• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengedepankan Hakikat Kemanusiaan Secara Utuh Dalam

BAB II. KONTRIBUSI PEMIKIRAN DRIYARKARA MENGENA

C. Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia

1. Mengedepankan Hakikat Kemanusiaan Secara Utuh Dalam

Kontribusi Driyarkara dalam menuangkan pemikirannya mengenai pendidikan bisa dikatakan dimulai ketika ia berpidato sebagai dekan PTGP Sanata Dharma pada tanggal 17 Desember 1955. Menurut Driyarkara peran pendidikan menjadi penting karena pendidikan mengusung nilai-nilai kemanusiaan yang cukup kompleks. Nilai pendidikan tidak hanya menjadi kekayaan individual semata, tetapi dengan nilai pendidikan menunjukkan sebuah mentalitas dan kepribadian masyarakat berbangsa. Keberhasilan pendidikan menjadi tolak ukur bagi sebuah bangsa akan keseriusannya mempersiapkan dan mematangkan sumber daya manusia sekaligus dalam memajukan bangsanya. Singkatnya pendidikan mempunyai dampak yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekembalinya Driyarkara menimba ilmu di Belanda dan diangkat menjadi pengajar filsafat pada Ignatius College di Yogyakarta. Nasibnya mulai berubah di tengah-tengah masyarakat ketika Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma didirikan. Ketika Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma berubah nama menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Driyarkara menjadi Dekan, dan bahkan ketika berubah lagi menjadi IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) ia diangkat menjadi rektor disana sampai pada akhirnya ia meninggal. Posisi inilah yang membuatnya dikenal pula sebagai seorang tokoh pendidikan. Ia mulai mengarahkan tema-tema pendidikan pada beberapa tulisannya, ini dilakukan bukan semata-mata karena sedang

memegang jabatan strategis dibidang pendidikan sehingga ia ingin memberikan kesan sebagai orang yang mumpuni di bidang pendidikan. Justru tema-tema pendidikan yang diambil adalah sebuah kritik terhadap penyalahan persepsi masyarakat dan pemerintah terhadap gunanya pendidikan13.

Berikut adalah salah satu contoh gagasan-gagasan pokok filsafat pendidikan Driyarkara dalam dunia pendidikan yang mendasari IKIP Sanata Dharma dalam mendidik mahasiswanya, sebagai berikut14:

1. Intisari pendidik adalah suatu hubungan manusiawi antara pendidik dan si terdidik dan antara terdidik satu sama lain, kedua belah pihak saling membantu mewujudkan kemanusiaan mereka, tetapi ada perbedaan yaitu yang satu lebih membimbing, yang lain lebih dibimbing.

2. Pendidikan dilangsungkan dalam suatu hubungan pendampingan yang bersifat dialogal dan dinamis, dimana kedua belah pihak membuka hati dan pikiran dan menuju masa depan.

3. Dalam pendidikan di terdidik maupun pendidik menjadi manusia yang otentik bebas dan berpancasila, yang melaksanakan dirinya dalam suatu keseimbangan dengan sesame dalam keluarga, lingkungan kerja, masyarakat dan Negara, dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam cinta kasihNya, dan dengan alam sekitar yang dikuasai serta dihargai olehnya.

4. Pendidikan dilangsungkan oleh manusia yang bereksistensi dalam lingkungan Indonesia. Dan karena Indonesia sedang membangun, maka semua pengetahuan, keterampilan, sikap yang menunjang pembangunan diberi perhatian istimewa.

Filsafat pendidikan Driyarkara tersebut dijabarkan dalam Universitas Sanata Dharma sebagai dasar untuk mengusahakan supaya15:

1. Golongan-golongan dengan agama serta keyakinan yang berbeda-beda dapat saling harga menghargai.

2. Semua warga dibantu mengembangkan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Semua warga Negara terdorong menyumbangkan jasa sebagai pendidik professional yang bermutu kepada dunia pendidikan.

13

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 2006, hal. 389.

14

P. J. Suwarno, Sanata Dharma Menemukan Jalannya (Edisi Revisi). 1998. Yogyakarta: Yayasan Sanata Dharma, hal. 53-55.

15

4. Suasana di IKIP Sanata Dharma mencerminkan keadilan dan memajukan pemerataan pendidikan sehingga mahasiswa-mahasiswi menghayati cita-cita ini.

Jabatan yang rektor dan kemunculannya pada berbagai macam seminar dan juga simposium ini secara tidak langsung membuat Driyarkara menjadi salah satu pemikir yang disegani di Indonesia, sehingga tidak lama setelah menjadi rektor yaitu pada tahun 1960 Driyarkara diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Indonesia dan Universitas Hassanuddin. Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu pada St. Louis University di kota St. Louis, Missouri, Amerika Serikat dan bahkan akibat sering mengisi simposiun serta berbagai macam diskusi tentang Pancasila. Driyarkara juga diminta untuk mengajar pada SESKOAD dan SESKOAL, lalu pada tahun 1966 ia diusulkan menjadi Guru Besar Tetap Universitas Indonesia.

