• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter

BAB II. KONTRIBUSI PEMIKIRAN DRIYARKARA MENGENA

C. Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai- nilai etika yang baik. Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, dan tanggungjawab21

. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal, dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggungjawab secara parsial. Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan di Indonesia. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.

Pendidikan di Indonesia selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi

21

pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Di sekolah misalnya, sering kali ditemukan anak-anak yang menyontek ketika ujian karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi. Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.

Pendidikan merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa. Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan karakter juga dipengaruhi faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial. Negara mempunyai peranan penting dalam sebuah pendidikan. Perkembangan sebuah negara tidak lepas dari pendidikan dan pengajaran yang baik.

Hak dan kewajiban dalam belajar menurut Driyarkara merupakan fundamental (asasi), yang mempunyai kesamaan dengan hak–hak kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyarkara menyatakan bahwa “setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan dengan Pancasila tentu bukan merupakan

pelaksanaan hak dan kewajiban asas”22

. Pendidikan harus mendahuli sebuah pengajaran. Di dalam dunia yang mengarah ke arah modern ini, pendidikan terhadap anak didik tidak cukup hanya sebatas hanya membangun kepribadian yang sempurna dan susila, tetapi bagaimana seorang pendidik dapat

22

Subanar G. B, (editor), Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Masa Kini, 2013, Yogyakarta: Penerbit USD, Hal. 60.

mengembangkan kecakapan peserta didik yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepada negara.

Negara mengembangkan dan menyelengarakan pengajaran mengunakan dua sistem, yang pertama negara langsung mengadakan pengajaran sendiri (Sekolah Negeri) dan yang kedua negara mengunakan pihak swasta (sekolah milik yayasan swasta) untuk turut serta membantu dan mengembangkan pengajaran tersebut. Negara mempunyai perananan, hak dan kewajiban di dalam pengajaran. Peranan tersebut adalah mengembangkan tenaga-tenaga yang cakap di dalam kehidupanya. Dasar hak dan kewajiban negara di dalam dunia pendidikan adalah menentukan macam kualitas dan taraf pelajaran di sekolah negeri maupun sekolah milik yayasan swasta.

Pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks. Salah satunya ditunjukkan dari perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat berpengaruh pada aspek ekonomi (perdagangan global) yang mengakibatkan berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Pada aspek sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus akan berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap

sesama, dan itu semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan sebagai modal utama diharapkan dapat menghalangi virus- virus penghancur tersebut, dan masa depan bangsa ini dapat diselamatkan.

Pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dapat dibentuk melalui jenjang pendidikan formal, informal, dan pendidikan non formal23. Ketiga jenis pendidikan itu memiliki masing-masing fungsi, tetapi fungsi yang berbeda tersebut saling melengkapi, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membetuk karakter dari individu-individu yang mengalami pendidikan. Karakter yang dibentuk melalui jenjang pendidikan tersebut meliputi tiga hal yaitu intelektual, emosional dan spiritualnya.

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah- sekolah pada umumnya24. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Termasuk juga ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.

Pada pendidikan formal, pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk pengajaran yang sesuai serta memperhatikan kondisi sosial pada setiap lokasi pembelajaran. Artinya, pembelajaran ilmu pengetahuan tidaklah bisa disamakan

23

Doni Kusuma, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Jakarta: Grasindo, 2007. hal. 84-88.

24

antara satu tempat atau negara dan negara lain karena jelas mempunyai karakteristik pola tradisi dan budaya yang berbeda.

Begitu pula dengan kondisi di negara kita, Indonesia, bahwa pendidikan karakter menjadi relevan diterapkan untuk mengatasi berbagai fakta-fakta empiris yang menyiratkan adanya sinyal ketidakberesan di lingkungan pendidikan. Misalnya, kasus korupsi, suap, kriminalitas (tawuran antarpelajar/mahasiswa), dan perilaku amoral (termasuk kasus video mesum yang juga sering kali terjadi di kalangan siswa), yang bila kita telusuri, oknum pelakunya merupakan kaum terpelajar dari lembaga pendidikan nasional yang kita miliki.

Dalam wujud praktis, pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ (intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual quotient). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.

Metode pembelajaran itu umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya

terasa masih tampak kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat.

Berbagai isu sosial yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari peranan pendidikan. Isu mengenai radikalisme masyarakat sudah begitu merebak hingga memunculkan pemakluman. Masyarakat sudah terlalu sering disuguhi tontonan kekerasan di media massa. Tentu kekerasan bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal yang disuguhkan dalam berbagai talkshow sehingga masyarakat semakin bingung mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang berbudaya. Pendidikan seharusnya mampu merangsang seseorang berpikir kritis dan mampu memilih alasan yang tepat dalam setiap aktivitasnya. Pendidikan harus mampu membentuk karakter setiap pribadi siswa. Karakter sangat erat dengan sikap dan pilihan cara bertindak. Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin kepada setiap orang.

Pembentukan pendidikan karakter melalui pendidikan formal dapat mulai sejak usia dini. Mengucapkan terima kasih atau menyapa adalah bagian latihan dalam pendidikan karakter. Kelihatan sederhana memang, tetapi sekarang pun kita jarang menemukan orang yang rela berucap terima kasih atau sekadar menyapa dengan senyum. Pendidikan karakter tidak perlu harus dinilai secara kognitif.

