SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora sebagai Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh :
Siti Nur Azizah NIM: 1111022000026
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
membendung kristenisasi di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan historis yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Dalam studi pustaka yang dilakukan, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang relevan dengan topik yang dibahas. Kemudian data-data tersebut dikaji dan dianalisa sehingga menjadi sebuah tulisan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.
Paku Buwono X adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939. Beliau merupakan putra dari Sinuhun Paku Buwono IX. Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Beliau mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Meskipun begitu Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. beliau sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam
Kasunanan Surakarta merupakan bagian yang tidak luput dari wilayah jajahan Belanda. Kedatangan Belanda tersebut bertujuan untuk mengekploitasi kekayaan alam Nusantara, yang diberengi dengan kegiatan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para zending untuk mengubah agama masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kegitan yang dilakukan oleh Zending tersebut antara lain membangun gereja, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Hal tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi umat Islam. di Surakarta sendiri terdapat rumah sakit dan sekolah-sekolah yang dibangun dan dikelola oleh zending. Berangkat dari keadaan seperti itu kemudian Sunan Paku Buwono X tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan. Sunan mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam tak lupa pula
tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sebagai suri tauladan sepanjang masa
beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga kita mendapatkan syafaat di
akhirat kelak, amin.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil‟alamin penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk diajukan sebagai syarat memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan
berbagai pihak yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.
Seiring dengan penulisan skripsi ini, penulis pengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material, demi
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampikan
terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Nurhasan, MA., selaku ketua jurusan fakultas Sejarah dan
Peradaban Islam dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekertaris
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA dan bapak Drs Azhar Saleh, M.Ag
atas kesediaannya menjadi Penguji Sidang Skripsi penulis.
5. Kepada segenap Dosen pengajar di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan kepada penulis.
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, dan juga pimpinan dan seluruh staf Perpustakan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dan
kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan buku-buku yang
digunakan sebagai referensi dalam penulisan skripsi.
7. Kepada kedua orang tuaku yang selalu mendidik, mengasuh,
menyayangi, menasehati, memarahi, mengingatkan, mendo’akan,
mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk kesuksesan penulis. Dan
untuk adik-ku, raih mimpimu agar engkau menjadi orang yang
menikkan keluarga kita.
8. Kepada lik Muhaimin, lik Fatimah, terima kasih atas nasihat dan
bantuannya. penulis hanya bisa mendo’akan semoga Allah membalas
semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
9. Untuk sahabat-sahabatku Eva Khofifah, Hammatun Ahlazzikriyah,
bersama akan menjadi kisah terindah dalam mencari identitas.
10.Kepada teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2011 yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu-persatu.
Akhirnya dengan keterbatasan ini, penulis mengucapka terima kasih
banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi semangat. Penulis
menyadari, bahwa penulisan skripsi ini dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh
karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik yang membangun,
guna menyemprnakan tulisan-tulisan yang serupa dimasa yaang akan datang.
Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.
Jakarta, 12 Januari 2016
v
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR ISTILAH ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Tinjauan Pustaka. ... 9
E. Kerangka Teori. ... 11
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KERATON SURAKARTA PADA MASA SUNAN PAKU BUWONO X A. Letak Geografi Keraton Surakarta ... 16
B. Sejarah Berdirinya Kraton Surakarta ... 21
C. Biografi Paku Buwono X ... 25
D. Keraton Surakarta pada masa Paku Buwono X (1893-1938) ... 31
BAB III KRISTENISASI DI SURAKARTA A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta ... 42
B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi ... 48
C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta ... 57
BAB IV UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWANA X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam ... 69
vi
B. Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
vii
Abdi Dalem : Pegawai Kerajaan
Aristokrat : Orang dari golongan bangsawan; ningrat.
Gubernemen : Pemerintah (masa penjajahan Belanda)
Kadipaten : Daerah yang dikuasaiolehadipati, yang lebih
Rendahdaripadakesultanan.
Kaum Abangan : Kelompok yang menganut Islam kejawen
Kaum putihan : kelompok yang menganut Islam murni.
Keraton : Tempatkediaman raja atauratu, istana raja.
Kristening politiek : Politik Kristenisasi
Madrasah : Sebutan bagi sekolah Agama Islam, tempat proses
belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang
mempunyai kelas dan kurikulm dalam bentuk
klasikal.
Misionaris : Pengemban misi penyebaran agama Kristen
Pangreh praja : penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial
Belanda untuk menangani daerah jajahannya.
Residen : Provinsi
Sunan : Sebutan raja keraton Surakarta atau penyebutan
nama untuk para wali.
Susuhanan : Sebutan raja Kasunanan
Staatsblad : Lembar berita pemerintah
Tapsir Anom : Penghulu tertinggi
Vorstenlanden : Wilayah kerajaan yang memiliki status istimewa di
Jawa pada masa kolonial (Surakarta dan
Yogyakarta.
Zending : Penyebar agama Kristen
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta dengan ibukotanya Sala atau Solo merupakan
penerus Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhanan Paku Buwana II
pada tahun 1746. Berdirinya Keraton Surakarta ini sebagai pengganti Keraton
Kartasura yang telah hancur akibat dari adanya gerakan bersenjata
orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Kerajaan
Mataram. 1 Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari Kerajaan
Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan
tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura,
dan terakhir di Surakarta.
Pada awalnya untuk penempatan Keraton Kartasura terdapat tiga
pilihan tempat, yaitu Talawangi yang biasa disebut Kadipolo, Sonosewu,
kemudian desa Sala. Atas tiga pilihan tempat tersebut akhirnya dipilihlah
Desa Sala untuk didirikan Keraton yang baru yang kemudian diberi nama
Surakarta Hadiningrat.2
Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah
pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin
Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur
agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Paku Buwono X dianggap
1
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 7
2
sebagai raja yang istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama
yaitu 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan,
kebijakan, dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan
dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani seluruh
rakyat. Sifat yang paling menonjol yang dimiliki Sunan yaitu
kedermawanannya, ia senang membantu dan menyenangkan hati orang. Dan
salah satu kekurangannya adalah ia tidak mengenali nilai mata uang, sehingga
Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang kondisi
keuangannya.3
Sri Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939) adalah Putra dari Sinuhun
Pakubuwono IX (1861-1893), sedangkan Sinuhun Paku Buwono IX adalah
putra dari Sinuhun Paku Buwono VI (1823-1830) yang dibuang ke Ambon
karena melawan Belanda, jadi Paku Buwono X adalah cucu dari Paku
Buwono VI. Saat usianya tiga tahun beliau dinobatkan sebagai Pangeran
Adipati Anom atau Putera Mahkota. Beliau naik tahta menjadi seorang raja
pada tanggal 30 Maret 1893 karena menggantikan tahta kerajaan ayahnya
yang telah wafat yaitu Susuhanan Paku Buwono IX. Dan mendapat gelar
setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono
Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Hingkang
Kaping X.
