• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Driyarkara dalam pendidikan di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Driyarkara dalam pendidikan di Indonesia."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

PERAN DRIYARKARA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh:

Prasistawati Dwi Astuti

Universitas Sanata Dharma

2015

Penulisan makalah bertujuan untuk menganalisis: (1) kontribusi pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan di Indonesia, (2) model pendidikan Driyarkara, dan (3) upaya Driyarkara dalam merealisasikan pemikirannya di bidang pendidikan.

Penulisan makalah ini menggunakan metode sejarah dengan langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, historiografi, dengan pendekatan sosial budaya, dan model penulisan deskriptif analitis.

Hasil penulisan makalah menunjukkan bahwa: (1) kontribusi pemikiran Driyarkara adalah mengedepankan hakikat kemanusiaan secara utuh melalui pendidikan berbasis karakter di sekolah maupun universitas di Indonesia, (2) model pendidikan Driyarkara yaitu humanisme, humanisasi, humanistik, dan humanitas, (3) upaya Driyarkara merealisasikan pemikirannya dengan menuangkan ide dalam sebuah buku, dan menerapkan sistem pendidikan berbasis karakter ke dalam dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan dengan karakter utuh dan tajam dalam kompetensi (competence), suara hati (conscience), dan hasrat bela rasa (compassion).

(2)

ix ABSTRACT

DRIYARKARA ROLE IN EDUCATION IN INDONESIA

Oleh:

Prasistawati Dwi Astuti

Universitas Sanata Dharma

2015

The writing of this paper aims to find out: (1) the contribution of

Driyarkara’s thinking on education in Indonesia, (2) the Driyarkara’s educational

model, and (3) the Driyarkara’s efforts in realizing his thinking in the field of

education.

This paper uses historical method with heuristic step, namely verification, interpretation, historiography, and socio-cultural approach. The reporting model of descriptive writing.

(3)

i

PERAN DRIYARKARA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

PRASISTAWATI DWI ASTUTI

NIM: 101314024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan kerendahan hati, makalah tugas akhir ini saya persembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu, terima kasih atas semua kasih sayang, dukungan, motivasi serta doa-doanya yang senantiasa selalu dipanjatkan demi keberhasilan dan kesuksesanku (tanpa beliau saya bukan apa-apa).

2. Kakakku yang senantiasa memberikan motivasi dan membantu dengan doa hingga terselesainya makalah ini.

3. Keluarga besar Eyang Marto Pratisto, yang selalu memotivasi untuk tetap semangat dan tersenyum dalam menyelesaikan makalah ini.

(7)

v

MOTTO

"Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri".

(Ibu Kartini )

“Pemenang kehidupan adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang

tetap manis di tempat yang pahit, yang tetap merasa kecil di tempat yang besar, dan yang tetap tenang di tengah badai yang paling hebat”.

(Hi Tsuki Rin)

“Karena sebuah proses tidak akan mengkhianati sebuah hasil”. (Penulis)

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan dalam daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Juni 2015 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Prasistawati Dwi Astuti

Nomor Mahasiswa : 101314024

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERAN DRIYARKARA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 26 Juni 2015 Yang menyatakan

(10)

viii

ABSTRAK

PERAN DRIYARKARA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh:

Prasistawati Dwi Astuti

Universitas Sanata Dharma

2015

Penulisan makalah bertujuan untuk menganalisis: (1) kontribusi pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan di Indonesia, (2) model pendidikan Driyarkara, dan (3) upaya Driyarkara dalam merealisasikan pemikirannya di bidang pendidikan.

Penulisan makalah ini menggunakan metode sejarah dengan langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, historiografi, dengan pendekatan sosial budaya, dan model penulisan deskriptif analitis.

Hasil penulisan makalah menunjukkan bahwa: (1) kontribusi pemikiran Driyarkara adalah mengedepankan hakikat kemanusiaan secara utuh melalui pendidikan berbasis karakter di sekolah maupun universitas di Indonesia, (2) model pendidikan Driyarkara yaitu humanisme, humanisasi, humanistik, dan humanitas, (3) upaya Driyarkara merealisasikan pemikirannya dengan menuangkan ide dalam sebuah buku, dan menerapkan sistem pendidikan berbasis karakter ke dalam dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan dengan karakter utuh dan tajam dalam kompetensi (competence), suara hati (conscience), dan hasrat bela rasa (compassion).

(11)

ix ABSTRACT

DRIYARKARA ROLE IN EDUCATION IN INDONESIA

Oleh:

Prasistawati Dwi Astuti

Universitas Sanata Dharma

2015

The writing of this paper aims to find out: (1) the contribution of

Driyarkara’s thinking on education in Indonesia, (2) the Driyarkara’s educational

model, and (3) the Driyarkara’s efforts in realizing his thinking in the field of

education.

This paper uses historical method with heuristic step, namely verification, interpretation, historiography, and socio-cultural approach. The reporting model of descriptive writing.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa terucap atas terselesaikannya penulisan makalah ini, yang tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma.

4. Dra. Theresia Sumini, M. Pd selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan perhatian dan tenaga serta dorongan kepada penulis sehingga makalah ini selesai.

5. Drs. A.K Wiharyanto, M. M selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

6. Yulius Dwi Cahyono, M. Pd dan Hendra Kurniawan, M. Pd yang telah membantu dan memberikan saran-saran serta perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

7. Teman-teman Pendidikan Sejarah 2010 yang banyak membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

(13)

xi

Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai amal ibadah, Amin.

