• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menembak Sebuah Bayangan

Dalam dokumen Cerita di Balik Reformasi Perpajakan (Halaman 104-107)

“W

e have a destiny, kita harus akui bahwa organisasi yang ada sekarang belum optimum. DJP belum pernah merasa bahwa kita sudah sampai tujuan,”

kata Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pajak sekaligus Ketua Tim Pelaksana periode November 2017—Oktober 2019. Pernyataan tersebut ia lontarkan menjawab pertanyaan perubahan-perubahan yang terus dilakukan DJP.

Sri Mulyani melantik Nufransa Wira Sakti menduduki jabatan baru sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak pada 31 Januari 2020. Jabatan tersebut sekaligus membuat pria peraih gelar doktor di Niigata University, Jepang ini merangkap sebagai Koordinator Pokja 1.

“Tugas kami ini seperti menembak sebuah bayangan,” kata pria kelahiran 11 Agustus 1970 ini memberi perumpamaan pada tugas Pokja I yang menjadi tanggung jawabnya. Pokja 1 adalah tim pelaksana reformasi yang membidangi urusan organisasi dan sumber daya manusia.

“Kita belum tahu core tax bentuknya seperti apa,” ucap Frans,

“tetapi di sisi lain kita harus mendesain bagaimana rumahnya, kebutuhan orangnya berapa dan seperti apa kompetensi yang dibutuhkan.” Bagi Frans, ini seperti bekerja menyiapkan segala sesuatu untuk sesuatu yang masih abstrak.

Pekerjaan-pekerjaan reorganisasi yang dilakukan Pokja 1 di masa peralihan lebih kepada penajaman atas fungsi-fungsi yang ada

B A B I I L I M A P I L A R S A T U T U J U A N

sebelum core tax system benar-benar diimplementasikan secara penuh pada tahun 2024. Masa persiapan implementasi core tax system menjadi masa peralihan sebelum organisasi baru DJP benar-benar terbentuk nanti.

Saat core tax system sudah diimplementasikan nanti, teknologi informasi akan menjadi hal yang mendominasi cara DJP bekerja.

Perbaikan tata kelola pasti terjadi. Fungsi pelayanan akan lebih banyak dilakukan oleh automasi yang berbasis teknologi informasi.

Tentu saja hal tersebut akan membuat tuntutan organisasi untuk berubah. Organisasi yang cocok dan ideal bagi DJP yang serba digital dan automasi tentu berbeda dengan kondisi saat ini yang masih didominasi sistem manual.

“Core tax membawa requirement. Organisasi seperti apa yang dibutuhkan supaya cocok dan mendekati kondisi ideal (best fit),”

ungkap Robert Pakpahan menjelaskan tantangan Pokja 1. “Sistem yang masih manual dan fully automasi itu tentu organisasinya berbeda,” tambahnya.

Tidak ada pekerjaan sulit jika pekerjaan itu tidak dikerjakan.

Guyonan itu tak berlaku bagi Pokja dan anggotanya. Seabstrak apa pun bayangan, mereka tetap harus menyiapkan senapan agar tepat sasaran. Mereka tetap harus mulai bekerja. Otoritas pajak Australia (ATO), yang konon merupakan salah satu lembaga paling kuat di negaranya, menjadi acuan model organisasi DJP di masa depan.

Pokja 1 melakukan analisis beban kerja tiap unit organisasi.

Berdasarkan hasil analisis ini, menjadi terang benderang unit-unit mana yang perlu dilakukan pembenahan, unit mana yang beban kerjanya menumpuk, tetapi di sisi lain ada unit yang justru beban kerjanya berkurang drastis.

Ada juga unit yang tumpang tindih tugasnya dengan unit lainnya.

Hasil analisis pada tahap ini menjadi dasar untuk melakukan realokasi SDM dan efisiensi pada organisasi yang ada saat ini.

“Dengan pengembangan layanan click, call, and counter, tugas pegawai di KLIP (Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan) ke depan menjadi sentral perannya. Tetapi, di sisi lain pegawai KPDDP

banyak nganggur karena proses bisnis sudah digitalisasi,” ungkap Frans memberi contoh.

Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (KPDDP) adalah unit organisasi DJP yang mengadministrasikan dokumen wajib pajak yang berbentuk kertas (manual) untuk kemudian dipindai dan diarsipkan. Sedangkan KLIP adalah unit DJP yang menjalankan fungsi semacam pusat kontak pada layanan perbankan.

Struktur organisasi DJP di masa depan adalah organisasi dengan fokus utama ke proses bisnis pengawasan dengan didukung data dan teknologi. Hal ini berbeda dengan arah kebijakan pada reformasi sebelumnya yang berfokus pada proses bisnis pelayanan. Hal yang sudah semestinya dilakukan mengingat DJP memikul tugas berat sebagai institusi penghimpun pajak penopang utama penerimaan negara.

“Saat ini 6.000 pegawai DJP melakukan pekerjaan proses bisnis pelayanan. Kalau ini bisa kita ubah dan sumber daya manusianya kita realokasikan ke pengawasan dan penegakan hukum, itu akan sangat membantu tugas DJP,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan ini. DJP selama ini sering berkilah kekurangan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas menghimpun penerimaan negara.

Riak-riak penolakan pasti selalu terjadi pada setiap proses perubahan. Hal tersebut juga dialami oleh Pokja 1. Frans menceritakan kisah penolakan atas sebuah keputusan peleburan salah satu unit organisasi di DJP. Hal tersebut terjadi pada sebuah rapat konsinyasi di Bogor.

Awalnya, Pokja dan Direktur Jenderal Pajak selaku Ketua Tim Pelaksana sudah sepakat untuk melebur sebuah unit organisasi dan menggabungkannya dengan unit lain yang serumpun. Tetapi, beberapa protes bermunculan dan terjadi penolakan.

“Kalau kita hanya menyampaikan unitmu besok hilang, yang terjadi malah resistan. Harus dijelaskan dengan big picture-nya,”

ujar Frans. Menurut Frans, prinsip nomor satu pada saat melakukan

reorganisasi adalah memastikan bahwa semua tugas dan fungsi yang ada tidak hilang. “Tetap ada semua. Nama dan jabatannya saja yang hilang atau berubah,” tegasnya.

Resistensi dari pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung menjadi tantangan tersendiri bagi Pokja. Manajemen perubahan menjadi suatu hal yang penting untuk mengomunikasikan perubahan-perubahan yang terjadi.

“Kita sudah membangun automasi, ternyata mental kita masih mental manual. Ujungnya ada mesin yang automasi, tapi mesin yang bekerja rasa manual,” tekan Robert Pakpahan

menekankan pentingnya peran manajemen perubahan.

Penolakan seharusnya bukan halangan, asalkan semua pihak sepakat bahwa mereka memiliki satu misi yang sama, yaitu untuk DJP yang lebih baik. Masa-masa peralihan ini menjadi penguji, apakah DJP bisa melewati semua itu bersama.

Saat core tax system sudah benar-benar diimplementasikan, pekerjaan reorganisasi sudah lebih pasti. Reorganisasi akan disusun benar-benar sesuai kebutuhan dan teknologi. Frans dan timnya tidak lagi seperti menembak sebuah bayangan.

“Ibarat kita sudah punya mobil, kita tentukan tujuannya mau kemana. Jalannya seperti apa? Lewat mana? Isi bensinnya di mana? Dan sebagainya,” tutur Frans lagi-lagi memberi sebuah perumpamaan.

Dalam dokumen Cerita di Balik Reformasi Perpajakan (Halaman 104-107)

Dokumen terkait