3
Menurut catatan sejarah, agama Kristen datang ke Indonesia dibawa
oleh orang Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke 16 M.4Sedangkan
agama Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim dari Arab,
pada abad 7-8 M. Sekalipun mereka dari Gujarat, Malabar atau Persia, tetapi
mereka adalah orang Arab.5
Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda
yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.6Maksud dari “3G” itu
adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri
yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi
atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras
dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu
Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak
negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk penduduk.7
Karena menurut pemikiran mereka dengan mempunyai kepercayaan agama
yang sama maka akan lebih muda bagi mereka untuk dapat menguasai semua
dari negeri jajahannya.
Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial,
serta kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk
memperoleh pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan
Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20 7
sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan
sekolah-sekolah ala Barat sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat.
Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda,
memperkenalkan pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah
secara luas. Politik asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki
rakyat bumi putera dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.8
Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah jajahan Belanda.
Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur tangan yaitu
dengan menetapkan sistem konkoordinasi.9Yang nantinya dalam campur
tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah yang
didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak pribumi. Pada
kenyataanya daerah Vorstenlandeninimenjadi wilayah kekuasaan kolonial dan
berada dibawah pengawasan pemerintah koloial Belanda. Termasuk dibidang
pendidikan yang tidak luput dari campur tangan pemerintah Belanda.
Belanda membawa Hindia Belanda ke suatu jenis pendidikan baru yang
berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi pada umumnya. Salah satu
perbedaan pokoknya yaitu: pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di
sekolah-sekolah umum netral terhadap agama, diajarkan tidak terlalu memikirkan
bagaimana caranya hidup secara harmoni dalam dunia, tetapi lebih
menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan.10 Di Kasunanan
8
Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, tth), hal 7
9
Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink, G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4.
10
sendiri pendidikan barat merupakan pendidikan yang bisa dibilang paling
diminati dan berkembang di Kasunanan. Pendidikan model barat ini
diselenggarakan oleh pemerintah.
Perkembangan terjadi pada sekolah dengan sistem pendidikan
Barat.Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda ini memiliki mutu yang
baik khususnya yang diperuntukan golongan Bumi putera di Surakarta.
Sekolah-sekolah ini yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS
Meisjesschool di Slompretan dan Schakelschool (sekolah peralihan) di
Penumping. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah
Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah sekolah MULO (1 buah),
sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah).
Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres.
Awal munculnya pendidikan Barat hanya untuk anak-anak bangsawan
atau priyayi dan anak-anak terpandang saja. Keadaan tersebut selain
disebabkan oleh kebijakan pendidikan sendiri yang mengkhususkan
pendidikan barat hanya untuk kalangan tertentu saja. Terhadap munculnya
pendidikan Barat sebagian penduduk pribumi beranggapan bahwa pendidikan
seperti itu tidak perlu dan kemungkinan besar justru membahayakan, karena
pendidikan membawa resiko menjadi terasing dari kebudayaan sendiri dan
kemungkinan terseret menjadi Kristen.11
11
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah
Surakarta tahun 1930, terdapat macam-macam sekolah model barat yang
diantaranya yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending,
sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh
Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan.
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi inilah yang mempunyai tujuan
agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen.
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending didalamnya diajarkan
agama Kristen, juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara
berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Tujuan pendirian sekolah
Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial yaitu menyebarkan agama
Kristen. Oleh sebab itu sekolah Zending ini banyak menerima bantuan dan
kemudahan dari pemerintah Kolonial, sehingga dalam waktu singkat sekolah
model Barat tersebut dapat berkembang dengan pesat.
Selain itu ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor
Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pada tahun 1930, sekolah Missi yang
berada di Surakarta jumlanya telah mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1
sekolah ELS(Europe Lagere School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri,
10 buah Standartschool, 1 sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1
sekolah Meisjes Vervolg School.Sekolah-sekolah tersebut berada di
Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.12
12
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Pengaruh Missionaris Kristen ini menjadikan tantangan bagi
pemimpin-pemimpin muslim untuk melakukan perubahan. Begitupun yang dilakukan
oleh Sunan Paku Buwono X, ia tidak senang terhadap kegiatan misionaris
yang telah banyak mendirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
diwilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan
Barat ke Kasunanan, bisa dilihat dari acara perjamuan atau pesta yang
mengadopsi cara-cara barat juga dalam sistem pendidikan sangat mendukung
sistem pendidikan barat, namun Sunan tidak menyukai agama yang dibawa
dari barat yaitu agama Kristen yang dibawa zending. Menurut Sunan hal ini
tidak boleh dibiarkan, oleh karena itulah Sunan ingin mendirikan sekolah
berdasarkan agama Islam untuk mengantisipati berkembangnya agama
Kristen, maka dibangunlah pondok pesantren Mambaul „Ulum sebagai salah satu upaya yang dilakukan Sunan agar tidak berkembangnya agama Kristen
diwilayah Kasunanan.
Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari pemikiran
Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya Mambaul’Ulum
disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya yaitu untuk
mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan.13Secara
nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di
Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang
semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan perkembangannya
sebagai sekolah Islam. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat
13
berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di
lingkungan Surakarta.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Peran Paku Buwono X Dalam Membendung Kristenisasi di Surakarta 1893-1939”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar menghindari meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, maka
penulis memberikan batasan masalah pada tulisan ini yaitu Sultan
Pakubuwono X dalam upaya membendung kristenisasi di Surakarta. Karena di
masa Pakubuwono X inilah sunan mendirikan Pondok Pesantren yang mana
didirikannya pondok pesantren itu karena untuk mengantisipasi terjadinya
perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunanan.
