlihatkan bahwa lembaga keagamaan Kristen di mana mereka berkumpul malah memainkan peran yang berbeda.
C. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini hendak menginvestigasi respons orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap upaya pemerintah Orde Baru mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat dan budaya Indonesia. Fokus analisisnya adalah orang-orang Tionghoa Kristen yang berkumpul dalam wadah lembaga keagamaan yang bernama Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) dan strategi-strateginya dalam menghadapi kebijakan asimilasi di masa pemerintahan Orde Baru dari tahun 1968-1998.
Mengingat besarnya kuantitas dan luasnya wilayah penyebaran subjek penelitian maka ruang lingkup penelitian akan dikonsentrasikan pada dua lokasi saja. Yang pertama adalah respons-respons yang mereka perlihatkan secara bersama-sama di tingkat pusat atau sinodal. Di sini ada dua lokasi yang diinvestigasi. Yang pertama adalah di sidang-sidang sinode GKT dari tahun 1968-1999 dan yang kedua adalah di rapat-rapat Badan Pengurus Sinode GKT.
diabaikan. Jemaat-jemaat itu tetap akan diinvestigasi sejauh relevan dengan soal yang mau dibahas.
D. Metodologi
Pendekatan yang dipergunakan oleh penelitian ini bersifat kualitatif. Ini karena perhatian yang diberikan oleh pendekatan ini kepada individu-individu dan situasi hidup mereka31 serta kemampuannya untuk memberikan gambaran rinci dan mendalam tentang suatu peristiwa atau perilaku orang atau kelompok orang di suatu masa dan tempat tertentu.32 Pusat perhatiannya bukan pada data kuantitatif atau angka-angka melainkan pada data-data tekstual dan kisah-kisah subjek yang diteliti,33 pada emosi-emosi mereka, motivasi-motivasi, simbol-simbol dan maknanya, serta aspek-aspek subjektif lain sebagaimana tampil dalam perilaku-perilaku sehari-hari, dalam pengalaman-pengalamannya dan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hal-hal yang rutin dan alami buat mereka.34
1. Metode-metode Penelitian
Mengingat penelitian ini dilakukan atas kehidupan yang berlangsung di masa yang lalu maka strategi utama yang dipergunakan untuk menggali data adalah dengan penelitian dokumen-dokumen dan arsip-arsip. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terang tentang situasi dan kondisi yang sedang berlangsung pada masa yang diteliti serangkaian
31 Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences
(Needham Heights, MA.: Allyn & Bacon, 2001), 10.
32 Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. & Dr. Aan Komariah, M.Pd.,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-2. (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010),
219. 33
Carl F. Auerbach & Louise B. Silverstein, An Introduction to Coding and Analysis Qualitative Data (New York, NY.: New York University Press, 2003), 23, 24.
wawancara dilakukan atas sejumlah individu. Selain itu, keterlibatan dalam berbagai kegiatan gerejawi bersama subjek penelitian juga turut dilakukan untuk mencari informasi yang melengkapi data-data penelitian. Informasi yang diperoleh dari sejumlah percakapan direkam dalam laporan percakapan.
Di bawah ini merupakan penjelasan metode-metode riset yang dipergunakan.
1.1. Penelitian Dokumen
Jika wawancara dan observasi berhubungan dengan subjek yang hidup, riset dokumen berurusan dengan subjek-subjek yang bisu, yang terdiri atas teks-teks tertulis dan artifak-artifak.35 Lincoln dan Guba membagi dokumen-dokumen ini ke dalam dua kategori, yakni dokumen-dokumen (documents) dan rekaman-rekaman
(records).36 Rekaman-rekaman adalah teks-teks yang dipersiapkan untuk suatu transaksi formal. Bentuknya seperti piagam nikah, surat izin mengemudi, surat kontrak dan lain-lain. Dokumen-dokumen adalah teks-teks yang dipersiapkan untuk urusan-urusan personal. Bentuknya bisa berupa buku harian (diary), memo, surat-surat, catatan-catatan lapangan dan lain-lain.
