• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendirikan Sekolah Islam (Madrasah)

BAB IV UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWANA X DALAM

B. Mendirikan Sekolah Islam (Madrasah)

Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia-Belanda adalah motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Pada awalnya sasaran dalam penyebarannya dilakukan secara langsung di gereja-gereja, melalui buku dengan menerbitkan buku-buku kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan

24

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, (Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008), hal 45

25

M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “KeratonAlit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), hal 24

hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian sekolah-sekolah dan rumah sakit. Pendirian sekolah-sekolah dan rumah sakit tersebut yang bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen, mendapat banyak bantuan dan kemudahan dari pemerintah kolonial.26 Di Kasunanan Surakarta perkembangan pendidikan tidak lepas dari peran Sunan Paku Buwono X, sejak Paku Buwono X memegang pemerintahan di kasunanan, pendidikan mulai mendapat perhatian besar. Perhatian yang besar tersebut ditunjukkan oleh Sunan dengan mengirimkan putra-putrinya serta para sentono dalem untuk bersekolah ke sekolah-sekolah Belanda.27

Sekolah-sekolah Kristen seperti Neutral, Zending dan Missi mengalami perkembangan yang pesat, hal tersebut mengakibatkan munculnya reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada awal abad 20. Dengan adanya sekolah-sekolah model Barat membuat para pemuda pribumi lebih memilih pengajaran Barat, karena dianggap sebagai pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga baru yang diperkenalkan oleh administrasi kolonial. Di Surakarta reaksi terhadap penginjilan dan munculnya sekolah-sekolah Kristen, paling keras terjadi di daerah Laweyan yaitu daerah yang banyak didiami oleh para pedagang Islam.28

Politik zending dan missi merupakan kepanjangan tangan dari

26

Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42

27

Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal: 48

28

George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 52

pemerintah Hindia-Belanda. Dalam kebijakannya pemerintah Belanda lebih mengutamakan anak-anak priyayi. Sekolah Dasar Eropa sudah berdiri di kota-kota Jawa sejak tahun1850-an yang diperuntukkan anak-anak pangreh praja

dan aristokrat Jawa, dan bukan untuk anak-anak masyarakat umum. Kehadiran Sekolah Dasar Eropa di Surakarta menimbulkan polemik, karena adanya faktor diskriminasi. Landasan diskriminasi di Sekolah Dasar Eropa mengikuti besar kecilnya pendapatan dan status sosial orang tua murid. Pertumbuhan pendidikan yang disertai dengan diskriminasi menimbulkan polemik antara pihak pengelola (zending dan missi) dengan aristokrat, ulama maupun pujangga. Inti dari polemiknya adalah:

1. Sistem pendidikan Barat mempraktikan nilai-nilai sekularisme

2. Menciptakan diskriminasi sosial karena yang dapat belajar di sekolah tersebut adalah anak-anak pangreh praja dan aristokrat Jawa. Sementara itu anak-anak lainnya yang bukan dari kalangan tersebut, walaupun dari kalangan yang status ekonominya tinggi diabaikan oleh sistem pendidikan kolonial.

3. Di lembaga pendidikan zending dan missi tidak diajarkan pendidikan agama Islam dan kebudayaan Jawa. Hal terakhir ini yang dipandang dapat merusak kepribadian anak pangreh praja dan aristokrat Jawa.29

Bahkan tidak adanya pengajaran agama Islam dan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan di Surakarta dan Yogyakarta merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan. Menurut pemikiran aristokrat, ulama dan pujangga

29 Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan

Masyarakat”, (Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98

bahwa agama Islam maupun kebudayaan merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan. Jawa adalah pendidikan moral dan etika untuk seluruh anak pribumi. Karena agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah ajaran-ajaran tentang falsafah kehidupan yang diyaikini oleh masyarakat Jawa.30

Belanda yang banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya diajarkan agama Kristen di Surakarta dan melarang diajarkannya agama Islam di sekolah-sekolah formal membuat pihak keraton khawatir. Hal itu mengakibatkan munculnya reaksi dari kasunanan Surakarta yang ingin mendirikan sekolah Islam sebagai bentuk kepedulian Sunan terhadap Islam. Dan untuk mendirikan sekolah Islam tersebut terlebih dahulu harus mengajukan izin dari pemerintah Belanda karena terdapat aturan bahwa siapa saja yang akan memberikan pengajaran agama Islam diwajibkan untuk memiliki izin tertulis dari bupati atau patih dengan mencantumkan sifat pengajaran tersebut, hal ini terdapat Staatblad van Nederlandsch-Indie.31 Barulah setelah memperoleh izin didirikanlah sekolah berdasarkan ajaran Islam yang diberi nama Mamba’ul Ulum yang didirikan pada tahun 1905 yang bertempat di halaman Masjid Agung Surakarta. Mamba’ul ulum adalah

sekolah bercirikan Islam, sekolah ini didirikan atas inisiatif Paku Buwono X dari kerajaan kasunanan Surakarta.