Dari uraian pembatasan masalah tersebut maka penulis ingin
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono
X ?
2. Bagaimana para Zending dalam menyebarkan agama Kristen ?
3. Apa yang dilakukan Pakubuwono X dalam membendung kristenisasi
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai sebagai berikut :
1. Menjelaskan Kondisi Keberagamaan di Keraton Surakarta
2. Mengetahui kegiatan misionaris mengenal bentuk dan cara yang di pakai
oleh misionaris, dengan demikian diharapkan tidak mudah terjerat dan
selalu berhati-hati setiap kali menghadapi kegiatan misionaris ini.
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam
menyebarkan agama Kristen di Surakarta.
4. Menjelaskan upaya yang dilakukan PB X dalam membendung Kristenisai
di Surakarta.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian
pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama sejarah kerajaan di Indonesia,
serta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan
dan penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik
permasalahan, penulis tidak melepaskan diri dari hasil penelitian terdahulu
sebagai bahan rujukan dan pendukung data yang absah, setahu penulis belum
membendung kristenisasi di Surakarta ini. beberapa karya yang penulis
jadikan survey pustaka di antaranya:
Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, ditulis oleh Nur Dwi Ratna
Nurhajarini yang diterbitkan oleh Depdikdub pada tahun 1998. Pembahasan
dimulai dari keadaan daerah Surakarta secara umum kemudian sejarah
berdirinya Kasunanan Surakarta mulai dari Kerajaan Mataram dan Perjanjian
Giyanti yang membagi Mataram kedalam dua Kerajaan, Kasunanan Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam buku ini membahas tentang gambaran
umum keadaan Keraton Surakrta dari awal mula berdirinya sampai batas
periode abad XV sampai awal abad XX yang membahas tentang cikal bakal
Kerajaan Surakarta dan Pengaruh islam sampai masuk ke dalam kekuasaan
Belanda. Buku ini sangat membantu penulis untuk mengetahui informasi
mengenai sejarah Keraton Surkarta.
Raja, Priyayi dan Kaula: Surakarta Tahun 1900-1915, buku dari
Kuntowidjoyo tahun 2004. Dalam buku ini menguraikan latar belakang
didirikan madrasah Mambaul’ulum oleh Sunan Pakubuwana X yang mana
tujuan dari didirikannya madrasah ini untuk mengantisipasi pengaruh Zending
di Kasunanan Surakarta. Beliau mendirikan sekolah dengan ajaran Islam ini
untuk menampung anak-anak, abdi dalem, pamutihan, khatib, ulama, juru
kunci, dan sebagainya. Karena Pakubuwana sebagai pemimpin agama tidak
ingin jika rakyatnya memeluk agama selain agama Islam.
Buku dari George .D. Larson yang berjudul Masa Menjelang Revolusi
ini penting untuk dimasukan dalam penulisan yang dapat memberikan
gambaran tentang kegiatan politik di Surakarta dari tahun 1912 sampai 1942
adalah ketidaksukaan sebagian besar kalangan masyarakat Jawa terhadap
usaha Belanda yang hendak mengubah masyarakat Jawa. Dan dalam sejarah
sesudah 1912 bahwa Surakarta adalah upaya Belanda untuk mengadakan
perubahan dan sekaligus mengekang respons politik terhadap perubahan itu.
Lalu Disertasinya Darsiti Soeratman, yang berjudul Kehidupan Dunia
Kraton Surakarta tahun 1830-1939 ini sangat membantu bagi penulis untuk
menambah sumber literatur penulisan. Didalamnya dijelaskan sedikit tentang
Mambaul‟ulum karena pada masa Paku Buwono X, beliau menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan agama Islam diwilayah Kasunanan.
dan dijelaskan bahwa Sunan mendirikan sekolah itu untuk mendidik para Kyai
atau ulama di Keraton Kasunanan.
E. Kerangka Teori
Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Dakwah, kata misionaris atau dakwah diartikan sebagai undangan, ajakan, dan
seruan yang semuanya menunjukan adanya komunikasi antara dua pihak dan
adanya upaya untuk mempengaruhi pihak lain. Selain itu Ahmad Mubarok
juga menjelaskan agama Islam sendiri mewajibkan kepada umatnya untuk
menyebarkan ajaran agama kepada seluruh umat manusia.14 Oleh karena itu,
umat Islam dan orang Kristen merasa terpanggil untuk mensiarkan
14
agamaya.menurut mereka menyebarkan agama adalah kewajiban umat, hanya
saja cara dan metode yang dipakai oleh orang Kristen di Indonesia dianggap
telah melampaui batas kewajaran dalam penyebaran agama.
Susuhanan Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh
perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam.
kedudukan Sunan Paku Buwono X sebagai pimpinan tertinggi agama Islam, ia
berkeberatan kalau rakyatnya memeluk agama selain Islam, ia tidak senang
terhadap kegiatan penginjilan yang dilakukan zending dan misi yang terjadi di
kerajaannya. Paku Buwono X mempunyai peran dalam mengatasi kegiatan
misionaris di Surakarta yang dianggap telah melampaui batas.
Dalam penulisan suatu karya sejarah sangat membutuhkan bantuan
konsep maupun teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mempertajam
serta memperjelas penulisan. Dalam studi ini penulis menggunakan
pendekatan sosial, budaya dan politik. Pendekatan sosiologi merupakan
pendakatan yang sangat berpengaruh dalam mengkaji penelitian ini.
Pendekatan sosial yang dipakai dalam penelitian ini cenderung pada peranan
tokoh sejarah.
Pendekatan budaya dipakai oleh penulis untuk mengetahui nilai-nilai
kepercayaan yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Lalu pendekatan
politik, menurut Deliar Noer adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan
dengan kekuasaan yang bermaksud mempengaruhi dengan jalan mengubah
atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.15
15
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memerlukan sebuah metode.