Yogyakarta, 26 Juni 2015 Penulis

(14)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II. KONTRIBUSI PEMIKIRAN DRIYARKARA MENGENAI PENDIDIKAN DI INDONESIA ... 8

A. Profil Prof. Dr. N. Driyarkara ... 8

B. Karya-karya Driyarkara ... 11

C. Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia 15

1. Mengedepankan Hakikat Kemanusiaan Secara Utuh Dalam Pendidikan ... 15

2. Pendidikan Karakter ... 23

(15)

xiii

BAB III. MODEL PENDIDIKAN DRIYARKARA ... 49

A. Model Pendidikan Menurut Driyarkara ... 49

B. Model Pendidikan Menurut Driyarkara dan Kurikulum 2013 ... 55

BAB IV. UPAYA DRIYARKARA DALAM MEREALISASIKAN PEMIKIRANNYA DI BIDANG PENDIDIKAN ... 63

1. Menuangkan Pemikiran Atau Ide-Idenya Dalam Sebuah Buku .... 66

2. Menerapkan Sistem Pendidikan Karakter ke Dalam Dunia Pendidikan ... 69

BAB V. KESIMPULAN ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

PERAN DRIYARKARA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

A.Latar Belakang Masalah

Dalam suatu kehidupan bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan suatu bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu bangsa ditentukan oleh pendidikannya saat ini.

Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaan menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula dengan pendidikan di negeri ini. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bangsa yang bodoh dan terbelakang, terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan sumber daya manusia menjadi manusia yang cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia terus diupayakan melalui proses pendidikan.

(18)

mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul karena proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia telah gagal dalam membentuk karakter calon generasi penerusnya. Penilaian ini didasarkan pada banyaknya para lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan1.

Pendidikan karakter sesungguhnya sudah tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” 2 .

Driyarkara menyatakan bahwa pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau penting dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, hidup sebagai manusia berarti hidup sesuai hukum moral atau kesusilaan. Selama dia tidak baik dalam arti susila, dia belumlah baik sebagai manusia. Menurut Driyarkara supaya

1

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 2006, hal. 227

2 Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pusat Data dan Informasi Pendidikan,

(19)

pendidikan dapat mencapai tujuannya, maka pendidikan harus mencakup tiga aspek, yaitu pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan kompetensi3.

Pendidikan nilai merupakan proses yang utama dalam pendidikan karena nilai-nilai itulah yang mendasari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia itu dalam perbuatannya tidak bisa tidak mengejar dan melaksanakan nilai. Ada dua nilai yang paling fundamental untuk manusia, yaitu nilai moral dan nilai keagamaan. Kedua nilai tersebut adalah nilai kesempurnaan, maka harus diperjuangkan. Pendidikan karakter menurut Driyarkara dapat disamakan dengan budi pekerti. Orang yang disebut mempunyai budi pekerti berarti mempunyai kebiasaan mengalahkan dorongan-dorongan yang tidak baik. Karena itu, pendidikan karakter tak dapat dilepaskan dari pendidikan nilai. Nilai-nilai yang ditanamkan harus dipraktikkan terus-menerus sehingga membentuk karakter4.

Pendidikan kompetensi merupakan pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan jaman. Tanpa generasi muda yang kompeten, pembangunan tidak akan berjalan lancar dan suatu bangsa akan mudah terjajah dalam berbagai dimensi, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Namun, pendidikan kompetensi harus disertai dengan pendidikan nilai dan karakter agar kepribadian seseorang semakin baik. Selain harus merangkul tiga aspek pendidikan di atas, kerjasama dan peran aktif dari orang tua, negara (pemerintah), dan masyarakat dalam pendidikan sangat diperlukan supaya pribadi yang dididik dapat tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter.

3

Ibid, hal. 326. 4

(20)

Driyarkara adalah salah satu filsuf dan pemikir terkemuka di Indonesia. Beliau memiliki berbagai macam gagasan yang luar biasa bagi permasalahan di dunia pendidikan, terutama pada pandangan filsafatnya terhadap pendidikan dengan pembangunan karakteristik kepribadian bangsa. Keaktifan Driyarkara menuangkan pemikirannya mengenai pendidikan dapat dikatakan dimulai ketika beliau berpidato sebagai dekan PTPG Sanata Dharma tahun 19555. Salah satu pidatonya menyebutkan bahwa pembentukan sikap berbangsa melalui pendidikan nasional adalah melalui pendidikan karakter yang diterapkan di suatu lingkungan pendidikan.

Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini pendidikan dianggap belum mampu mencapai titik idealnya, yaitu memanusiakan manusia seperti yang diutarakan Driyarkara di atas, yang terjadi justru sebaliknya yakni menambah rendahnya derajat dan martabat manusia. Gagalnya pendidikan dalam menanamkan nilai humanisme terlihat dengan berbagai macam problematika yang terjadi di negeri ini, salah satunya adalah tingginya praktik korupsi yang ternyata dilakukan oleh pejabat yang notabene adalah orang-orang berpendidikan, banyaknya sekolah-sekolah khusus bagi para pemodal, maraknya budaya tawuran antar pelajar, terjerat narkoba baik sebagai pengedar maupun pemakai, melakukan tindakan asusila, anarkis, bahkan membunuh dan berbagai bentuk permasalahan lainnya yang cukup memprihatinkan.

Hal lainnya yang cukup memprihatinkan adalah segala bentuk kesombongan akademik, dimana kaum intelektual berpendapat bahwa lulusan dari

5

(21)

suatu universitas ternama dianggap mempunyai kesempatan yang berbeda dalam dunia kerja dengan lulusan dari universitas yang biasa-biasa saja. Padahal saat ini dalam era persaingan yang ketat dan minimnya lapangan pekerjaan keahlian dan pengalaman adalah point utama yang menjadi parameter dalam dunia kerja selain nama almamater universitasnya. Hal ini semakin menutup nilai humanis dalam pendidikan dan meyakinkan kita bahwa ada yang salah dalam pendidikan.

Selain itu, bergesernya budaya timur dengan budaya barat di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, membuat manusia semakin bersikap individualis. Mereka "gandrung teknologi", asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Hal tersebut diperparah lagi dengan budaya barat yang kurang selaras dengan budaya nasional apabila diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat menghambat untuk perkembangan pendidikan di Indonesia6.