Mamba’ul ulum adalah lembaga pendidikan Islam formal yang tertua di lingkungan Kasunanan Surakarta, semua lembaga pendidikan di surakarta

30 Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat”, Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98.

pada waktu itu mengambil bentuk pesantren.32Mamba’ul ulum mempunyai arti “sumber ilmu pengetahuan” yang merupakan harapan bagi pendirinya.

Siapa yang haus akan ilmu pengetahuan maka hendaklah minum air sumber

ilmu pengetahuan dalam Mamba’ul ulum.33

Pada tahap awal pembentukannya

Mamba’ul ulum belum cukup mantap, belum teratur, belum mempunyai

gedung sendiri dan belum banyak peralatan dan sarana sehingga banyak mengalami kesulitan dan tantangan.

Berdirinya Mamba’ul Ulum di Surakarta tahun 1905 pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari peran Sunan Paku Buwono X. Sistem pendidikan berdasarkan agama Islam yang dikenal dengan madrasah. Mamba’ul Ulum ini

berdiri pada hari ahad tanggal Jumadil awal tahun alip 1835 (tahun Jawa) atau tanggal 20 Juli 1905. Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari

pemikiran Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya

Mambaul’Ulum disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya

yaitu untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan. Sunan selain sebagai raja di Kasunanan Surakarta juga sebagai Panatagama yaitu pemimpin tertinggi agama, kurang senang terhadap pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending yang berada di wilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke kasunanan, tetapi tidak dengan agama yang dibawa oleh orang-orang Barat yaitu Kristen yang dibawakan Zending, Sunan kurang menyukainya. Karena

32

Kareel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal 45-46

33

A. Basit Adnan, Sejarah Masjid Agung daan Gamelan Sekaten di Surakarta,

sunan tidak ingin rakyatnya memeluk agama lain selain agama Islam.34

Madrasah dan pelajaran agama Islam muncul pada awal abad ke-20. Madrasah adalah sebuah sekolah yang berasal dari Arab, tetapi terpengaruh dengan model sekolah Barat. Didalam Madrasah tidak hanya diberikan pelajaran agama saja, tetapi diberi pelajaran seperti berhitung, membaca, menulis, belajar bahasa daerah, bahasa Arab dan sejarah Islam yang semua materi pelajaran telah disampaikan dengan metode modern.35 Dengan adanya madrasah merupakan wujud nyata dari perubahan pendidikan Islam yang terjadi pada awal abad ke-20 dari lingkup pesantren berubah menjadi sekolah Islam. Di Kasunanan Surakarta kemajuan pendidikan Islam tidak bisa lepas dari peran Sunan Paku Buwono X.

Paku Buwono X mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara simblolik dapat dijadikan tempat perlawanan masyarakat muslim terhadap pemerintah kolonial Belanda. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan poitik Islam, karena inti dari gerakan politik adalah mengokohkan nilai-nilai keagamaan melalui pendidikan Islam. Sunan memberikan dorongan untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.36

Berdirinya madrasah Mamba’ul Ulum dimaksudkan untuk menampung anak-anak abdi dalem pemutihan, suranata, khatib, ulama, perdikan, juru

34

Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 38-41.

35

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1990), hal: 79

36

Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, (Surakarta: Cakrabooks, 2010), hal 75

kunci dan lain sebagainya.37 Berdirinya madrasah ini membuktikan bahwa raja tidak lagi bersifat netral terhadap urusan agama dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama, hal ini disebabkan hadirnya Zending. Selain itu berdirinya madrasah ini dikarenakan adanya pengaruh dari gerakan Pan Islamisme. Dan diharapkan dengan berdirinya sekolah Islam (madrasah)

bernama Mamba’ul ulum ini dapat mencetak ulama-ulama yang nantinya terjun ke lapangan dan berusaha membendung upaya pihak zending.38

Pendirian madrasah Mambaul’Ulum merupakan kebijakan politik yang

cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie tahun 1893 no 125 pasal 5, dikemukakan adanya larangan adanya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang diselengarakan pemerintah atau swasta. Baik di dalam maupun di luar kelas.39 Karena atas dasar kebijakan tersebut maka muncul pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar keraton), yaitu:

1. Dengan tidak diajarkannya pelajaran Islam di Sekolah-sekolah dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Sebab pengajaran agama merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap akhlakul karimah untuk kehidupan masa depan.