Dengan metode tersebut diha16rapkan pembahasan yang dikaji menjadi lebih
terarah dan dapat mencapai tujuan yang di harapkan. metode yang digunakan
untuk penelitian-penelitian sejarah adalah metode deskriptif analitik dengan
pendekatan sejarah sosial. Adapun langkah-langkahnya:
1. Heuristik
Heurustik yaitu pengumpulan data. Dalam langkah ini penulis mengumpulkan
dan menggali sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan masalah yang
sedang penulis kaji. Dimana sumber-sumber mengenai masalah terkait banyak
penulis temukan di Perpustakaan-perpustakaan seperti: Perpustakan Utama
UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab, Perpustakaan Universitas
Indonesia, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional. Metode penelitian yang
lain yaitu metode penelitian Kritik, Interperestai dan Historiografi.
2. Kritik Sumber
Setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap
selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah
sebuah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita
sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Hal yang harus diuji adalah
keabsahan. Dan setelah mencari sumber-sumber penulis penulis akan
verifikasi terhadap sumber-sumber tersebut.
16
3. Interpertasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut pula analisi sejarah,
interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai teks-teks yang telah
dilalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman
yang baru mengenai tema yang dibahas.
4. Historiografi
Historiografi adalah penulisan sejarah. Metode ini adalah metode terakhir
dalam metode sejarah. Adalah historiografi, yaitu penyusunan yang didahului
oleh penelitian analisis terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.
Penyusunan ini selalu memperhatian aspek kronologis dan kebenaran sejarah
dari setiap fakta. Dalam langkah ini penulis memaparkan hasil penelitian
yang dilakukan mengenai “Upaya Pakubuwana X dalam membendung
Kristenissi di Surakarta”.
G. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun
susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab IMerupakan Pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat permasalahan yang menjadi fokus kajian, permasalahan, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, survei pustaka,
dan sistematika penulisan.
Bab III berisikan tentang Keberagamaan Masyarakat Surakarta, Pemerintah Kolonial dan Misi Kristenisasi, Zending dan Kristenisasi di Surakarta.
BAB IVmenguraikan tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung kristenisasi di Surakarta. Upaya yang dilakan oleh Paku Buwono X yaitu:
mendukung dan bekerjasama dengan Sarekat Islam, Mendirikan Sekolah
Islam (Madrasah) Mamba’ul Ulum.
A. Letak Geografi Kasunanan Surakarta
Karesidenan Surakarta masuk dalam wilayah Vorstenlanden1 (wilayah
raja-raja), merupakan tempat kedudukan kerajaan yang berdiri sendiri dibawah
kekuasaan Hindia Belanda. Secara geografis Karesidenan Surakarta adalah
dataran rendah yang berada diantara pertemuan kali atau sungai Pepe, Jenes
dan Bengawan Sala, serta berada pada ketinggian 92 m di atas permukaan
laut.2
Secara administrasi, Karesidenan Surakarta di sebelah barat berbatasan
dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang dan Madiun. Di sebelah
utara berbatasan dengan Gunung Merapi (2.875 m) dan Gunung Merbabu
(3.145 m). di sebelah timur berbatasan dengan Gunung Kendeng dan Gunung
Lawu (326 m). Antara Gunung Merapi, Gunung Merbabu dengan Gunung
Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali,
dan Kartasura yang kaya sedimen vulkanis. Dari lereng Gunung Merapi
1Sejak tahun 1799 digunakan istilah “Vorstenlanden” untuk menyebut daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, lihat: Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hal 23. Istilah Vorstenlanden pada awalnya mencakup pengertian sebagai wilayah pemerintahan sendiri bagi wilayah kerajaan-kerajaan lokal pribumi yang ada di bawah pengaruh kekuasaan kompeni Belanda. Sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menggantikan pemerintahan VOC, istilah Vorstenlanden
memiliki pengertian yang lebih spesifik yaitu menjadi nama wilayah pemerintahan kerajaan Jawa, atau dalam perspektif Jawa disebut wilayah pemerintahan Kerajaan Kejawen atau Praja Kejawen,
yang mencakup wilayah Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Lihat: Djoko Suryo, Dari Vorstenlanden ke DIY, Kesinambungan dan Perubahan, Koferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011, hal 3
2
megalir sungai Opak ke Selatan yang menjadi batas antara Karesidenan
Surakarta dan Yogyakarta.3
Adapun luas wilayah Kerajaan Surakarta seluruhnya adalah 6.215
kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang
daerah lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk
Surakarta berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi
2.049.547 orang. Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen,artinya
masing-masing etnik berkumpul dan mendiami daerah-daerah tertentu secara
terpisah dengan etnik lainnya. Ada beberapa etnik yang berada di sekitar
wilayah ibukota kerajaan yaitu: Jawa (jumlah paling besar), kemudian Cina,
Arab, dan Eropa.
Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: pribumi
2.535.594 orang, Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600 orang, dan
jumlahnya 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi
149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang dan Timur Asing 1.388
orang, dan jumlahnya 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri 3.225
orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan periniaan terdiri dari Belanda
Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon panggilan
untuk orang-orang Ambon yang bekerja menjadi tentara orang-orang Belanda.
Tempat berkumpulnya orang-orang Belanda di Lojiwaten dan sekitarnya,
yaitu daerah yang letaknya berada di sebelah selatan kali-pepe, kali yang
membelah kota terbagi menjadi dua. Meraka bertempat tinggal disekitar
3
benteng Belanda, benteng Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman.
Mereka memiliki gereja sendiri berada di depan benteng yang letaknya di
Gladak. 4
Untuk golongan Timur asing terdiri dari orang Arab, India dan
Pakistan. Orang-orang India dan Pakistan biasanya mereka memiliki
toko-toko yang menjual bahan pakaian. Dan tinggal ditoko-toko-toko-tokonya sendiri.
Orang-orang Arab berkumpul di pasar kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang
sebelah selatan rel kereta api yang membelah Surakarta. Usaha yang biasanya
di industri kain batik yang biasanya dibuatnya dirumahnya sendiri. Mereka ini
adalah golongan orang yang tertutup, tidak suka bergaul dengan golongan
lain. Rumah-rumah mereka pun di kelilingi pagar yang tinggi dan tertutup
rapat. Mereka juga memiliki Masjid sendiri untuk beribadah di pasar kliwon.