Pendidikan karakter diharapkan menjadi solusi dalam membenahi moralitas generasi muda. Berbagai alternatif guna mengatasi krisis karakter memang sudah dilakukan salah satunya adalah dengan penerapan hukum yang lebih kuat. Altenatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi problematika di atas adalah dengan cara menerapkan pendidikan karakter di dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Menurut Kemendiknas, pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif. Itu karena pendidikan membangun generasi

6

(22)

baru bangsa menjadi lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan mengembangkan kualitas generasi muda bangsa ini dalam berbagai aspek, serta dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa7. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik dan bermaksud melakukan suatu penulisan makalah dengan judul “Peran Driyarkara Dalam Pendidikan di Indonesia”.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana kontribusi pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan di Indonesia?

2. Bagaimana model pendidikan Driyarkara?

3. Bagaimana upaya Driyarkara dalam merealisasikan pemikirannya di bidang pendidikan?

C.Tujuan Penulisan Makalah

Dari rumusan di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kontribusi pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui model pendidikan Driyarkara.

3. Untuk mengetahui upaya Driyarkara dalam merealisasikan pemikirannya di bidang pendidikan.

(23)

D.Manfaat Penulisan Makalah

1. Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia. Sebab pada hakekatnya pendidikan dirancang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia, sehingga sumber daya manusia menjadi berkualitas.

2. Sebagai upaya penumbuhan potensi peserta didik, maka diperlukan sebuah konsep pendidikan yang mampu merealisasikan yaitu dengan konsep humanisasi pendidikan. Karena itu, pembahasan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan yang humanistik.

(24)

8

BAB II

KONTRIBUSI PEMIKIRAN DRIYARKARA MENGENAI

PENDIDIKAN DI INDONESIA

A.Profil Prof. Dr. N. Driyarkara

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ dilahirkan di daerah Pegunungan Menoreh, tepatnya di Desa Kedunggubah, Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 13 Juni 1913. Terlahir dengan nama Soehirman, tetapi juga biasa dipanggil dengan Djenthu yang berarti kekar dan gemuk. Nama Driyarkara beliau dapatkan ketika masuk Girisonta tahun 1935 untuk memulai hidup baru sebagai Serikat Jesus. Dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atma Sendjaja dengan satu orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Dari awalnya ia dilahirkan dari kondisi keluarga serta lingkungan sosial yang sederhana dengan corak kedaerahan yang cukup kental. Pada dasarnya hal ini mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap perjalanan pemikirannya, disamping kondisi sosial ketika itu Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda. Beliau termasuk anak yang beruntung karena mampu mengenyam pendidikan pada masa kecilnya, seperti yang kita ketahui bahwa sangat jarang anak negeri yang mampu bersekolah dimana sekolah saat itu dikembangkan oleh penjajah Belanda. Berkat jasa pamannya Wirjasendjaja yang bekerja sebagai lurah Desa Kedunggubah ia mampu memperoleh kesempatan langka itu8. Pendidikan Driyarkara dimulai

8 Mohammad Indra, “Relasi Yang Kuat Antara Pendidikan Dengan Kebudayaan Masyarakat Serta

(25)

ketika ia bersekolah di Volksschool dan Vervolgschool, Cangkrep. Setelah itu beliau lanjutkan pada HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Purworejo dan Malang. Pada tahun 1929 ia masuk Seminari Menengah, sekolah menengah khusus untuk calon imam Katolik, ini setingkat SMP dan SMA dengan program humaniora Gymnasium di Negeri Belanda. Ini merupakan awal dari perjalanan Driyarkara yang memutuskan menjadi pelayan Tuhan dengan berkarir sebagai seorang pastor, karena tidak lama kemudian ia menempuh pendidikan tinggi untuk para calon imam dengan bergabung kepada Serikat Jesus atau biasa dikenal dengan sebutan Jesuit dengan sebutan SJ.

Pilihannya untuk masuk ke seminari lalu memutuskan menjadi calon Imam Katolik membuat ia mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, dua tahun kemudian Driyarkara memutuskan mengikuti sekolah Ascetika (kehidupan rohani), dan satu tahun mempelajari pengetahuan humaniora dengan mempelajari sejarah kebudayaan timur dan barat serta bahasa Latin dan Yunani kuno, itu semua ia lakukan di Girisonta.

(26)

yang menggarisbawahi pentingnya usul Romo Driyarkara itu diwujudkan. Pada tanggal 2 Februari 1969 Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara (STFD) didirikan di bawah naungan Yayasan Pendidikan Driyarkara, yang diprakarsai oleh tiga lembaga, yaitu terekat Serikat Yesus, tarekat Fransiskan, dan Keuskupan Agung Jakarta. Driyarkara sendiri meninggal pada 11 Februari 1967 sebelum sempat melihat kuliah perdana STFD dalam keadaan serba sederhana di sebuah ruang tamu Susteran Ursulin di Jl. Gereja Theresia no.2, Jakarta9.

Total rentang perjalanan karir pendidikan Driyarkara selepas lulus seminari dari tahun 1935-1941. Selama itu juga sudah nampak pola pikir kritisnya yang menjadi ciri khas seorang pemikir yang terdapat pada diri para filsuf kenamaan sebelumnya. Terbukti sebagai anak Seminari Menengah Tingkat 4 (setara 1 SMA) ia menciptakan nama majalah Seminari Aquila yang artinya adalah Rajawali dan pada tingkat selanjutnya ia mampu memenangkan perlombaan untuk menafsirkan naskah latin kedalam bahasa Jawa dan mendapatkan pujian dari guru kesusasteraan Bahasa Belanda sehingga dapat dipentaskan. Puncaknya sebagai bukti lain bahwa sedari dulu ia memiliki pemikiran yang progresif maka selepas Driyarkara lulus dari studi filsafat ia menjadi guru bahasa latin pada program humaniora di Girisonta selama satu tahun.