37

Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, hal 39 38

Pendidikan madrasah pada konteks ke-Indonesiaan pada mulanya dilaksanakan untuk menjembatani antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh Belanda. Sebelum mengadopsi sistem pendidikan Barat dengan pola yang terstruktur dan berjenjang, pendidikan Islam berjalan dengan sistem pondok pesantren salafiyah yang dilaksanakan secara terbuka dan tidak berjenjang. Namun kemudian timbullah persoalan yaitu munculnya ide formalitas pendidikan Islam sehingga didirikanlah madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan secara berjenjang seperti Madrasah

Mamba’ul ulum di Surakarta, bahkan menurut Moh. Hisyam menyebutkan bahwa gagasan

pendidikan madrasah yang pertama kali muncul adalah terdapat pada madrasah Mamba’ul ulum

tersebut. Lihat: http://www.academia.edu/10196208/ARTIKEL_3, diakses pada 10 november 2015

2. Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan Zending atau pengabar injil meluas di kota-kota Vorstenlanden. Sunan Paku Buwono X yang pada waktu itu baru naik tahta pada tahun 1893 menolak adanya gerakan Zending tersebut. Pendeta Bakker yang ingin mendirikan sekolah dan rumah sakit Kristen pada tahun 1910 ditolak oleh Sunan. Namun berbeda dengan Sri Mangkunegoro, keinginan pendeta Bakker untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit kristen ditanggap positif oleh beliau dan kemudian diizinkan. Setelah mendapat izin tersebut Bakker mendirikan sekolah Kristen di wilayah kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit di izinkan berdiri di wilayah kelurahan Jebres.40

Secara nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan perkembangannya sebagai sekolah Islam. karena pendidikan pesantren pada waktu itu hanya memberikan pelajaran agama saja, akibatnya pendidikan model itu memiliki kelemahan, karena tidak adanya pelajaran umum.

Mamba’ul ulum di katakan sebagai pelopor dalam pembaharuan pendidikan karena memasukkan unsur pendidikan barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat

berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di lingkungan Surakarta.

Paku Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama.

40

Pimpinan sekolah dipegang oleh penghulu Tafsir Anom.41 Baru pada tahun

1914 gedung sekolah Mamba’ul Ulum ini telah selesai dibangun, yang

letaknya berada di dekat Masjid Agung Surakarta. Kurikulum yang diajarkan di madrasah itu tidak hanya diberi pelajaran tentang agama Islam saja, melainkan juga diajarkan bahasa Jawa, bahasa Melayu, berhitung, ilmu kodrat, dan lainnya. Tamatan dari sekolah ini nantinya dapat menjadi guru agama. Untuk biaya sekolah anak-anak dipungut biaya sebesar F 0,50 perbulan, uang pembayaran sekolah dari anak-anak ini dipakai untuk biaya sekolah yang dibuka sore hari, sedangkan biaya sekolah pada pagi hari ditanggung oleh kas Negeri.42

Sistem yang diterapkan di Mamba’ul Ulum adalah sistem pendidikan

yang berdasarkan Islam, kurikulum yang diajarkan lebih mementingkan pelajaran agama Islam dengan membekali siswanya untuk mempelajari ilmu dari sumber aslinya dengan bahasa Arab. Mata pelajaran yang pokok yaitu: membaca Al-Qur’an, tafsir, hadist muslim, fiqh, tauhid serta akhlaq.