Hodder menyejajarkan dokumen dengan peristiwa ucapan atau perkataan (speech). Untuk memahaminya dibutuhkan interpretasi yang lebih kontekstual. Rekaman lebih sejajar dengan peristiwa tulisan, yang penggunaannya dapat sangat lokal dan karena itu maknanya bisa sangat jauh dari yang diterima secara resmi. Jika dokumen melibatkan suatu teknologi yang bersifat
35 Ian Hodder, “The Interpretation of Documents and Material Culture” dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds., Collecting and Interpreting Qualitative Materials (Thousand Oaks, CA.: SAGE Publications Inc., 2003), 155.
pribadi sementara rekaman suatu teknologi kekuasaan negara yang penuh.37
Sartono Kartodirdjo membuat dua pembedaan lain atas dokumen. Yang pertama dokumen dalam arti sempit dan kedua dokumen dalam arti luas. Dokumen pertama adalah “kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan.”38 Dokumen jenis ini dapat ditemukan pada surat-surat, catatan-catatan harian, memoar-memoar, laporan-laporan dan lain sebagainya. Dokumen jenis kedua adalah artifak-artifak, monumen-monumen, foto-foto, tape
dan lain-lain.
Pembedaan-pembedaan di atas tentu berguna dalam menganalisis isi yang terkandung dalam suatu dokumen. Dalam penelitian ini dipergunakan pengertian dokumen yang lebih luas, seperti yang disarankan Hodder, yaitu teks-teks tertulis dari segala macam jenis.39 Sejumlah besar dokumen-dokumen GKT yang dibaca dan diteliti adalah sbb.:
1.1.1. Akta Rapat Tahunan Geredja Kristen Tionghoa (THKTKH) Klasis Jatim tahun 1967-1968.
1.1.2. Akta-akta dan Notulen-notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) dari Sidang Sinode Ke-1 tahun 1968 sampai dengan Sidang Sinode Ke-19 tahun 1999.
1.1.3. Surat-surat Pengurus Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) Klasis Jatim yang dikirim kepada perorangan, lembaga-lembaga pemerintah dan badan-badan gerejawi antara tahun 1960-1967 dan balasannya.
1.1.4. Surat-surat Badan Pengurus Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) yang dikirim kepada perorangan, lembaga-lembaga
37
Hodder dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds.,
Collecting and Interpreting Qualitative Materials, 156.
38 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Dokumen” dalam
Metode-metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat, ed. (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 46.
39 Lihat Hodder dalam Denzin & Lincoln, eds., Collecting and
pemerintah dan badan-badan gerejawi antara tahun 1968-1999 dan balasannya.
1.1.5. Buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) edisi 1977, edisi 1993 dan edisi revisi 2008.
1.1.6. Anggaran Dasar Sekolah Kristen Aletheia Departemen Pendidikan Synode Gereja Kristus Tuhan Tahun 1970, Buku Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia 1987 dan Pedoman Tehnis Penyelenggaraan Pendidikan dan Operasional Sekolah Kristen Aletheia Tahun 1993. 1.1.7. Majalah-majalah Sinode GKT. Majalah ini awalnya
diterbitkan dua bulan sekali dengan nama Berita Geredja Sinode Geredja Kristus Tuhan. Beberapa waktu kemudian namanya berganti menjadi Berita Warga Gereja Kristus Tuhan Indonesia. Setelah berhenti terbit pada akhir 70-an, pada tahun 1987 majalah ini terbit lagi dengan nama baru
Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan. Edisi baru ini terbit tiga kali, April, Agustus dan Desember tiap tahun sampai dengan tahun 1997. Setelah itu, karena masalah finansial diputuskan tidak terbit lagi.
1.1.9. Catatan-catatan lapangan sejarah GKT yang berisi catatan-catatan versi pribadi dari sejumlah tokoh GKT pada awal tahun 70-an. Catatan-catatan ini mereka susun dalam rangka dilaporkan kepada tim peneliti survei menyeluruh gereja-gereja di Indonesia, DGI. Catatan-catatan ini masing-masing dibuat oleh Go Yauw Koen (anak Go A Sie, salah satu pendiri GKT Jemaat I, Malang), Ds. Ie Tjin Sin (pendeta emeritus GKT), Koo Twan Tjhing (Tua-tua GKT Jemaat III Malang), Komisi Visitasi ke Jemaat Lumajang, Jemaat Probolinggo, Jemaat Jember dan Jemaat Genteng, Go Beng Kie, dan Ds. Yang Pek Yung. Sebagian catatan diketik, sementara sebagian ditulis tangan. Dokumen-dokumen ini diterima dari Kantor Sinode GKT.
