• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menanggulangi Migrasi Ireguler di Laut: Bakamla dan Manajemen Keamanan Maritim di Indonesia

Dalam dokumen Keamanan Siber Menuju Perang Geometri An (Halaman 196-200)

Tangguh Chairil, Ratu Ayu Asih Kusuma Putri & Dennyza Gabiella, Universitas Bina Nusantara

tangguhchairil@hotmail.com, ratuayuasih@gmail.com,

dennyza.gabiella@gmail.com

Abstrak

Dalam menanggulangi migrasi ireguler di wilayah laut Indonesia, peran badan- badan keamanan maritim di Indonesia perlu ditingkatkan. Indonesia telah memiliki Badan Keamanan Laut (Bakamla), yang bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Dibentuk dari Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) pada 2014, kedudukan Bakamla diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut. Pembentukan Bakamla didorong oleh ekspektasi agar Indonesia memiliki instansi keamanan maritim sipil tunggal yang berbasis pada pendekatan single agency, multi tasks, setelah secara historis manajemen keamanan maritim Indonesia terdiri dari berbagai instansi seperti TNI AL, POLRI, Bea Cukai, KPLP, KKP, Imigrasi, KLHK, dan Kemdikbud. Menggunakan kerangka konsep penanggulangan migrasi ireguler dan manajemen keamanan maritim, paper ini akan menganalisis dan mengevaluasi peran Bakamla dalam menanggulangi migrasi ireguler di laut. Paper ini juga akan melakukan perbandingan antara implementasi sebelum pembentukan Bakamla dan sekarang.

Kata kunci

migrasi ireguler, keamanan maritim, Bakamla

Pendahuluan

―Kalau suatu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan‖ – Tan Malaka, Medilog

Pentingnya Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat diilustrasikan dari pernyataan Tan Malaka di atas. Indonesia menjadi jalur transportasi vital yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Atlantik, belahan bumi sebelah

utara dan selatan garis khatulistiwa. Tidak hanya dari segi letak, namun Indonesia memiliki wilayah laut dan perairan yang lebih luas dibanding daratannya. Keunggulan geografis ini menuntut kesiapan dan kesiagaan yang tidak kalah unggul, terutama dalam menjaga dan menghadapi tantangan- tantangan keamanan yang terjadi di wilayah laut Indonesia. Seiring dengan visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, pemerintah pun mulai melakukan berbagai upaya penguatan lini pertahanan keamanan lautnya. Tulisan ini akan mengkaji manajemen keamanan laut Indonesia dengan memfokuskan pada isu migrasi ireguler dan secara khusus melihat peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam menangani isu tersebut.

Konsep migrasi ireguler secara umum mencakup isu penyelundupan manusia (people smuggling), perdagangan manusia (human trafficking), pekerja ilegal (illegal labour migrants) dan pengungsi (refugees). Seringkali isu- isu migrasi tersebut terjadi secara tumpang tindih dalam waktu yang bersamaan sehingga memerlukan keterlibatan berbagai lembaga bahkan negara. Migrasi ireguler didorong oleh berbagai faktor di antaranya konflik internal dan eksternal yang menyebabkan instabilitas keamanan di negara asal hingga dorongan ekonomi. Isu migrasi ireguler (irregular migration of persons) semakin menjadi perhatian pemerintah Indonesia beberapa dekade belakangan ini seiring dengan meningkatnya tensi dan intensitas konflik di berbagai belahan dunia. Secara berkala, Indonesia pada dasarnya sudah menjadi negara persinggahan bagi pencari suaka yang ingin masuk ke wilayah Australia. Secara hukum internasional, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi secara permanen di wilayahnya karena tidak menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1961. Sebagian besar pencari suaka yang melewati wilayah Indonesia berasal dari kawasan Asia Tengah seperti Afghanistan, Pakistan, dan Srilanka; Timur Tengah seperti Iran, Palestina, dan Irak; Myanmar dan Somalia (UNHCR, 2016).