Pada tahun 1942 Driyarkara juga belajar teologi di Kolese Muntilan bersama beberapa rekannya sesama Jesuit, akan tetapi proses pembelajaran Driyarkara hanya sampai satu tahun karena pada Juli 1943 Kolese Muntilan

9Anonim, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara“, dalam http://www.jakarta.go.id/, diunduh pada hari Selasa,

(27)

ditutup oleh Tentara Jepang. Mulai dari pendudukan Jepang hingga sampai pertengahan tahun 1947 ia menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta dan pada akhirnya selama ia belajar sendiri teologi pada tanggal 6 Januari 1947 Driyarkara ditahbiskan menjadi Imam Katolik oleh Mgr. Soegija Pranata. Tidak lama kemudian pada 24 Juli 1947 Driyarkara diutus untuk berangkat ke Belanda untuk menyelesaikan studi teologinya di Maastricht. Di sini terlihat keberatan hatinya untuk berangkat ke Belanda karena mengingat apa yang sudah dilakukan Belanda kepada rakyat Indonesia, namun berbekal ketaatan Driyarkara tetap menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Setelah tamat di Maastricht (1949) ia melanjutkan ke Drongen, Belgia untuk meneruskan pelajaran tentang kehidupan rohani. Kemudian tahun 1950-1952 Driyarkara melanjutkan studi filsafat program doktoral di Roma pada Universitas Gregoriana dan di sanalah ia mendapatkan gelar doktornya setelah mempertahankan disertasinya mengenai ajaran seorang filsuf Prancis Nicolas Malebranche dengan judul "Peranan pengertian partisipasi dalam pengertian tentang Tuhan menurut Malebranche".

B.Karya-Karya Driyarkara

(28)

karya-karyanya dengan membuat catatan-catatan kecil yang meresponi kondisi bangsanya, seperti ketika ia mengomentari dalam catatannya situasi Perang Dunia ke II yang banyak berimbas kepada Indonesia karena berpindahnya status tawanan Indonesia dari Belanda ke Jepang. Catatan-catatan semacam itu banyak ditemukan dalam diarium Driyarkara.

Tulisan-tulisan Driyarkara mulai agak teratur ketika ia kirimkan ke media massa berbahasa Jawa di Yogyakarta, yaitu majalah Praba yang dikirim melalui Roma berisi karangan-karangan ringan. Karangan tersebut ia beri judul "Serat Saking Rome" (Surat dari Roma). Seri surat ini mulai ia kirimkan sejak tahun 1951-1952 pada saat ia sedang menyelesaikan disertasinya di Universitas Gregoriana Roma, Italia, yang seluruhnya berjumlah 12 surat. Tema dari karangannya itu seputar kehidupan Gereja di Roma namun tidak jarang juga ia menulis tentang masalah-masalah sosial dan budaya serta mengkritik beberapa situasi terkini dari tanah air. Sepulangnya dari Roma ke Indonesia ia mengisi rubrik "Warung Podjok" dengan nama samaran Pak Nala yang dimulai pada 5 Oktober 1952 dan diakhiri 5 Juli 195510. Selain itu juga ia mengisi kolom pada majalah Basis dengan nama samaran Puruhita. Ia memakai rubrik-rubrik tersebut untuk mengomentari situasi sosial dan juga politik yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Biasanya ia mulai menampung keluhan-keluhan dari rakyat kecil tehadap banyak hal dan menyinggung kepada pemerintah. Pernah juga Driyarkara

10

(29)

ketika ia memakai nama Puruhita berturut-turut muncul dengan percikan renungan atas pribadi manusia yang diberi judul "Apa dan Siapa" dalam empat karangan disusul dengan renungan atas kemerdekaan manusia dalam lima karangan yang kemudian dilengkapi dengan empat karangan yang diberi judul "Sayap yang Berluka". Untuk beberapa pemikirannya yang dibukukan secara utuh kita dapat melihatnya pada beberapa karyanya dengan judul11:

1) Pertjikan Filsafat. Sebuah buku yang beredar di lingkungan akademis sebagai rujukan juga dalam kuliah Filsafat.

2) Sosialitas sebagai Eksistensial. Merupakan isi pidato inagurasinya yang diucapkan pada peresmian dirinya sebagai Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

3) Driyarkara tentang Pendidikan. 4) Driyarkara tentang Kebudayaan. 5) Driyarkara tentang Manusia.

6) Driyarkara tentang Negara dan Bangsa

Tulisan-tulisan Driyarkara selalu memiliki gaya yang lugas, berani, kadangkala sembrono dengan tipikal pembicaraan ala warung kopi, serta tidak lupa diselingi dengan humor. Pada awal-awal ia menuliskan pikirannya tidak lupa ia menceritakan kegelisahan hatinya, hal itu pernah ia lakukan ketika ia diputuskan untuk berangkat ke Belanda pada masa pra kemerdekaan dimana Belanda datang kembali ke Indonesia melalui agresi militer. Ia tampakkan guratan kesedihan serta keengganan untuk berangkat dikarenakan ia merasa Belanda telah membuat banyak kesusahan bagi bangsa Indonesia.

Pada masa itu karya-karya Driyarkara disusun dalam diariumnya dan cenderung karya-karyanya condong mencurahkan apa yang dia alami dan dikemas

11 Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

(30)

olehnya dalam sebuah pengkritisan terhadap sebuah fenomena. Salah satu bentuk tulisannya yang terkenal dan mendapatkan banyak tanggapan adalah ketika Driyarkara menyinggung momen Tahun Baru dimana banyak orang menyambutnya dengan suka cita dan mengharu-biru. Driyarkara mencoba menghubungkanya dengan problem eksistensi manusia. Dalam suatu testimoni yang dikeluarkan oleh seorang bekas kolega senior Driyarkara ketika mengajar di Ignatius College mengakui bahwa Driyarkara mampu menguasai beberapa aliran-aliran pemikiran baru pada zaman itu seperti Martin Buber, Martin Heidegger, Edmund Husserl, William James, Gabriel Marcel, Jean Paul Sartre, dan bahkan beberapa pemikir Indonesia seperti tulisan Soekarno, Mohammad Hatta, Roeslan Abdulgani, dan lain sebagainya. Bisa kita cermati bahwa mereka semua mempunyai andil dalam proses berpikir kritis yang dikembangkan oleh Driyarkara terutama dalam metode yang dia kembangkan yaitu fenomenologi-eksistensialisme dimana masalah eksistensi dibahas melalui pengamatan. Hal ini bisa dilihat ketika Driyarkara memberikan komentar terhadap momen Tahun Baru dan dikaitkan dengan reaksi manusia dalam menyambut momen tersebut dan juga pembahasannya mengenai konsep permainan yang memiliki kaitan erat dengan kebudayaan12.