Desain pendidikan karakter seharusnya jauh dilepaskan dari unsur penilaian

kognitif. Salah satu kegagalan pembentukan karakter saat ini karena terlalu

mengkognitifkan nilai-nilai (living values) dalam pembentukan karakter.

Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah. Para siswa ini disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Namun, sekolah tentu bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi berkarakter, tempat lain yang utama adalah keluarga dan masyarakat.

Pembentukan pendidikan karakter melalui pendidikan formal seharusnya dimulai dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku daripada ilustrasi angka yang mereduksi hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui tes.

Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap pelajaran atau diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir. Guru tidak lagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau

menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.

Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus memaksa atau dipaksa untuk memahami orang lain. Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Sejarah, pada pelajaran ini guru dapat melakukan diskusi kelas dengan mengangkat kasus atau peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dilingkungan sekolah atau di negara ini. Disini, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan pola pikir dan mengkritisi peristiwa yang sedang terjadi tersebut. Hal ini apabila dapat diterapkan, secara tidak langsung dapat melatih siswa untuk berpikir kritis, belajar menghargai pendapat oran lain, mengambil kesimpulan dari suatu peristiwa tidak hanya dari satu sumber saja, tetapi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, bersikap arif dan bijaksana, dan memiliki mental yang cerdas serta pemberani dalam menyampaikan pendapat dimuka umum. Jika latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk dengan sendirinya tanpa disadari oleh siswa itu sendiri.

Karakter dapat diolah melalui berbagai aktivitas yang didasari dengan sikap moral yang benar. Hal pertama yang terkandung dalam contoh diatas adalah

memberikan ruang ekspresi yang cukup pada peserta didik. Siswa harus diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini penting untuk penyaluran emosional. Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa menjadi lemah kreasi. Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi karena tidak ada ruang ekspresi bagi siswa di sekolah.

Hal kedua adalah empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap inilah yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada setiap individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan terwujud, karena pendidikan karakter bukan pelajaran yang harus dites dan dinilai dengan angka atau huruf mutu, tapi lebih ditekankan pada latihan di setiap aktivitas sekolah.

Jenjang pendidikan kedua adalah pendidikan non formal. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang25. Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Minggu, berbagai kursus, bimbingan belajar, program-program pemberantasan buta aksara, pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan sebagainya.

Pendidikan karakter dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan, kursus kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan singkat, baik yang

25

diselenggarakan pemerintah maupun organisasi massa. Demikian pula pendidikan karakter dapat dilakukan pada kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang taruna, keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan penanggulangan bencana alam.

Pendidikan nonformal yang dilaksanakan pada lingkup dunia usaha dalam bentuk pendidikan dan pelatihan calon pegawai, pelatihan kewirausahaan, pelatihan kepemimpinan, dan pelatihan keterampilan profesi. Pada lingkup masyarakat politik dilakukan bentuk pelatihan dan kaderisasi partai, pelatihan kepemimpinan, pelatihan etika politik dan pembudayaan politik. Sedangkan pada lingkup media masa, pendidikan nonformal berupa pelatihan dasar komunikasi, pelatihan kode etik jurnalistik, dan pemahaman profesi jurnalis dan pelatihan transaksi elektronik.

Pendidikan karakter pada kegiatan pendidikan dan latihan nonformal serta kegiatan kemasyarakatan tersebut dapat diarahkan untuk menanamkan kepedulian sosial, jiwa patriotik, kejujuran, dan kerukunan berkehidupan dalam masyarakat serta untuk mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa yang memiliki watak, kepribadian, dan akhlak mulia.

Jenjang pendidikan ketiga adalah pendidikan informal. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan di lingkungan keluarga yang berupa ajaran tata- krama, sikap dan tingkah laku yang diajarkan pada keluarga semenjak peserta didik lahir. Pendidikan informal dapat juga disebut pendidikan yang ada di masyarakat, atau pendidikan yang dialami oleh seseorang oleh lingkungannya26.

26

Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga yang merupakan pondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Driyarkara menyatakan bahwa:

“Bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah, misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai perbuatan mendidik karena dirongrong oleh konsep yang salah”27.

Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarkara ingin menunjukkan lemahnya institusi suatu keluarga. Dalam pernyataan tersebut tersirat bahwa orang tua memasukkan anak ke sekolah bukan untuk membuat anaknya menjadi pandai, dan cakap dalam segala hal. Akan tetapi, pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa anak sekolah supaya mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, tanpa diimbangi dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak itu sendiri. Sehingga, wajar apabila pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan humanis sesuai dengan pemikiran Driyarkara28.

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi sebagai sarana

27

Danuwinanta, F., SJ. (editor), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh

dalam Perjuangan Bangsanya, 2006, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 363.

28

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan- kegagalannya. Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Terdapat tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.

Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan

dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia

awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.

Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar

anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Terdapat beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu29:

1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.

2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.

3. Bersikap kasar secara verbal, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.

4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.

5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini. 6. Tidak menanamkan “good character“kepada anak. Dampak yang ditimbulkan

dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.

7. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.

8. Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.

9. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.

10. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga, dan berguna.

11. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.

12. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat diprediksi oleh orang lain.

13. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.

14. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuanya

29

sebagai ”role model”, anak akan lebih percaya kepada ”peer group”nya

Dokumen terkait