Sedangkan orang-orang Cina mereka berkumpul diseberang sebelah utara kali
Pepe. Yaitu Balong, Warungmiri,dan didaerah-daerah pasar Gedhe. Pada
mula-mula mereka hanyalah pendatang, dan hanya pedagang kecil-kecilan
saja.5
Perkampungan orang-orang Eropa terpisah dari etnik lain karena
berdasarkan diskriminasi ras, dan pemukian orang-orang Cina disebut
“pecinan” maksudnya agar gerak-gerik mereka mudah diawasi. Pecinan
terletak disekitar pasar Gedhe, dikepalai oleh seorang berpangkat mayor yang
diambil dari kalangan mereka. di kalangan penduduk, kepala etnik ini dikenal
4
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hlm: 115-116.
5
dengan sebutan Babah Mayor. Sedangkan pemukiman orang-orang Arab yang
berada di Pasar Kliwon pemimpinnya mendapat pangkat kapten.
Perkampungan untuk penduduk Bumi Putera terpencar di seluruh kota di
Surakarta.6
Penduduk pribumi, hampir seluruhnya orang Jawa, terdapat dalam
berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur diseluh kota, kebanyakan
dari mereka bekerja dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan.
Tempat kediaman para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka juga
tersebar diseluruh kota.7
Disebelah Utara Keraton terletak kepatihan, tempat kediaman pepatih
dalem, sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Istana
Mangkunegaran terletak di sebelah selatan sungai Pepe, demikian pula
perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen,
kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko, dan
benteng Vestenburg sebagai pusatnya. Perkampungan orang-orang diluar
benteng itu disebut Loji Wetan,
Letak Keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah residen, dan
kepatihan letaknya tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berada
didekat keraton dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana
Mangkunegaran yang menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya
dipisahkan oleh jalan besar. Selain itu juga bisa dilihat jarak dari kepatihan ke
6
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 24.
7
rumah residen lebih dekat daripada jarak dari kepatihan dengan keraton.
Untuk menuju keraton, pepatih dalem harus melewati rumah residen.
Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan keamanan
pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta.8
Di Surakarta terdapat tiga pemerintahan yang berbeda yaitu Kasunanan
Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Residen Belanda. Kasunanan
Surakarta menguasi enam kabubapaten, yaitu: Surakarta, Kartasura, Klaten,
Boyolali, Ampel dan Sragen serta satu Kawedanan, yaitu Larangan. Kadipaten
Mangkunegaran menguasai tiga Kawedanan, yaitu: Ibukota, Karanganyar dan
Wonogiri. Serta Belanda menguasai lima bagian yang berada di Kasunanan
dan Mangunegaran. Surakarta yang luasnya 24 km², sebagiannya adalah milik
Kasunanan, seperlimanya milik Mangkunegaran, sisanya merupakan wilayah
administrasi Belanda, yaitu disekitar kantor Residen, Benteng dan Tangsi
Militer.9 Batas wilayah antara Kasunanan dan Mangkunegaran didalam kota
adalah jalan memanjang Timur-Barat yang membelah kota.10 Sampai abad 20
di Kasunanan terdiri 23 distrik dan 101 onderdistrik, yang terbagi menjadi
1.240 kelurahan, sedangkan Mangkunegaran dibagi 7 distrik dan 32
onderdistrik yang terbagi 750 kelurahan.
8
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 10
9Nurhadiatmoko, “Konflik
-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”, dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta, 1898-1998,
(Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007), hal: 16-18. 10
B. Sejarah Berdirinya Keraton Surakarta
Keraton Surakarta didirikan pada masa Sunan Paku Buwono II
(1725-1749) pada tahun 1746, setelah Keraton sebelumnya di Kartasura mengalami
kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini disebut
sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari peristiwa
Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh
orang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai
orang-orang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Paku Buwono II
memutuskan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau dan
hancur. Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan
sebuah istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap
didiami oleh keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan
kepindahan resminya terjadi pada Februari 1746. Walaupun istana sudah
berpindah ke Surakarta akan tetapi kondisinya sama tidak stabilnya seperti
pada waktu berada di istana lama.11
Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari kerajaan Mataram.
Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.
Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan
terakhir di Surakarta. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menadi dua kerajaan
yang memiliki kedaulatan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Vincent
J.H Houben: The Javaness principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta
(Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in
11
the 17th century had exercised hegemony over nearly all of Java. kerajaan di
Jawa yaitu Surakarta dan Yogyakarta berdiri tahun 1755 sebagai bentuk
perpecahan dari kerajaan Mataram, di mana pada abad ke 17 memiliki
kekuasaan dihampir seluruh wilayah Pulau Jawa.12
Campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri Mataram mulai
terjadi pada masa akhir pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), ketika
kerajaan ini sedang memasuki masa-masa kehancurannya. Dinasti Mataram
ditegakkan kembali setelah VOC melakukan campur tangan dengan berbagai
konsesi, khususnya dibidang ekonomi dan teritorial. Dan sejak saat itu
Mataram memasuki era peperangan, pemberontakan dan peperangan
memperebutkan tahta. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhanan
menandatangani akta penyerahan, yang didalamnya mengatakan bahwa
seluruh kerajaan Mataram diserahkan kepada Belanda. Melalui akta itu, Von
Hohendorff menyiapkan pengganti raja atau calon raja baru, ketika Paku
Buwono II berusaha bertahan hidup. Akhirnya, gubernur jenderal dan Dewan
Hindia di Batavialah yang menobatkan Susuhanan yang baru.13
Pada masa pemerintahan Paku Buwono II terjadi peristiwa Geger
Pecinan. Beliau memindahkan keratonnya karena keraton Kartasura rusak
parah akibat pemberontakan orang Cina itu. Cina memberontak karena ditekan
pajak tinggi oleh Belanda. Selain pajak tinggi, orang Cina yang tidak punya
izin tempat tinggal disuruh kembali ke negara asal. Pegawai kompeni berbuat
12
Vincent J.H Houben, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-1870,
(Leiden: KITLV Press, t.th), hal: 405 13
curang dengan memeras orang-orang Cina.14 Pemberontakan ini dimulai sejak
tahun 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah
orang-orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke
wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian
laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di
wilayah pesisir serta secara diam-diam Paku Buwono II juga mendukung
gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui Adipati
Natakusuma selaku seorang patih dari Kerajan Kartasura dengan tujuan untuk
memukul mundur kekuasan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura.
Melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia
tidak jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwono II menarik
dukungannya dan kembali berpihak kepada VOC untuk memerangi
perlawanan laskar Cina. Langkah yang ditempuh untuk menutupi kecurigaan
VOC, Paku Buwono II menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya
dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Ternyata kekuatan pasukan Cina tidak
berangsur surut melainkan semakin kuat dengan adanya dukungan dari Bupati
Pati, Grobogan dan beberapa kerabat Raja. Bahkan laskar Cina ini mampu
mengangkat Mas Garendi sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram
Kartasura dengan gelar Sunan Kuning.
Pada tahun 1742 pihak kerajaan semakin terdesak, sehingga membuat
raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengikuti untuk
mengungsi ke Ponorogo. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak
14
bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah
Paku Buwono II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina. Paku Buwono
II berhasil merebut kembali Kerajaan Kartasura yang sebelumnya berhasil
diduduki oleh laskar Cina.
Meskipun kembali bertahta, Paku Buwono II merasa Keraton
Kartasura sudah tidak layak untuk menjadi pusat kerajaan, sebab menurut
kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan wahyu. Setelah
melalui berbagai macam pertimbangan, maka desa Solo dipilih untuk menjadi
tempat pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak, Paku Buwono II
memberi nama Keraton di Solo dengan nama Keraton Surakarta. Secara resmi
Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.15
Setelah pindah dari Kartasura ke desa Sala, nama Sala-pun di ubah
menjadi Surakarta Hadiningrat. Paku Buwono II membangun Keraton secara
tergesa-gesa dan perpindahan ke Keraton Surakarta dilakukan ketika Keraton
baru tersebut belum sepenuhnya selesai dibangun. Hanya berselang tiga tahun
setelah menemapati keraton baru tersebut, Paku Buwono II wafat, sehingga
penyelesaian pembangunan Keraton Surakarta ditangani oleh raja-raja
selanjutnya. Hingga masa pemerintahan Paku Buwono X keraton Surakarta
telah berusia hampir 1,5 abad. bangunan keraton mengalami perkembangan
secara terus-menerus, namun pembagian pelataran atau halaman tidak
mengalami perubahan.16
Setelah Paku Buwono II memindahkan Keraton dari Kartasura ke
15
Sri Winarti, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, (Surakarta: Cendrawasih, 2004), hal 16.
16
Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa
kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan
sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalam wilayah inti
Kerajaan Mataram Surakarta. Karena patih yang seharusnya mengurus
wilayah kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC. 17
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi peperangan antara
Mataram dengan VOC belum berakhir sampai Sunan Paku Buwono II wafat
dan digantikan oleh Paku Buwono III.
C. Biografi Paku Buwono X
Sri Susuhanan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku
Buwono IX dari permaisuri Raden Ayu Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku
Buwono IX. Paku Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22
Rajab 1795 Jawi atau 29 November 1866 M jam 7 pagi. Nama kecilnya
adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.18 Beliau dilahirkan sebagai
putra ke 30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut
kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama
pemerintahan Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri
raja tidak melahirkan putra laki-laki. Untuk mengumumkan kelahiran agung
ini dibunyikan segala macam bunyian, seperti dibunyikannya meriam di
Panggung Songgobuwono, para abdi dalem niyogo diperintahkan memainkan
17
Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial
“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999, hal 20.
18
gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil.19 Saat usianya tiga tahun, pada 4
Oktober 1869 beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom (Putra
Mahkota). Setelah dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom, sang Adipati
diberi gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro
Sudibjo Rojo Putro Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk Kerajaan
Surakarta Hadiningrat.
Beliau adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI (yang membantu
Pangeran Dipongoro melawan Belanda). Sunan PB X naik tahta pada 30 maret
1893, Lalu gelarnya setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin
Panatagama Ingkang Kaping X. sebutan gelar “Sayyidin Panatagama” bukan
sebutan tempelan biasa saja tetapi terdapat makna, punya tugas serius bagi
seorang raja yang menerima gelar itu. Hal ini berlangsung setelah zaman
kerajaan Demak.20
Dalam mendidik putranya Sunan Paku Buwono IX sangat keras
kepada sang putra digembleng dalam segala ilmu seperti, ilmu kebatinan, ilmu
menuntun ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak putranya
diharapkan tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur, berwatak adil dan
bijaksana, hal penting yang merupakan syarat menjadi seorang Raja.
Pendidikan ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan guru-guru di
19
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hal 3.
20
Keraton, karena semua pendidikan diberikan didalam keraton.21 Pendidikan
yang diikuti Pangeran Adipati Anom diberikan secara Jawa, meliputi berbagai
bidang, antara lain: 1) pengetahuan mengenai kesusutraan, 2) kesenian, 3)
keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara
timur, pencak silat dan bermain pedang secar Barat, 4) olahraga seperti
berenang dan menunggang kuda, 5) pendidikan dari buku-buku lama dan
ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa, 6)
pengetahuan psikologi, 7) pelajaran bahasa Arab, Melayu, Belanda. 22
Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan
pendidikan yang keras sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru
terpilih yang didatangkan ke keraton. tradisi seperti itu telah terbentuk sejak
dahulu, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan.23
Demikian pula dengan Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk putra
mahkota itu dikerahkan kepadanya agar kelak ia dapat memanggku jabatannya
sebagai raja utama.
Sunan Paku Buwono X menyadari bahwa syarat untuk menjadi
seorang Raja dituntut untuk menguasai segala ilmu, yang nantinya perlu untuk
bekal dalam mengatur kerajaan yang dipimpinnya, baik itu ilmu kebatinan dan
ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur. Segala ilmu-ilmu itu
diajarkan didalam Keraton. Dan para guru baik guru yang mengajarkan ilmu
21
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 24-27.
22
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 5.
23
Barat maupun ilmu ketimuran datang ke Keraton. Orang-orang yang dianggap
sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahandanya
sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Jika ayahandanya Paku Buwono IX,
digambarkan sebagai Prabu Balodewo, sakti mendroguno, teteg, teguh
pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira,
asih paramarta lahir batin, wicaksono narendrotomo sang Jayen Katon.