Sementara ilmu bantu meliputi bahasa Arab, ilmu mantiq, ilmu falaq, tarikh bahasa Jawa, ilmu pendidikan serta aljabar. Kurikulum dipelajari untuk membekali para murid dalam keperluan dunia akhirat dan lulusannya diharapkan dapat berdikari.43

Kurikulum yang digunakan pada sekolah ini masih mencontoh pola

41

Nama Tabsir Anom diambil dari bahasa arab yang berarti kabar gembira, orang Jawa

menyebutnya “Tabsir Anom”, ada juga yang menyebutnya “Tafsir Anom”. Lihat : Ma’Mun

Pusponegoro, Muhammad Soim, Kauman, Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007), hal 35

42

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 471

43

http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf, diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015

pendidikan pondok pesantren yaitu dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa arab. Dalam perkembangannya kemudian dimasukkan budaya Jawa sebagai muatan lokal kurikulum, kebijakan memasukkan muatan lokal budaya Jawa ini merupakan pemikiran Sunan yang ingin melindungi dan mempertahankan tradisi budaya Jawa yang masih berlaku di masyrakat, baik nilai-nilai religius, nilai-nilai yang berhubungan dalam pandangan hidup seperti yang terdapat pada serat, suluk dan primbon, maupun nilai-nilai yang berhubungan dengan kemegahan, kekuasaan dan kebesaran keraton Kasunanan Surakarta.

Menurut pemikiran Paku Buwono X untuk meraih kemajuan dalam pendidikan tidak harus dengan meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Oleh

karena itu dalam pendidikan di Madrasah Mambau’ul Ulum diajarkan

pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan usaha untuk mempertahankan tradisi dan kebudayaan Jawa yang sudah sejak lama berlangsung, dan tidak menutupi kemungkinan memanfaatkan kebudayaan Barat secara selektif untuk mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa.44

Berdirinya Mamba’ul ulum ini telah menimbulkan reaksi dikalangan pegawai keraton maupun para ulama ada yang bersifat pro ada juga yang kontra. Yang mempunyai sifat pro memandang bahwa ide tersebut baik sekali dalam merelisasikan kewajiban menuntut ilmu dan sekaligus mendidik tenaga yang ahli dalam tugas keagamaan. Sedangkan yang bersikap kontra berkeberatan dengan sistem pendidikan yang memasukkan unsur pendidikan

44

Barat didalamnya karena itu dipandang haram. Untuk mengatasi ketegangan itu maka diadakanlah musyawarah yang dihadiri oleh para ulama dan pejabat di lingkungan keraton. Berkat Kyai Bagus Arfah yang dapat mengorganisir masalah tersebut dan keingininan-keinginan yang beraneka ragam lalu

disepakatilah Mamba’ul Ulum dengan sistem pendidikan Belanda.45

Gagasan

berdirinya Mamba’ul ulum juga banyak menarik perhatian dan tanggapan dari

kalangan pers Belanda.

Dalam perjalanannya, madrasah Mamba’ul ulum cukup diminati oleh

kalangan masyarakat, sehingga untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah pembangunannya diperluas hingga di tujuh kabupaten, yaitu: Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri dan Surakarta. Kebijakan perluasan pembangunan di kabupaten-kabupaten tersebut untuk memberi kesempatan kepada anak-anak usia sekolah agar dapat menikmati pendidikan formal keagamaan. Dan untuk jenjang Tsanawiyah dan Aliyah letaknya tetap dipusatkan di Masjid Agung Surakarta.46

Pada awalnya yang diterima di madrasah tersebut hanyalah anak-anak abdi dalem pamethakan (golongan agama),47 namun seiring berjalannya waktu

45

Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 39

46Ma’mun Pusponegro, Dkk, Kauman: Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007) hal 105

47

Istilah Abdi dalem Pamethakan kaum Putihan yang digunakan oleh Jawa ialah putihan yang berasal dari kata putih. Istilah ini dipakai karena pakaian mereka yang berwarna putih yang mereka kenakan sewaktu shalat. Para putihan biasanya memakai kopyah yang terbuat dari beludru hitam serupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung putih (terutam jika mereka ikut shalat didalam Masjid). Pengertan putihan di desa-desa di sekitar Surakarta disebut “desa keputiha atau desa mutihan” yang berarti desa putih. Para penghuninya sebagian besar taat beragama dalam keraton,

para santri priyai disebut Abdi dalem Pamethakan atau pegawai putih, abdi Dalem pamethakan

anak-anak kawula dalem (masyarakat umum) dapat diterima di madrasah ini.

Dalam kurikulum yang diberikan oleh madrasah Mamba’ul ulum dapat

ditafsirkan adanya upaya untuk memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Penambahan pelajaran umum seperti bahasa asing, berhitung dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam) menunjukkan adanya perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantren yang lebih mengutamakan mempelajari kitab-kitab agama Islam. Madrasah Mamba’ul ulum ini dapat dikatakan sebagai bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.48

Segenap murid-murid Mamba’ul ulum selalu berusaha menyebarkan dan

mengajarkan ilmu agama Islam yang mereka dapatkan kepada masyarakat.