Sebagian besar dokumen pertama sampai keempat diperoleh dari koleksi alm. Singgih Lukito Setiawan, mantan Ketua Sinode GKT periode 1970-1985. Sebagian sebagian kecil dari arsip yang tersimpan Kantor Sinode GKT, Jl. Argopuro 6, Malang. Untuk notulen-notulen sidang-sidang sinode, sebagian besar diperoleh dari koleksi pribadi alm. Pdt. Moretz Masrikat.
Selain material primer di atas, sejumlah material sekunder turut pula dibaca dan diteliti. Yang pertama adalah sejumlah besar dokumen dan arsip Gereja Methodist Episkopal Konferensi Malaysia dan Gereja Methodist Episkopal Konferensi Misi Hindia Belanda, dari tahun 1909-1928. Dokumen dan arsip itu berupa notulen-notulen, laporan-laporan, surat dan majalah. Laporan-laporan itu ditulis oleh para misionaris dan superintenden para misionaris serta pekerja gerejawi lainnya dari Gereja Methodist Episkopal yang bekerja di kota Surabaya dan sekitarnya. Dokumen-dokumen ini sebagian diperoleh dari The Methodist Church Archives, Singapura dan sebagian dari perpustakaan digital
Yale University.
yang berbahasa Indonesia. Majalah ini terbit dari tahun 1948 sampai dengan tahun 1958. Isinya berupa laporan berbagai kegiatan jemaat-jemaat Tionghoa di berbagai tempat di Indonesia, artikel-artikel dan laporan-laporan perjalanan yang dilakukan oleh pengurus masing-masing klasis. Majalahnya diterbitkan dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa. Sebagian edisi diperoleh dari arsip digital perpustakaan Ohio University, Amerika Serikat, dalam bentuk salinan elektronik. Sebagian lain, dalam jumlah yang lebih banyak dan dalam bentuk cetakan, dari koleksi GKT Jemaat Efrata, Genteng, Banyuwangi.
Selanjutnya adalah dokumen Sidang Lengkap IV dan V Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang diadakan di Jakarta pada tahun 1960 dan 1964.40 Di dalamnya ditemukan pembahasan-pembahasan tentang orang-orang Tionghoa Kristen di GKT, yang waktu itu masih bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Klasis Jawa Timur (THKTKH Klasis Jatim) dan data-data lain terkait dengan gereja tersebut. Dokumen lain dari DGI yang turut diteliti di sini adalah sebuah laporan survei gereja-gereja di Indonesia yang dilakukan oleh DGI dari tahun 1968-1976.41 GKT adalah salah satu gereja anggota yang turut disurvei. Data-data yang disajikan dalam dokumen-dokumen ini dipergunakan untuk memahami identitas sosial-budaya dan keagamaan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sampai sebelum Orde Baru berkuasa. Yang bertanggung jawab mengumpulkan data dan mengirimkan-nya ke tim di Jakarta adalah Pdt. Joseph Tong, mantan Sekretaris Assisten Sinode GKT dan dekan di sekolah tinggi teologi GKT pada awal tahun 70-an.
Selain itu, turut pula dibaca dan dianalisis tulisan-tulisan yang muncul dari kalangan Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (GKI Jatim). Alasanya, karena sebelum berpisah, GKI
40 Dokumen ini sudah diterbitkan oleh Sekretariat Umum PGI pada
tahun 1996.
41 Dr. Fridolin Ukur & Dr. Frank L. Cooley, peny., Jerih dan Juang:
Jatim dan GKT adalah sama-sama bagian dari THKTKH Klasis Jatim. GKI Jatim adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi bahasa Indonesia sementara GKT adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi bahasa Tionghoa. Sumber-sumber GKI Jatim yang dipergunakan adalah Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur 22-2-1934—22-2-1984, Benih Yang Tumbuh 14: Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur dan Boekoe Sedjarah Geredja Kristen Indonesia Toemapel Malang 1941-2001.