Berbagi macam jabatan akademis serta prestasi telah ia raih namun tidak berhenti sampai disini. Kepeduliannya pada banyak hal seperti kondisi bangsa membuatnya menjadi angota MPRS sejak tahun 1960. Tahun 1965 ia diangkat menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung), tetapi lembaga ini sudah tidak pernah mengadakan rapat kembali sejak bulan Januari 1965 dan bahkan ketika Presiden membentuk DPA(S) Driyarkara termasuk kedalam 18 orang yang menolak secara resmi pengangkatannya, dengan alasan selama ia menjadi anggota DPA tidak pernah dimintakan nasehat. Hal yang memberatkan lainnya karena pembentukan DPA(S) dirasa berjalan diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan tampilnya ia di ranah publik tentunya tidak mengherankan apabila sosok ini mendapatkan berbagai macam pujian atas karya-karyanya. Perhatian penuh ia

curahkan kepada permasalahan pendidikan, hal itu dilakukan bukan semata-mata ia seorang pendidik melainkan muncul dari kegundahannya terhadap kondisi bangsa. Berdasarkan hal tersebut Driyarkara di anugerahi dua buah penghargaan dari pemerintah Indonesia pada dua penguasa yang berbeda yaitu16:

a. Piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 17 Agustus 1969 sebagai pengabdi dan pendorong dalam bidang pendidikan.

b. Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama pada tanggal 13 Agustus 1999 sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap Negara dan Bangsa Indonesia.

Kontribusi pemikiran Driyarkara dalam menyoroti pendidikan merupakan sikap kritisnya terhadap dunia pendidikan. Kontribusi pemikiran Driyarkara terbesar bagi proses pendidikan adalah menjadikan pendidikan formal dengan

mengedepankan hakikat kemanusiaan secara utuh dalam pendidikan. Artinya,

peserta didik mampu berkembang secara humanis yang bersifat manusiawi dan berperikemanusiaan, sehingga akan menciptakan keseimbangan antara hati dan apa yang mereka lakukan, agar setiap peserta didik menjadi manusia yang semakin mengerti baik dan buruk serta mampu mengambil keputusan tepat dan berguna. Keputusan tidak hanya untuk diri sendiri tetapi terkait dengan orang di sekitarnya. Karena humanisme sebagai filsafat pendidikan artinya suatu visi yang melihat manusia sebagai yang bermartabat dan luhur.

16

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Humanisme adalah proses belajar untuk memanusiakan manusia yaitu dengan cara memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Ciri-ciri humanisme menurut Driyarkara adalah 1) memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme; 2) memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah; 3) mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan (philosophically creative); 4) memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and sensitivity to justice and injustice)17.

Berdasarkan ciri humanisme pertama yaitu memiliki kepekaan budaya

(cultural sensibility) yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan

multikulturalisme, dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Selain itu, sebagai negara yang plural Indonesia memiliki banyak sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama, dengan sifat plural yang dimiliki tersebut negara Indonesia rawan akan konflik karena lebih sulit menjaganya ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.

Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam

17

sekala luas yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Kalimantan Barat (konflik etnis di Singkawang dan Sambas) yang kerap terjadi dan dilakukan dalam rentang yang hampir berdekatan. Peristiwa-peristiwa yang belum terselesaikan sampai sekarang disebabkan karena persoalan-persoalan etnis dan persoalan agama, berbagai persoalan yang menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru berlanjut menjadi masalah yang besar karena dikait-kaitkan dengan persoalan yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah SARA18.

Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting, khususnya dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup.

18

Lahirnya kebudayaan merupakan peran dari pendidikan dan adanya pendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku. Pilihan-pilihan dalam mendidik tidak lepas dari norma dan etika yang berlaku dari kebudayaan tertentu, sedangkan keberlangsungan budaya beserta perkembangannya juga merupakan campur tangan dari proses mendidik. Intinya keduanya menjadi bagian penting dalam keberadaan manusia sehingga menjadi kebutuhan dasar bagi manusia19.

Berdasarkan ciri humanis kedua yaitu memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah. Artinya Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan jaman, supaya dapat bertahan terhadap segala macam perubahan karena arus globalisasi. Karena perubahan tersebut dapat mencabut kita dari akar-akar kebaikan yang telah diajarkan dalam pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, harus ada kolaborasi yang seimbang dari pendidikan dan kebudayaan untuk bisa memastikan bahwa keberadaan identitas nasional kita tidak hilang.

Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak terhadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya

bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.

Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

Ciri humanis ke tiga yaitu mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan (philosophically creative). Hal ini dimaksudkan supaya peserta didik mampu meningkatkan karakter dirinya sehingga mampu dijadikan contoh sebagai representasi dari kepribadian nasional. Pendidikan dianggap mampu melahirkan orang-orang yang memiliki intelektual tinggi. Jika kita ungkit kembali perkataan Driyarkara mengenai tujuan manusia sebagai proses memanusiakan manusia maka perhatian dari pendidik adalah menjadikan anak didik ini sebagai manusia yang memiliki karakter bangsanya. Pendidikan berada pada semangat menciptakan kebudayaan dan berakhir kepada lahirnya sosok manusia yang mampu mengkarakterkan dirinya sesuai dengan cita-cita bangsa.

Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama. Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu sesungguhnya merefleksikan kekayaan budaya. Namun di sisi lain, keberagaman

juga berpotensi besar untuk “tumbuh suburnya” konflik, terutama jika

keberagaman tersebut tidak mampu dikelola dengan baik. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi membawa pengaruh yang multidimensional. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada saat ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari permasalahan kultur yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyarakat kita. Keragaman ini dapat dilihat dari segi positif ataupun dari segi negatif, seperti: diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga kini dengan segala bentuknya, seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengesampingkan hal-hal minoritas, mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal sebagai wujud nyata dari globalisasi, kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari permasalahan kultural yang ada.

Ciri humanis keempat yaitu memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and

sensitivity to justice and injustice). Pada cirri humanis keempat ini peserta didik

diharapkan tidak hanya pandai dalam akademik saja akan tetapi peserta didik diharapkan memiliki sikap-sikap welas asih yang mampu peduli pada lingkungannya; membedakan yang benar dan salah; dapat bersikap arif serta bijaksana; menjunjung tinggi moralitas; memiliki kejujuran dalam

berperilaku sehari-hari; menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan agar mampu menghadapi setiap kondisi dan permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, negara, dan dunia.

Memperhatikan pentingnya pendidikan di atas, maka dapat diartikan bahwa pendidikan humanis merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik secara positif dan dinamis serta mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, serta menjadi peserta didik yang mampu mengembangkan potensi diri sehingga menghasilkan insan yang tidak hanya cerdas dan mampu bersaing dalam intelektualnya namun juga dalam kemanusiaannya. Sebab, insan yang cerdas bukan saja memiliki kemampuan intelektual dan atau pengetahuan yang baik dan lebih namun juga cerdas secara spiritual dan atau emosional serta baik dalam hubungan sosial dengan kepribadian atau berkarakter baik sehingga akan melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan karakter memungkinkan terjadinya transformasi atau peralihan nilai-nilai yang baik dan logis untuk dilaksanakan secara nyata. Dalam proses pendidikan yang cerdas dan humanis mestinya menggunakan pendekatan yang humanis atau manusiawi dan tidak saja dilakukan melalui pemahaman konsep- konsep nilai tapi butuh keteladanan. Pendidikan cerdas dan humanis akan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan melalui jalur pendidikan, baik jalur pendidikan formal, non formal maupun informal (keluarga dan lingkungan). Sehubungan dengan itu, maka pada jalur pendidikan formal maupun non formal harus didasarkan pada tujuan yang jelas, materi yang digunakan, strategi dan metode,

media atau alat yang digunakan, evaluasi serta perkembangan mental dan spiritual peserta didik.

Sehubungan dengan itu, maka komponen-komponen pendidikan cerdas dan humanis tersebut harus dikelola dengan baik oleh pendidik yang memiliki kompetensi pengelolaan pembelajaran yang baik, memiliki kompetensi kepribadian yang baik, memiliki kompetensi sosial yang baik dan professional sebagai pendidik. Pendidikan cerdas dan humanis bertujuan menghasilkan manusia yang berkualitas/cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan sosial, berakhlak mulia, berbudi luhur, berkarakter bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Input pendidikan berkualitas apabila siap berproses dengan baik, mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam menggunakan pendekatan yang cerdas dan humanis20. Dengan demikian maka output atau hasil belajar dalam kategori baik dan keluaran berkualitas apabila berguna bagi bangsa dan Negara. Berdasarkan uraian di atas, maka pada prinsipnya hakekat dan tujuan pendidikan cerdas dan humanis adalah membentuk kepribadian peserta didik yang cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan social yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kepentingan banyak orang dan lingkungan alam sekitarnya terutama dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan Tuhan penciptanya.

20

Dharma Kusuma dkk, “Pendidikan Karakter Kajian Teori Dan Praktik Di Sekolah”, Bandung:

Dokumen terkait