Meningkatnya tensi konflik etnis di Myanmar menyebabkan masuknya ribuan pencari suaka ke perairan utara Indonesia pada tahun 2015. Situasi ini kemudian lebih dikenal dengan krisis manusia perahu asal Rohingya. Meskipun secara yurisdiksi hukum internasional Indonesia berwenang untuk menghalau kapal para pencari suaka tersebut, pemerintah Indonesia dengan dasar kemanusiaan bersedia menampung penumpang kapal untuk sementara. Hanya saja permasalahan menjadi semakin rumit karena tidak semua penumpang kapal adalah pencari suaka melainkan juga mencakup migran ekonomi (economic migrants) asal Bangladesh (Cunningham, 2015). Hal ini mengindikasikan adanya keterlibatan sindikat penyelundup manusia (people smugglers) maupun perdagangan manusia (human traffickers). Ditinjau dari

sudut pandang penegakan hukum, aparat keamanan laut memegang peran sentral dalam mencegah dan menangani ancaman kejahatan lintas batas tersebut.

Badan Keamanan Laut (Bakamla) dibentuk secara resmi untuk menggantikan lembaga pendahulunya, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut, sebagai tindak lanjut dari disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Bakorkamla sendiri sudah terbentuk sejak tahun 1972 dengan fungsi pokok untuk melakukan koordinasi pengamanan laut di Indonesia. Pembentukan Bakamla memperluas kewenangan Bakorkamla hingga mencakup penegakan hukum secara langsung atas pelanggaran di wilayah perairan, tidak hanya sebagai koordinator. Untuk menjalankan kewenangan ini, Bakamla pun diperkuat dengan kapal-kapal patroli, helikopter, pesawat serta alat pengintai (Wijaya, 2014).

Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Secara struktur lembaga ini berada di bawah koordinasi Menkopolhukam serta Menteri Koordinator Kemaritiman (Menko Maritim) dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut (Perpres RI, 2014). Lembaga ini merupakan gabungan dari berbagai lembaga yang memiliki kewenangan terkait kawasan laut dan perairan di Indonesia, seperti Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) khususnya Direktorat Polisi Air Badan Pemelihara Keamanan (Polair) POLRI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) khususnya Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (KPLP), Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Badan Intelijen Negara (BIN), Markas Besar TNI (Mabes TNI), Kejaksaan Agung (Kejagung). Ditinjau dari segi struktur organisasi, Bakamla dipimpin oleh seorang Kepala berikut Sekretaris Utama yang membawahi tiga bidang, yaitu Bidang Kebijakan dan Strategi, Bidang Operasio dan Latihan, serta Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama (BAKAMLA, n.d.).

Secara ideal, selain menjadi ‗penjaga pantai (coast guard)‘, Bakamla

diharapkan mampu melanjutkan fungsi lembaga pendahulunya secara efektif sebagai unit koordinasi (coordinating body) dalam penegakan hukum di wilayah perairan di Indonesia. Namun sebagai lembaga yang baru terbentuk, kewenangan Bakamla masih bersinggungan dengan lembaga-lembaga lain yang sudah lebih dulu diberikan mandat penegakan hukum di laut. Tercatat hingga tahun 2013, terdapat 13 lembaga yang memiliki kewenangan serupa (CNN Indonesia, 2015). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, misalnya, memberikan tugas penegakan hukum dan penjagaan keamanan laut nasional kepada TNI AL. Pada UU tersebut, penegakan hukum oleh Angkatan Laut mencakup penanganan ancaman kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut yang menjadi yuridiksi nasional (TNI AL, 2004). Terlihat bahwa meskipun merupakan lembaga sipil, Bakamla sendiri selalu dipimpin oleh perwira aktif TNI AL karena akan mengoperasikan aset- aset TNI AL. Connie Rahakundini, Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Studies berargumen bahwa hingga saat ini, tumpang tindih kewenangan ini belum terselesaikan karena kekhawatiran munculnya resistensi internal dalam lembaga ketika terjadi peralihan kewenangan (CNN Indonesia, 2015).

Sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan, Bakamla dirancang untuk mampu melakukan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia melalui aktifitas patroli keamanan dan keselamatan serta pengintaian. Bakamla tidak hanya diharapkan menjaga wilayah perairan dari ancaman keamanan, namun pula memberikan bantuan pertolongan ketika terjadi kecelakaan di perairan dan wilayah yuridiksi Indonesia (BAKAMLA, n.d.). Jika dikaitkan dengan isu migrasi ireguler, seringkali patroli keamanan laut menghadapi dilema antara menghalau kapal-kapal pencari suaka yang terombang-ambing di perairan Indonesia atau membawa masuk kapal-kapal tersebut untuk diberikan bantuan kemanusiaan. Kondisi pencari suaka seringkali sudah memprihatinkan karena kekurangan bahan makanan, ketiadaan sanitasi dan kapal yang tidak layak untuk bertahan di kondisi laut yang berbahaya.

Pada bagian-bagian selanjutnya di tulisan ini akan dipaparkan isu migrasi ireguler yang terjadi di Indonesia dan pola penanganan yang sudah dilakukan terutama terhadap isu-isu yang terjadi melalui jalur perairan. Kemudian secara lebih komprehensif akan dilakukan analisis terhadap keterlibatan serta peran Bakamla dalam penanganan isu tersebut. Akhirnya, tulisan ini akan secara umum mengevaluasi manajemen keamanan maritim Indonesia.

Analisis Penanganan Migrasi Ireguler di Indonesia

Modus penyelundupan manusia ke wilayah Australia melalui perairan Indonesia sering kali dilakukan melalui pesisir pantai di wilayah Nusa Tenggara Timur. Imigran ireguler masuk dengan beberapa cara, termasuk penggunaan visa resmi melalui bandar udara internasional. Dari situ, kemudian para pencari suaka akan dibawa dengan menggunakan kapal motor yang tidak layak berlayar sehingga diharapkan akan tenggelam di dekat perairan Australia. Ketika kapal pencari suaka tenggelam, menurut aturan Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea [UNCLOS]) 1982, kapal-kapal resmi yang berlayar di perairan tersebut wajib untuk memberikan pertolongan dan membawa penumpang kapal tersebut ke daratan terdekat (Hall, 2012, 387).

Tingginya minat imigran ireguler untuk menuju Australia menimbulkan permasalahan bagi aparat keamanan laut Indonesia yang menjadi ujung tombak pengawasan di wilayah perbatasan. Sebagai salah satu negara transit yang mengungkapkan komitmennya pada forum Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime (Bali Process) 2001 untuk menyelesaikan permasalahan imigran ireguler dengan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia dihadapkan pada dilema antara menjaga keamanan domestik dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan. Sejak awal 2000-an, Indonesia telah meningkatkan usaha untuk mengontrol pergerakan imigran ireguler dan sindikat perdagangan manusia yang berada wilayahnya. Akan tetapi, Indonesia belum melakukan perubahan berarti dalam penguatan penegakan hukum. Sebagai akibatnya, penanggulangan yang dilakukan oleh aparat Indonesia dalam menghadapi kedatangan para imigran ireguler cenderung lebih bersifat reaktif, seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa negara transit yang lain. Permasalahan perlindungan terhadap pencari suaka dan pengungsi sebelumnya bukan merupakan topik yang popular di Indonesia, sementara pencegahan masuknya imigran ireguler memperoleh perhatian yang lebih dari pemerintah Indonesia sebelum Bali Process. Dengan kata lain, Indonesia secara umum lebih mengutamakan perlindungan perbatasan daripada perlindungan manusia (Missbach, 2015, 162).

Karena belum menandatangani Konvensi Terkait Status Pengungsi PBB (Convention Relating to the Status of Refugees) 1951 beserta Protokol Terkait Status Pengungsi PBB 1967, Indonesia menjadi lemah dalam hal kerangka legislatif terkait perlindungan pencari suaka dan pengungsi yang menjadi bagian dalam kelompok imigran ireguler. Komitmen Indonesia dengan menjadi

Dalam dokumen Keamanan Siber Menuju Perang Geometri An (Halaman 196-200)