12

Subanar, G. B. (editor), Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Masa Kini, 2013,Yogyakarta: Penerbit USD,

(31)

C.Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia

1) Mengedepankan Hakikat Kemanusiaan Secara Utuh Dalam Pendidikan

Kontribusi Driyarkara dalam menuangkan pemikirannya mengenai pendidikan bisa dikatakan dimulai ketika ia berpidato sebagai dekan PTGP Sanata Dharma pada tanggal 17 Desember 1955. Menurut Driyarkara peran pendidikan menjadi penting karena pendidikan mengusung nilai-nilai kemanusiaan yang cukup kompleks. Nilai pendidikan tidak hanya menjadi kekayaan individual semata, tetapi dengan nilai pendidikan menunjukkan sebuah mentalitas dan kepribadian masyarakat berbangsa. Keberhasilan pendidikan menjadi tolak ukur bagi sebuah bangsa akan keseriusannya mempersiapkan dan mematangkan sumber daya manusia sekaligus dalam memajukan bangsanya. Singkatnya pendidikan mempunyai dampak yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(32)

memegang jabatan strategis dibidang pendidikan sehingga ia ingin memberikan kesan sebagai orang yang mumpuni di bidang pendidikan. Justru tema-tema pendidikan yang diambil adalah sebuah kritik terhadap penyalahan persepsi masyarakat dan pemerintah terhadap gunanya pendidikan13.

Berikut adalah salah satu contoh gagasan-gagasan pokok filsafat pendidikan Driyarkara dalam dunia pendidikan yang mendasari IKIP Sanata Dharma dalam mendidik mahasiswanya, sebagai berikut14:

1. Intisari pendidik adalah suatu hubungan manusiawi antara pendidik dan si terdidik dan antara terdidik satu sama lain, kedua belah pihak saling membantu mewujudkan kemanusiaan mereka, tetapi ada perbedaan yaitu yang satu lebih membimbing, yang lain lebih dibimbing.

2. Pendidikan dilangsungkan dalam suatu hubungan pendampingan yang bersifat dialogal dan dinamis, dimana kedua belah pihak membuka hati dan pikiran dan menuju masa depan.

3. Dalam pendidikan di terdidik maupun pendidik menjadi manusia yang otentik bebas dan berpancasila, yang melaksanakan dirinya dalam suatu keseimbangan dengan sesame dalam keluarga, lingkungan kerja, masyarakat dan Negara, dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam cinta kasihNya, dan dengan alam sekitar yang dikuasai serta dihargai olehnya.

4. Pendidikan dilangsungkan oleh manusia yang bereksistensi dalam lingkungan Indonesia. Dan karena Indonesia sedang membangun, maka semua pengetahuan, keterampilan, sikap yang menunjang pembangunan diberi perhatian istimewa.

Filsafat pendidikan Driyarkara tersebut dijabarkan dalam Universitas Sanata Dharma sebagai dasar untuk mengusahakan supaya15:

1. Golongan-golongan dengan agama serta keyakinan yang berbeda-beda dapat saling harga menghargai.

2. Semua warga dibantu mengembangkan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Semua warga Negara terdorong menyumbangkan jasa sebagai pendidik professional yang bermutu kepada dunia pendidikan.

13

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 2006, hal. 389.

14

P. J. Suwarno, Sanata Dharma Menemukan Jalannya (Edisi Revisi). 1998. Yogyakarta: Yayasan Sanata Dharma, hal. 53-55.

15

(33)

4. Suasana di IKIP Sanata Dharma mencerminkan keadilan dan memajukan pemerataan pendidikan sehingga mahasiswa-mahasiswi menghayati cita-cita ini.

Jabatan yang rektor dan kemunculannya pada berbagai macam seminar dan juga simposium ini secara tidak langsung membuat Driyarkara menjadi salah satu pemikir yang disegani di Indonesia, sehingga tidak lama setelah menjadi rektor yaitu pada tahun 1960 Driyarkara diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Indonesia dan Universitas Hassanuddin. Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu pada St. Louis University di kota St. Louis, Missouri, Amerika Serikat dan bahkan akibat sering mengisi simposiun serta berbagai macam diskusi tentang Pancasila. Driyarkara juga diminta untuk mengajar pada SESKOAD dan SESKOAL, lalu pada tahun 1966 ia diusulkan menjadi Guru Besar Tetap Universitas Indonesia.

(34)

curahkan kepada permasalahan pendidikan, hal itu dilakukan bukan semata-mata ia seorang pendidik melainkan muncul dari kegundahannya terhadap kondisi bangsa. Berdasarkan hal tersebut Driyarkara di anugerahi dua buah penghargaan dari pemerintah Indonesia pada dua penguasa yang berbeda yaitu16:

a. Piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 17 Agustus 1969 sebagai pengabdi dan pendorong dalam bidang pendidikan.

b. Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama pada tanggal 13 Agustus 1999 sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap Negara dan Bangsa Indonesia.