1.2. Penelitian Wawancara
Tujuan wawancara ialah untuk menemukan gambaran yang lebih kongkrit tentang situasi yang dihadapi, yang menjadi konteks segala percakapan dan keputusan yang diambil dalam rapat-rapat gerejawi GKT, atau surat-surat yang dikirimkan kepada berbagai pihak, atau tindakan-tindakan tertentu yang diambil di level jemaat. Ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk memilih para informan. Pertama, mengetahui riwayat orang-orang Tionghoa Kristen di THKTKH Klasis Jatim pada dekade 50-an dan 60-an. Kedua, mengetahui riwayat orang-orang Tionghoa Kristen di GKT pada akhir dekade 60-an sampai akhir dekade 90-an. Ketiga, memiliki pengetahuan secara tidak langsung tentang THKTKH Klasis Jatim dan GKT, yakni dari tokoh atau pelaku yang diketahui terlibat langsung dalam kehidupan dua organisasi gerejawi tersebut. Keempat, memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang keadaan hidup orang-orang Tionghoa Kristen di suatu jemaat GKT pada zaman sebelum Orde Baru, atau di zaman Orde Baru, atau di kedua-duanya.
Pemilihan informan dilakukan secara purposif dan
dan di luar negeri (3). Profesi mereka bermacam-macam: pekerja gerejawi (9), pengusaha (13), dosen (2), pekerja seni (1), mantan guru (1) dan ibu rumah tangga (1). Sebagian besar informan saya kenal secara pribadi sementara sebagian kecil baru bertemu dan berkenalan dalam proses wawancara. Sebagian wawancara dapat direkam dengan alat perekam sementara sebagian lain tidak dapat karena keengganan informan untuk direkam. Informasi yang diperoleh dari informan yang bermukim di luar negeri sebagian besar melalui korespondensi surat elektronik (e-mail).
Wawancara yang dilakukan bersifat tidak terstruktur. Sifat wawancara ini dipilih karena memberi kesempatan kepada peneliti untuk masuk secara mendalam, menyingkapkan petunjuk-petunjuk baru, membuka dimensi-dimensi baru dari sebuah problem dan untuk memperoleh laporan-laporan yang hidup, akurat dan inklusif dari para informan, berangkat dari pengalaman-pengalaman pribadi mereka.42 Meski tidak terstruktur, wawancara tetap dbingkai dalam problem yang coba ditemukan jawabannya oleh riset ini, yaitu dalam cara-cara bagaimana informan atau orang-orang Tionghoa Kristen di GKT mensiasati kebijakan asimilasi dari pemerintah Orde Baru. Waktu yang dihabiskan untuk tiap wawancara bervariasi antara empat puluh menit sampai tiga jam.
1.3. Pengamatan Terlibat
Selain data-data dari wawancara, sepanjang tahun 2008-2014 saya juga telah mengambil bagian dalam berbagai kegiatan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di berbagai kota di Jawa Timur. Dalam kegiatan-kegiatan ini saya telah bertemu dan bercakap-cakap dengan sejumlah anggota sebuah jemaat GKT dan sejumlah pekerja gerejawi GKT. Dari pertemuan-pertemuan itu saya telah membuat catatan-catatan yang merekam hal-hal yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
2. Prosedur Analisis Data
Data-data yang tersaji di dalam dokumen-dokumen primer dan sekunder serta wawancara dipilah-pilah ke dalam empat level analisis. Level pertama adalah level sidang-sidang gerejawi. Level kedua adalah level korespondensi dengan lembaga-lembaga pemerintah dan aktor-aktor pemerintah; level ketiga korespondensi dengan lembaga-lembaga gerejawi lain. Dan, terakhir, level keempat adalah level kehidupan jemaat setempat di mana orang-orang Tionghoa Kristen ini menjadi anggotanya. Tiga level pertama berhubungan dengan lokasi pertama penelitian ini, yaitu di tingkat sinodal; sementara level analisis terakhir berhubungan dengan lokasi kedua penelitian ini, yaitu di tingkat lokal.
Teori perlawanan James C. Scott, yang telah diakui sebagai alat yang berguna dalam memahami perilaku orang-orang yang didominasi saat berhadapan dengan penguasa dan di belakang penguasa di antara sesamamua,43 dipergunakan sebagai kerangka teoretis utama untuk menganalisis perilaku orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi. Dua kerangka konseptual yang disediakan oleh teori itu, yakni transkrip publik dan transkrip tersembunyi, dipakai sebagai pisau untuk menganalisis data-data yang ditemukan dari penelitian.