Karena itu setelah Adipati Anom (Paku Buwono X) naik tahta menadi Raja,
beliau menjadi raja yang arif, adil dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono
dan waskito. 24
Ayahanda Sunan Paku Buwono X yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat
pada hari Jum’at Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 16 Maret 1893 M. Setelah
wafatnya Sunan Paku Buwono IX, maka pada hari Kamis Wage tanggal 30
Maret 1893 beliau menggantikan tahta kerajaan, dengan gelar Sinuwum
Kanjeng Susuhanan Paku Buwono X Senapati Ingalaga Abdul Rahman
Sayidin Panatagama. Pada tahun 1924, Sunan Paku Buwono X naik pangkat
sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemberian pangkat
militer diberiakan oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah diberikan sejak
masa pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang
memerintah tanpa daerah mancanegara.25
Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar difahami),
membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur
24
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 35-42.
25
yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya. Dan beberapa
di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang sunan. Pihak residen dan
gubernur mengeluhkan bahwa Susuhanan tidak memahami barang secuil pun
tentang urusan-urusan penting di kerajaannya. Dari pihak Belanda
memberikan laporan mengenai Susuhanan menggambarkannya sebagai
seorang pesolek, lemah dan agak bodoh, tetapi ia setia kepada keluarga
Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. dan hal ini dibuktikan dengan Sunan
memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan senang
mengenakan pakaian resmi. Salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tidak
mengenal nilai mata uang. Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikit
pun tentang keuangannya, oleh karenanya wazir dan saudaranya, yaitu
pegawai menyimpan sejumlah uang jauh dari hadapannya untuk menjaga
jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.26
Kebesaran seorang raja juga tampak dari banyaknya jumlah selir dan
juga anak. Residen Van Der Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai isteri
resmi empat dan selir yang tidak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu
mengandung, salah seorang isteri akan diceraikan untuk memberi tempat
kepada selir itu. Sesudah selir itu melahirkan, selir itu akan diceraikan lagi.
Pada tahun 1910 Javaanshe Almanak menulis bahwa raja mempunyai dua
belas putra dan tiga belas putri. Pada akhir hayatnya, PB X mempunyai 63
putra-putri, yaitu 24 pria, 28 wanita, dan 11 orang meninggal diusia muda.27
26
George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 43-46.
27
Pada dasarnya Sunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut
ditiru seperti salah satu sifat yang paling menonjol yaitu sifatnya yang
dermawan, ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang, Ia juga
sopan dan juga suka melayani.28 Beliau memiliki kepribadian yang kuat dalam
arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat, ia juga memiliki
kemampuan menganalisa yang tajam hingga dapat menyadari apa yang paling
penting untuk masa depan, beliau memiliki perasaan yang halus dan tidak
suka menyakiti orang lain, hingga memberi kesan yang keliru bahwa
seolah-olah beliau tidak memiliki keberanian, beliau juga orang yang terbuka dengan
hal-hal baru yang apabila itu bermanfaat bagi rakyat dan negaranya, dan
Sunan juga memiliki rasa keadilan yang tinggi.29
Sunan Paku Buwono X hidup sampai pada usia tujuh puluh dua tahun,
meski orang Belanda pada tahun 1899 sudah mulai risau dengan kesehatannya
dan beranggapan tidak akan hidup lama karena menerita batu aginjal, suka
minum-minum dan tidak bisa menegendalikan dirinya sendiri.30 Namun lama
Sunan dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, wibawanya sebagai
seorang raja semakin terlihat dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang
telah menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin
menimbulkan wibawanya itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan. Paku
Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki
kewibawaan yang terlihat sebagai seorang raja. Lamanya bertahta
28
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 44. 29
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 42.
30
menyebabkan Paku Buwono X mengalami perubahan besar dalam
perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari.31
Pada Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, suasana duka
menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhanan Paku Buwono
X menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun, dan mengakhiri
masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat.32 Ia disebut
oleh rakyatnya sebagai sunan penutup atau raja besar Surakarta yang terakhir.
Pemerintahannya lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono
XI.
D. Keraton Surakarta Pada Masa Paku Buwono X
Pengertian Keraton adalah bahwa keraton adalah pusat kebudayaan
Jawa yang patut dipelihara sehingga apabila keraton melakukan upacara
tradisi Jawa, masyarakat umum tertarik untuk melihat karena ingin tahu
bagaimana kebudayaan Jawa itu sesungguhnya. Secara internal, eksistensi
Keraton dalam pandangan spiritual masih tetap terjaga dan organisasi
tradisinya masih hidup dan berjalan. Selanjutnya, dijelaskan pula, bahwa
Keraton memang merupakan “a living heritage”, tonggak sejarah dan budaya. Dengan demikinlah hal utama yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan,
pelestarian dan pengembangan warisan yang sudah dikembangkan sejak
ratusan tahun lalu itulah yang sangat penting, demi menjamin kelanjutan
31
John Pemberton, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal 155.
32
eksistensi Keraton Solo untuk masa depan.33
Keraton Surakarta merupakan lambang pelestarian kebudayaan Jawa,
sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan secara turun temurun
dan masih berlangsung hingga kini, dan komunitas yang mempunyai
kebudayaan sendiri. Dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan tempat
yang subur bagi pertumbuhan organisai-organisasi sosial politik. Keadaan ini
dikarenakan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi
pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta
merupakan kota yang strategis untuk dijadikan tempat bagi tumbuh
kembangnya organisasi-organisaisi sosial politik.
Kasunanan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang
bergelar Sunan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja
yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Paku
Buwana Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah,34 Dengan gelar itu menempatkan raja pada kedudukan yang
tinggi. Dalam struktur birokrasi tradisional raja mempunyai kekuasaan sentral
dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan
warisan atas tradisi pengangkatan raja baru berdasarkan keturunan. untuk
menjadi sorang raja ia harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing
kusuma rembesing madu wijining atapa, tedaking andana warih. Artinya,
33
Anom Muhammad Hadisiswaya, Pergolakan Raja Mataram, (Interprebook, 2001), hal 28.
34
turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia.35
Sunan Paku Buwono X, raja Keraton Surakarta yang memerintah pada
tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin
Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur
agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Pakubuwono X
mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang
cukup lama yakni 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai
keteladanan, kebijakan dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal
yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan
diteladani bagi seluruh rakyat.
Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya.
Akan tetapi beliau tidak merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan ke luar
harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Raja memang
dipandang tinggi oleh rakyatnya, meskupun begitu sebenarnya ia tidak pernah
menjadi orang yang bebas. Ia terikat dengan semacam bentuk aturan, sehingga
untuk keluar dari keratonnya saja ia perlu izin dari residen. Ia adalah tawanan
di keratonnya sendiri. Tidak aneh kalau kemudian ia lebih banyak
mengembangkan politik simbolis daripada politik substantif. Dengan kata
lain, karena ia tidak bebas dalam mengurus kerajaan, kemudian sangat pandai
mengurus dirinya sendiri. Sehingga dalam urusan kerajaan, pikiran beliau
sangat sederhana. Seperti pertanyaannya kepada Patih Sasradiningrat, beliau
menanyakan: “sekarang musim apa?” “para petani sedang apa?” serta “
35
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
bagaimana air sungai?”.36
Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X
merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar
terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu raja sangat
berkuasa dalam sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, bahkan raja di anggap sebagai “wakil Tuhan” dimuka bumi.
Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat
dipengaruhi oleh kebijakan raja yang berkuasa pada masanya. 37 Kota
Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan menjadi
pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta
dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan di Yogyakarta terdapat Keraton
Kasultanan dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota
tersebut dalam pergerakan nasional sangat terlihat, bahkan menjadi pusat
pergerakan.
Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai
politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang
didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi,
komunikasi dan perekonomian yang dengan cepat memberi kesadaran
Surakarta atas adanya suatu dunia internasional yang tentunya bukan berpusat
di Surakarta, apalagi yang diwakili oleh sumbu semesta yang tinggal dalam
keraton.
36
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 20-21. 37
Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja Surakarta
Hadiningrat sudah memasuku zaman baru. Keraton sendiri juga sudah
mengalami perubahan pembangunan dan penambahan beberapa kali, sehingga
membuat Keraton terlihat semakin indah lagi secara fisik. Struktur
pemerintahan pada masa Sunan Paku Buwono X masih sama seperti pada
masa raja-raja sebelumnya, dimana raja yang memiliki jabatan dan kedudukan
yang tertinggi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sunan dibantu oleh
para sentana dan abdi dalem, mereka berkedudukan sebagai wakil raja. Tugas
dari sentana dan abdi dalem sebagai wakil raja ialah menjalankan tugas dan
tanggung jawab yang diperintahkan oleh Sunan. Jalannya roda pemerintahan
di Keraton Kasunanan tetap raja yang mempunyai wewenang. Dibawah raja
terdapat Dewan Menteri (Kabinet), adanya dewan tersebut befungsi sebagai
pembantu raja. Adapun tugas yang biasa dilakukannya adalah mengurus surat
dari raja dan untuk raja.38
Sunan Paku Buwono X membawa masyarakat Jawa memasuki zaman
baru. Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa
dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di sebagian
tanah Jawa dengan melakukan modernisasi, dengan Surakarta sebagai
ibukotanya. Dukungannya Sunan terhadap gerakan kaum republik dapat
membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan keraton disekolahkannya
ke berbagai tempat di luar negeri, telah menjadi kader-kader perjuangan yang
tangguh. Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung
38
dari para kerabat dan keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang
telah dilakukannya selama beliau menjadi Raja.39
Reformasi melahirkan ide baru, dengan pelaksanaan yang rapi,
dilakukan oleh para pegawai pembesar di keraton. Berbeda dengan raja
sebelumnya, Sinuhun PB X memasukkan unsur-unsur budaya Barat,
khususnya dalam bidang seni dan media massa. Hingga lahir surat kabar dan
majalah di Surakarta. Bahkan, Sunan atau keraton berlangganan surat kabar
dan majalah yang berbahasa Jawa, Melayu dan Belanda. Berdasarkan
informasi dari majalah dan surat kabar itulah, beliau mengetahui apa yang
terjadi di luar keraton maupun mancanegara. Abdi dalem keraton secara
bergiliran membacakan isi surat kabar dan majalah itu kepada Sunan.
Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak membawa
perubahan yang bersifat progresif, banyak menciptakan kemajuan di
lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB X adalah penguasa Jawa yang mudah
menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur
modernisasi di lingkungan keraton. Sunan juga banyak meminjam unsur-unsur
Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Seperti menu
makanan, pakaian, arsitektur rumah yang mirip loji di puncak Argapura yang
mendapat pengaruh dari Belanda, tetapi atapnya tetap bergaya bangunan Jawa.
Selain itu juga terdapat patung-patung Eropa yang diletakkan sebagi hiasan di
sekeliling pandapa Sasana Sewaka dan Sasana Handrawia. Administrasi
pemerintahan juga diatur mengikuti contoh Barat dan dipusatka di Kepatihan.
39
Akan tetapi Sunan sebagai penguasa juga melindungi kebudayaan Jawa dan
mempertahankannya. 40 Meskipun pengaruh Barat telah masuk kedalam
kehidupan keraton, namun hal ini tidak mengubah sistem hierarki tradisional
yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang masih berlaku untuk
generasi penerusnya dan mencoba untuk tetap dipertahankan yaitu Keraton
Surakarta.
Orang yang menganggap keraton adalah tempat untuk makan enak dan
tempat bersenang-senang saja itu adalah salah. Keraton oleh Paku Buwono X
dijadikan untuk mendidik dan menggembleng para putera, sentana, dan
kerabat keraton. Seluruh penghuni diwajibkan untuk menuntut ilmu. Sri
Susuhanan Paku Buwono X dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah
mengeluh, tingkah lakunya yang tidak pernah berubah, sangat disiplin dan
mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, terhadap putra-putrinya beliau
selalu bersikap keras akan tetapi penuh akan rasa kasih sayang.41
Menjelang pergantian abad ke-20 di Belanda terjadi perubahan politik
terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer.
Pemikiran ini berdasarkan bahwa Belanda mempunyai hutang budi kepada
Indonesia yang harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti
harta kekayaan yang pernah diambilnya. Politik Etis pada intinya adalah
memperluas dan memperbaiki program-program yang sudah ada, seperti:
perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan,
40
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa , hal 180.
41