Kontribusi pemikiran Driyarkara dalam menyoroti pendidikan merupakan sikap kritisnya terhadap dunia pendidikan. Kontribusi pemikiran Driyarkara terbesar bagi proses pendidikan adalah menjadikan pendidikan formal dengan

mengedepankan hakikat kemanusiaan secara utuh dalam pendidikan. Artinya,

peserta didik mampu berkembang secara humanis yang bersifat manusiawi dan berperikemanusiaan, sehingga akan menciptakan keseimbangan antara hati dan apa yang mereka lakukan, agar setiap peserta didik menjadi manusia yang semakin mengerti baik dan buruk serta mampu mengambil keputusan tepat dan berguna. Keputusan tidak hanya untuk diri sendiri tetapi terkait dengan orang di sekitarnya. Karena humanisme sebagai filsafat pendidikan artinya suatu visi yang melihat manusia sebagai yang bermartabat dan luhur.

16

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

(35)

Humanisme adalah proses belajar untuk memanusiakan manusia yaitu dengan cara memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Ciri-ciri humanisme menurut Driyarkara adalah 1) memiliki kepekaan budaya (cultural sensibility) yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme; 2) memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah; 3) mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan (philosophically creative); 4) memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and sensitivity to justice and injustice)17.

Berdasarkan ciri humanisme pertama yaitu memiliki kepekaan budaya

(cultural sensibility) yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan

multikulturalisme, dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Selain itu, sebagai negara yang plural Indonesia memiliki banyak sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama, dengan sifat plural yang dimiliki tersebut negara Indonesia rawan akan konflik karena lebih sulit menjaganya ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.

Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam

17

(36)

sekala luas yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Kalimantan Barat (konflik etnis di Singkawang dan Sambas) yang kerap terjadi dan dilakukan dalam rentang yang hampir berdekatan. Peristiwa-peristiwa yang belum terselesaikan sampai sekarang disebabkan karena persoalan-persoalan etnis dan persoalan agama, berbagai persoalan yang menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru berlanjut menjadi masalah yang besar karena dikait-kaitkan dengan persoalan yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah SARA18.

Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting, khususnya dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup.

18

(37)

Lahirnya kebudayaan merupakan peran dari pendidikan dan adanya pendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku. Pilihan-pilihan dalam mendidik tidak lepas dari norma dan etika yang berlaku dari kebudayaan tertentu, sedangkan keberlangsungan budaya beserta perkembangannya juga merupakan campur tangan dari proses mendidik. Intinya keduanya menjadi bagian penting dalam keberadaan manusia sehingga menjadi kebutuhan dasar bagi manusia19.

Berdasarkan ciri humanis kedua yaitu memperhatikan tantangan sejarah (historically attentive) yang terus berubah. Artinya Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan jaman, supaya dapat bertahan terhadap segala macam perubahan karena arus globalisasi. Karena perubahan tersebut dapat mencabut kita dari akar-akar kebaikan yang telah diajarkan dalam pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, harus ada kolaborasi yang seimbang dari pendidikan dan kebudayaan untuk bisa memastikan bahwa keberadaan identitas nasional kita tidak hilang.

Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak terhadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya

(38)

bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.

Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

(39)

Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama. Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu sesungguhnya merefleksikan kekayaan budaya. Namun di sisi lain, keberagaman

juga berpotensi besar untuk “tumbuh suburnya” konflik, terutama jika

keberagaman tersebut tidak mampu dikelola dengan baik. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi membawa pengaruh yang multidimensional. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada saat ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari permasalahan kultur yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyarakat kita. Keragaman ini dapat dilihat dari segi positif ataupun dari segi negatif, seperti: diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga kini dengan segala bentuknya, seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengesampingkan hal-hal minoritas, mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal sebagai wujud nyata dari globalisasi, kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari permasalahan kultural yang ada.

Ciri humanis keempat yaitu memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan (academic excellence and

sensitivity to justice and injustice). Pada cirri humanis keempat ini peserta didik

(40)

berperilaku sehari-hari; menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan agar mampu menghadapi setiap kondisi dan permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, negara, dan dunia.

Memperhatikan pentingnya pendidikan di atas, maka dapat diartikan bahwa pendidikan humanis merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik secara positif dan dinamis serta mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, serta menjadi peserta didik yang mampu mengembangkan potensi diri sehingga menghasilkan insan yang tidak hanya cerdas dan mampu bersaing dalam intelektualnya namun juga dalam kemanusiaannya. Sebab, insan yang cerdas bukan saja memiliki kemampuan intelektual dan atau pengetahuan yang baik dan lebih namun juga cerdas secara spiritual dan atau emosional serta baik dalam hubungan sosial dengan kepribadian atau berkarakter baik sehingga akan melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

(41)

media atau alat yang digunakan, evaluasi serta perkembangan mental dan spiritual peserta didik.

Sehubungan dengan itu, maka komponen-komponen pendidikan cerdas dan humanis tersebut harus dikelola dengan baik oleh pendidik yang memiliki kompetensi pengelolaan pembelajaran yang baik, memiliki kompetensi kepribadian yang baik, memiliki kompetensi sosial yang baik dan professional sebagai pendidik. Pendidikan cerdas dan humanis bertujuan menghasilkan manusia yang berkualitas/cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan sosial, berakhlak mulia, berbudi luhur, berkarakter bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Input pendidikan berkualitas apabila siap berproses dengan baik, mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam menggunakan pendekatan yang cerdas dan humanis20. Dengan demikian maka output atau hasil belajar dalam kategori baik dan keluaran berkualitas apabila berguna bagi bangsa dan Negara. Berdasarkan uraian di atas, maka pada prinsipnya hakekat dan tujuan pendidikan cerdas dan humanis adalah membentuk kepribadian peserta didik yang cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan social yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kepentingan banyak orang dan lingkungan alam sekitarnya terutama dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan Tuhan penciptanya.

20

Dharma Kusuma dkk, “Pendidikan Karakter Kajian Teori Dan Praktik Di Sekolah”, Bandung:

(42)

2) Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang baik. Nilai-nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, dan tanggungjawab21

. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal, dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggungjawab secara parsial. Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan di Indonesia. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.