3. Akses kepada Informan dan Informasi
Sejak awal telah saya sadari bahwa isu yang dibahas dalam penelitian ini adalah topik yang sensitif bagi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT. Sebagai bagian dari masyarakat minoritas Tionghoa, mereka turut pula mengalami pahit getirnya hidup di bawah rezim yang mendiskriminasi. Karenanya, untuk
43 Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden Transcript: The
Discursive Arts of Neoliberal Legitimation” dalam American Anthropologist
memperoleh informasi, dibutuhkan suatu relasi yang baik dan rasa percaya mereka.
Faktor yang saya temukan telah berperan besar dalam relasi saya dengan para informan dan penyedia dokumen adalah profesi saya sebagai pekerja gerejawi GKT, yang pernah bekerja di level lokal jemaat dan sinodal. Meski dari antara informan ada yang sama sekali belum pernah mengenal saya secara pribadi, latar belakang itu telah membuat permintaan saya untuk menggali informasi mendapat sambutan yang baik.
Meski demikian hambatan yang saya hadapi juga ada. Sebagai orang non-Tionghoa yang tak bisa berbahasa Tionghoa, akses saya kepada informasi dan informan berbahasa Tionghoa menjadi terhambat. Ada informan-informan yang mestinya dapat memberi informasi namun karena keterbatasan tersebut saya akhirnya memilih tidak menghubungi mereka.
Semua informan yang diwawancarai telah setuju untuk diwawancarai. Sebagian dengan perekam sementara sebagian lain tidak. Nama-nama yang tertulis dalam surat-surat, akta-akta sidang dan notulen-notulen diungkapkan secara terbuka karena semua dokumen itu bukan dokumen rahasia. Sementara nama-nama sebenarnya dari informan yang diwawancarai diubah untuk menjaga kerahasiaan namanya sesuai kesepakatan peneliti dengan mereka.
E. Garis Besar Isi
Bab I menyajikan latar belakang timbulnya studi ini diikuti dengan artikulasi masalah, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan dan tujuan yang mau dicapai. Selanjutnya disajikan fokus dan ruang lingkup studi yang memberikan penjelasan tentang isu yang hendak didalami dan sampai di mana batas-batasnya. Bab ini ditutup dengan uraian singkat mengenai metodologi yang dipergunakan untuk penelitian ini.
Di dalam Bab II disajikan suatu kajian pustaka mengenai kerangka teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini. Pembahasan akan diawali dengan pembahasan ringkas temuan-temuan terdahulu mengenai orang Tionghoa dan kebijakan asimilasi. Ditunjukkan di sana bahwa perlawanan belum dilihat sebagai suatu sikap yang turut diambil oleh orang-orang Tionghoa. Peran agama dan lembaga keagamaan masih dilihat sebagian medium berasimilasi. Berangkat dari kenyataan bahwa operasi kekuasaan selalu menimbulkan resistensi uraian selanjutnya bergerak kepada sebuah kerangka teori baru untuk membaca pengalaman orang-orang Tionghoa di Indonesia, yang akan dipergunakan dalam penelitian ini. Sesudah sejumlah diskusi mengenai perlawanan terhadap dominasi negara bab ini akan diakhiri dengan bahasan tentang teori perlawanan yang diajukan James C. Scott. Kerangka teori inilah yang dipergunakan dalam menjelaskan aktivitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT.
Bab III membuka pembahasan mengenai hasil-hasil penelitian dengan deskripsi historis singkat mengenai siapa dan bagaimana orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sampai menjelang tahun 1968. Di dalamnya akan diterangkan latar belakang sosial, budaya, politis dan spiritual orang-orang Tionghoa Kristen di GKT. Uraian ini berperan sebagai latar untuk memahami respons-respons mereka, yang diuraikan dalam bab selanjutnya.
Orde Baru atas semua orang Tionghoa. Akan diurai aneka strategi yang dijalankan untuk memperlihatkan kepatuhan mengikuti kebijakan asimilasi di depan penguasa. Lalu juga sikap dan perilaku yang diperagakan di pentas belakang (off stage), di ruang-ruang yang luput dari pemantauan (surveillance) penguasa, demi melestarikan penanda-penanda budaya Tionghoa, yang coba dihapus oleh kebijakan asimilasi.
Bab V akan menjadi sebuah kajian yang lebih teoretis, yang membahas temuan-temuan yang sudah dipaparkan dalam dua bab sebelumnya. Akan didiskusikan kontribusi penelitian ini kepada teori-teori mengenai orang-orang Tionghoa di Indonesia dan kepada teori-teori tentang perlawanan orang-orang tertindas.