Alumni Mamba’ul ulum dapat meyebarkan ajaran Islam di kauman dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dibukanya pengajian-pengajian, sekolah Islam dan mengadakan acara-acara besar Islam di kauman. Kegitan pengajian yang diselengarakan alumni

Mamba’ul ulum di kauman banyak dihadiri oleh jamaah baik dari dalam maupun luar daerah Surakarta. Atas berlangsungnya kegiatan-kegiatan

keagamaan yang diselenggarakan oleh para alumni Mamba’ul ulum tersebut

menyebabkan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat mengikuti kemajuan zaman.49

Mamba’ul ulum, sebuah madrasah yang telah mengalami kemajuan pada

kata dalem berarti kediaman bangsawan feodal, sedankan kata pamethakan dibentuk dari kata

pethak (putih). Untuk lebih jelasnya lihat Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hal 13-14.

48

Hermanu Joebagio, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwono X, Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu, (Surakarta: UNS Press, 2005), hal 106

49

http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015

saat itu mendatangkan pelajar tidak hanya dari Solo, tetapi juga banyak pelajar dari daerah lain di Pulau Jawa yang datang, diantaranya Tegal, Semarang, Banten, Jombang dan Mojokerto. Sebagai tempat pendidikan, Mamba’ul ulum

meluluskan alumni dan ilmuwan yang mumpuni dalam bidang agama Islam, dan banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sebelumnya pernah belajar di sekolah ini, antara lain yaitu: Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Teremas, Pacitan), Syeikh Ahmad Al-Hadi (tokoh Islam yang berasal dari Bali), Kyai Abdul Al-Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan), Amien Rais (mantan ketua MPR), KH, Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor), KH. Hasan Ubaidah (pendiri dan pemimpin LDII), Miftah Farid (ketua MUI Jabar).50 Lamanya mengeyam pendidikan di sekolah ini adalah 11 tahun, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Bagian I kelas I sampai kelas 4 untuk golongan Ibtidaiyah 2. Bagian II kelas 5 sampai kelas 8 untuk golongan Wustho 3. Bagian III kelas 9 sampai kelas 11 untuk golongan Ngulya51

Lembaga pendidikan yag bercorak Islam yang terdapat Di Kasunanan

Surakarta tidak hanya madrasah Mamba’ul Ulum, ada juga sekolah yang

didirikan oleh Muhammadiyah yang ada di Surakarta,52 sekolah Al-Islam,53

50

http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015.

51

Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian:“Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal 51

52

Muhammadiyah membentuk majelis pendidikan dan pengajaran pada tahun 1920. Adanya majelis pendidikan tersebut menyebabakan meluasnya perkembangan sekolah Muhammadiyah di berbagai daerah termasuk di Surakarta. Pada tahun 1930 tercatat terdapat 10 buah sekolah Muhammadiyah di Surakarta yan sebagian besar terdiri atas sekolah standart school.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah ini terletak di Mangkunegaran, Notokusuman, Kleco, Kampung Sewu, Kauman, Serengan dan Pasar Legi. Lihat Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian:

dan berdiri juga sekolah yang didirikan oleh masyarakat keturunan Arab yang ada di Surakarta, masyarakat keturunan Arab di Surakarta telah mendirikan dua lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka. Lembaga pendidikan itu adalah Arrabitah Al-alawiyah dan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Kedua lembaga pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak keturunan etnis Arab saja tetapi terbuka juga untuk anak-anak dari etnis Jawa dan etnis lain.

Tujuan lain dari pendirian madrasah Mamba’ul Ulum ini adalah untuk

membentuk kader-kader ulama sebagai corong dakwah rakyat dengan ajaran Islam sebagai ajaran yang baik oleh masyarakat. Selain itu juga untuk mendidik calon pejabat agama yang ahli dan cakap dalam menjalankan tugasnya, seperti halnya tugas sebagai naib pernikahan dan ahli dalam bidang hukum-hukum agama. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka Sunan mendirikan lembaga pendidikan resmi agama Islam. terlebih pada masa Paku Buwono X agama Islam di Surakarta terus mengalami kemajuan, sehingga menuntut tersedianya sumber daya manusia yang mahir dan handal dalam bidang agama Islam.

Dalam perkembangannya madrasah Mamba’ul Ulum mengalami arus

Dokumen terkait