Pendidikan di Indonesia selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi

21

(43)

pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Di sekolah misalnya, sering kali ditemukan anak-anak yang menyontek ketika ujian karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi. Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.

Pendidikan merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa. Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan karakter juga dipengaruhi faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial. Negara mempunyai peranan penting dalam sebuah pendidikan. Perkembangan sebuah negara tidak lepas dari pendidikan dan pengajaran yang baik.

Hak dan kewajiban dalam belajar menurut Driyarkara merupakan fundamental (asasi), yang mempunyai kesamaan dengan hak–hak kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyarkara menyatakan bahwa “setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan dengan Pancasila tentu bukan merupakan

pelaksanaan hak dan kewajiban asas”22

. Pendidikan harus mendahuli sebuah pengajaran. Di dalam dunia yang mengarah ke arah modern ini, pendidikan terhadap anak didik tidak cukup hanya sebatas hanya membangun kepribadian yang sempurna dan susila, tetapi bagaimana seorang pendidik dapat

22

(44)

mengembangkan kecakapan peserta didik yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepada negara.

Negara mengembangkan dan menyelengarakan pengajaran mengunakan dua sistem, yang pertama negara langsung mengadakan pengajaran sendiri (Sekolah Negeri) dan yang kedua negara mengunakan pihak swasta (sekolah milik yayasan swasta) untuk turut serta membantu dan mengembangkan pengajaran tersebut. Negara mempunyai perananan, hak dan kewajiban di dalam pengajaran. Peranan tersebut adalah mengembangkan tenaga-tenaga yang cakap di dalam kehidupanya. Dasar hak dan kewajiban negara di dalam dunia pendidikan adalah menentukan macam kualitas dan taraf pelajaran di sekolah negeri maupun sekolah milik yayasan swasta.

(45)

sesama, dan itu semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan sebagai modal utama diharapkan dapat menghalangi virus-virus penghancur tersebut, dan masa depan bangsa ini dapat diselamatkan.

Pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dapat dibentuk melalui jenjang pendidikan formal, informal, dan pendidikan non formal23. Ketiga jenis pendidikan itu memiliki masing-masing fungsi, tetapi fungsi yang berbeda tersebut saling melengkapi, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membetuk karakter dari individu-individu yang mengalami pendidikan. Karakter yang dibentuk melalui jenjang pendidikan tersebut meliputi tiga hal yaitu intelektual, emosional dan spiritualnya.

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya24. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Termasuk juga ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional, yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.

Pada pendidikan formal, pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk pengajaran yang sesuai serta memperhatikan kondisi sosial pada setiap lokasi pembelajaran. Artinya, pembelajaran ilmu pengetahuan tidaklah bisa disamakan

23

Doni Kusuma, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Jakarta: Grasindo,

2007. hal. 84-88.

24

(46)

antara satu tempat atau negara dan negara lain karena jelas mempunyai karakteristik pola tradisi dan budaya yang berbeda.

Begitu pula dengan kondisi di negara kita, Indonesia, bahwa pendidikan karakter menjadi relevan diterapkan untuk mengatasi berbagai fakta-fakta empiris yang menyiratkan adanya sinyal ketidakberesan di lingkungan pendidikan. Misalnya, kasus korupsi, suap, kriminalitas (tawuran antarpelajar/mahasiswa), dan perilaku amoral (termasuk kasus video mesum yang juga sering kali terjadi di kalangan siswa), yang bila kita telusuri, oknum pelakunya merupakan kaum terpelajar dari lembaga pendidikan nasional yang kita miliki.

Dalam wujud praktis, pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ (intelligence quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual quotient). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.

(47)

terasa masih tampak kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat.

Berbagai isu sosial yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari peranan pendidikan. Isu mengenai radikalisme masyarakat sudah begitu merebak hingga memunculkan pemakluman. Masyarakat sudah terlalu sering disuguhi tontonan kekerasan di media massa. Tentu kekerasan bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal yang disuguhkan dalam berbagai talkshow sehingga masyarakat semakin bingung mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang berbudaya. Pendidikan seharusnya mampu merangsang seseorang berpikir kritis dan mampu memilih alasan yang tepat dalam setiap aktivitasnya. Pendidikan harus mampu membentuk karakter setiap pribadi siswa. Karakter sangat erat dengan sikap dan pilihan cara bertindak. Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin kepada setiap orang.

(48)

Desain pendidikan karakter seharusnya jauh dilepaskan dari unsur penilaian

kognitif. Salah satu kegagalan pembentukan karakter saat ini karena terlalu

mengkognitifkan nilai-nilai (living values) dalam pembentukan karakter.

Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah. Para siswa ini disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Namun, sekolah tentu bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi berkarakter, tempat lain yang utama adalah keluarga dan masyarakat.

Pembentukan pendidikan karakter melalui pendidikan formal seharusnya dimulai dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku daripada ilustrasi angka yang mereduksi hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui tes.

(49)

menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.

Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus memaksa atau dipaksa untuk memahami orang lain. Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Sejarah, pada pelajaran ini guru dapat melakukan diskusi kelas dengan mengangkat kasus atau peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dilingkungan sekolah atau di negara ini. Disini, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan pola pikir dan mengkritisi peristiwa yang sedang terjadi tersebut. Hal ini apabila dapat diterapkan, secara tidak langsung dapat melatih siswa untuk berpikir kritis, belajar menghargai pendapat oran lain, mengambil kesimpulan dari suatu peristiwa tidak hanya dari satu sumber saja, tetapi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, bersikap arif dan bijaksana, dan memiliki mental yang cerdas serta pemberani dalam menyampaikan pendapat dimuka umum. Jika latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk dengan sendirinya tanpa disadari oleh siswa itu sendiri.

(50)

memberikan ruang ekspresi yang cukup pada peserta didik. Siswa harus diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini penting untuk penyaluran emosional. Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa menjadi lemah kreasi. Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi karena tidak ada ruang ekspresi bagi siswa di sekolah.

Hal kedua adalah empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap inilah yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada setiap individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan terwujud, karena pendidikan karakter bukan pelajaran yang harus dites dan dinilai dengan angka atau huruf mutu, tapi lebih ditekankan pada latihan di setiap aktivitas sekolah.

Jenjang pendidikan kedua adalah pendidikan non formal. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang25. Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Minggu, berbagai kursus, bimbingan belajar, program-program pemberantasan buta aksara, pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan sebagainya.

Pendidikan karakter dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan, kursus kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan singkat, baik yang

25

(51)

diselenggarakan pemerintah maupun organisasi massa. Demikian pula pendidikan karakter dapat dilakukan pada kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang taruna, keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan penanggulangan bencana alam.

Pendidikan nonformal yang dilaksanakan pada lingkup dunia usaha dalam bentuk pendidikan dan pelatihan calon pegawai, pelatihan kewirausahaan, pelatihan kepemimpinan, dan pelatihan keterampilan profesi. Pada lingkup masyarakat politik dilakukan bentuk pelatihan dan kaderisasi partai, pelatihan kepemimpinan, pelatihan etika politik dan pembudayaan politik. Sedangkan pada lingkup media masa, pendidikan nonformal berupa pelatihan dasar komunikasi, pelatihan kode etik jurnalistik, dan pemahaman profesi jurnalis dan pelatihan transaksi elektronik.

Pendidikan karakter pada kegiatan pendidikan dan latihan nonformal serta kegiatan kemasyarakatan tersebut dapat diarahkan untuk menanamkan kepedulian sosial, jiwa patriotik, kejujuran, dan kerukunan berkehidupan dalam masyarakat serta untuk mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa yang memiliki watak, kepribadian, dan akhlak mulia.

Jenjang pendidikan ketiga adalah pendidikan informal. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan di lingkungan keluarga yang berupa ajaran tata-krama, sikap dan tingkah laku yang diajarkan pada keluarga semenjak peserta didik lahir. Pendidikan informal dapat juga disebut pendidikan yang ada di masyarakat, atau pendidikan yang dialami oleh seseorang oleh lingkungannya26.

26

(52)

Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga yang merupakan pondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Driyarkara menyatakan bahwa:

“Bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah, misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai perbuatan mendidik karena dirongrong oleh konsep yang salah”27.

Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarkara ingin menunjukkan lemahnya institusi suatu keluarga. Dalam pernyataan tersebut tersirat bahwa orang tua memasukkan anak ke sekolah bukan untuk membuat anaknya menjadi pandai, dan cakap dalam segala hal. Akan tetapi, pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa anak sekolah supaya mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, tanpa diimbangi dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak itu sendiri. Sehingga, wajar apabila pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan humanis sesuai dengan pemikiran Driyarkara28.

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi sebagai sarana

27

Danuwinanta, F., SJ. (editor), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh

dalam Perjuangan Bangsanya, 2006, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 363.

28

Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

(53)

mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Terdapat tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.

Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan

(54)

awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.

Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.

(55)

anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Terdapat beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu29:

1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.

2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.

3. Bersikap kasar secara verbal, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.

4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.

5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini. 6. Tidak menanamkan “good character“kepada anak. Dampak yang ditimbulkan

dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.

7. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.

8. Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.

9. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.

10. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga, dan berguna.

11. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.

14. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuanya

29

(56)

sebagai ”role model”, anak akan lebih percaya kepada ”peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.

Keluarga merupakan tempat utama anak-anak dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif. Pembentukan karakter positif dapat dikembangkan melalui pembiasaan nilai-nilai, baik nilai sosial maupun agama yang diinternalisasikan melalui interaksi sosial. Karakter yang telah terbentuk diharapkan kelak dapat mengakar kuat dan menjadi prinsip hidup dalam kehidupan anak. Dalam konteks ini, orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam proses pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya dapat menjadi

contoh “teladan” yang baik pada anak karena sebagian besar waktu anak

dihabiskan dalam keluarga. Teladan dan pembiasaan yang baik menjadi langkah fundamental dalam pendidikan karakter.

Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat mulai sering terjadi. Hal-hal yang dulunya dianggap tabu, saat ini menjadi hal biasa. Kasus korupsi, fenomena penampilan para remaja dengan pakaian ketat dan mininya, gaya pacaran yang berlebihan, sampai tragedi hamil di luar nikah. Di sekolah pun terjadi aksi contek massal dimana hasil yang ditonjolkan dan proses diabaikan. Pada saat ini terjadi

split of personality (kepribadian yang terpecah) dimana individu belum mampu

Referensi

Dokumen terkait

Suatu pembelajaran dikatakan berhasil jika hasil belajar sebagian besar siswa diatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 1 Kartasura

berhasil dan mencapai ketuntasan sesuai dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).Hal ini dibuktikandengan perolehan hasil belajar peserta didik yang berada diatas KKM

Pembelajaran dikatakan berhasil dengan baik apabila siswa dapat menguasai materi dengan mendapat nilai 60, yaitu batas nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang

Selain itu, keterampilan menulis teks eksplanasi masih banyak siswa yang mendapatkan nilai di bawah nilai ketuntasan minimal (KKM), KKM yang berlaku di SMA Negeri 2 Sabang

Berdasarkan hasil evaiuasi terhadap hasil belajar siswa terlihat bahwa sudah mencapai indikator keberhasilan klasikal minimal (KKM) 75%, yaitu sebesar 100% dari jumlah

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap hasil belajar siswa terlihat bahwa sudah mencapai indikator keberhasilan klasikal minimal (KKM) 75%, yaitu sebesar 100%

Pada penelitian di SMP Pangudi Luhur Ambarawa kelas IX ditemukan masalah yaitu siswa tidak dapat memenuhi standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)dengan nilai 75.Masalah

Tahap-tahap pelaksanaan yang dilakukan ini dapat dikatakan berhasil jika hasil belajar siswa telah mencapai skor 67 atau bila telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal